Banda Aceh, 14 Agustus 2025 – Suasana Seafood Karibia, Kuta Alam, Banda Aceh, malam itu terasa akrab namun sarat makna. Undangan resmi yang dikirim oleh U.S. Consul for Sumatra, Lisa Podolny menjadi gerbang bagi sebuah pertemuan yang mempertemukan para alumni, tokoh akademik, dan pejabat publik Aceh dalam bingkai diplomasi yang bersahabat. Acara Alumni Friendly Dinner ini berlangsung dari pukul 19.30 hingga 21.00 WIB, dihadiri oleh sejumlah figur kunci dalam ranah sosial-politik Aceh.
Hadir dalam kesempatan tersebut antara lain Dr. Reza Idria, Direktur International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS); Marthunis, Kepala Dinas Pendidikan Aceh; Graham Baker, staf Konsulat Amerika; serta Prof. Byron J. Good, Profesor Antropologi Medis di Harvard Medical School dan Departemen Antropologi Harvard University. Kehadiran ini terasa istimewa karena bertepatan dengan momentum 20 Tahun Perdamaian Aceh, sebuah capaian sejarah yang mengubah lanskap politik dan sosial di wilayah ujung barat Indonesia ini.
Malam yang Penuh Dialog dan Perspektif
Di meja makan yang tersaji aneka hidangan laut, pembicaraan berkembang luas, membentang dari isu sosial hingga perbincangan strategis terkait dinamika politik Aceh. Dialog berlangsung dalam nuansa informal namun penuh substansi—mencerminkan keterbukaan untuk saling berbagi pandangan lintas latar belakang.
Konsul AS, Lisa Podolny, mendengarkan dengan penuh perhatian ketika para peserta menguraikan tantangan yang dihadapi Aceh saat ini: mulai dari implementasi otonomi khusus, peran generasi muda dalam pembangunan, dinamika pendidikan pasca-konflik, hingga peluang kerja sama internasional dalam bidang sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Aceh Pasca-20 Tahun Damai
Pembicaraan tidak bisa dilepaskan dari refleksi atas dua dekade damai Aceh pasca-MoU Helsinki. Hadirnya beberapa tokoh yang juga mengikuti peringatan 20 tahun perdamaian sebelumnya membuat diskusi semakin kaya dengan pengalaman dan perspektif sejarah. Beberapa peserta menyoroti bahwa meskipun konflik bersenjata telah lama berakhir, pekerjaan rumah dalam membangun keadilan sosial dan ekonomi masih terbentang luas.
Peran Aceh di panggung nasional dan internasional pun menjadi topik penting, termasuk potensi wilayah ini sebagai pusat studi perdamaian dan keberagaman. Tidak sedikit yang memandang bahwa kerja sama akademik dan diplomasi kultural menjadi jalan strategis untuk memperkuat posisi Aceh di era globalisasi.
Diplomasi di Meja Makan
Makan malam ini bukan sekadar pertemuan seremonial. Ia menjadi ruang diplomasi yang cair, di mana gagasan mengalir bebas, membangun pemahaman bersama, dan membuka peluang kolaborasi lintas negara. Diplomasi yang lahir dari interaksi personal seperti ini sering kali melahirkan jembatan kerja sama yang lebih kokoh dibandingkan forum resmi yang kaku.
Kehadiran berbagai unsur—dari pemerintah daerah, akademisi lokal dan internasional, hingga perwakilan diplomatik—membuktikan bahwa isu Aceh adalah ruang dialog kolektif. Pertemuan seperti ini memperkuat kesadaran bahwa perdamaian yang berkelanjutan memerlukan jejaring yang hidup, lintas batas, dan berbasis pada rasa saling percaya.