Laporan Strategis Kekuatan Militer ASEAN 2025: Menggambarkan peta Asia Tenggara dengan nuansa vintage-sephia, menampilkan bendera 11 negara ASEAN, alutsista utama (jet tempur, kapal perang, tank), simbol intelijen, dan bayangan kota metropolitan. Visual ini menegaskan tema pertahanan, intelijen, dan keamanan kawasan.

Analisis Kekuatan Militer, Pertahanan, Intelijen, dan Keamanan di Asia Tenggara

Daftar Isi

Pendahuluan

Asia Tenggara merupakan kawasan dengan keragaman profil militer dan keamanan yang signifikan. Sebelas negara ASEAN – Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Myanmar, Laos, Kamboja, Brunei Darussalam, dan Timor Leste – memiliki kapasitas pertahanan dan tantangan keamanan yang berbeda-beda. Laporan ini menyajikan analisis komprehensif kekuatan militer konvensional masing-masing negara (personel dan alat utama sistem senjata darat, laut, udara), sistem pertahanan dan doktrin militernya, struktur intelijen dan keamanan domestik, ekonomi pertahanan (termasuk anggaran, industri pertahanan lokal, serta ketergantungan impor alutsista), dan afiliasi geopolitik dengan kekuatan besar (seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia).

Selain itu, laporan ini membahas lima skenario konflik hipotetis antar negara ASEAN. Skenario ini dibuat untuk mengeksplorasi dinamika potensi konflik di kawasan, dengan narasi perkembangan konflik, analisis perbandingan kemampuan militer pihak-pihak terlibat, serta konsekuensi geopolitik yang mungkin timbul. Analisis didukung data terkini dari sumber tepercaya seperti SIPRI, IISS Military Balance, Global Firepower Index, dan pernyataan resmi kementerian pertahanan negara terkait.

Sebagai ikhtisar, tabel berikut memberikan perbandingan beberapa indikator kekuatan militer konvensional utama di Asia Tenggara:

Negara Personel Aktif Tank Pesawat Tempur<br/>(termasuk jet serang) Kapal Perang Utama<br/>(Frigat+Korvet) Submarin Anggaran<br/>(US$ miliar)
Indonesia 400.000[1] 331[2] 75[3][4] 32[5] 4[5] 10,6[6]
Vietnam 600.000[7] 1.374[8] 73[9] 25[10] 9[11] ~8,6[12]
Thailand 360.850[13] 635[14] 92[15] 13[16] 0[16] ~5,9[17]
Malaysia 113.000[18] 48[19] 38[20] 8[21] 2[22] 4,2[23]
Singapura 51.000[24] 170[25] 100[26] 12[27] 6[27] 15,1[28]
Filipina 150.000[29] 10[30] 25[31] 3[32] 0[32] 6,1[33]
Myanmar ~150.000[34] 445[35] 84[36] 9[37] 1 ~5,0[38]
Kamboja 124.300[39] 644[40] 0[41] 0 0 0,86[12]
Brunei 7.200[42] 0 0 0 0 0,59[43]
Laos 29.100[44] 30 (ringan) 0 0 0 0,135[45]
Timor Leste 2.280[46] 0 0 0 0 0,02[46]

Tabel: Perbandingan kekuatan militer konvensional ASEAN (perkiraan terbaru). Personel aktif mencakup angkatan darat, laut, udara (tidak termasuk cadangan/paramiliter). “Pesawat Tempur” mencakup jet tempur dan pesawat serang darat. “Kapal Perang Utama” mencakup frigat dan korvet (kapal patroli kecil tidak dihitung). Anggaran pertahanan adalah estimasi 2024 dalam miliar dolar AS. Sumber data: Global Firepower 2025[3][2][5], SIPRI[28][33], serta laporan resmi masing-masing negara.

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa Indonesia dan Vietnam memiliki jumlah personel militer terbesar, sementara Singapura dan Indonesia memimpin dari sisi anggaran pertahanan (Singapura US$15,1 miliar dan Indonesia ~US$11 miliar pada 2024)[28][33]. Vietnam unggul dalam jumlah arsenal tank (sekitar 1.374 unit, terutama tank era Soviet yang dimodernisasi)[47], sedangkan Singapura dan Thailand memiliki armada udara tempur yang relatif besar. Singapura khususnya menonjol dalam kualitas alutsista dengan ~100 jet tempur modern[26] dan 6 kapal selam[27] meski ukurannya kecil. Di sisi lain, negara-negara kecil seperti Brunei, Laos, dan Timor Leste memiliki militer yang jauh lebih kecil kapasitasnya, berfokus pada keamanan internal dan pertahanan terbatas.

Bagian-bagian berikut akan membahas profil masing-masing negara secara mendalam, diikuti dengan analisis skenario konflik hipotetis. Gaya penulisan bersifat formal-analitis, sesuai untuk publikasi strategi pertahanan, dengan dukungan data dan sumber referensi terkini.

Indonesia

Kekuatan Militer Konvensional (TNI) dan Alutsista Utama

Indonesia memiliki kekuatan militer terbesar dari segi personel di Asia Tenggara. Tentara Nasional Indonesia (TNI) terdiri dari tiga matra: TNI Angkatan Darat (AD), TNI Angkatan Laut (AL), dan TNI Angkatan Udara (AU). Jumlah personel aktif TNI sekitar 400.000 orang, dengan komposisi TNI AD ±300 ribu, TNI AL ±66 ribu, dan TNI AU ±30 ribu[48][49]. Selain itu terdapat komponen cadangan dan paramiliter (termasuk Komponen Cadangan baru dan satuan paramiliter seperti Linmas) sekitar 400 ribu cadangan dan 250 ribu paramiliter[1][49]. Postur yang besar ini didukung total populasi Indonesia yang mencapai 281 juta jiwa (terbesar ke-4 dunia)[50], memberikan potensi mobilisasi yang tinggi.

Dalam hal kekuatan darat, TNI AD mengoperasikan ~331 tank (sebagian besar tank kelas medium dan Main Battle Tank seperti Leopard 2RI dan AMX-13 modifikasi)[51], serta lebih dari 2.000 kendaraan angkut bersenjata dan 600+ artileri (towed maupun self-propelled)[2][52]. TNI AD juga memiliki helikopter serang (sekitar 15 unit, seperti AH-64E Apache) dan ratusan kendaraan angkut personel lapis baja.

Kekuatan udara TNI AU mencakup sekitar 459 pesawat berbagai tipe[53], dengan ~41 jet tempur (F-16 A/B, Su-27/Su-30) dan 34 pesawat serang ringan (seperti Su-25 atau EMB-314 Super Tucano)[53]. TNI AU juga memiliki pesawat angkut (C-130 Hercules, CN-235), pesawat intai maritim (misal CN-235 MPA), dan helikopter angkut. Keterbatasan TNI AU antara lain minimnya pesawat tanker (hanya 1 unit)[54] dan pesawat peringatan dini (AEW&C). Indonesia tengah memodernisasi armada tempurnya dengan rencana akuisisi jet Rafale Prancis dan F-15ID Amerika Serikat untuk menggantikan pesawat tua serta pembatalan pembelian Su-35 Rusia karena pertimbangan geopolitik (sanksi CAATSA AS).

Di matra laut, TNI AL mengoperasikan armada yang terbesar di ASEAN dari segi jumlah kapal (total 331 unit termasuk kapal patroli)[55]. Kekuatan tempur utamanya meliputi 7 fregat (kelas Sigma dan Ahmad Yani), 25 korvet (termasuk kapal cepat berpeluru kendali kelas Klewang dan Bung Tomo)[5], dan 4 kapal selam diesel-elektrik (kelas Cakra dan Nagapasa hasil kerja sama dengan Korea Selatan)[5]. TNI AL juga memiliki >200 kapal patroli berbagai ukuran dan belasan kapal penyapu ranjau[5]. Kapasitas amfibi ditopang oleh kapal Landing Platform Dock (LPD) buatan dalam negeri (kelas Makassar). Keterbatasan TNI AL adalah ketiadaan kapal perusak maupun kapal induk, sehingga fokus pada pertahanan pesisir dan patroli laut wilayah (green-water navy). Namun, Indonesia terus memperkuat AL dengan rencana fregat baru (seperti fregat Iver Huitfeldt-class hasil kolaborasi dengan galangan asing) dan tambahan kapal selam[5].

Secara umum, kekuatan militer Indonesia seimbang di tiga matra, namun tersebar untuk mengkover wilayah geografis yang sangat luas (17 ribu pulau). Modernisasi TNI berjalan melalui program Minimum Essential Force (MEF) yang dicanangkan sejak 2010 untuk mencapai kekuatan pokok minimum pada 2024. Walaupun banyak kemajuan (pembelian jet, radar, kapal selam, dll), MEF belum sepenuhnya tercapai pada 2024 karena kendala anggaran dan proses pengadaan.

Sistem Pertahanan dan Doktrin Militer

Doktrin pertahanan Indonesia menganut konsep “Pertahanan Semesta” (Sishankamrata – Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta). Konsep ini menitikberatkan partisipasi seluruh komponen bangsa dalam pertahanan, di mana kekuatan militer profesional menjadi inti, didukung cadangan dan rakyat terlatih untuk perang gerilya jika Indonesia diinvasi. Secara strategi, Indonesia lebih bersifat defensif; tidak mencari musuh, namun menekankan kemampuan penangkal (deterrence) dan daya tahan nasional. Wilayah Indonesia yang luas dan berciri kepulauan membuat TNI mengedepankan pertahanan berlapis: TNI AL dan AU menjaga sea control dan air superiority di sekitar perbatasan dan choke points (seperti Selat Malaka, Selat Sunda), sementara TNI AD mempertahankan daratan dan menjadi kekuatan terakhir.

Indonesia tidak memiliki ancaman negara spesifik secara resmi; namun potensi konflik kawasan yang diantisipasi mencakup sengketa perbatasan maritim (contoh: Laut Natuna Utara yang bersinggungan dengan klaim nine-dash line Tiongkok) dan instabilitas kawasan. TNI juga berperan mengatasi ancaman non-tradisional seperti terorisme maritim, pembajakan, dan penyelundupan.

Dari sisi komando, Indonesia membagi wilayah pertahanan ke dalam KOGABWILHAN (Komando Gabungan Wilayah Pertahanan) yang menyatukan tiga matra di wilayah barat, tengah, timur – ini mendukung doktrin joint operations. TNI juga memiliki pasukan strategis seperti Koopsus TNI (Komando Operasi Khusus Gabungan) untuk anti-teror dan operasi khusus, juga KOSTRAD dan Kopassus di AD, Denjaka di AL, serta Satbravo-90 di AU untuk operasi khusus. Semua ini menujukkan penekanan pada respons cepat dan mobilitas tinggi dalam doktrin militer Indonesia.

Struktur Intelijen dan Keamanan Domestik

Intelijen negara Indonesia dikoordinasikan oleh Badan Intelijen Negara (BIN), yang merupakan badan sipil langsung di bawah Presiden. BIN bertugas menghimpun dan menganalisis informasi strategis baik dalam maupun luar negeri. Selain BIN, setiap matra TNI memiliki satuan intelijen militer: Badan Intelijen Strategis (BAIS TNI) di level Markas Besar TNI dan Intelijen di masing-masing angkatan (seperti Dinas Intelijen AD). Pada tingkat Polri, intelijen keamanan ditangani oleh Badan Intelkam Polri dan untuk kontra-terorisme oleh Densus 88 (Detasemen Khusus 88 Anti-Teror Polri) yang dibentuk pasca Bom Bali 2002 dengan bantuan internasional.

Dari sisi keamanan domestik, Polri (Kepolisian Negara RI) bertanggung jawab memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum. Polri memiliki pasukan paramiliter seperti Brimob (Brigade Mobil) yang dipersenjatai semi-militer untuk penanggulangan huru-hara bersenjata atau operasi di daerah rawan. Setelah reformasi 1998, TNI telah dipisahkan dari fungsi keamanan dalam negeri sehari-hari, namun dapat dilibatkan melalui perbantuan jika keadaan darurat (misal operasi Tinombala melawan teroris di Poso).

Indonesia juga memiliki lembaga koordinasi kontra-terorisme yaitu BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang bekerja lintas instansi. Selain itu, intelijen di bidang tertentu dijalankan oleh institusi khusus seperti Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) Polri, intelijen siber oleh BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara), serta BAKIN di masa lalu (sebelum menjadi BIN sekarang).

Di tingkat daerah, Kodam (Komando Daerah Militer) TNI AD dahulu memiliki aparat intelijen territorial, namun kini fungsi tersebut dikurangi. Meski begitu, jaringan territorial TNI (Babinsa, Koramil) kerap berperan sebagai mata telinga negara di masyarakat. Sementara, Intelijen Kejaksaan (Jamintel) dan intelijen di instansi seperti bea cukai, imigrasi, juga turut mendukung keamanan komprehensif.

Keseluruhan struktur intelijen Indonesia cukup ekstensif, warisan dari masa Orde Baru yang mengutamakan stabilitas dalam negeri. Reformasi telah membawa perubahan dalam akuntabilitas dan koordinasi antar lembaga intelijen, namun tantangan tetap ada dalam hal berbagi informasi dan sinergi antar lembaga.

Ekonomi Pertahanan: Anggaran, Industri, dan Impor Alutsista

Dengan PDB terbesar di ASEAN, Indonesia memiliki anggaran pertahanan yang relatif besar secara absolut namun masih kecil secara persentase PDB (~0,8% PDB pada 2024)[56]. Anggaran pertahanan Indonesia tahun 2024 sekitar US$10,6 miliar[6], naik dibanding tahun-tahun sebelumnya namun sempat tertekan pandemi. Angka ini menempatkan Indonesia peringkat ke-27 dunia dalam belanja militer 2024[56]. Proporsi belanja terhadap total belanja pemerintah sekitar 0,9%[56], menunjukkan ruang untuk peningkatan jika melihat kebutuhan modernisasi TNI.

Indonesia memiliki industri pertahanan dalam negeri yang cukup berkembang dibanding negara ASEAN lain. Industri ini dikoordinasi oleh BUMNIS (Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis) di bawah Kementerian BUMN. Contoh utamanya: PT Pindad (produsen senjata ringan, amunisi, panser Anoa, ranpur Badak, medium tank Harimau), PT PAL (galangan kapal – pembuat kapal LPD, fregat PKR Sigma, kapal patroli cepat, hingga kapal selam bersama Daewoo Korea), dan PT Dirgantara Indonesia (PT DI) yang memproduksi pesawat angkut ringan CN-235, NC-212i serta merakit helikopter NAS-332 Super Puma. Ada pula industri swasta emergen dan BUMN lain seperti PT Dahana (bahan peledak), PT LEN (elektronika militer), dan PT PALINDO (galangan kapal swasta).

Meski demikian, ketergantungan impor alutsista Indonesia masih tinggi, terutama untuk platform utama berteknologi tinggi. Sebagian besar pesawat tempur dan radar diimpor dari AS dan Rusia; misalnya F-16 dari AS dan Sukhoi dari Rusia. Kapal selam dan sebagian kapal perang hasil kerja sama lisensi dengan Korea Selatan/Belanda. Tank Leopard 2 RI dibeli dari Jerman, artileri Caesar dari Prancis, rudal anti-kapal Exocet dari Prancis, SAM NASAMS dari Norwegia, dll. Diversifikasi sumber alutsista menjadi ciri khas Indonesia – membeli dari berbagai negara untuk menghindari ketergantungan tunggal. Namun hal ini juga menimbulkan tantangan interoperability dan logistik. Ke depan, Indonesia berupaya meningkatkan kandungan lokal (misal program KF-21/IF-X pesawat tempur kerja sama dengan Korea Selatan, pembuatan medium tank Harimau dengan Turki, dan rencana frigat domestik).

Selain impor resmi, Indonesia juga memanfaatkan hibah peralatan militer (contoh: kapal patroli bekas dari Brunei, pesawat TC-90 dari Jepang untuk Bakamla). Industri pertahanan nasional masih perlu transfer teknologi asing untuk naik kelas, dan hal ini terintegrasi dalam kebijakan seperti Offset dan ToT (Transfer of Technology) setiap pengadaan besar. Dengan pasar domestik besar, prospek industri pertahanan Indonesia cukup menjanjikan selama ada konsistensi pendanaan riset dan keberlanjutan program.

Afiliasi Geopolitik dan Hubungan dengan Kekuatan Eksternal

Politik luar negeri Indonesia menganut prinsip bebas-aktif, sehingga tidak bersekutu secara militer dengan blok manapun. Kendati demikian, Indonesia menjaga hubungan baik dengan berbagai kekuatan besar demi kepentingan nasional. Amerika Serikat merupakan mitra penting terutama pasca normalisasi militer tahun 2005 (embargo militer AS dicabut). Kerja sama mencakup latihan bersama rutin (seperti Exercise Garuda Shield yang belakangan diperluas menjadi Super Garuda Shield dengan partisipasi banyak negara), penjualan alutsista (F-16, AH-64 Apache, dll), dan pendidikan militer. Indonesia berstatus Major Defense Partner (meski bukan sekutu perjanjian) bagi AS, dan aktif dalam forum Indo-Pasifik yang didorong AS.

Hubungan dengan Tiongkok bersifat pragmatis: secara ekonomi sangat erat, namun di bidang pertahanan ada jarak karena kecurigaan strategis (terutama terkait klaim Tiongkok di Laut Natuna Utara). Indonesia bukan pengklaim Laut Cina Selatan utama, tetapi insiden di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna seperti pelanggaran kapal nelayan Tiongkok yang dikawal coast guard pernah menimbulkan ketegangan. Meski begitu, Indonesia tetap menjalin latihan militer kecil dengan Tiongkok (misal latihan maritim bersama), membeli sebagian peralatan (contoh: rudal QW-3, drone UAV tertentu), dan terlibat diplomasi pertahanan melalui forum ASEAN-Tiongkok.

Dengan Rusia, Indonesia memiliki sejarah panjang kerja sama pertahanan sejak era Sukarno. Pengadaan pesawat Sukhoi, helikopter Mil Mi-17, tank amfibi BMP-3F, dan senjata lain memperlihatkan hubungan ini. Namun, pasca invasi Rusia ke Ukraina 2022, Indonesia agak mengerem pembelian baru dari Rusia karena tekanan sanksi (contoh: pembatalan Sukhoi Su-35). Walau begitu, Rusia masih dianggap mitra teknologi militer, terlihat dari partisipasi dalam pameran senjata di Indo Defence.

Indonesia juga menjalin kemitraan strategis dengan negara lain: Australia (terutama kerjasama patroli maritim dan kontra-terorisme, meski pernah surut akibat isu Timor Leste 1999), India (latihan samudera, penjualan rudal BrahMos sedang dijajaki), Jepang (dalam kerangka Indo-Pasifik, hibah alutsista seperti radar, pelatihan coast guard), serta negara Timur Tengah (UEA, dll) untuk diversifikasi dukungan.

Di ASEAN sendiri, Indonesia sering berperan sebagai pemimpin informal. Tidak ada aliansi militer formal di ASEAN, tetapi Indonesia aktif mendorong kerja sama ADMM (ASEAN Defence Ministers’ Meeting) dan inisiatif seperti ASEAN Our Eyes di bidang intelijen. Indonesia juga anggota UN Peacekeeping cukup besar (kontributor pasukan perdamaian PBB terbesar di ASEAN).

Secara geopolitik, Indonesia berusaha menjaga keseimbangan: menerima bantuan militer AS tapi juga menolak konsep base asing (tidak ada pangkalan militer AS/Tiongkok di wilayahnya). Indonesia mendukung konsep ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) yang menekankan sentralitas ASEAN di tengah rivalitas AS-Tiongkok[57][58]. Dalam sengketa Laut Cina Selatan, Indonesia bukan pihak dalam claim, namun mendukung rule-based order dan UNCLOS.

Singkatnya, Indonesia memposisikan diri sebagai kekuatan regional mandiri yang engagement dengan semua pihak. Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan kemampuan militer sepadan dengan status ekonomi, tanpa terperangkap dalam politik blok kekuatan besar.

Malaysia

Kekuatan Militer Konvensional (Angkatan Tentera Malaysia)

Angkatan Tentera Malaysia (ATM) terdiri atas tiga cabang: Tentera Darat Malaysia (TDM), Tentera Laut Diraja Malaysia (TLDM), dan Tentera Udara Diraja Malaysia (TUDM). Malaysia memiliki sekitar 113.000 personel militer aktif[18], dengan tambahan komponen cadangan ~51 ribu dan paramiliter (misalnya Pasukan Sukarelawan seperti RELA) sekitar 100 ribu[18]. Postur ini relatif kecil dibanding negara tetangganya, mengingat populasi Malaysia (~33 juta) juga lebih kecil. Namun, Malaysia menekankan pada kualitas dan mobilitas tinggi.

Kekuatan darat TDM meliputi ~48 tank tempur utama[19] (terdiri dari 48 unit PT-91M Pendekar buatan Polandia yang merupakan MBT andalan Malaysia). Selain itu, TDM mengoperasikan kendaraan lapis baja modern seperti IFV ACV-15 Adnan (kerja sama Turki), ranpur AV8 Gempita 8×8 yang dibuat bersama FNSS Turki (diproduksi lokal oleh DefTech), dan tank ringan Scorpion serta Tarik (untuk formasi lapis baja ringan). Artileri medan Malaysia antara lain meriam tarik 105mm dan 155mm (termasuk howitzer G5 MkIII 155mm), serta sistem roket ASTROS II buatan Brasil (54 peluncur). Meski jumlah alutsista darat Malaysia tidak besar, tingkat modernisasinya cukup baik di kawasannya.

Kekuatan udara TUDM mengandalkan armada campuran buatan Barat dan Rusia. Malaysia memiliki 26 jet tempur (18 Su-30MKM Flanker buatan Rusia dan 8 F/A-18D Hornet buatan AS)[20] sebagai tulang punggung sayap tempur. Namun Hornet sudah mendekati akhir usia pakai, dan Malaysia merencanakan penambahannya melalui pengadaan Light Combat Aircraft (LCA) – telah memesan 18 jet FA-50 dari Korea Selatan (mulai 2026) untuk melengkapi/ menggantikan pesawat latih/tempur Hawk 208 yang uzur[59]. Selain itu, TUDM punya pesawat peringatan dini ringan (CN-235 dengan rotodome? rencana upgrade maritime patrol), pesawat angkut (C-130H Hercules, A400M Atlas – 4 unit, menjadikan Malaysia satu-satunya di ASEAN yang operasikan A400M), helikopter (EC725 Caracal), dan drone UAV (beberapa ScanEagle dari AS).

Kekuatan laut TLDM cukup diperhitungkan di ASEAN meski ukuran relatif moderat. TLDM memiliki 2 fregat kelas Lekiu (Inggris)[22] dan 2 korvet kelas Kasturi (Jerman) yang telah dimodernisasi – ditambah 4 kapal patroli kelas Kedah yang sering digolongkan korvet ringan (MEA) tanpa peluru kendali anti-kapal. Malaysia juga mengoperasikan 2 kapal selam Scorpène kelas Tunku Abdul Rahman yang dibeli baru dari Prancis/Spanyol (diserahkan 2009)[22]; ini memberikan kemampuan undersea warfare signifikan di Asia Tenggara. Armada kapal lain termasuk kapal pendarat, kapal patroli lautan (OPV), dan kapal serang cepat. Malaysia sedang membangun 6 kapal Littoral Combat Ship (LCS) kelas Maharaja Lela (berbasis desain Gowind Prancis) di galangan lokal – meski proyek ini menghadapi penundaan serius dan kontroversi anggaran[59]. Selain LCS, Malaysia berencana menambah Littoral Mission Ship (LMS) dari Tiongkok (4 unit telah beroperasi, tambahan direncanakan). Keterbatasan TLDM tampak pada minimnya kapal frigat modern saat ini (hanya 2 Lekiu), sehingga kapabilitas anti-udara jarak jauh masih terbatas.

Secara umum, ATM mengutamakan fleksibilitas multirole dalam skala yang dapat ditanggung ekonominya. Satu tantangan adalah Malaysia harus membagi fokus pertahanan antara Semenanjung Malaya dan Sabah-Sarawak di Kalimantan, yang dipisahkan Laut Cina Selatan. Untuk itu Malaysia memiliki dua markas komando utama: Markas Tentera di Semenanjung (Markas ATM di Kuala Lumpur) dan Markas Medan Timur di Sabah.

Sistem Pertahanan dan Doktrin Militer

Malaysia tidak menghadapi ancaman invasi tradisional yang besar, sehingga doktrin militernya bersifat pertahanan wilayah dan perlindungan kedaulatan secara terfokus. Salah satu pedoman kebijakan adalah “Concentric Circles” – yaitu Malaysia memandang pertahanan berlapis: lapis inti melindungi integritas nasional, lapis berikutnya melibatkan kerjasama pertahanan sub-kawasan (misal dengan ASEAN, negara tetangga), dan lapis terluar melibatkan kekuatan besar yang bersahabat (seperti FPDA dan mitra dialog).

Malaysia adalah anggota Five Power Defence Arrangements (FPDA) bersama Singapura, Inggris, Australia, dan Selandia Baru sejak 1971. FPDA ini merupakan pakta konsultatif di mana serangan atas Malaysia/Singapura akan didiskusikan responsnya oleh anggota lainnya. Dalam praktiknya FPDA menjadi kerangka latihan gabungan rutin (misal Latihan Bersama Lima) dan meningkatkan interoperability. Hal ini menunjukkan doktrin Malaysia mengandalkan aliansi longgar untuk penangkalan (deterrence).

Secara resmi, Malaysia menerbitkan Dasar Pertahanan Negara (National Defence Policy) dan Kertas Putih Pertahanan 2019 yang menegaskan pendekatan “Komprehensif, Bersama, dan Kredibel”. Malaysia menekankan pertahanan menyeluruh dengan keterlibatan militer-sipil (whole-of-government approach) dan kesiapan menangani ancaman tidak konvensional. Prioritas ancaman yang diidentifikasi antara lain: sengketa maritim di Laut Cina Selatan (terutama klaim atas fitur di Kepulauan Spratly dimana Malaysia menempati beberapa terumbu karang), pencurian sumber daya (ilegal fishing, dsb), terorisme (Malaysia pernah menghadapi ancaman ISIS di Asia Tenggara), serta ancaman kedaulatan Sabah (contoh insiden Lahad Datu 2013 ketika militan Filipina Sulu mendarat di Sabah)[60].

Atas insiden Lahad Datu, Malaysia membentuk ESSCOM (Eastern Sabah Security Command) untuk memperkuat pengamanan maritim dan pesisir Sabah dari infiltrasi militan. Ini menjadi contoh adaptasi doktrin terhadap ancaman spesifik: ATM bersama Polisi dan Penjaga Pantai (MMEA) beroperasi terkoordinasi di bawah ESSCOM.

Dari segi struktur, Malaysia menerapkan konsep “Jointness” dengan adanya Markas Angkatan Bersama (Joint Forces HQ) yang mengkoordinasi operasi gabungan tri-matra, misalnya operasi di perbatasan atau misi internasional. Untuk cepat tanggap, Malaysia memiliki pasukan khusus elit seperti GGK (Grup Gerak Khas) di TDM, PASKAL di TLDM, dan PASKAU di TUDM, yang terkenal profesional dan sering dilibatkan dalam latihan bersama mitra asing.

Malaysia tidak secara terbuka menyebut negara tertentu sebagai musuh. Namun dalam doktrin implisit, potensi konflik bisa timbul dari klaim Filipina atas Sabah (walau pemerintah Filipina tidak lagi agresif, ancaman justru dari aktor non-negara), perselisihan perbatasan maritim dengan Indonesia (seperti kasus Ambalat pada 2005-2009, namun umumnya diselesaikan diplomasi), dan terutama ketegangan dengan Tiongkok di Laut Cina Selatan. Malaysia cenderung menghindari konfrontasi langsung dengan Tiongkok, memilih diplomasi tenang (quiet diplomacy) sembari meningkatkan kehadiran militernya di wilayah perairan sengketa (contoh: penempatan lebih sering kapal AL/TLDM dan APMM di Laut Natuna/Beting Serupai). Doktrin Malaysia bisa disimpulkan: mempertahankan keutuhan wilayah dengan kemampuan militer kredibel tapi terbatas, disokong jaringan kerjasama pertahanan.

Struktur Intelijen dan Keamanan Domestik

Sistem intelijen Malaysia terbagi pada beberapa entitas utama. Untuk intelijen strategis luar negeri, Malaysia memiliki Bahagian Risikan pada kantor Perdana Menteri, yang sebelumnya dikenal sebagai MEIO (Malaysian External Intelligence Organisation) atau Research Division. Lembaga intelijen eksternal ini bekerja tertutup dan bertugas mirip CIA/Mossad dalam mengumpulkan informasi luar negeri serta nasihat keamanan untuk pimpinan negara.

Intelijen pertahanan ditangani Di (Defence Intelligence Staff Division) di Kementerian Pertahanan, dipimpin oleh Panglima Intelijen Pertahanan. Di tingkat angkatan, masing-masing punya unit risikan seperti cawangan khas di Markas Tentera Darat.

Untuk keamanan dalam negeri, peran sentral dipegang Cawangan Khas (Special Branch) pada Polis Diraja Malaysia (PDRM). Special Branch Malaysia punya reputasi efektif dan bertugas intelijen politik, kontra-subversi, kontra-terorisme di dalam negeri. Mereka yang memantau kelompok ekstremis, kegiatan mata-mata asing, dan potensi ancaman internal terhadap stabilitas (contoh: militan JI, ISIS, atau ancaman komunal). PDRM juga memiliki unit elit UTK (Unit Tindakhas) dan VAT 69 yang semi-intelijen untuk operasi kontra-terorisme dan hostage rescue.

Struktur koordinasi intelijen dijalankan melalui mekanisme di kantor PM, kemungkinan melapor ke Majlis Keselamatan Negara (MKN) ketika terkait isu keamanan nasional. Majlis Keselamatan Negara (National Security Council) memang lembaga penting (di bawah PM) yang mengoordinasikan kebijakan keamanan nasional lintas instansi – mencakup militer, polisi, maritim, dan intelijen.

Dalam hal kontra-terorisme, Malaysia membentuk Pasukan Petugas Khas Perisikan (STAFOC) di kepolisian dan memperkuat kerjasama ASEAN (misal berbagi intelijen melalui platform Our Eyes). Undang-undang seperti SOSMA (Security Offences Act) dan POTA (Prevention of Terrorism Act) memberikan kewenangan intelijen/polisi menahan tersangka terorisme.

Untuk keamanan siber dan intelijen siber, Malaysia mendirikan National Cyber Security Agency (NACSA). Sedangkan pada domain maritim, Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) alias Penjaga Pantai Malaysia juga mempunyai elemen intelijen maritim yang bekerja sama dengan TLDM dan PDRM bagi pengawasan perairan.

Secara keseluruhan, Malaysia memiliki aparatur intelijen domestik yang terlatih, terbukti mampu menanggulangi ancaman teror dan menjaga stabilitas internal yang multietnis. Namun tantangan muncul dari spionase asing (mengamankan teknologi canggih, dsb) serta kejahatan lintas batas di Sabah. Ke depan, integrasi intelijen di era digital dan koordinasi antar lembaga (militer-sipil) terus ditingkatkan oleh MKN.

Ekonomi Pertahanan: Anggaran, Industri Pertahanan, dan Impor

Anggaran pertahanan Malaysia relatif moderat. Pada 2024, alokasi untuk Kementerian Pertahanan sekitar RM19,7 miliar (±US$4,16 miliar)[61], naik ~10% dari 2023. Meski naik, ini hanya ~1% dari PDB Malaysia[62], termasuk yang terendah di Asia Tenggara dalam persentase. Keterbatasan anggaran pernah memaksa penundaan upgrade dan pengurangan kesiapan (contoh: beberapa jet Mig-29 pernah di-grounded sebelum akhirnya dipensiunkan 2017 karena tak terawat). Kenaikan terbaru difokuskan pada akuisisi pesawat tempur ringan (FA-50), drone MALE, kapal LMS, dan perawatan aset yang ada[59].

Malaysia memiliki beberapa perusahaan industri pertahanan lokal, meski skala dan kapabilitasnya terbatas dibanding negara besar. Boustead Heavy Industries Corporation (BHIC) melalui anak perusahaan Boustead Naval Shipyard merupakan galangan utama – mereka bertanggung jawab konstruksi proyek LCS Gowind (meski mengalami kendala), sebelumnya sukses memodernisasi korvet Kasturi dan membangun OPV Kedah class (kolaborasi dengan Jerman). DefTech (DRB-HICOM) memproduksi kendaraan darat: contohnya panser AV8 Gempita (berteknologi FNSS Pars 8×8 Turki) diproduksi di Pahang; juga truk militer, dll. SME Ordnance memproduksi senapan (varian M4 Carbine, amunisi) untuk ATM. Ada juga CTRMO yang memaintain pesawat tempur, serta Airod yang menangani perawatan pesawat angkut C-130 Hercules dan jet latih.

Namun, kemandirian industri belum tercapai di banyak bidang – Malaysia banyak mengimpor alutsista utama: jet tempur (dari Rusia/AS), kapal selam (Prancis), MBT (Polandia), radar (Thales Prancis), rudal (Exocet, Sea Skua dari Eropa). Diversifikasi pemasok juga dilakukan: misalnya sistem SAM Starstreak dan Jernas dari Inggris, MANPADS Anza dari Pakistan, hingga rencana beli drone Bayraktar TB2 dari Turki (menyusul keberhasilan TB2 di berbagai konflik). Belakangan, Malaysia bahkan membeli kapal patroli LMS dari Tiongkok, menandai pertama kalinya peralatan militer signifikan dibeli dari Beijing, meskipun untuk teknologi canggih Malaysia cenderung pilih Barat atau sekutu tradisional.

Malaysia berusaha meningkatkan offset dari pembelian impor untuk menguntungkan industri lokal. Contoh: proyek Scorpene melibatkan transfer teknologi kepada Boustead untuk perawatan kapal selam; pembelian FA-50 akan diiringi program pelatihan teknisi lokal; proyek LCS seharusnya mentransfer kemampuan pembuatan fregat ke Malaysia. Namun tingkat keberhasilan varyatif.

Dengan fluktuasi ekonomi akibat harga minyak (Malaysia produsen minyak dan gas) dan pandemi, belanja pertahanan Malaysia sempat dikritik “tidak fit for purpose”[61]. Pemerintah baru menegaskan komitmen memodernisasi ATM (White Paper 2019 menargetkan modernisasi bertahap hingga 2030). Salah satu langkah inovatif adalah melibatkan perusahaan swasta dan menarik investasi asing untuk industri pertahanan (misal kerjasama dengan Turki, Korea). Tetap saja, mengingat ukuran ekonomi, Malaysia akan tetap harus prioritas dalam belanja: memilih beberapa proyek vital ketimbang membangun semua kapabilitas sekaligus.

Afiliasi Geopolitik dan Hubungan Eksternal

Malaysia menjalankan politik luar negeri “bebas dan netral”, mirip Indonesia, namun dengan penekanan kuat pada keseimbangan hubungan kekuatan besar. Amerika Serikat adalah mitra pertahanan lama; Malaysia dan AS mengadakan latihan tahunan seperti Carat (Cooperation Afloat Readiness and Training) dan Kerismas (latihan khusus). AS juga rutin mengajak Malaysia dalam latihan multilateral. Walau bukan sekutu perjanjian, Malaysia diuntungkan oleh kehadiran militer AS di Pasifik sebagai penyeimbang China. Hubungan sempat diuji ketika Malaysia membeli alutsista dari China, tapi tetap terjaga.

Tiongkok di satu sisi adalah investor ekonomi besar dan pembeli minyak sawit Malaysia, di sisi lain klaimnya di Laut Cina Selatan meliputi area dekat Sarawak (Luconia Shoals/Beting Patinggi Ali) dan perairan EEZ Malaysia. Malaysia cenderung tidak konfrontatif: contohnya, insiden kapal survei China di ZEE Malaysia direspons dengan diplomasi senyap dibanding pernyataan publik keras[57][58]. Hubungan militer Malaysia-China juga ada, seperti latihan Peace and Friendship (2015) dan kunjungan kapal, serta pembelian peralatan non-senjata (Malaysia membeli sistem COastal Surveillance dari China). Malaysia pandai memainkan hedging: tidak mau bermusuhan dengan China namun memperkuat kerjasama pertahanan dengan Barat sebagai penyeimbang.

FPDA menjadi pilar unik bagi Malaysia. Dengan FPDA, Malaysia bersama Singapura mendapatkan jaminan (walau tak sekuat NATO Article 5) bahwa common consultation akan terjadi jika diserang. Inggris masih memelihara kehadiran militer kecil di Malaysia/Singapura (Integrated Area Defence System HQ di Butterworth, Malaysia). Latihan gabungan 5 negara FPDA (misal Exercise Bersama Lima) mempertinggi kemampuan ATM dan menunjukkan sinyal diplomatik bahwa Malaysia punya teman kuat. FPDA selama ini dilihat efektif menjaga stabilitas Malaysia-Singapura pasca konfrontasi era 1960-an[39].

Hubungan dengan Singapura cukup baik belakangan, meski dulunya tegang (isu perjanjian air, ruang udara, dll). Kedua negara sering latihan bilateral (Ex Malapura untuk AL, Semangat Bersatu untuk AD). Singapura kerap menjadi perbandingan memacu modernisasi ATM.

Dengan Indonesia, Malaysia berbagi perbatasan darat di Kalimantan dan laut di Selat Malaka. Meski pernah berkonfrontasi (Konfrontasi 1963-66), kini hubungan militer bersahabat – ada patroli perbatasan gabungan, pertukaran perwira, forum General Border Committee. Insiden Ambalat (2005) sempat memanas tapi ditangani hati-hati. Keduanya juga bekerja sama dalam Trilateral Maritime Patrol di Sulu-Sulawesi bersama Filipina, untuk mengamankan dari bajak laut dan militan Abu Sayyaf.

Malaysia juga menjalin hubungan baik dengan Rusia (membeli persenjataan, latihan kecil seperti Eksesais Air Thamal bersama), serta India (latihan udara Harimau Shakti, kerjasama pelatihan). Jepang dan Korea Selatan makin dilibatkan dalam pertukaran teknologi dan latihan kecil.

Secara internasional, Malaysia sering terlibat misi PBB (dari Bosnia hingga Lebanon, ATM berkontribusi pasukan). Malaysia juga menjadikan Industri Halal diplomatik – misalnya melatih militer negara Muslim (latihan bersama dengan Arab Saudi, Pakistan).

Posisi geopolitik Malaysia dalam persaingan AS-China bisa disebut tilting ke netral-pro-Barat, tetapi dengan retorika diplomatik bersahabat ke China. Hal ini agar Malaysia bisa memperoleh keuntungan ekonomi dari China namun tetap mengandalkan jaringan pertahanan Barat untuk keamanan jangka panjang. Malaysia juga vokal mendukung ASEAN centrality dan meredam ketegangan: contohnya menawarkan ASEAN jadi platform dialog Indo-Pasifik agar tak memihak. Satu pengecualian, Malaysia lumayan mendekat ke Turki belakangan untuk urusan pertahanan (Turki dianggap mitra Muslim yang canggih persenjataannya tapi tak memihak konflik besar).

Singkat kata, Malaysia memainkan peran “jembatan” antara Timur-Barat dan menghindari langkah agresif. Kebijakan seperti tidak mengizinkan pangkalan militer asing di wilayahnya (kecuali fasilitas FPDA yang integrated) dijaga. Semua ini konsisten dengan identitas Malaysia sebagai negara menengah yang mengutamakan stabilitas internal dan regional.

Singapura

Kekuatan Militer Konvensional (Singapore Armed Forces)

Singapura, meski negara kota dengan penduduk hanya ~5,6 juta, memiliki militer paling maju secara teknologi di Asia Tenggara. Singapore Armed Forces (SAF) terdiri dari Singapore Army, Republic of Singapore Navy (RSN), dan Republic of Singapore Air Force (RSAF). Jumlah personel aktif SAF sekitar 51.000[24], didukung komponen wajib militer (NSmen) yang besar – terdapat 252.500 personel cadangan terlatih[24]. Skema National Service mewajibkan pemuda Singapura 2 tahun dinas militer, menjadikan SAF mampu memobilisasi total >300 ribu personel jika perang.

Kekuatan darat Singapura diperkuat ~170 tank MBT[25], terutama Leopard 2SG (varian Leopard 2A4 yang ditingkatkan dengan armor modular). Singapura membeli 96 Leopard 2A4 dari Jerman tahun 2000-an, upgrade lokal, ditambah baru-baru ini 18 Leopard 2A7. Selain MBT, Army Singapura punya ratusan ranpur modern: Infantry Fighting Vehicle Bionix (buatan lokal ST Engineering), Hunter AFV terbaru, dan Terrex ICV 8×8 (kendaraan angkut infanteri amfibi). Artileri terdiri dari meriam 155mm FH-2000 dan Nora, plus MLRS HIMARS (Singapura mengoperasikan 18 peluncur HIMARS, yang merupakan kapabilitas wahid di ASEAN). Untuk pertahanan udara, Singapura memiliki sistem I-HAWK, Spyder, ASTER-30 SAM yang canggih, memberikan umbrella pertahanan udara multi-layer. Singapura juga memiliki helikopter serang AH-64D Apache (20 unit) – satu-satunya di ASEAN yang memiliki Apache selain Indonesia. Postur darat Singapura kecil tapi sangat mekanis dan terotomasi, didukung jaringan C4ISR digital.

Kekuatan udara RSAF adalah yang terkuat di Asia Tenggara. RSAF mengoperasikan sekitar 100 jet tempur modern[26]: terdiri dari F-16C/D Fighting Falcon (~60 unit diupgrade avionik AESA) dan F-15SG Strike Eagle (40 unit, varian F-15E tercanggih di luar AS). Singapura juga telah memesan F-35B Lightning II (8 pesawat awal, rencana total 12) untuk pengiriman sekitar 2026-2027, menjadikannya pengguna stealth fighter pertama di ASEAN. Selain itu, RSAF punya armada UAV canggih (Heron 1, Hermes 450), pesawat peringatan dini G550-AEW (4 unit), pesawat tanker A330 MRTT (6 unit), dan helikopter transport CH-47F Chinook serta naval helicopters S-70B. Dengan kekuatan ini, RSAF mampu proyeksi kekuatan udara jarak jauh. Tingkat kesiapan RSAF juga sangat tinggi (latihan intensif di luar negeri, misal di AS, Australia).

Kekuatan laut RSN adalah angkatan laut kecil namun modern dan berkinerja tinggi. RSN memiliki 6 fregat kelas Formidable (desain Prancis La Fayette, dipersenjatai rudal Aster-15/30 SAM dan Harpoon SSM)[27] – menjadikannya AL dengan kemampuan anti-udara terbaik di ASEAN. RSN juga mengoperasikan 6 kapal selam (4 subs baru kelas Invincible / Type-218SG Jerman – 2 sudah dikirim per 2025 – dan 2 bekas Västergötland Swedia yang dimodernisasi)[27]. Untuk patroli, ada 6 korvet Victory-class lama yang rencananya digantikan, dan kini dilengkapi 8 Littoral Mission Vessels (LMV) kelas Independence buatan dalam negeri (kapal patroli bersenjata rudal modern). RSN juga punya kapal pendarat dok (Endurance-class, 4 unit) yang dapat mengangkut pasukan dan helikopter, digunakan mendukung operasi HADR dan pelatihan luar negeri. Meski kecil, RSN sangat terintegrasi jaringan radar-sensor maritim, dan rutin berlatih dengan AL negara maju (AS, Jepang, dll). RSN bahkan akan menambah kapal fregat generasi baru dan memperbanyak unmanned vessels untuk pertahanan cerdas.

See also  What are the chances of Anies Baswedan in the 2024 presidential election in Indonesia?

Dengan demografi terbatas, Singapura menekankan teknologi dan kualitas. SAF sangat terotomasi dan mengadopsi konsep “Integrated Knowledge-based Command and Control”, memanfaatkan kecerdasan buatan dan simulasi. Latihan forging sabre menunjukkan integrasi sensor dan penembak SAF dalam waktu nyata.

Sistem Pertahanan dan Doktrin Militer

Doktrin militer Singapura berakar pada konsep “pertahanan maju” dan “deterrence mutlak”. Negara pulau ini rentan secara geografi, sehingga sejak awal mengembangkan filosofi “Kota benteng” – memperkuat diri sedemikian rupa sehingga musuh gentar menyerang. Mantan PM Lee Kuan Yew menyebut Singapura harus jadi “udang beracun” (poison shrimp) – kecil tapi mematikan ditelan. Kini doktrin berkembang menjadi “Swift and Decisive Victory” – jika deterensi gagal dan diserang, SAF akan berusaha mengakhiri perang cepat sebelum tanah air porak-poranda, bahkan dengan melakukan serangan pendahuluan jika diperlukan untuk melumpuhkan musuh (pre-emptive strike).

Untuk mendukung doktrin itu, Singapura membangun kapabilitas proyeksi regional. Contoh: Angkatan Udara melatih skenario menghantam air bases lawan dalam radius jauh menggunakan F-15SG bersenjata presisi dan didukung tanker. Rudal balistik atau jelajah ofensif tidak dimiliki (karena bisa picu perlombaan senjata), tetapi integrasi udara-darat mampu berfungsi serupa. Singapura juga memelihara total defence concept: lima pilar pertahanan total (militer, sipil, ekonomi, sosial, psikologis). Semua warga dilibatkan melalui National Service dan program pertahanan sipil.

Singapura tidak mendeklarasikan musuh, tetapi kekhawatiran keamanan tradisional adalah potensi ketidakstabilan di negeri jiran yang berdampak padanya. Hubungan dengan Malaysia dan Indonesia di masa awal kemerdekaan sempat tegang, sehingga SAF dirancang bisa menghadapi koalisi dua negara tersebut jika terpaksa. Meskipun kini hubungan sangat erat, perhitungan worst-case scenario tetap menjadi dasar perencanaan pertahanan (contoh: RSAF melatih air combat melawan taktik MiG, karena beberapa tetangga pakai pesawat buatan Rusia).

Struktur komando Singapura sangat sentralistis di Kementerian Pertahanan (MINDEF) dan diintegrasikan. Ada Integrated Knowledge Command yang memastikan satuan gabungan tri-matra dapat beroperasi lancar. Latihan tri-matra dilakukan rutin (Exercise Forging Sabre misalnya menggabungkan air force-army dalam serangan terpadu). Singapura juga mempersiapkan populasi lewat civil defence (SCDF – Singapore Civil Defence Force) yang tangguh untuk mitigasi serangan.

Singapura memiliki unit elit berkemampuan tinggi: Special Operations Force (SOF) di bawah Commando, setara Pasukan khusus tier-1 yang menangani anti-teror. Juga Naval Diving Unit (NDU), dan tim UAV/cyber troopers. Lantaran lahan terbatas, SAF berlatih di luar negeri intensif, punya perjanjian penggunaan lahan latihan di AS, Australia (Singapura investasi di Queensland utk training ground besar), dan Taiwan (Exercise Starlight, meski hubungan dengan Tiongkok membuat program ini low-profile).

Secara doktrinal, Singapura kuat di network-centric warfare, menggabungkan sensor-data untuk efek maksimal. Jargon “One SAF” menekankan integrasi semua matra sebagai satu kekuatan. Singapura tak segan memanfaatkan persenjataan dan ilmu terbaru: drone, sistem robotik (mereka mulai deploy kendaraan tak berawak), hingga pertahanan siber dimasukkan ke struktur SAF (dibentuk Digital and Intelligence Service tahun 2022 sebagai cabang ke-4 di SAF).

Singapura juga menyiapkan defence diplomasi sebagai lapis pertama: mereka berusaha menjalin relasi militer baik dengan semua negara tetangga agar konflik tak terjadi. Inisiatif seperti ADMM-Plus (ASEAN Defence Ministers’ Meeting-Plus) dan latihan ASEAN-China, ASEAN-AS turut didorong Singapura. Namun, andai diplomasi gagal, doktrin Singapura siap bertempur di segala domain (darat, laut, udara, siber) dengan kualitas unggul.

Struktur Intelijen dan Keamanan Internal

Singapura dikenal memiliki aparatus keamanan domestik dan intelijen yang efektif. Internal Security Department (ISD) di bawah Kementerian Dalam Negeri merupakan intelijen dalam negeri utama. ISD menangani kontra-intelijen, kontra-terorisme, dan pengawasan kelompok ekstremis atau oposisi subversif. ISD inilah yang menjalankan Internal Security Act (ISA) – undang-undang yang mengizinkan penahanan tanpa pengadilan bagi tersangka ancaman keamanan (dahulu digunakan terhadap komunis, sekarang terhadap teroris). ISD berakar dari Special Branch era kolonial dan reputasinya sangat profesional (walau dikritik terkait kebebasan sipil karena kekuasaannya luas).

Untuk intelijen luar negeri, Singapura mengandalkan Security and Intelligence Division (SID) di bawah Kementerian Pertahanan. SID adalah agensi intelijen eksternal setara CIA/Mossad yang operasinya sangat dirahasiakan. Tugas SID mengumpulkan informasi strategis luar negeri yang mempengaruhi keamanan Singapura, termasuk ancaman teror lintas negara, perkembangan militer negara lain, dsb. Meski kecil, SID punya akses teknologi dan jaringan dengan mitra seperti CIA, MI6, dll karena kepercayaan terhadap Singapura cukup tinggi.

Di lingkungan militer, C4I Community SAF mencakup Military Intelligence Organisation yang dipimpin Chief C4I (kini diintegrasikan ke Digital & Intelligence Service). Mereka menyediakan intelijen taktis dan strategis bagi operasi militer, juga memantau ancaman siber.

Singapura juga memiliki Homeland Security architecture: di dalamnya Polisi Singapura (SPF) punya unit intel khusus, dan ada Gurkha Contingent (unit paramiliter elit dari rekrutan Nepal) yang menjadi pasukan anti-huru-hara dan penjaga instalasi penting termasuk kediaman PM. Keberadaan Gurkha Contingent menunjukkan cara Singapura menjamin loyalitas dalam keamanan internal dengan memakai pasukan asing yang netral dalam politik domestik.

Keamanan siber Singapura ditangani Cyber Security Agency (CSA) plus unit siber militer. Dalam hal kontra-teror, selain ISD, Singapore Police Force (SPF) memiliki unit STAR (Special Tactics and Rescue) untuk kasus penyanderaan/teror bersenjata, bekerja bersama pasukan khusus SAF jika diperlukan.

Peran community policing juga kuat – jaringan kamera CCTV kota Singapura adalah yang terpadat di dunia, mendukung intelijen visual. Singapura memanfaatkan analitik AI untuk antisipasi kriminalitas dan potensi ancaman (bagian dari program Safe City).

Dengan masyarakat multietnis (Cina, Melayu, India), Singapura sensitif terhadap isu SARA, karenanya intelijen internal juga mengawasi potensi radikalisasi atau ketegangan komunal. Hasilnya, Singapura jarang terkena insiden teror (ada plot JI tahun 2001 berhasil digagalkan ISD).

Dalam kerjasama, Singapura aktif berbagi intelijen kontra-teror di ASEAN dan global. Contohnya, setelah ISIS muncul, ISD intensif bertukar info dengan Indonesia, Malaysia (karena beberapa tersangka teror lintas batas). Singapura juga memimpin pendirian Counter-Terrorism Information Facility (CTIF) pada 2021, sebuah pusat berbagi intelijen teror di Changi yang melibatkan beberapa negara (Australia, AS, ASEAN).

Singkatnya, kendali keamanan internal Singapura sangat ketat, intelijen negara beroperasi luwes antara ranah sipil dan militer. Hal ini sejalan dengan motto mereka “eternal vigilance is the price of security“.

Ekonomi Pertahanan: Anggaran, Industri Pertahanan, dan Impor

Belanja pertahanan Singapura adalah yang terbesar di ASEAN dalam hal persentase PDB (~3,0% PDB pada 2024) dan terbesar kedua dalam nominal (setelah Indonesia) meski populasinya kecil[28]. Tahun 2024 Singapura menganggarkan US$15,1 miliar untuk pertahanan[28], menjadikannya top 25 dunia (nomor 25 pada 2024)[28]. Dengan ekonomi maju, Singapura konsisten mengalokasikan 20-25% belanja pemerintah untuk pertahanan. Hal ini memungkinkan pembangunan kekuatan canggih tanpa beban berarti keuangan negara. Bahkan di masa COVID-19, belanja militer Singapura naik 3%[28]. Singapura memandang belanja pertahanan sebagai investasi jangka panjang untuk eksistensi negara.

Singapura memiliki industri pertahanan domestik paling kuat di Asia Tenggara. Konglomerat ST Engineering merupakan tulang punggung – dengan divisi ST Electronics, ST Kinetics, ST Marine, DSO labs, dll. Industri lokal telah menghasilkan berbagai produk: senapan serbu SAR-21, pistol CPW, kendaraan lapis baja Bionix, Terrex, artileri SSPH Primus, kapal perang (sekoci patroli Fearless class, korvet Victory, hingga desain kapal LPD Endurance dan korvet LMV Independence). ST Engineering bahkan mengekspor beberapa produknya (Terrex ke USMC untuk kompetisi ACV, radar dan senjata ke kawasan). Airbus Helicopters Training dan Lockheed Martin punya joint venture di Singapura, menandakan industri luar melihat Singapura sebagai hub.

Meski mampu produksi banyak, Singapura tetap mengimpor alutsista tertentu tingkat tinggi: jet tempur (F-15, F-35 dari AS), kapal selam (Jerman/Swedia), rudal SAM (ASTER dari Eropa, Spyder dari Israel), dsb. Namun, impor tersebut biasanya disertai upgrade dan integrasi lokal. Contoh: F-16 Singapura dipasangi avionik Israel (helmet display DASH) dan senjata campuran (Python, Derby). Singapura juga klien besar industri pertahanan Israel – kolaborasi mencakup UAV, sistem anti-tank (MATADOR). Alutsista dari berbagai sumber diintegrasikan lewat sistem buatan lokal DSTA (Defence Science & Tech Agency), contohnya jaringan Integrated Air Defence gabungkan radar Eropa dengan senjata Israel dan US.

Kemandirian teknologi Singapura relatif tinggi: negara ini bisa memodifikasi sendiri pesawat (pernah memanjangkan bodi Fokker-50 maritim, membuat UAV target), meluncurkan satelit militer sendiri, bahkan riset siber offensive. Ketersediaan dana R&D menjadikan militer Singapura laboratorium teknologi di ASEAN.

Keuntungan lain, Singapura tak terikat embargo apapun dan punya hubungan baik dengan pemasok Barat, Rusia maupun China. Namun Singapura cenderung beli dari Barat/Israel karena kualitas dan kesesuaian. Hubungan dengan China misal di pertahanan sangat minim (Singapura tidak beli senjata China, latihannya pun terbatas).

Singapura menerapkan kebijakan tiga garis pasokan: untuk setiap kebutuhan penting, harus ada 3 sumber berbeda (untuk menghindari ketergantungan). Misal, sumber jet tempur: AS (F-15/16), Eropa (sekarang F-35 juga AS, tapi dulu pernah spekulasi Eropa), dan Israel (secara teknologi integrator). Sumber MBT: mereka hanya beli Leopard Jerman, namun entah, di area ini mungkin 2 sumber cukup.

Dengan belanja tinggi, Singapura tak punya kesulitan memodernisasi: F-35B, penggantian kapal selam baru, sistem sensor canggih semua berjalan. Hal yang agak lamban mungkin jumlah personel (tak bisa diperbanyak jauh karena populasi). Mereka mencoba robotik untuk kompensasi.

Intinya, Singapura menjadikan sumber daya finansialnya sebagai kekuatan militer nyata. Modelnya mirip Israel atau Swiss: negara kecil, wajib militer, teknologi tinggi, industri lokal kuat didukung belanja R&D, siap tangkal ancaman apapun. Ini membuat military readiness Singapura peringkat sangat tinggi – Global Firepower menempatkannya rangking 29 dunia 2025[63], tertinggi di ASEAN jika ukur kemampuan per kapita.

Afiliasi Geopolitik dan Hubungan dengan Kekuatan Eksternal

Singapura secara tradisional bersikap pro-Barat dalam hal keamanan, walau retorika diplomatiknya independen. Negara ini adalah sekutu dekat Amerika Serikat di kawasan meski tanpa perjanjian pertahanan formal. Sejak 1990, Singapura menandatangani MoU yang mengizinkan militer AS menggunakan fasilitas di Singapura – hasilnya Changi Naval Base sering disinggahi kapal induk AS, Paya Lebar Airbase disinggahi pesawat tempur/bombardir AS, dan saat ini Singapura menampung rotasi Littoral Combat Ship (LCS) AL AS di pelabuhannya[57][64]. Hubungan pertahanan ini diperkuat perjanjian Strategic Framework Agreement 2005 dan US-Singapore Enhanced Defense Cooperation 2015. Singapura memperoleh akses membeli peralatan canggih AS (F-35 contohnya), serta latihan bersama yang intens (Exercise Commando Sling, Pacific Griffin, dll). Singapura juga mendukung kehadiran AS di Laut Cina Selatan untuk kebebasan navigasi, meski dengan diplomasi halus.

Dengan Inggris dan Eropa, Singapura melanjutkan warisan FPDA. FPDA bagi Singapura penting sama halnya seperti Malaysia. Singapura menjadi tuan rumah Integrated Air Defence System (IADS) FPDA di Butterworth bersama Malaysia. Latihan FPDA membantu Singapura punya multi-national experience. Inggris meski tak punya pangkalan lagi di Singapura sejak 1971, sering kirim pesawat/kapal ke sana (tempat transit Carrier Strike Group Inggris 2021, misalnya).

Singapura juga sangat dekat dengan Australia. Kedua negara menandatangani Comprehensive Strategic Partnership, di mana Australia menyediakan lahan latihan luas di Queensland untuk SAF hingga 25 tahun ke depan, sebagai imbalannya Singapura investasi di infrastuktur latihan (US$1,7 miliar). Latihan Wallaby setiap tahun di Australia memungkinkan brigade Singapura latihan tembakan terkoordinasi, hal yang tak mungkin di negeri sendiri. Kerjasama ini kunci melatih NSmen Singapura.

Hubungan dengan Israel unik: Israel adalah mentor militer Singapura saat awal pembentukan SAF (1965). Hingga kini, banyak teknologi Israel diadopsi (drone, radar, senjata). Meski begitu, Singapura merendah soal ini untuk jaga hubungan dengan tetangga mayoritas Muslim.

Terkait tetangga, Malaysia dan Indonesia: Singapura menjalin kemitraan pertahanan lumayan baik. Ada latihan bilateral SAF-TNI bernama Latihan Safkar Indopura (darat), Elang Indopura (udara), Eagle Indopura (laut). Dengan Malaysia ada Exercise Malapura (laut), Semangat Bersatu (darat). Walau hubungan politik adakalanya naik turun (isu seperti sandera sipil atau pernyataan diplomatik), jalur militer-ke-militer tetap terbina. Singapura selalu berusaha memastikan tidak terjadi perlombaan senjata emosional dengan tetangga; alih-alih menonjolkan transparansi dan kerjasama agar peningkatan kemampuan SAF tidak dianggap ancaman.

Tiongkok bagi Singapura adalah mitra ekonomi terbesar, namun di bidang militer Singapura berhati-hati. Singapura tidak mendukung klaim Beijing di Laut Cina Selatan (karena mendukung hukum laut internasional), meski demikian Singapura juga bukan pengklaim sehingga netral. Hubungan militer Singapura-China mulai meningkat sejak 2014 dengan latihan Exercise Cooperation (maritim), tukar menukar kunjungan kapal. Tapi Singapura juga terbuka kritik terhadap hal-hal seperti militerisasi LCS. Beijing sempat menekan Singapura soal hubungannya dengan Taiwan (tahun 2016 kendaraan lapis baja SAF sempat ditahan di Hong Kong sepulang latihan di Taiwan). Namun Singapura tak memutus latihan di Taiwan (kodename Starlight, walau kecil). Singapura bersikap bahwa hubungannya dengan China tidak eksklusif; ia mempertahankan kedaulatan kebijakan.

Secara kelembagaan, Singapura gencar di ASEAN Defence Ministers’ Meeting (ADMM) dan ADMM-Plus, mengajak AS dan China duduk bersama. Waktu jadi ketua ASEAN 2018, Singapura memprakarsai ASEAN SMART Network (kerjasama keamanan siber) dan forum maritime exercise ASEAN-China. Ini mencerminkan posisi Singapura yang ingin menengahi persaingan besar.

Singapura juga anggota aktif forum FPDA yang walaupun usang, masih relevan baginya. Sempat didiskusikan agar FPDA fokus ke ancaman baru (maritim security, HADR, dll) agar tidak dianggap aliansi Perang Dingin anti-China. Ini juga diplomasi Singapura menenangkan Beijing bahwa FPDA bukan NATO Asia.

Kesimpulannya, Singapura leaning West tapi tetap menjaga hubungan fungsional dengan China. Hal itu melindungi posisinya: aliansi de facto dengan AS memberi payung keamanan, sedang hubungan baik dengan China mencegah isolasi ekonomi. Singapura kemungkinan akan terus memainkan peran hub di Indo-Pasifik, menghubungkan militer Barat dengan Asia (banyak konferensi keamanan di Singapura: Shangri-La Dialogue, dll). Sebagai negara kecil, keahlian Singapura justru memanfaatkan jaringan global demi keamanannya sendiri.

Thailand

Kekuatan Militer Konvensional (กองทัพไทย)

Thailand memiliki militer terbesar ketiga di ASEAN dalam hal personel. Angkatan Bersenjata Kerajaan Thailand (กองทัพไทย) terdiri dari Royal Thai Army (RTA), Royal Thai Navy (RTN), dan Royal Thai Air Force (RTAF), ditambah Royal Thai Armed Forces Headquarters sebagai komando gabungan. Personel aktif keseluruhan ±360.850 orang[13], dengan cadangan resmi sekitar 200.000 (sebagian besar dari program wajib militer 2 tahun dan cadangan terlatih universitas – ROTC)[13]. Thailand masih menerapkan conscription terbatas via lotere untuk laki-laki usia 21.

Kekuatan darat RTA adalah terbesar di Asia Tenggara dari segi jumlah alutsista. Thailand mengoperasikan ~635 tank[14] berbagai jenis: termasuk 200+ M60A3 dan M48 era lama, ~49 Oplot-M (MBT dari Ukraina), dan terbaru ~52 VT-4 (MBT modern dari Tiongkok) yang dikirim 2017-2019. Juga ada 30+ T-84 OpLot dan belasan Type-69 eks China. Di segmen tank ringan, Thailand punya ~100 Scorpion dan Stingray light tank. Selain tank, RTA memiliki >2.000 kendaraan angkut lapis baja, termasuk BTR-3E1 buatan Ukraina (hasil kebijakan diversifikasi pasca embargo AS 1990an) dan VN1 8×8 buatan China (Pembelian 2020-an). Artileri Thailand pun banyak: 500+ meriam tarik (105mm sampai 155mm), 50 unit self-propelled (M109A5 dari AS, Caesar dari Prancis)[14], dan sejumlah MLRS (BM-21 Grad dan versi lokal DTI-1/2). Untuk pertahanan udara, ada RBS-70 dan IGLA. Secara kuantitas, kekuatan darat Thai dominan, namun banyak platform tua sehingga modernisasi fokus ke mengganti arsenal usang dengan yang baru (misal MBT VT-4 menggantikan M41 Walker Bulldog era 50-an yang baru pensiun).

Kekuatan udara RTAF relatif tangguh dengan ~72 jet tempur aktif[15]. Inventaris intinya: F-16 Fighting Falcon ±50 unit (model A/B/block 15 OCU, sebagian diupgrade ADF), namun usianya tua; JAS-39 Gripen C/D sebanyak 12 unit (skadron di Wing7 Surat Thani, modern dan multi-peran); dan sekitar 7 F-5E Tiger II yang dimodifikasi jadi F-5TH Super Tigris dengan avionik baru (walau pesawat dasar lawas). Thailand juga membeli 4 jet serang ringan KAI T-50TH Golden Eagle untuk latih/serang ringan menggantikan L-39. Ada juga ~15 Alpha Jet bekas Jerman (latih serang). Helikopter RTAF termasuk UH-60, Bell 212, dan helikopter serang AH-1F Cobra (sekitar 7 unit, tua). RTAF mengoperasikan pesawat peringatan dini Saab 340 Erieye (2 unit) seiring dengan Gripen, menjadikannya salah satu dari sedikit negara ASEAN dengan AEW. Pesawat angkut meliputi C-130 (12), CN-235, ATR-72, dan bahkan jet VIP A340/A320 (dual use bila darurat). Thailand belakangan ini merencanakan pengadaan fighter baru gen 4.5 untuk menggantikan F-16 lawas – kandidat seperti Gripen tambahan atau F-16V sedang dikaji, dan bahkan menyatakan minat F-35 Lightning II (meski kemampuan beli diragukan).

Kekuatan laut RTN unik karena Thailand pernah memiliki kapal induk ringan (HTMS Chakri Naruebet), meski kini jarang digunakan (kekurangan pesawat AV-8 Harrier). Fregat utama RTN berjumlah 7[16]: termasuk 2 modern kelas Naresuan (diupgrade senjata Thales), 2 kelas Chao Phraya (versi Jianghu V buatan China), 2 frigat bekas Knox AS (HTMS Phutthaloetla Naphalai, dll), dan 1 frigat baru HTMS Bhumibol Adulyadej (kelas DW3000F buatan Daewoo Korea, komision 2019)[16]. Selain itu ada 6 korvet (termasuk 3 korvet kelas Tapi dan 1 korvet stealth Khamronsin). Kapal selam: Thailand belum punya operasional hingga 2025; telah memesan 1 S26T Yuan-class dari China, namun pengiriman tertunda karena isu mesin (MTU Jerman tak boleh ekspor)[16]. RTN juga miliki banyak kapal patroli cepat bersenjata rudal (kelas Hua Hin, dll). Kekuatan amfibi: 1 kapal dock kelas Endurance (hibah Singapore, HTMS Angthong) plus beberapa LST lama.

Walau militer terbesar ketiga, kesiapan tempur Thai kerap dipertanyakan. Budget pertahanan sekitar $5,5 miliar[65] dialokasikan juga untuk belanja non-pertempuran (misal bisnis militer, gaji besar para jenderal). Namun modernisasi tetap berjalan: pembelian VT-4, K9 SPH dari Korea, AH-6i helikopter serang ringan adalah contoh peningkatan terkini.

Sistem Pertahanan dan Doktrin Militer

Thailand adalah salah satu sekutu perjanjian AS tertua di Asia (dijuluki “Major Non-NATO Ally” sejak 2003). Doktrin militernya historis dipengaruhi kerjasama dengan AS terutama era Perang Vietnam. Secara umum, doktrin resmi Thailand menekankan pertahanan teritorial dan perlindungan monarki. Thailand tidak menghadapi ancaman eksternal besar saat ini, sehingga militer sering kali berperan dalam politik dalam negeri (kudeta) dan penanganan pemberontakan domestik.

Pada era Perang Dingin, ancaman utama adalah komunisme (Vietnam Utara, Khmer Merah, pemberontak komunis domestik). Pasca 1990-an, ancaman bergeser ke konflik perbatasan kecil (pernah terjadi bentrokan dengan Laos 1987 dan Kamboja 2008-2011 di perbatasan kuil Preah Vihear[66][67]), serta pemberontakan separatis di Thailand Selatan (Provinsi Pattani, Narathiwat, Yala). Doktrin Thailand karenanya memadukan operasi konvensional dan COIN (counter-insurgency).

Thailand membagi komando wilayah menjadi 4 Army Regions, di mana Fourth Army Region bertanggung jawab selatan (melawan insurgensi Melayu Muslim). Di sana, militer menjalankan pendekatan keamanan terpadu lewat Internal Security Operations Command (ISOC) yang melibatkan militer dan sipil menumpas pemberontak. Ini warisan era perang komunis, kini dipakai di selatan.

Secara pertahanan konvensional, Thailand mengandalkan keunggulan jumlah. Royal Thai Army adalah cabang dominan, secara tradisional diprioritaskan anggaran dan memegang peran penting dalam pemerintahan (militer Thailand sering kudeta, terakhir 2014, sehingga fokus internal tinggi). Namun, belakangan ada upaya modernisasi lebih seimbang: misal RTN didorong akuisisi kapal selam dan fregat baru, RTAF pun memutakhirkan skuadron.

Thailand, sebagai negara daratan yang berbatasan dengan banyak negara (Myanmar, Laos, Kamboja, Malaysia), memiliki doktrin pertahanan berlapis. Sempadan alam (pegunungan, hutan) dijadikan sabuk defensif. Diplomasi digunakan untuk mencegah konflik (misal menjaga hubungan baik dengan Myanmar meski ada isu pengungsi). Saat terjadi bentrokan dengan Kamboja (2008-2011), Thailand menunjukkan keengganan eskalasi luas – lebih memilih gencatan senjata melalui ASEAN/UN[66][68].

Dalam hal strategi militer luar negeri, Thailand relatif aktif: ikut perdamaian PBB, misal kirim pasukan ke Sudan, dan rutin ikut latihan multilateral (Cobra Gold bersama AS – salah satu latihan terbesar di dunia, diselenggara di Thailand setiap tahun[57]). Latihan Cobra Gold ini pilar penting doktrin Thailand untuk interoperabilitas dengan pasukan AS dan regional.

Thailand memiliki dokumen Defence White Paper (terbit rutin beberapa tahun, terbaru 2017) yang menegaskan 3 misi utama: pertahanan negara, keamanan internal, dan peran dalam kerja sama keamanan internasional. Ancaman yang disorot antara lain: ketidakpastian regional (LCS, Korea Utara), transnational crimes, bencana alam. Oleh karenanya, militer Thai mendesain struktur fleksibel, misal mereka punya Disaster Relief Operations Units siap gerak untuk banjir atau gempa.

Kaitannya dengan peran monarki: Secara tradisional, tentara Thai bersumpah untuk melindungi Raja. Doktrin internal militer juga memasukkan konsep “menjaga ketertiban dan harmoni nasional” – inilah justifikasi kudeta bila pemerintah sipil dianggap mengancam institusi monarki atau stabilitas. Sehingga militer Thai agak dual function (Dwifungsi) secara de facto.

Secara keseluruhan, strategi militer Thailand bisa disimpulkan: defensif regional, mengandalkan aliansi (AS) jika ada ancaman besar, namun utamanya sibuk dengan penugasan internal (COIN di selatan, keamanan domestik).

Struktur Intelijen dan Keamanan Internal

Struktur intelijen Thailand terbagi ke beberapa lembaga. Untuk koordinasi pusat, ada National Intelligence Agency (NIA) yang bernaung di Kantor Perdana Menteri. NIA bertugas intelijen strategis gabungan (semacam CIA versi Thailand). Selain itu, militer punya Direktorat Intelijen di tiap angkatan dan Direktorat Intelijen Bersama di Staf Gabungan. Polisi Thailand (Royal Thai Police) memiliki unit Special Branch yang menangani intelijen dalam negeri (terorisme, politik). Juga ada Narcotics Intelligence terpisah untuk perang melawan narkoba yang marak dari Segitiga Emas.

Unsur intelijen yang menonjol adalah Internal Security Operations Command (ISOC). ISOC dulunya dibentuk untuk memerangi komunis internal, kini diaktifkan lagi terutama di selatan. ISOC berada di bawah perdana menteri namun dipimpin perwira militer, mengoordinasi militer, polisi, dan pegawai sipil dalam mengumpulkan informasi dan operasi psikologis di wilayah insurgensi. ISOC cabang wilayah melapor ke markas di Bangkok, memegang peran intelijen domestik yang cukup kuat (sering dikritik oposisinya memata-matai aktivis politik).

Dalam kontra-terorisme, Thailand membentuk satuan khusus seperti Navy SEAL Team dan Police Arintaraj 26 (unit SWAT polisi) yang bekerjasama intelijen dengan Special Branch untuk menanggulangi ancaman. Ancaman teror global di Thailand relatif kecil, tapi kerawanan selatan membuat intel banyak difokuskan di sana (monitor sel BRN, PULO, dll).

Hubungan sipil-militer di Thailand rumit; militer kerap memata-matai gerakan pro-demokrasi. Lembaga intelijen militer seperti Army Intelligence tak hanya pantau ancaman eksternal, tetapi juga aktivis domestik yang dianggap menghina monarki (dalam hukum lese majeste). Bahkan terdapat laporan penggunaan Cyber Scouts (tim siber militer) untuk mengawasi media sosial.

Thailand juga belakangan memperkuat Cyber Security: mendirikan National Cyber Security Agency (NCSA) tahun 2021. Intelijen siber pun ditumbuhkan di militer, mengingat meningkatnya ancaman cyber espionage (termasuk kabar hacking oleh aktor negara di tetangga).

Dari segi organisasi penegak hukum, Royal Thai Police di bawah Kementerian Dalam Negeri (bukan independen), sangat besar (lebih 230 ribu personel) dan mencakup tanggung jawab paramiliter. Polisi perbatasan Thai (Border Patrol Police) dilatih militer, juga berperan intel di pedalaman. Satuan ini dibentuk dengan bantuan CIA saat era anti-komunis, dan sampai sekarang penting di wilayah terpencil. Mereka jg mengelola Ranger volunteers (OrSor).

Untuk sharing intel regional, Thailand aktif di Intelijen ASEAN (Our Eyes) inisiatif, dan bilateral misal pertukaran intel dengan Malaysia untuk insurgensi selatan (karena militan sering kabur ke Malaysia). Juga dengan Myanmar untuk isu perbatasan (kejar kelompok bersenjata etnis).

Singkatnya, intelijen Thai adalah salah satu pilar kuat rezim – melayani baik keamanan nasional maupun kepentingan politik militer. Dengan militer masih sering terjun ke politik, intelijen kerap dituduh memata-matai tokoh oposisi. Namun di sisi ancaman nyata, intelijen Thailand telah berpengalaman menangani gerilyawan (komunis dulu, separatis sekarang). Kelemahannya mungkin peralatan teknologi masih perlu ditingkatkan.

Ekonomi Pertahanan: Anggaran, Industri, dan Sumber Impor

Anggaran pertahanan Thailand pada tahun fiskal 2024 sekitar 198,3 miliar baht (~US$5,5 miliar)[65]. Ini menurun sedikit dari 2019 (pernah ~US$7 miliar) akibat pengetatan pasca pandemi[69]. Porsi terhadap PDB sekitar 1.3%, dan ~7% dari total belanja pemerintah. Kendati tidak kecil, belanja militer Thailand sering mendapat sorotan karena keterbatasan efisiensi dan isu korupsi (contoh: pembelian GT200 bomb detector palsu dulu). Selain itu, banyak belanja tersedot untuk gaji personel (Thailand memiliki jumlah jenderal amat banyak).

Pada 2022 setelah pemerintah sipil, ada wacana memangkas wajib militer dan menata ulang belanja (misal menunda pembelian F-35). Namun militer (yang masih berkuasa via partai Palang Pracharat hingga 2023) membela belanja dengan alasan modernisasi diperlukan untuk mengganti arsenal tua.

Industri pertahanan dalam negeri Thailand tergolong terbatas. Defence Technology Institute (DTI) didirikan 2009 sebagai lembaga riset militer. Produk DTI antara lain prototype MLRS DTI-1, senapan bullpup Type-86 (lisensi SAR-21 Singapura), dan mendukung pembuatan ACA APC (Didapat TOT dari BTR-3 Ukraina, sebagian dibuat di Thailand). Thailand bisa produksi senjata ringan (contoh: senapan serbu tipe Tavor lisensi Israel dibuat Royal Thai Army Arsenal), dan amunisi kecil. Galangan kapal Thailand (Marsun, Bangkok Dock) mampu bangun kapal patroli 300 ton, landing craft, dsb, tapi untuk fregat masih impor.

Thailand mencoba program self-reliance: proyek “Kronos” buat drone MALE lokal (dalam pengembangan) dan membeli sebagian kit militer CKD untuk dirakit. Namun, kecuali industri senjata ringan, Thailand masih mengimpor mayoritas alutsista berat.

Sumber impor Thailand cukup beragam. Amerika Serikat dulunya pemasok utama (era Vietnam hingga 2006). Sanksi AS tahun 2006 pasca kudeta Thaksin mendorong Thailand mencari alternatif: mulai beli dari Eropa Timur dan China. Kini, China menjadi pemasok besar: MBT VT-4, IFV VN1, MLRS WS-1B, kapal selam S26T (walau tertunda), dan 3 frigat Type-054AP baru dipesan (upgrade dari pengalaman order OPV, namun berita terakhir mungkin modifikasi). Ukraina menyuplai Oplot tank (namun tertunda pengiriman akibat konflik). Swedia memasok Gripen & Erieye yang sangat diapresiasi RTAF (teknologi maju). Rusia: surprisingly, tak banyak transaksi langsung, hanya helikopter Mi-17 (3 unit) dan senjata kecil.

Korea Selatan semakin jadi mitra – contohnya pembelian KAI T-50 dan K9 Thunder SPH (produk Hanwha, nego 2022). Israel juga pemasok penting untuk elektronik dan UAV (RTA pakai UAV Searcher, Hermes).

Impor senjata bagi Thailand juga sering melibatkan TOT minim, sehingga industri lokal tidak berkembang pesat. Ada galangan domestik yang bikin kapal perang kelas OPV Krabi (desain BAE Inggris) untuk RTN. RTAF pun punya fasilitas overhaul pesawat yang lumayan.

Masalah lain, belanja alutsista Thailand sempat terbagi ke proyek prestise: contohnya kapal induk Chakri Naruebet (dibeli 90an, tapi kini hampir musium). Juga pembelian blunder GT200 (alat penipu) menurunkan kepercayaan publik. Sehingga belakangan fokus belanja diarahkan ke hal mendesak: ex. upgrade radar sipil militer integrasi, sistem pertahanan siber, dll.

Namun, polarisasi politik bisa pengaruhi belanja: pemerintahan pro-militer cenderung tingkatkan anggaran, sedangkan oposisi sipil (phak kao klai contohnya) ingin memotong belanja militer. 2023, pemerintahan baru Srettha Thavisin justru meloloskan anggaran pertahanan sedikit naik, diduga kompromi dengan militer untuk dukungan.

Afiliasi Geopolitik dan Hubungan Eksternal

Thailand memegang posisi istimewa sebagai sekutu AS tertua di Asia (Perjanjian 1954 SEATO, walau SEATO bubar, kemudian perjanjian pertahanan 1962). Hubungan dengan Amerika Serikat tetap pilar utama: latihan Cobra Gold co-host di Thailand setiap tahun melibatkan belasan ribu pasukan dari AS, Thailand, dan belasan pengamat[57]. AS juga punya Joint US Military Advisory Group (JUSMAGTHAI) di Bangkok melatih Thai sejak lama. Namun kudeta berulang (2006, 2014) sempat menegang hubungan: AS menangguhkan bantuan militer dan memindah sebagian latihan ke negara lain. Meski begitu, mengingat nilai strategis (lokasi, alternatif pangkalan), AS tak pernah benar-benar menjauhi Thailand. Tahun 2020-an, dengan kompetisi AS-China, Washington berusaha merevitalisasi aliansi – misal menawarkan F-35 jika Thailand kembali ke demokrasi penuh.

Hubungan dengan China: Thailand punya pepatah “tidak pernah dijajah, kami selamat dengan menari di antara gajah”. Dalam konteks kini, Thailand mencoba diuntungkan dari kedua raksasa. Pasca 2014 (ketika Barat mengisolasi junta Prayuth), Thailand mendekat ke Beijing: pembelian senjata China meningkat, latihan militer bersama seperti Blue Strike (Marinir), Falcon Strike (AU Thailand-China) digelar rutin. Thailand juga mendukung Belt and Road Initiative ekonomi. Kedekatan budaya (Sino-Thai populasi besar) memudahkan hubungan. Namun, Thailand waspada untuk tidak terlalu bergantung. Buktinya, meski beli banyak senjata China, dalam isu Laut Cina Selatan Thailand netral (bukan pengklaim, namun mendukung ASEAN Code of Conduct). Juga, rakyat Thai masih cenderung pro-Barat.

Dengan ASEAN, Thailand memposisikan diri sebagai salah satu pemimpin (Thailand founder ASEAN 1967). Hubungan dengan tetangga umumnya baik kecuali insiden kecil. Myanmar: militer Thai menjalin hubungan unik dengan Tatmadaw. Meski ada persoalan banjir pengungsi Rohingya dan konflik etnis di perbatasan (peluru nyasar ke Thai), tentara Thai sering berkoordinasi dengan Tatmadaw agar situasi tak meluas. Thailand tidak mengecam keras kudeta Myanmar 2021, condong ke pendekatan dialog (bersama ASEAN). Ini karena stabilitas Myanmar penting bagi Thailand (pengungsi, perdagangan, energi gas).

Malaysia: Hubungan militer lumayan, termasuk intel kerjasama di perbatasan selatan melawan militan. Ada forum General Border Committee tingkat Panglima. Meski demikian, isu pemberontak Melayu Thai sensitif – Malaysia kadang jadi fasilitator dialog damai. Secara resmi militer Thai percaya Malaysia tidak mendukung gerilyawan (tak seperti 1970an dulu).

Kamboja: Pernah konflik bersenjata di kuil Preah Vihear (2008-2011) akibat sengketa lahan sekitarnya. Kedua belah pihak mengerahkan artileri, menewaskan belasan[67]. ASEAN turun tangan mediasi. Kini hubungan membaik setelah pemerintah Kamboja dan Thailand berganti, militer di perbatasan pun rutin komunikasi. Namun, insiden ini mengingatkan potensi konflik ASEAN tetap ada.

Laos: Hubungan damai, kecuali skirmish kecil 1987 di pedesaan. Ada kerja sama pakta persahabatan. Tentara Thai bantu melatih perwira Laos pasca 1990.

Vietnam: Dulu musuh ideologis (Thailand dukung AS & Khmer Rouge melawan Vietnam era 80an). Kini mesra – latihan bersama Air Thahan digelar, bahkan Thailand belanja peralatan militer dari perusahaan Viettel (industrial vietnam) skala kecil.

Jepang: mitra penting, meski bukan militer. Jepang bantu coast guard Thai, kapal latih dsb. India: Latma Maitree (AD) rutin, fokus anti-teror.

Secara global, Thailand memegang taktik diplomatik fleksibel: di PBB biasanya abstain pada resolusi yang melibatkan konflik besar (misal soal Ukraina vs Rusia, Thai agak netral). Hal ini agar kawan semua.

Dalam Indo-Pasifik, Thailand mendukung konsep ASEAN Outlook (AOIP), dan bergabung IPEF (Indo-Pacific Economic Framework AS) tetapi soal keamanan coba tak terlalu memihak.

Kesimpulannya, Thailand “keseimbangan berganda”: aliansi formal dengan AS, namun kemitraan strategis dengan China. Hal ini tidak lepas dari internal: militer Thai ingin manfaat teknologi AS tapi tak mau didikte soal demokrasi, sehingga butuh China sebagai opsi. Keduanya pun tampak memaklumi sikap Thai – AS melanjutkan kerjasama militer walau Thai beli senjata China; China pun tak paksa Thai putus dengan AS. Situasi ini menguntungkan Thailand yang posisinya geostrategis di jantung daratan Asia Tenggara.

Vietnam

Kekuatan Militer Konvensional (Quân Đội Nhân Dân Việt Nam)

Vietnam mewarisi tradisi militer kuat sejak Perang Indochina dan Vietnam, menjadikannya salah satu kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara. People’s Army of Vietnam (PAVN) terdiri dari Angkatan Darat (Lục quân), Angkatan Laut (Hải quân, termasuk Marinir), Angkatan Udara-Pertahanan Udara (Không quân & Phòng không), dan unit Penjaga Perbatasan. Personel aktif PAVN diperkirakan 600.000 orang[7] (terbesar di ASEAN), dengan cadangan sangat besar mencapai 5 juta orang[70] – berkat kebijakan mobilisasi total war ala perang rakyat. Juga terdapat milisi rakyat (Dân quân tự vệ) ~250.000[71].

Kekuatan darat Vietnam numerik terbesar: ~1.374 tank[47], walau sebagian besar T-54/T-55 era lama dan turunannya (Type 59). Vietnam memiliki sekitar 64 T-90S/SK modern yang dibeli dari Rusia (delivered 2019-2020) untuk memperkuat armada lapis baja. Selain itu, ada ratusan tank ringan PT-76 amfibi. Ranpur infanteri: ratusan BMP-1/BMP-2, BTR-60/80, dan panser lokal TT-04 (varian BTR-152 modifikasi). Vietnam mengimbangi teknologi lawas dengan upgrade lokal – misal memasang sistem kendali tembakan pada T-55M3 upgrade bantuan Israel. Artileri Vietnam impresif: ~2.000 unit, termasuk 40 self-propelled M-1978 (Panther) 170mm (ex-Korea Utara), ratusan meriam 122mm/130mm towed, dan mortir berat. Lebih menonjol, Vietnam punya regiment MRL (Multiple Rocket Launcher) terbesar di ASEAN: total 474 peluncur roket[72] berbagai kaliber (BM-21 Grad 122mm, BM-14 140mm, BM-30 Smerch 300mm dari Rusia, dan bahkan sistem roket EXTRA Israel 306mm jarak 150km). Ini memberikan daya gempur roket masif sebagai area denial melawan invasi terestrial. Dalam pertahanan udara darat, AD Vietnam punya SAM K-SA-75 Dvina, S-125 Pechora (upgrade), serta MANPADS Igla-1, Strela-2 untuk unit front.

Kekuatan udara Vietnam berada di bawah Angkatan Udara-Pertahanan Udara (dinas gabungan). Inventaris meliputi ~41 jet tempur modern[41]: yaitu 35 Su-27/30 Flanker (11 Su-27SK, 4 Su-27UB, 8 Su-30MK2 batch-1, 12 Su-30MK2 batch-2) – inilah tulang punggung tempur udara jarak jauh. Pesawat tempur sekunder: 12 Su-22M4 Fitter (fighter-bomber era Soviet, ditingkatkan 2019 oleh Sokol Rusia)[73], yang dipakai sebagai bomber serang darat (dedicated attack category 32 pesawat)[74]. Vietnam telah memensiunkan semua MiG-21 (retired 2015) sehingga jumlah jet berkurang namun lebih kapabel. Pesawat angkut: An-26 (tua), beberapa CASA C-295 (Maritime Patrol)[75]. Helikopter: ~25 Mi-8/17 transport, ~3-5 Mi-24 Hind (tidak banyak dipakai). Pertahanan udara terintegrasi (dijalankan pasukan Air Defence) kuat: Vietnam punya sistem S-300PMU-1 jarak jauh (2 batalyon, jangkau 150 km), S-125 Pechora-2TM upgrade (20 baterai), SPYDER-SR Israel (beli 5 sistem untuk melindungi kota/kilang). Radar Jaringan modern (Israel dan lokal).

Kekuatan laut Vietnam fokus melawan ancaman maritim (Tiongkok). Vietnam People’s Navy (VPN) memodernisasi diri dengan 6 kapal selam kelas Kilo 636MV (dibeli dari Rusia, 2013-2017)[11]. Ini membuat Vietnam salah satu dari hanya 4 negara ASEAN yang punya kapal selam (selain Indonesia, Singapura, Malaysia). Armada permukaan: 9 fregat (4 Gepard 3.9 modern dari Rusia dilengkapi rudal Kh-35 anti kapal[10], 2 frigat class Shangri-La ex-Soviet Petya mod, 3 frigat HQ-011/012 Tran Nhat Duat mod dari Soviet Koni). 16 korvet/patrol frigate: termasuk ~8 korvet berpeluru kendali kelas Tarantul V (Project 1241RE) dipersenjatai rudal P-15 Termit, serta belasan kapal patroli PGG kelas BPS-500 dan kelas TT-400TP buatan dalam negeri. Rudal anti-kapal di kapal permukaan dominan tipe Kh-35 Uran-E (jangkau ~130 km) di Gepard, dan P-15 (80km) di Tarantul. Vietnam juga membangun 2 korvet Molniya sendiri (Project 1241.8 versi lokal) dengan rudal Uran. Kapal besar lainnya: 2 LST kelas Polnocny, dan 15+ kapal serang cepat (tidak semua berpeluru kendali, ada kelas Shantou tua). Marinir Vietnam kecil (2 brigade) tapi punya kendaraan amfibi PT-76.

See also  Strategi Cina di Laut China Selatan: Dominasi Jangka Panjang di Asia Tenggara

Dalam hal strategi, militer Vietnam kalah secara teknologi dari China, tapi unggul dalam motivasi, pengalaman, dan taktik asimetris. Kekuatan utama Vietnam adalah sistem pertahanan berlapis dengan kombinasi militer reguler dan milisi. Mereka dapat memobilisasi rakyat (seperti perangnya melawan AS dulu) – meski di era modern situasi berbeda, doktrin “Perang Rakyat” tetap dipegang. Artinya ada kesiapan perang gerilya bila diserang, memanfaatkan medan Vietnam yang beragam (hutan, pegunungan).

Sistem Pertahanan dan Doktrin Militer

Doktrin pertahanan Vietnam sangat dipengaruhi sejarah panjang melawan penjajah asing. Inti doktrinnya adalah “Bảo vệ Tổ quốc từ nhân dân” – pertahanan tanah air oleh seluruh rakyat. Mirip konsep pertahanan semesta, namun dengan partai komunis memegang kendali. Vietnam menganut “4 Tidak” dalam White Paper Pertahanan 2019: Tidak beraliansi militer, Tidak berpihak pada negara melawan negara lain, Tidak izinkan pangkalan asing di wilayahnya, Tidak gunakan kekuatan kecuali diserang[76]. Ada tambahan pengecualian: bila kepentingan keamanan krusial, Vietnam “akan mempertimbangkan pengembangan hubungan militer pada level yang sesuai”[76] – ini membuka ruang kemitraan jika terancam (misal kerjasama dengan AS secara terbatas belakangan).

Strategi militer Vietnam adalah pertahanan ke dalam namun aktif. Mereka menghindari perang terbuka, tapi jika terpaksa, akan berusaha menyerang duluan secara defensif – contohnya, melancarkan serangan pendahuluan taktis untuk melumpuhkan musuh sebelum invasi meluas (teknik ini dipakai 1979 lawan Khmer Merah, maupun melawan China 1979 dengan pre-emptive di Lang Son).

Ancaman utama yang dipersiapkan jelas: Tiongkok. Sejak perang perbatasan 1979 dan konflik Laut China Selatan (perebutan Spratly 1988), Beijing dipandang potensi agresor. Namun Vietnam tak pernah menyatakan resmi, hanya menyebut “kekuatan yang melanggar kedaulatan” dalam doktrin. Sengketa Laut China Selatan (Trường Sa & Hoàng Sa) jadi fokus: Vietnam menduduki 49 pos di Spratly, mempersenjatainya (meriam, rudal anti kapal di pulau besar). Mereka latih strategi anti-akses/area denial: gunakan kapal selam Kilo dengan torpedo dan rudal Klub-S, roket pantai (Ex: sistem Coastal Defense Bastion-P dengan rudal Yakhont jarak 300 km dibeli dari Rusia) untuk menenggelamkan kapal musuh yang masuk zona ekonomi eksklusif[77]. Juga kembangkan rudal anti-kapal lokal seperti KCT 15 (hasil ToT Kh-35)[73].

Selain China, Kemungkinan konflik dengan negara manapun dijaga kecil via diplomasi “tidak beraliansi”. Vietnam merapat ke Rusia (dulu Uni Soviet) selama puluhan tahun, tapi kini diversifikasi: kerjasama pertahanan dengan India, Jepang, AS sebagai penyeimbang China, namun tetap tidak formal alliance. Contoh: Latihan kecil dengan AS (ship visit), beli alat dari Barat (Patrol boat dari Metal Shark US, radar Israel). Ini tanpa melanggar “4 Tidak” karena bukan aliansi resmi.

Struktur komando Vietnam memastikan kontrol partai: Central Military Commission (CMC) Partai memutuskan kebijakan militer, Panglima tertinggi adalah Sekjen Partai. Kementerian Pertahanan mengawasi 7 Military Regions pembagian wilayah pertahanan yang mengkoordinasi unit AD, perbatasan, dan milisi di masing2 zone. Juga ada Command of Navy dan Air Defence-Air Force setara region. Ini warisan sistem Soviet.

Pasukan perbatasan (Bộ đội Biên phòng) dan Coast Guard (CSB) juga integral. Coast Guard Vietnam paramiliter tapi dipersenjatai, kerap hadapi coast guard China di LCS.

Hal menonjol lain: Doktrin Vietnam soal cyber warfare dan ISR (Intel, Surveillance, Recon). Mereka sadar gap teknologi dengan China, maka investasi di siber (unit Warfare 128?). Pernah ada insiden group hacker Vietnam vs China.

Yang tak kalah penting: Vietnam siap perang berkepanjangan bila perlu. Logistik disiapkan: industri pertahanan Vietnam tumbuh (lihat bagian industri). Rakyat dilatih survival: bunkers, dsb, walau mungkin tak seintensif masa perang. Patriotisme Vietnam tinggi, yang jadi bagian deterensi mental.

Singkatnya, doktrin Vietnam defensif keras: tidak cari musuh, tapi “jangan main-main” dengan Vietnam di wilayahnya. Mereka hendak buat potensi penyerbu berpikir dua kali karena pasti mahal. Konsep “Chiến tranh nhân dân” (Perang Rakyat) plus vũ khí công nghệ cao (senjata teknologi tinggi) – memadukan semangat gerilya dengan senjata modern.

Struktur Intelijen dan Keamanan Dalam Negeri

Sebagai negara sosialis satu partai, Vietnam punya aparatus keamanan & intelijen yang luas dan terkoordinasi di bawah partai. Bộ Công An (Kementerian Keamanan Publik) mengelola intelijen dalam negeri dan polisi. Di dalamnya ada Tổng cục An ninh (Direktorat Jenderal Keamanan) untuk kontra-intelijen dan keamanan domestik, serta Tổng cục Tình báo Bộ Công An semacam intelijen eksternal di bawah keamanan publik (disebut juga Tổng cục 5, walau restrukturisasi 2018 mengubah organigram). Kementerian ini juga mengawasi polisi, imigrasi, pemadam dll, mirip gabungan polisi+intel.

Intelijen militer dijalankan Tổng cục Tình báo Quốc phòng (TC2) di bawah Kementerian Pertahanan – sering disebut Diaocha-2 atau General Department 2. GD2 ini mengurus spionase militer luar negeri dan analisis ancaman strategis (setara GRU-nya Rusia). Laporan menyebut GD2 agen-agen di LN khusus mengawasi China dan pergerakan diaspora anti-komunis.

Di tingkat lokal, Milisi dan Pengawal juga berfungsi sebagai mata-mata mata telinga partai di masyarakat. Jaringan dan quan tu ve (milisi rakyat) miliki peran intel komunitas – melaporkan hal mencurigakan di desa/kelurahan.

Keamanan internal pun dijaga oleh militer: Komando Pertahanan Udara mengawasi langit, & signal intel unit pantau sinyal. Vietnam sangat waspada terhadap pengaruh asing/”evolution damai” (peaceful evolution) yakni infiltrasi ide demokrasi Barat. IS (Islamic State) kurang punya panggung di Vietnam (populasi mayoritas Kinh Buddha/ateis). Gerakan separatis hampir tak ada, kecuali protes minoritas Montagnard di pegunungan (dulunya FULRO, diatasi 1990-an). Itu pun intel keamanan publik rutin awasi gereja2 Montagnard & NGO agar tak timbul separatisme.

Sistem penegakan hukum untuk keamanan: Force 141 untuk kejahatan serius, C50 untuk siber, dsb. Vietnam juga terkenal memanfaatkan dư luận viên (public opinion shapers) di internet – semacam tim pro-partai melawan narasi anti-pemerintah online.

Intelijen Vietnam historically tangguh (dulunya spionase Vũ Ngọc Nhạ dkk yang menyusup ke rezim Saigon). Kini, jaringan intel global Vietnam lumayan berkembang dalam lingkup Asia Tenggara.

Hubungan intelijen Vietnam dengan negara lain cukup tertutup. Mereka mungkin berbagi informasi dengan Laos dan Kamboja (sesama rezim bersahabat). Ada kerjasama anti-kejahatan dengan ASEAN.

Pada domain keamanan laut, intelijen maritim dipegang Coast Guard dan Dirjen intelijen pertahanan bersama. Mereka memantau pergerakan kapal China di LCS via radar coastal & UAV trenggiling (Israel Orbiter-2 diterbangkan). Juga jalin hotline dengan Indonesia/Malaysia kalau ada IUU fishing.

Keamanan internal Vietnam terutama melindungi rejim komunis: keamanan publik menindak keras pembangkang. Indeks represi lumayan: banyak aktivis, blogger dipenjara. Intelijen mereka aktif cyber espionage lawan diaspora yang kritik (APT32 alias OceanLotus, group hack Vietnam diduga intelnya, target corporate & gov asing juga). Hal ini menunjukkan profesionalisme intelijen siber Vietnam.

Singkatnya, Vietnam punya sistem intelijen kuat, centralised di Partai. Walau tak se-ekstensif China, cukup menakutkan bagi lawan-lawan domestik. Koordinasi militer-sipil di intel kadang masalah (pernah friction GD2 vs Kementerian Publik), tapi partai setel sehingga tak jadi faksi terpecah.

Ekonomi Pertahanan: Anggaran, Industri Pertahanan, dan Impor

Belanja militer resmi Vietnam cukup rendah di atas kertas – SIPRI mengestimasikan ~US$6,5-7,0 miliar 2024 (2,3% PDB)[78], namun angka sebenarnya bisa lebih karena belanja pertahanan sering disembunyikan dalam banyak pos (dan ditambah peran ekonomi militer). Dana terbatas ini terpaksa dioptimalkan: Vietnam terkenal pintar memelihara alutsista lama dengan biaya murah. Kenaikan belanja terjadi seiring eskalasi Laut China Selatan; belanja militer Vietnam naik ~700% 2003-2018[73], meski dari basis kecil. Ada komitmen menaikkan ~8,5% per tahun hingga 2027 mencapai $8,5 miliar[79]. Prioritas anggaran: Angkatan Laut dan Udara untuk hadapi China, sementara AD cukup alat lama ditingkatkan sedikit.

Industri pertahanan Vietnam mulai tumbuh, didorong prinsip “tự lực tự cường” (kemandirian). Dari 1990an, Vietnam mendirikan General Department of Defence Industry (Tổng cục Công nghiệp Quốc phòng) membawahi pabrik senjata. Capaian: produksi massal senapan Galil Israel (lisensi – menjadi STL-A1), peluru semua kaliber, mortir, roket 122mm, dll. Galangan kapal Ba Son mampu bangun kapal perang ukuran korvet (lakukan bersama Rusia pembuatan Molniya). Industri elektronik militer (Z119 factory) berkolaborasi dengan Israel upgrade radar P-18. Viettel, perusahaan telekom raksasa militer, mendiversifikasi ke riset senjata: Viettel membuat UAV trinh sat (scout drone) cth VT-Patrol, mengembangkan sistem tên lửa (rudal) anti-ship KCT 15 (mungkin varian Kh-35)[77] dan rudal anti-tank. Tahun 2022 Viettel sukses uji rudal jelajah anti-kapal dengan jangkauan 200-300km (diduga copy Kh-35 atau Exocet) – lompatan signifikan jika benar. Ada pula kendaraan taktis lokal TT-400 series.

Tetap saja, mayoritas senjata berat Vietnam diimpor. Rusia adalah pemasok utama tradisional: >80% arsenal Vietnam asal Soviet/Rusia[80]. Pembelian besar: jet Su-27/30, kapal selam Kilo, fregat Gepard, rudal Yakhont, S-300, T-90, dll. Meski hubungan agak terganggu perang Ukraina (sulit suku cadang & pembayaran), Vietnam masih tergantung Rusia. Israel muncul sebagai pemasok penting 2010-an: Vietnam beli UAV trinh sat, radar ELM-2288, sistem Spyder SAM, upgrade tank/jet, bahkan kerjasama produksi senjata ringan. Israel jadi mitra teknologi krusial karena siap transfer teknologi (yang Barat mungkin enggan sebab sanksi human rights). India dijadikan sumber: latih awak kapal selam, hibah kapal patroli, kredit $500 juta dipakai beli rudal BrahMos (dalam proses)[77]. Eropa lumayan masuk: misal Airbus CN-295, PZL Skorpion, mungkin Eropa tawarkan Eurofighter/Gripen (Vietnam butuh ganti Su-22, rumor Eropa lobi, tapi belum). AS hapus embargo senjata 2016 – Vietnam sejak itu beli kecil-kecilan: 12 drone ScanEagle, 24 kapal Metal Shark. Ada spekulasi Vietnam ingin drone MQ-9B dan pesawat angkut C-130J, tapi perlu dana & kalkulasi reaksi China.

Vietnam juga mencoba offset/ToT di tiap impor. Kilo subs misal melibatkan training intensif, Gepard diupgrade sonar baik (kerja sama?). BrahMos deal rencana melibatkan produksi komponen di Vietnam.

Arsitektur belanja di Vietnam juga cenderung diam-diam. Kongres Partai memutus alokasi besar jangka panjang. Utang ke Rusia dilakukan via kredit lunak (untuk Kilo & Su-30). Masalah ke depan: Rusia kewalahan maintenance akibat perang, Vietnam mungkin percepat diversifikasi sumber: misal perbanyak beli Israel, India, mungkin Prancis (ada rumor Rafale ditawarkan). Budget Vietnam terbatas, jadi volume impor mungkin melambat, bergeser ke upgrade in-house.

Sektor komersial militer: Viettel sukses ekspor perlengkapan komunikasi ke Afrika, galangan Z189 rakit kapal untuk Nigeria. Vietnam ingin jadi pengekspor senjata menengah (tipe amunisi, senapan) ke negara berkembang. Ini menambah devisa buat belanja lanjutan.

Intinya, meski tidak sekaya Singapura, Vietnam memacu industri pertahanan & memanfaatkan beragam kemitraan untuk dapat alat modern dengan biaya terjangkau. Slogan “Chúng ta tự lực” (kita berdikari) terus didorong, meski realitanya masih butuh beli luar untuk hal canggih (jet, kapal selam).

Afiliasi Geopolitik dan Hubungan dengan Kekuatan Eksternal

Vietnam menjalankan politik luar negeri “đa phương hóa, đa dạng hóa” – diversifikasi & multilateral. Secara formal Vietnam tidak bersekutu militer dengan negara mana pun (kebijakan “4 No’s” tadi)[76]. Namun, Vietnam aktif menjalin kemitraan strategis dengan banyak negara untuk mengimbangi tekanan China.

Hubungan Vietnam–Rusia: ini quasi-aliansi lama (Pakta Persahabatan 1978, basis Cam Ranh digunakan Soviet). Sampai kini, Rusia satu-satunya penyuplai senjata terbesar dan mendukung diplomatik (contoh: dukung Vietnam di isu hukum laut). Meski tak ada lagi aliansi ideologi, militer Vietnam tetap banyak perwira belajar di Rusia, latihan gabungan sederhana (SEACAT Search and Rescue, etc). Cam Ranh masih sesekali disinggahi kapal Rusia (pernah rumor Vietnam beri akses pengisian untuk pengebom TU-95, ditampik Vietnam). Perang Ukraina menempatkan Vietnam agak canggung: Vietnam abstain di PBB, menolak kecam Rusia[81]. Ini menunjukkan Vietnam memprioritaskan hub Rusia.

Vietnam–China: “Vừa hợp tác vừa đấu tranh” – kerjasama dan pertentangan sekaligus. Secara partai, keduanya komunis, hubungan partai-ke-partai erat (kunjungan berkala, retorika persaudaraan). Ekonomi pun, China terbesar. Tapi trust rendah di militer: sengketa LCS berulang (contoh 2014 insiden rig minyak HD981 di perairan Vietnam memicu anti-China riot di Vietnam). Vietnam memperkuat militer justru karena ancaman China. Namun, Vietnam tak frontal: bergabung latihan keamanan maritim ASEAN-China 2018, hindari keterlibatan Quad anti-China, tolak pangkalan AS di wilayahnya agar tidak provoke China. Pola “bamboo diplomacy”: kuat berakar (dalam kemitraan strategis dengan yang lain) namun lentur di angin (tidak memusuhi China terang-terangan). Upaya meredakan: setting hotline maritim, pakta basic di perbatasan (China-Viet resolved land border 1999). Meskipun militer kedua negara bentrok kecil 1988 Spratly & 2014 di laut (kapal tabrakan), sejak itu tak ada baku tembak.

Vietnam–AS: dramatic improvement. Dari musuh perang jadi “Comprehensive Partnership” 2013. AS lihat Vietnam kunci imbangi China di SEA; Vietnam lihat AS sumber sokongan diplomatik & teknologi. Embargo senjata dicabut 2016 (Obama visit). Peningkatan: kapal induk AS berkunjung ke Danang 2018 (pertama sejak 1975)[57]. Latihan bilateral kecil ada: misal Pacific Partnership (HADR) di Nha Trang, kunjungan rutin USCG ke Vietnam latih coast guard. Tapi tidak seintensif AS-Phil atau AS-Sing, karena Vietnam hati-hati tak mau sekutu formal. Namun spekulasi ke depan: mungkin upgrade ke “Strategic Partnership” status (sedang negosiasi 2022).

India: close defense ties (musuh musuhku = temanku). India latih kapal selam Vietnam, jual rudal BrahMos (on track[77]), kapal perang latih, turut latihan multilateral (Milan). Keduanya koordinasi di ASEAN & forum maritim.

Jepang: pendukung vokal Vietnam di LCS (karena lawan China sama di Senkaku). Jepang bantu kapal coast guard (hibah 6 kapal patrol), training law of sea, sumbang radar. Kemitraan ditingkatkan jadi “Extensive Strategic Partnership”. Meski Jepang ada restriksi militer, Vietnam didorong welcome peran JMSDF di region.

Australia, Hàn Quốc: juga strategic partners, fokus industri & training. Korsel supply radars, hibah UAV, melatih pilot. Australia latih pasukan PBB Vietnam (Vietnam kirim kontingen level 2 RSST ke Sudan).

Hubungan dengan ASEAN: Vietnam proaktif. Dulu ‘juru bicara’ anti-China di ASEAN (contoh: KTT 2010, mendesak codify Code of Conduct). Vietnam dan Filipina sempat mendekat karena sama2 kontra China. Tapi pas Duterte mendekati China, Vietnam jadi lebih waspada isolate. Meski begitu, ASEAN vital: Vietnam dukung solid front soal UNCLOS. Internal, Vietnam ada sengketa maritim kecil jg misal dengan Malaysia tentang batas kontinen overlapping (belum resolved). Tapi semua ditangani damai.

Vietnam–Eropa: Vietnam percepat kerjasama pertahanan Eropa (Perancis latma sejak 2018 helico, Jerman engineering). Vietnam berpartisipasi misi PBB (South Sudan) difasilitasi Eropa.

Secara keseluruhan, Vietnam merangkul semua kecuali tak beraliansi formal. Wawasan “3 Tidak + 1 Tergantung” (flexi policy) memungkinkan manuver. Realitanya, jika situasi LCS genting, Vietnam kemungkinan berharap dukungan militer AS meski tanpa traktat. Sementara, skenario perang terbuka melawan China dihindari sekuat mungkin, dialihkan ke diplomasi.

Satu hal lagi: Vietnam teguh tak mau pangkalan asing, walau ada rumor mereka izin US P-8 mendarat di Cam Ranh untuk patroli, tapi Vietnam bantah. Ini salah satu poin konstan: tak ingin memprovokasi China terlalu jauh. Kebijakan equidistant ini tantangan: cari proteksi implisit, tapi tak beri aliansi formal. Sejauh ini Vietnam berhasil imbangi, tapi krisis besar (misal invasif action dari China) bisa paksa bersikap lebih tegas pro-Barat.

Filipina

Kekuatan Militer Konvensional (Armed Forces of the Philippines)

Filipina memiliki salah satu militer terkecil di ASEAN dari segi teknologi, namun tengah berbenah melalui Modernization Program. Armed Forces of the Philippines (AFP) terdiri dari Angkatan Darat (Philippine Army), Angkatan Laut (Philippine Navy, mencakup Marine Corps), dan Angkatan Udara (Philippine Air Force). Personel aktif AFP sekitar 150.000[29], dengan cadangan terdaftar ~1,2 juta (banyak di atas kertas melalui ROTC/dll)[29]. Tantangan utama AFP sejak dahulu adalah memerangi pemberontakan internal (komunis NPA, separatis Islam di Mindanao), sehingga sebagian besar struktur dan alutsista difokuskan ke counter-insurgency (COIN).

Kekuatan darat Angkatan Darat Filipina didominasi infanteri ringan. Filipina nyaris tak memiliki tank tempur utama – hanya ~10 kendaraan beroda rantai berturret yang bisa dianggap tank ringan (sisa Scorpion CVRT Inggris era 1970an)[30]. Baru pada 2022 Filipina memesan 20 unit tank light Sabrah ASCOD dari Israel (pengiriman mulai 2023) untuk pertama kalinya memiliki platform tank modern. AD Filipina mengandalkan >300 kendaraan lapis baja angkut personel (V-150 Commando 4×4, M113A2 banyak sekali). Filipina memutakhirkan sebagian M113 dengan meriam 76mm dan 25mm turret dalam beberapa tahun terakhir (bantuan paket dari Israel). Artileri: ~300 meriam tarik (105mm M101, 155mm M114 lama)[30], plus baru-baru ini 12 howitzer self-propelled ATMOS 155mm dari Israel (tiba 2022). Filipina praktis tidak punya sistem MLRS roket (kecuali laras 6 81mm). Untuk anti-tank, hanya roket infanteri (LAW, RPG). Minimnya arsenal berat dikompensasi jumlah pasukan banyak, namun daya gentar terhadap ancaman konvensional luar sangat rendah.

Kekuatan udara PAF adalah yang paling tertinggal dulunya – sempat dijuluki “Air Force without Air Power” karena sejak 2005 tak punya jet tempur supersonik setelah F-5A pensiun. Program modernisasi “Horizon 1-3” bertahap merevitalisasi PAF. Saat ini PAF memiliki 12 jet FA-50PH Fighting Eagle (light fighter buatan Korea Selatan) yang berperan sebagai pesawat tempur utama untuk patroli dan serang darat terbatas[31]. Selain itu, ada beberapa pesawat serang turboprop OV-10 Bronco (6 unit aktif, sangat tua) dan 6 unit A-29B Super Tucano (kontra gerilya, datang 2020). Jumlah ini ~25 pesawat tempur/serang[31], menjadikan PAF berkemampuan penempur minim. PAF mengutamakan angkut dan helikopter: punya ~5 C-130 Hercules (2 aktif + 3 bekas sedang overhaul), beberapa C-295 Airbus, dan ~20 NC-212i/BN-2 Islander untuk transport ringan dan patroli maritim. Helikopter: >40 UH-1H Huey (banyak insiden, harus digrounded 2021), belanja 16 S-70i Black Hawk baru (2020-21) untuk menggantikan Huey. Juga ada helikopter serang ringan: 12 MD-520MG Defender (tua) dan baru datang 6 T129 ATAK buatan Turki (mulai 2022). Pertahanan udara PAF praktis nihil – tak punya SAM jarak sedang, hanya beberapa QW-1 MANPADS Tiongkok. Radar gap juga jadi masalah, meski Filipina baru pasang 3 radar Giraffe dan EL/M-2288 Israel menutup sebagian celah.

Kekuatan laut Philippine Navy (PN) historically hanya kapal patroli. Modernisasi melahirkan core baru: 2 frigat kelas Jose Rizal (buatan Hyundai ROK, komision 2020)[32] – frigat ini bersenjata rudal SAM Mistral & SSM Harpoon, sensornya lumayan modern (radar Elta). Selain itu, 1 kapal (ex-USCG cutter) Gregorio del Pilar dianggap frigat ringan (meski persenjataan terbatas). Korvet hanya 1, ex-Korean Pohang class (BRP Conrado Yap, tiba 2019)[32]. Lainnya, PN punya ~58 kapal patroli berbagai ukuran[32]: 35 di antaranya kapal kecil <100 ton (rapid response). Kapal amfibi: 2 LPD kelas Tarlac (buatan Indonesia, mirip LPD Makassar) cukup baru. Kapal penyapu ranjau nihil. Kapal selam pun belum ada hingga 2025[32], meski ada rencana membeli 2 unit (Prancis atau Korsel, masih studi). Penerbangan AL: belasan helikopter ringan (AW109, ScanEagle UAV). Marine Corps ~8.000 prajurit, digunakan di dalam negeri hadapi pemberontak.

Secara keseluruhan, kemampuan konvensional AFP paling lemah se-ASEAN. Baru belakangan Filipina sadar pentingnya external defense, terutama setelah sengketa Laut Filipina Barat (LCS). Contoh: insiden Scarborough 2012 dimana China rebut atol dari Filipina, memaksa Filipina introspeksi akan lemahnya militer. Horizon Modernization pun diarahkan: Horizon 2 (2018-2022) mengalokasi belanja radar, jet, kapal, anti-ship missiles. Horizon 3 (2023-2028) diharapkan beli pesawat multi-role dan kapal selam.

Sistem Pertahanan dan Doktrin Militer

Selama beberapa dekade, doktrin militer Filipina didominasi counter-insurgency (COIN). Prioritasnya menumpas pemberontakan komunis (NPA sejak 1969 belum tuntas) dan separatis MNLF/MILF di Mindanao (sejak 1970an, sebagian resolved dengan perjanjian 2014 tapi muncul ISIS-afiliasi Maute 2017). Oleh sebab itu, AFP terlatih dalam operasi hutan dan urban melawan gerilyawan, namun nyaris kehilangan kemampuan konvensional.

Secara resmi, Philippine Defense Policy kini membagi fokus: Internal Security Operations (ISO) dan Territorial Defense. Sejak sekitar 2010 ada pergeseran bertahap ke Territorial Defense Strategy menyikapi Tiongkok di Laut Filipina Barat. Doktrin pertahanan eksternal Filipina bersandar pada aliansi dengan Amerika Serikat – Mutual Defense Treaty (MDT) 1951 antara Filipina-AS masih berlaku, meskipun ada periode (era Duterte 2016-2022) aliansi ini ditangguhkan retoriknya. Doktrin Filipina adalah: jika diserang kekuatan besar, memanggil bantuan sekutu. Sementara, membangun minimal deterrence sendiri agar tidak sepenuhnya bergantung (ini diwujudkan lewat akuisisi rudal anti kapal dan jet modern meski sedikit).

Filipina memperkuat hubungan dengan sekutu lain: tanda tangani Visiting Forces Agreement (VFA) 1998 dengan AS, dan Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA) 2014 yang mengizinkan rotasi pasukan AS di 5 pangkalan Filipina[82]. Di era Presiden Marcos Jr (2022-), EDCA diperluas 2023 dengan akses AS ke 4 kamp tambahan di Luzon utara (menghadap Taiwan)[83]. Ini sinyal doktrin defense pivot balik ke AS. Waktu Duterte, Filipina sempat condong ke China, namun militer Filipina sendiri tetap pro-AS dan latma seperti Balikatan (latihan tahunan gabungan) terus berjalan.

Dalam hal ancaman internal, doktrin yang dipakai Filipina adalah “clear-hold-build” ala COIN klasik: tentara bersihkan area, ditahan, pemerintah bangun kesejahteraan. Operasi “Oplan Kapayapaan” melawan NPA misalnya, melibatkan civil-military operations intens. Keterlibatan militer di keamanan dalam negeri lumrah – Polri (Philippine National Police) tangani kriminal umum, tapi pemberontak & teroris ditangani AFP (ada unit bersama PNP-AFP di anti-teror).

Marawi Siege 2017 (oleh kelompok pro-ISIS) mengguncang doktrin – AFP sampai harus menggempur kota sendiri 5 bulan. Setelah itu, fokus anti-teror urban dan kerjasama intel ditingkatkan.

Aspek penting, MDT AS-Filipina jadi penopang keberanian Filipina di LCS. Meski ambigu, AS tegaskan gugusan LCS masuk cakupan MDT. Filipina pun menyiapkan “Active Archipelagic Defense” – strategi memanfaatkan geografi kepulauan: mendirikan detasemen di pulau terluar Spratly yang dikuasai, menerjunkan Coast Watch South di perairan Mindanao (untuk selat sibutu-sulu). Filosofinya, bertahan semampu mungkin sampai bantuan tiba.

Filipina mendirikan Northern Luzon Command (NOLCOM) yang bertanggung jawab wilayah utara (antisipasi Laut Filipina dan Taiwan scenario), Western Command (WESCOM) untuk Palawan-LCS. Kekuatan alutsista yang sedikit difokuskan ke komando ini – misal 2 frigate Jose Rizal ditempatkan di WESCOM.

Walau lemah militer, Filipina menempuh diplomasi hukum: menang arbitrase internasional 2016 melawan klaim China (walau China abaikan putusan). Strategi “menang di meja hukum” ini bagian dari doktrin pertahanan menyeluruh Filipina: militer tahan, diplomasi jalan, sekutu bantu.

Dalam hubungan regional, Filipina dukung Trilateral Patrol dengan Indonesia-Malaysia di Sulu (berantas Abu Sayyaf). Juga latih militer kecil2 dengan negara ASEAN. Tapi utamanya memang menggantungkan deterensi eksternal ke aliansi AS.

Ciri lain: militer Filipina kuat pengaruh politik (dulu banyak kudeta 80-90an), tapi belakangan setia ke konstitusi. Namun, hal ini memengaruhi doktrin: militer selalu siaga mengamankan stability, mendukung program anti-narkoba (era Duterte, militer bantu PNP, meluas ranah internal). Meskipun kontroversial HAM.

Struktur Intelijen dan Keamanan Domestik

Arsitektur intelijen Filipina tersebar di banyak lembaga tapi terkoordinasi lewat National Intelligence Coordinating Agency (NICA). NICA (di bawah Office of the President) mengumpulkan intel strategis dalam & luar negeri. Namun, NICA kecil (500-an staff) dan lebih ke analisis/pengkoordinasian, bukan operasi rahasia besar.

Setiap angkatan AFP punya intel: Army Intelligence Regiment, Naval Intelligence and Security Force, Air Force Intelligence, Surveillance and Reconnaissance Group. Juga Intelligence Service of the AFP (ISAFP) di tingkat GHQ yang mengkoordinasi intel militer. ISAFP cukup berpengaruh – misal deteksi kudeta, melacak teroris. Pernah kecolongan (isu wiretapping “Hello Garci” 2005 melibatkan ISAFP).

Di Kepolisian (PNP) ada Directorate for Intelligence dan unit elit PNP Intelligence Group. Mereka fokus ke kejahatan dan teror internal. Ada pula National Bureau of Investigation (NBI), semacam FBI versi Filipina di DOJ, punya sayap intel.

Kontra-terorisme ada Joint Terrorism Task Force (militer-polisi) plus dukungan intel AS yang kuat (AS punya detasmen intel di Mindanao sejak 2002 Operation Enduring Freedom – Philippines, beri info real-time lawan Abu Sayyaf). Kerja sama intel Filipina-AS terbukti saat tembak mati pemimpin Abu Sayyaf (2012, info US drones).

Untuk pemberontak komunis, AFP intel buat program “Red Tagging” – mendata jaringan legal NPA. Ini kontroversi (bisa salah tuduh aktivis biasa sebagai NPA).

Pada level wilayah, ada satuan intel gabungan Regional Intelligence Task Units melibatkan militer, polisi, NICA, setempat. Penanganan Mindanao, misalnya, Mindanao Intelligence Fusion Center didirikan 2018 untuk gabung info militer-polisi.

Di domain luar negeri, Filipina minim agen rahasia. Mereka andalkan atase pertahanan & info dari sekutu (AS cungkil info China ke Filipina, mungkin). Filipina juga aktif di ASEAN intelligence sharing (Our Eyes).

Tantangan intel Filipina: personel & teknologi terbatas. Ada upaya peningkatan intel siber; DICT (Dept. Info & Comm Tech) baru buat cybersecurity bureau yang tentu koordinasi dengan mil intel.

Keamanan dalam negeri, PNP bertanggung jawab. PNP paramilitary unit Special Action Force (SAF) dapat info dari intel militer jika operasi besar (contoh SAF operasi vs Marwan 2015 berantakan karena minim share intel). Hal ini tunjuk isu turf war antar agen intel. Sejak Marawi siege, koordinasi membaik (Task Force Noah gabung intel untuk cari sisa teroris).

Mengamankan perbatasan maritim, National Coast Watch Center dibentuk 2011 untuk intel maritim multi-instansi. Ditunjang radar baru.

Kesimpulannya, intelijen Filipina dalam transisi: dari fokus internal ke menambah eksternal. Pengaruh AS besar (menyediakan intel citra satelit, sinyal). Filipina masih perlu upgrade kapabilitas intel sendiri, terutama hadapi China (contoh: canggihnya tactics grey zone China di Spratly bikin Filipina sulit tracking – perkuat intel maritime space domain awareness jadi prioritas).

Ekonomi Pertahanan: Anggaran, Industri, dan Impor Alutsista

Anggaran militer Filipina kecil dibanding PDB (tradisional ~1% PDB). 2024 diestimasikan ~PHP 240 miliar (~US$4.2 miliar) – namun ini naik lumayan dari satu dekade lalu (hanya ~$2B). Kenaikan karena program modernisasi Horizon. Duterte sempat menaikkan belanja militer (untuk perangi teror). SIPRI mencatat 2024 belanja US$6,1 miliar[84], tapi kemungkinan itu termasuk belanja paramiliter. Dibanding ancaman, budget ini minim. Legislator dorong 2% PDB, tapi fiskal sulit.

Industri pertahanan dalam negeri Filipina hampir nihil untuk platform besar. Yang ada: Government Arsenal (GA) di Bataan memproduksi amunisi kaliber kecil, dan sedang rintis produksi senapan M4 clone (Mussang rifle) tapi baru skala uji. Perusahaan swasta kecil seperti Armscor buat pistol (diekspor), Steelcraft modif senapan. Kapal: galangan lokal (Propmech, OCEA Philippines) bisa bangun kapal patroli kecil (PN order 40m MPAC multi-purpose assault craft – semacam kapal roket kecil, sudah 12 unit, beberapa dipersenjatai rudal Spike Israel). Namun kapal besar PN (frigat, LPD) dipesan luar negeri. Pesawat & kendaraan tak ada industri.

Filipina mencoba menarik investasi asing: contohnya, Korea Hyundai membangun frigat di Ulsan tapi melibatkan personel Filipina untuk TOT minimal maintenance. Juga MoU dengan India BrahMos untuk roket assembly local.

Ketergantungan impor sangat besar: 99% alutsista utama impor. Sumber impor terbesar historically AS (penyedia semenjak 1950an): banyak alutsista Filipina hibah bekas AS (Hercules C-130, Huey helikopter, kapal cutter USCG). Namun belakangan Filipina diversifikasi: Korea Selatan muncul sebagai pemasok kunci (FA-50 jets, frigat, perahu serbu). Israel suplai senjata presisi: Spike-ER misil laut-darat di MPAC, UAV Hermes 450, radar, SAM SPYDER sedang dinego. Indonesia jual 2 LPD (LD-601/602) ke PN, ada rencana tambahan OPV. Turkey jual T129 helikopter. India kontrak BrahMos anti kapal (3 baterai, jangkau 290km, kontrak 2022) – penting untuk coastal defense baru[77].

Ada juga belanja dari China di era Duterte: ex. sniper rifle, tapi karena ketegangan LCS, militer Filipina tak percayai alutsista China (plus inferior). Duterte pernah batalkan deal helikopter Canada, ganti order 16 heli angkut Mi-17 Rusia 2021 – namun 2022 dibatalkan (takut sanksi CAATSA dan perang Ukraine)[85].

Australia latih dan hibah kecil gear (drone). Japan dukung coast guard (ex-PCG ships).

Corruption & birokrasi menghambat akuisisi. Contoh: proyek kapal corvette & OPV Horizon2 tertunda karena isu budget/time. Horizon3 (2023-28) merencanakan multi-role fighter (F-16V atau Gripen?), submarines, tapi belum tentu terwujud cepat, apalagi ekonomi sempat minus saat pandemi.

Hibah/harga murah jadi favorit: 2020 AS beri 2 heli UH-60, 2021 Jepang hibah 1 radar. India mungkin hibah rudal Akash SAM. Dengan ancaman besar but budget low, Filipina andalkan diplomasi pertahanan (minta freebies dari allies). EDCA building US di pangkalan EDCA mungkin diimbangi AS kasih peralatan.

Analisis: Walau belanja naik 67% 2015-2024[84], Filipina masih tertinggal. Past modernization horizon soared but uncertain. Sangat reliant ke AS umbrella untuk deter China. EDCA plus belanja minimal deterrence (BrahMos, FA-50) adalah formula mereka.

Industri local jangka pendek prioritas ammo & maintenance. Rencana jangka panjang (dalam AFP modernization law) masukkan “self-reliant defense posture”, tapi masih jauh panggang dr api. Mungkin jika ekonomi tumbuh & ancaman makin nyata, Filipina invest ke industri senjata (manuf. kecil spt joint venture galangan atau pabrik senapan licensi) – sdh mulai tapi kecil.

Kesimpulan: Ekonomi pertahanan Filipina sedang uptrend tapi dari baseline rendah. Tantangan hutang, bencana, prioritas domestik (infrastruktur) bisa geser dana. Politically, pasca-Duterte, dukungan ke militer (modernization) lebih stabil. Rakyat pun dukung militer kuat hadapi China.

Afiliasi Geopolitik dan Hubungan Eksternal

Filipina adalah satu-satunya negara di ASEAN yang memiliki perjanjian pertahanan formal dengan Amerika Serikat (Mutual Defense Treaty 1951). Dengan demikian, AS merupakan sekutu utama dan pilar keamanan Filipina[57]. Hubungan militer Filipina-AS sangat erat: pasukan AS pernah berbasis di Subic dan Clark hingga 1991, dan meski pangkalan ditutup, aliansi berlanjut melalui VFA dan EDCA seperti dijelaskan. Latihan Balikatan dilaksanakan tiap tahun melibatkan ribuan tentara, melatih skenario dari HADR hingga perang konvensional. Di mata Washington, Filipina penting secara strategis untuk memastikan akses ke Laut Cina Selatan dan titik dekat Taiwan. Pada 2023, penambahan lokasi EDCA di utara Luzon jelas ditujukan untuk kesiapan kontinjensi Taiwan[83].

Di era Presiden Duterte (2016-2022), terjadi periode “cooling” dengan AS: Duterte ancam batalkan VFA, tolak latihan besar, mendekat ke Tiongkok demi investasi ekonomi. Namun militer Filipina dan publik tetap condong pro-AS, dan pada akhirnya Duterte membatalkan pembatalan VFA (2021) setelah AS beri dukungan vaksin & visa pasca tekanan internal. Sekarang di era Marcos Jr, Filipina kembali merapat ke AS; perjanjian EDCA dipercepat implementasinya.

Hubungan Filipina-China bersifat paradoksal. Ekonomi: Tiongkok salah satu mitra dagang terbesar dan investor infrastruktur (Build Build Build Duterte). Namun di pertahanan, China dianggap ancaman nomor satu akibat klaim Nine-Dash Line-nya yang meliputi 80% ZEE Filipina di Laut Filipina Barat. Insiden kapal nelayan & coast guard China mengganggu nelayan Filipina kerap terjadi (contoh 2019, kapal Filipina ditabrak tenggelam oleh kapal China di Reed Bank). Upaya diplomatik: Filipina menang arbitrase 2016 yang menolak klaim China[86], tapi China abaikan. Duterte sempat shelve putusan itu demi hubungan baik, tapi tak banyak hasil (China tetap bangun pangkalan di Mischief Reef yang diklaim Filipina). Pada 2023, insiden laser hijau diarahkan kapal coast guard China ke kapal Filipina jadi berita besar – Manila protes keras. Kini Filipina condong melawan tekanan China melalui kerjasama sekutu: meminta AS, Jepang, bahkan UE bantu freedom of navigation patrols.

ASEAN: Filipina aktif di forum ASEAN, mendukung konsensus Code of Conduct meski agak skeptis karena progress lambat dan China pandai mengulur. Pernah di 2012, Kamboja (pro-China) halangi komunike keras soal LCS, Filipina marah. Jadi, ASEAN solidarity rapuh soal ini. Filipina pun jalin minilateral: Quad (AS-Jepang-India-Australia) didukung secara moral meski tak bergabung, termasuk tertarik latihan bersama dengan Quad di masa depan. Filipina juga mendekat ke Jepang: 2023 meneken perjanjian Reciprocal Access (mirip EDCA mini) membolehkan pasukan Jepang latihan di Filipina. Dengan Australia, Filipina punya Status of Forces Agreement (SOFA) sejak 2012; latihan PAW (Phil-Aus War Exercises) juga rutin.

Hubungan dengan sesama pengklaim LCS (Vietnam, Malaysia): saat Scarborough 2012, Vietnam dukung Filipina melawan China. Ada semangat unity among littoral states, misal 2023 Filipina setuju join Malaysia-Vietnam soal nota bersama UNCLOS submission melawan klaim China. Filipina & Vietnam jalin “strategic partnership” 2015. Namun ada sengketa minor: Filipina masih klaim Sabah (negara bagian Malaysia) warisan Sulu Sultanat, meski praktis tak diperjuangkan aktif, hubungan Manila-KL umumnya baik. Kolaborasi Trilateral Patrols lawan Abu Sayyaf di Sulu melibatkan Malaysia, Indonesia – contoh koordinasi nyata antar ASEAN.

Rusia: Hubungan minim, mulai 2017 Duterte coba beli helikopter Mi-17, tetapi batal karena sanksi. Militer Filipina jarang berlatih dengan Rusia, walau ada kunjungan kapal. Tidak signifikan.

Eropa: Eropa bukan pemain keamanan langsung di Asia Tenggara, tapi Filipina dapat dukungan diplomatik. Prancis dan UK berminat FOIP (kebebasan navigasi). 2021 kapal perang UK Queen Elizabeth CSG singgah Manila, disambut positif – sinyal bantuan. Filipina juga ingin kerjasama militer dengan France (proposal latihan, beli kapal). Jerman dsb dukung arbitrase. Namun hamper belanja senjata dominan ke AS/Asian Allies.

Pada PBB, Filipina terlibat misinya kecil (pasukan di Golan Heights, dll). Reputasi HAM di masa Duterte menurun, menyebabkan Eropa mengancam sanksi (GSP+), ini mempengaruhi sedikit penjualan senjata (Jerman melarang turret ke Mi-17 Filipina, salah satu sebab batal).

Multilateral: Filipina host ADMM 2017, mencoba ASEAN united. Juga di fora global Filipina dukung hukum internasional (krn menang arbitrase). Filipina juga jadi salah satu penggerak Sulu Sea Patrols.

Intinya, Filipina telah membuat poros baru pro-Barat lagi setelah coba mendekat ke China tak menghasilkan solusi klaim. Aliansi dengan AS diperkuat, plus jaringan Indo-Pasifik luas (Quad, EU). Ini meningkatkan deterensi tetapi beresiko buat China lebih agresif. Fil-AS jika makin erat, skenario melibatkan Filipina jika Taiwan konflik jadi mungkin (karena EDCA basis di utara). Sisi domestik, rakyat Filipina umumnya dukung AS (survey menunjukkan kepercayaan ke AS tinggi[64]). Jadi haluannya jelas: kembali ke pangkuan aliansi tradisional.

Setelah pembahasan profil masing-masing negara ASEAN, selanjutnya laporan ini akan mengeksplorasi lima skenario konflik hipotetis antar negara ASEAN. Skenario ini bukan prediksi atau keinginan, melainkan studi imajinatif yang membantu memahami perbandingan kekuatan dan implikasi geopolitik jika konflik (yang dianggap mustahil oleh ASEAN Way namun tidak sepenuhnya mustahil) terjadi. Setiap skenario akan diuraikan latar belakang, jalannya konflik, hasil potensial, serta reaksi regional dan kekuatan besar.

See also   Korban Perang Gaza: Hukum Humaniter yang Terluka

Skenario Konflik Hipotetis Antar Negara ASEAN

Meskipun ASEAN dibentuk dengan spirit musyawarah (muafakat) dan komitmen menghindari perang antar sesama, sejarah mencatat pernah terjadi konfrontasi militer terbatas antar anggota (misalnya Konfrontasi Indonesia-Malaysia 1963-66, perang perbatasan Thailand-Kamboja 2008-2011). Dinamika politik dan klaim teritorial yang tumpang tindih menyimpan potensi gesekan. Berikut disajikan lima skenario hipotetis konflik antar negara ASEAN, disusun untuk menggambarkan beragam kemungkinan: dari konflik maritim hingga perbatasan darat, dari insiden kecil memicu perang hingga persaingan memperebutkan pengaruh eksternal.

Setiap skenario akan memberikan narasi kronologis konflik, analisis kekuatan militer para pihak (merujuk profil yang telah diuraikan), serta konsekuensi geopolitik – termasuk peran kekuatan besar. Penekanan diberikan pada bagaimana faktor kapabilitas militer, ekonomi pertahanan, intelijen, dan aliansi memengaruhi hasil konflik.

Skenario 1: Konflik Laut Ambalat – Indonesia vs Malaysia

Latar Belakang: Sengketa perbatasan maritim di kawasan Laut Sulawesi (Ambalat) antara Indonesia dan Malaysia telah lama muncul dalam insiden kecil (2005 dan 2009 terjadi beberapa standoff kapal perang tanpa kontak tembak). Bayangkan tahun 2026, ketegangan memuncak karena ditemukannya cadangan minyak besar di Blok Ambalat. Negosiasi buntu, kapal survei Malaysia masuk wilayah dipersepsikan Indonesia sebagai ZEE-nya. TNI-AL mengerahkan kapal untuk mengusir. Terjadi tabrakan provokatif – sebuah kapal patroli Indonesia tenggelam karena insiden ini. Sentimen publik di Jakarta dan Kuala Lumpur melonjak, masing-masing menuduh agresi. Upaya ASEAN meredakan gagal, kedua pihak memobilisasi militer ke perbatasan Kalimantan. Konflik terbatas pun pecah: Perang Ambalat meletus di laut dan udara sekitar perairan Tarakan dan Tawau.

Jalannya Konflik (Naratif): Dalam hari-hari pertama, Angkatan Laut Indonesia (TNI-AL) mengerahkan 2 fregat (Diponegoro dan Bung Tomo) serta 4 korvet Parchim ke area sengketa. Malaysia Royal Navy (TLDM) merespons dengan 2 fregat Lekiu dan Kasturi serta kapal selam Scorpène yang diam-diam membayangi. Pertempuran laut pertama terjadi ketika korvet Indonesia KRI Badik bertemu kapal patroli Malaysia KD Selangor – saling tembak artileri 76mm terjadi, KD Selangor rusak dan mundur. Indonesia, dengan armada lebih besar (total aset laut 100+ kapal[87]), mencoba menguasai perairan Ambalat. Namun Malaysia memanfaatkan kapal selam mereka: KD Tun Razak menembakkan torpedo dan berhasil melumpuhkan KRI Diponegoro yang tidak dilengkapi peralatan antisubmarin memadai. Ini pukulan mengejutkan bagi TNI-AL.

Dalam 72 jam, Indonesia melancarkan serangan udara: 4 jet Su-30MK2 TNI-AU dari Makassar dikerahkan melakukan air superiority patrol. TUDM (AU Malaysia) scramble 2 Su-30MKM dan 2 F/A-18D dari Labuan AFB. Terjadi dogfight di atas laut – radar Flanker Indonesia dan Malaysia sama canggihnya, kedua belah pihak saling meluncurkan rudal jarak menengah (R-77 vs AIM-7). Satu F/A-18 Malaysia terkena dan pilotnya eject, sementara 1 Su-30 Indonesia rusak oleh rudal R-77 Su-30MKM Malaysia. Kekuatan udara relatif berimbang: Malaysia unggul pilot yang terlatih di Red Flag AS, Indonesia unggul jumlah (punya 11 Su-30 vs 18 Su-30MKM Malaysia, plus F-16 kendati jarak jangkau F-16 terbatas di area ini).

Di darat, kedua negara memperkuat perbatasan Kalimantan: Indonesia mengirim Kostrad dan Marinir ke Sebatik, Malaysia mengirim batalyon Royal Ranger ke Tawau. Namun perang darat besar tak terjadi karena fokus sengketa di laut.

Setelah seminggu, korban kapal di pihak Indonesia: 1 fregat tenggelam, 1 korvet rusak; di pihak Malaysia: 1 kapal patroli tenggelam, 1 korvet rusak berat. Pesawat: Indonesia kehilangan 2 (1 Su-30, 1 CN-235 MPA ditembak Mirage SAM kapal Malaysia), Malaysia kehilangan 1 F-18 dan 1 helikopter Super Lynx. Kebuntuan mulai tampak.

Analisis Kekuatan: Indonesia memiliki keunggulan jumlah dan skala: TNI dapat mengerahkan 400 ribu prajurit vs 113 ribu Malaysia[18] bila perang meluas (meski di Ambalat hanya sebagian kecil). AL Indonesia aset lebih banyak (7 fregat vs 2 milik TLDM[22], dll). Namun kualitas senjata Malaysia lebih modern di beberapa aspek: Kapal selam Scorpène terbukti game-changer karena Indonesia belum punya anti-sub heli memadai; jet Su-30MKM Malaysia dilengkapi avionik Thales canggih dan rudal R-77, membuat duel udara seimbang meski jumlah Indonesia lebih besar. Malaysia juga manfaatkan networking FPDA – intel Inggris/Singapura mungkin diam-diam membantu Malaysia dengan informasi satelit atau surveillance (karena FPDA melibatkan sharing info). Sementara Indonesia, meski besar, agak tersebar fokus (juga harus jaga Natuna vs China), sehingga tak semua kekuatan dikerahkan penuh ke Ambalat.

Intelijen: BIN Indonesia dan Special Branch Malaysia sama-sama tidak benar-benar unggul, tapi Malaysia punya sedikit keuntungan karena wilayah tarung dekat pangkalan mereka, didukung radar Maritim dan sensor pesisir Sabah (ESSCOM). Indonesia kesulitan AWACS (tak punya), sedangkan Malaysia bisa pakai pesawat AEW C-130 (improvisasi) atau info dari Singapura (FPDA IADS). Akibatnya, di awal Malaysia beberapa kali outmaneuver serangan TNI.

Konsekuensi Geopolitik: Konflik ini menggemparkan ASEAN yang selama ini mempromosikan regional peace. ASEAN gagal mencegah perang antar anggota, memicu seruan perombakan mekanisme konflik resolution ASEAN. Secara geopolitik, kekuatan besar masuk sebagai mediator: Amerika Serikat menawarkan mediasi mendesak (mengingat kedua belah adalah mitra, meski bukan sekutu formal Indonesia). China diam-diam senang melihat ASEAN terpecah, tapi terbatas pengaruhnya di konflik ini.

Singapura, khawatir perang meluas, langsung memanggil FPDA konsultasi darurat. Walau Ambalat di luar area pertahanan FPDA (yang fokus di Semenanjung), Singapura dan Australia menekan diplomasi agar Malaysia-Indonesia berunding. PBB pun bersidang; akhirnya melalui mediasi AS dan FPDA, gencatan senjata tercapai setelah ~10 hari pertempuran.

Pasca konflik, kedua negara menyadari biaya tinggi: Indonesia terkejut teknologi Malaysia bisa melukai armada mereka; Malaysia sadar jika perang berkepanjangan, Indonesia unggul logistik & personel. Hasil diplomasi: disepakati zona eksploitasi bersama di Ambalat, sementara klaim kedaulatan diserahkan ke mahkamah internasional atau arbitrase baru. FPDA mungkin berkembang memasukkan mekanisme cegah konflik intra-ASEAN di masa depan[39]. ASEAN bisa terdorong mempercepat Code of Conduct mencegah insiden maritim.

Bagi militer, Indonesia mempercepat rencana beli kapal selam baru dan helikopter ASW, sadar celah anti-sub mereka[5]. Malaysia di sisi lain mungkin meningkatkan jumlah kapal kombatan atau meminta dukungan FPDA (mungkin menempatkan radar pertahanan udaranya di Sarawak).

Ringkasan: Konflik hipotetis Indonesia-Malaysia ini menunjukkan bahwa kapasitas militer tak hanya soal kuantitas, tetapi kualitas dan aliansi. Kendati Indonesia lebih kuat atas kertas, Malaysia bisa menimbulkan kerusakan berarti berkat aset modern dan dukungan jaringan FPDA. Konflik ini memperlemah kohesi ASEAN sementara waktu, tetapi juga mendorong perbaikan mekanisme resolusi konflik regional ke depan.

Skenario 2: Ketegangan Sabah – Malaysia vs Filipina

Latar Belakang: Klaim historis Filipina atas Sabah (Malaysia Timur) selalu menjadi duri diplomatik. Pada 2013, insiden Lahad Datu terjadi ketika ratusan pengikut Sultan Sulu dari Filipina masuk Sabah memproklamirkan klaim, menyebabkan baku tembak[88]. Bayangkan skenario pertengahan 2024: situasi politik Filipina memanas, sebuah faksi politik populis memicu sentimen “Sabah milik Filipina”. Gerilyawan Sulu memanfaatkan situasi – sekitar 500 bersenjata nyusup ke Sabah melalui laut, menyerbu pos polisi perbatasan. Pemerintah Malaysia menganggap ini invasi terselubung didukung elemen militer Filipina (walau Manila menyangkal). Malaysia kerahkan tentara ke Sabah. Di sisi Filipina, tekanan domestik membuat Presiden harus bersikap tegas – ia mengirim kapal Angkatan Laut ke perairan dekat Sabah “untuk melindungi warga Filipina”. Stand-off pun terjadi antara tentara Malaysia di Tawau dengan kelompok bersenjata Sulu, ditambah hadirnya kapal perang Filipina di dekatnya. Sekitar perbatasan laut, kapal Malaysia dan Filipina saling kunci senjata.

Jalannya Konflik: Malaysia melancarkan operasi keamanan Ops Kinabalu II, mengerahkan 2 batalyon tentara dan unit VAT 69 polisi mengepung kelompok bersenjata Sulu di sebuah desa pantai dekat Lahad Datu. Terjadi baku tembak sengit; militer Malaysia dukung dengan helikopter Nuris dan Agusta Westland. 50 gerilyawan tewas namun sisanya menyandera penduduk setempat. Di seberang, berita marak di Filipina menyorot “warga Filipina di Sabah diserang”. Tekanan memuncak, Presiden Filipina memerintahkan satuan Angkatan Laut (2 korvet kelas Rizal dan 4 kapal cepat MPAC) bergerak menuju Sabah “untuk evakuasi warga kami”. Royal Malaysian Navy memblokade pantai; lalu suatu malam, tim gunboat Filipina nekat menerobos – terjadilah bentrok: kapal patroli Malaysia melepaskan tembakan peringatan, disambut tembakan balik. Satu MPAC Filipina terkena tembakan meriam 30mm, tenggelam, 6 ABK gugur. Ini memicu perang terbuka terbatas Malaysia-Filipina.

Malaysia mengumumkan zona perang di pantai timur Sabah. TUDM mengerahkan 4 jet Hawk 208 melaksanakan close air support terhadap kantong gerilyawan, menghancurkan markas sementara mereka. Filipina yang marah kemudian mengirim 2 FA-50PH menyeberang Laut Sulu. Mereka terbang rendah menghindari radar Malaysia dan melesatkan rudal Maverick ke pos militer Malaysia di pulau terpencil Sipadan (tidak banyak korban namun langkah eskalatif). Sebagai balasan, Malaysia meluncurkan 2 Sukhoi Su-30MKM ke perbatasan. Kedua belah jet bertemu di udara – meski FA-50 lebih inferior (subsonik, radar kecil), mereka melawan gigih. Satu FA-50 tertembak rudal AMRAAM dari Su-30MKM, satu lagi kabur ke Palawan.

Menyadari ketidakseimbangan kekuatan (Malaysia militer lebih modern), Filipina mencoba taktik asymmetric: mendorong milisi Sulu dan mungkin NPA (gerilyawan komunis) di Sabah untuk lawan berlarut-larut. Malaysia pun memperkuat ESSCOM (Eastern Sabah Security Command): pasukan tambahan dari Semenanjung didatangkan via udara menggunakan A400M, dan blokade laut diintensifkan. Angkatan Laut Filipina tak mampu menembus karena kapal mereka terbatas dan harus menghadapi TLDM yang unggul teknologi (fregat Lekiu vs korvet Rizal jelas beda kelas).

Perang berlangsung beberapa minggu, terutama berupa operasi kontra-pemberontak di Sabah serta skirmish laut kecil. Malaysia menekan kelompok Sulu pakai keunggulan pasukan khusus VAT 69 dan bantuan intel mungkin dari drone AS (karena AS dukung Malaysia lawan teroris). Filipina menghadapi dilema: jika terus eskalasi, aliansi AS (MDT) tak berlaku karena Filipina-lah yang melawan negara lain, sehingga dukungan AS minimal (hanya himbau tenang). Preseden diplomatik buruk mendorong Filipina akhirnya menerima mediasi ASEAN.

Analisis Kekuatan: Ini memperlihatkan Malaysia unggul militer vs Filipina. Walau Filipina punya personel lebih banyak (150k vs 113k)[18][29], peralatan Filipina jauh lebih lemah. Malaysia mengerahkan Su-30MKM, F/A-18D, Hawk; Filipina maksimal FA-50 (tidak sebanding). Di laut, frigat modern Malaysia vs kapal lawas Filipina (Jose Rizal-class PN lumayan tapi hanya 2 dan tak ingin rusak karena baru). Secara teknologi, Malaysia satu generasi di depan Filipina. Kelebihan Filipina hanyalah motif ideologi (Sulu militias fight like insurgents, something Malaysia not fully used to di negeri sendiri) dan dukungan lokal diaspora Filipina di Sabah (bisa timbul kerusuhan sabotase di dalam). Filipina bisa memanfaatkan asymmetric warfare, tapi di skenario ini jangka pendek (minggu-an) tak cukup kembangkan.

Intelijen, Malaysia unggul lokal: ESSCOM dan Special Branch telah lama memantau sel-sel Sulu[88]. Filipina mungkin dapat dukungan moral dari jaringan muslim di region, tapi tak konkret.

Konsekuensi Geopolitik: ASEAN dalam posisi sulit – dua anggotanya konflik soal isu sensitif. Indonesia berusaha mediasi (punya hubungan baik dengan kedua dan tak ingin perpecahan regional). China mengambil kesempatan mendekati Filipina diam-diam menawarkan dukungan politik dengan syarat entah apa (tapi Filipina mungkin tak mau terikat China gara-gara Sabah). AS cenderung dukung Malaysia (karena melawan teroris Sulu yang di masa lalu membunuh sandera AS), sehingga Filipina tak bisa mengandalkan MDT di konflik ini.

Setelah tekanan diplomatik, Presiden Filipina setuju menahan klaim Sabah dan menarik kapal militernya, dengan imbalan Malaysia memberi amnesti pada milisi Sulu yang menyerah (kecuali dalang utamanya). Negara ASEAN khawatir – ini kedua kali perang ASEAN terjadi (setelah scenario Ambalat). Efek internal, Malaysia memperkuat integrasi Sabah – mungkin mempercepat program pemberian IC (KTP) bagi warga keturunan Filipina yang loyal, sambil menata pertahanan dengan membangun pangkalan militer permanen di Lahad Datu. Filipina mengalami guncangan politik – oposisi menyalahkan pemerintah karena gegabah, militernya juga evaluasi bahwa mereka tidak siap perang konvensional (dorongan mempercepat Horizon 3 untuk beli jet multirole modern).

Secara hubungan, Filipina-Malaysia sempat retak. Kerjasama di MINDA (trilateral Sulu patrol) tertunda sementara. Namun kedua belah pihak sadar konflik menguntungkan teroris dan kuasa besar – jadi perlahan baikan. ASEAN kemungkinan mendorong semacam protokol anti-klaim teritorial antar anggota demi hindari pengulangan (mirip Piagam ASEAN komitmen integritas wilayah).

Ringkasan: Skenario Sabah ini menekankan bahwa ketidakseimbangan kekuatan militer antar anggota dapat mencegah konflik meluas – Filipina tak mampu menang, Malaysia pun tak berniat okupasi Filipina. Namun insiden macam ini beri pelajaran: isu klaim historis bisa menyala jika ada aktor non-negara memprovokasi. Juga, keterlibatan militer Filipina di luar negeri memprihatinkan mengingat kemampuannya kurang. Dalam kenyataan, Filipina kemungkinan besar tak ingin konfrontasi militer dengan sesama ASEAN karena sadar kelemahan (ini sesuai prinsip diplomasi Filipina). Skenario ini mendorong penyelesaian damai final soal Sabah di jangka panjang, mungkin lewat negosiasi kompensasi ke keturunan Sultan Sulu.

Skenario 3: Perebutan Kuil Preah Vihear – Thailand vs Kamboja

Latar Belakang: Thailand dan Kamboja memiliki sejarah sengketa perbatasan di sekitar Kuil Preah Vihear. Tahun 1962 ICJ memutuskan candi di wilayah Kamboja, tapi area tanah di sekitarnya diperebutkan. 2008-2011 terjadi beberapa bentrokan artileri dan korban jiwa di perbatasan tersebut[67]. Skenario ini berangkat dari situasi pasca 2025: politik domestik Thailand bergolak (pergantian pemerintahan, nasionalisme militer tinggi), Kamboja juga baru suksesi. Keduanya kembali mempersoalkan demarkasi sekitar Preah Vihear. Sebuah insiden terjadi: sekelompok biksu Thailand melintas memasang bendera di reruntuhan dekat candi, polisi perbatasan Kamboja mengusir dengan tembakan peringatan. Militer Thailand merespons mengirim satu peleton “menjemput” biksu, situasi tegang. Tiba-tiba meletus baku tembak antara patroli perbatasan, menewaskan 5 tentara Thailand dan 3 Kamboja. Dua negara saling tuduh provokasi.

Jalannya Konflik: Angkatan Darat Thailand (RTA) segera mengerahkan Divisi Infanteri 2 ke perbatasan Ubon Ratchathani. Kamboja, dengan tentara lebih kecil namun posisi bertahan di bukit Preah Vihear, menyiagakan Brigade 9 Infanteri menjaga candi. Tembak-menembak artileri terjadi beberapa malam: Thailand menembakkan meriam 155mm ke perbukitan (wilayah Kamboja), Kamboja balas dengan roket BM-21 Grad ke pangkalan Thai terdekat[89]. Serangan roket Kamboja menghantam desa perbatasan Thailand, 10 warga sipil tewas – publik Thai marah, menuntut pembalasan.

RTA mengerahkan armor: belasan tank VT-4 baru dibawa mendekati front. Dalam serbuan fajar, tank-tank Thai bergerak di dataran menembaki pos Kamboja. Tentara Kamboja dengan senjata anti-tank RPG berusaha hadang. Satu VT-4 terkena RPG-7 di rantai, berhenti (tidak hancur). Pasukan Thai terus maju didukung helikopter Cobra. Kamboja tak punya helikopter serang, tapi mereka punya meriam 130mm era Soviet cukup banyak – mereka bombardir laju tank, menimbulkan kerusakan pada kendaraan lapis baja ringan Thai.

Di udara, Thailand menguasai langit penuh. RTAF menggelar 4 F-16 dan 2 Gripen untuk air patrol. Angkatan Udara Kamboja nyaris tak ada pesawat tempur (mereka hanya punya helikopter transport dan beberapa pesawat latih). Jadi RTAF leluasa melakukan show of force – dua JAS-39 Thai menukik melintas rendah di atas Phnom Penh sebagai psywar (tanpa bom, sekadar gertak). Ini mengejutkan pimpinan Kamboja: PM Kamboja telepon minta Tiongkok bantu mediasi cepat. China, sekutu Kamboja, mendesak Dewan Keamanan PBB mengutuk pelanggaran udara Thai.

Pertempuran darat makin sengit di Kuil. Pasukan komando Thailand (Queen’s Cobra) mencoba flank melalui jalur hutan, tapi terjebak ranjau yang dipasang Kamboja (sisa era perang sipil). Korban berjatuhan di kedua pihak. Pasukan Kamboja berjuang keras meski kalah teknologi; media internasional mulai meliput “pertahanan heroik prajurit Kamboja”. Tekanan diplomatik meningkat, ASEAN (di bawah ketua Vietnam misalnya) adakan pertemuan darurat.

Setelah 2 minggu, Thailand berhasil menduduki area di luar candi tetapi candi Preah Vihear sendiri masih di tangan Kamboja. Eskalasi lebih lanjut dikhawatirkan (apakah Thai akan serbu candi – bisa picu kecaman UNESCO). Pada titik ini, masuklah pasukan penjaga perdamaian ASEAN (misal Indonesia menawarkan memimpin, seperti pernah diusulkan 2011[68]). Thailand, di bawah tekanan global (karena melanggar situs warisan dunia), setuju jeda. Gencatan senjata brokered oleh PBB dan ASEAN pun terjadi.

Analisis Kekuatan: Thailand jauh unggul dibanding Kamboja. Active personnel Thai ~360k vs ~124k Kamboja[90]. Alutsista: Thai punya ratusan tank modern/light (VT-4, T-84, Stingray) vs Kamboja ~200-300 tank tua T-55/Type-59 kebanyakan tak sepenuhnya operasional[40]. Angkatan udara: Thailand punya ~70 jet F-16/Gripen/Hawk[15] vs Kamboja tak ada. Jadi di konflik terbuka, Thai militarily superior. Itu terlihat di skenario: Thai mendominasi udara, menang di medan terbuka.

Namun Kamboja punya keuntungan bertahan di terrain sulit (kuil di bukit curam). Moral tentara Kamboja sangat tinggi mempertahankan simbol nasional. Dan dukungan politik China ke Kamboja memperkuat posisi diplomatik. China mungkin kirim suplai senjata cepat (misal rudal MANPADS QW-2 anti-udara ke Kamboja, mengancam helikopter Thai). Juga, Thailand tak mau konflik berkepanjangan karena sumber daya perlu jaga perbatasan lain (dan kecaman global).

Intelijen: Thai tentunya lebih canggih (mereka punya citra satelit lewat aliansi, Kamboja bergantung info dari China). Tapi Kamboja mungkin dibantu penasihat militer China diam-diam, misal operasikan drone komersial buat intai artileri Thai.

Konsekuensi Geopolitik: Konflik ini nyata pernah hampir terjadi di 2011[66]. ASEAN wktu itu menunjuk Indonesia kirim observer, namun Thai agak menolak campur. Dalam skenario ini, ASEAN mungkin lebih satu suara agar Thai menarik diri (kecuali Laos dan Myanmar condong netral/pro-Kamboja). Thai pun terpaksa patuh demi reputasi.

China memposisikan diri “pembela Kamboja”, memperkuat cengkeraman di Kamboja (bisa tawarkan alutsista baru gratis sbg reward kesetiaan). Ini mengkhawatirkan Vietnam & Laos, takut pengaruh China makin besar. Juga, ASEAN jadi terbelah: blok pro-China (Kamboja, Laos, Myanmar) vs yang netral/pro-Thailand (Singapura, Filipina cenderung netral/dorong US menahan Thai).

Setelah gencatan senjata, mungkin dibentuk zona demiliterisasi di area sengketa, dijaga pasukan ASEAN atau PBB. Kedua belah dipaksa kembali negosiasi perbatasan.

Thailand belajar bahwa walau lebih kuat, melanggar hukum internasional (karena ICJ sudah putuskan candi milik Kamboja[66]) hasilnya isolasi diplomatik. Kamboja di sisi lain makin bergantung ke militer China (mungkin minta pangkalan China di Kamboja sbg jaminan kalau Thai coba lagi – skenario yang meresahkan ASEAN non-China).

Ringkasan: Skenario ini menunjukkan asimetri kekuatan di ASEAN: militer terkecil pun (Kamboja) bisa menahan militer jauh lebih besar (Thailand) cukup lama dengan posisi defensif, serta memanfaatkan diplomasi internasional. Ini juga menegaskan peran kekuatan eksternal (China) yang bisa memperuncing konflik intra-ASEAN demi pengaruh. Bagi ASEAN, situasi ini mempercepat keinginan punya mekanisme pencegahan konflik (mungkin paramilitary peacekeeping force regional).

Skenario 4: Krisis Pengungsi dan Baku Tembak Perbatasan – Myanmar vs Thailand

Latar Belakang: Pascakudeta Myanmar 2021, perang saudara antara Tatmadaw (militer Myanmar) dan kelompok etnis serta pro-demokrasi (PDF) meningkat. Thailand berbatasan panjang dengan Myanmar, kerap menerima limpahan pengungsi dan insiden nyasar (mortir atau jet Myanmar melanggar wilayah Thai). Skenario ini tahun 2025: situasi Myanmar utara Karen State memanas, Tatmadaw melancarkan ofensif besar ke basis Karen National Union (KNU) dekat perbatasan Thailand. Ribuan warga Karen lari menyeberang ke Thailand. Tentara Myanmar tak segan menembak mortar hingga melintasi perbatasan. Satu desa Thai di Tak terkena mortir, menewaskan 2 penduduk Thai. Angkatan Darat Thailand di perbatasan mengirim notifikasi protes ke Tatmadaw, tapi diabaikan. Suatu hari, jet tempur Myanmar (yakni JF-17) mengejar gerilyawan terlalu dekat perbatasan dan melanggar wilayah udara Thai[91]; RTAF scramble F-5E tua untuk intercept, jet Myanmar keluar tapi menjatuhkan bom keburu di area Thailand (keliru). Thailand marah, menganggap agresi.

Jalannya Konflik: Thailand memindahkan 2 batalyon tentara ke perbatasan Mae Sot, meriam 155mm disiagakan. Myanmar memperingatkan “jangan dukung teroris KNU”. Suasana genting ketika di sebuah titik perbatasan, patroli Thai menolak permintaan Tatmadaw untuk menyerahkan pengungsi. Tentara Myanmar lalu melepaskan tembakan ke pos Thai, memicu baku tembak. Tentara Thai membalas tembakan intens, menewaskan beberapa prajurit Myanmar. Keesokan harinya, militer Myanmar memutuskan “menghukum” pos tersebut: mereka melancarkan serangan fajar – 2 heli serang Mi-35P melintasi perbatasan menyerang kamp pengungsi (dengan dalih di sana bersembunyi “teroris” KNU). Helikopter itu mengenai sasaran sipil, puluhan pengungsi tewas, juga 3 tentara Thai.

Thailand murka – RTAF segera meluncurkan 4 F-16 untuk combat air patrol. Mereka menembak jatuh 1 heli Mi-35 Myanmar yang telat keluar. Thailand lalu mengeluarkan ultimatum agar Myanmar mundur 5 km dari border atau diserang. Junta Myanmar justru mengencangkan retorik bahwa Thailand melindungi pemberontak. Pertempuran pecah: Artileri Thai menggempur basis Tatmadaw di sisi Myanmar (mengenai kamp militer di Myawaddy). Tatmadaw balas dengan roket 122mm ke pos Thai.

Situasi menjurus perang terbuka. Namun Thailand tampak menahan diri tak masuk jauh wilayah Myanmar, cukup ciptakan zona aman di sisi Thai. Militer Myanmar di perbatasan kalah kualitas – satuan Thai (Divisi Inf 9) terlatih baik, sedangkan pasukan Tatmadaw terkuras perang internal. Dalam 3 hari, Thailand efektif kuasai buffer zone 3 km di dalam Myanmar (desa-desa kosong ditinggal lari penduduk). Junta Myanmar menghadapi front tambahan tak diinginkan – sebagian komandan menyarankan segera gencatan ke Thai agar fokus lawan PDF. Namun jenderal junta keras kepala, malah memerintahkan unit Angkatan Udara Myanmar mencoba serang markas Thai di Mae Sot. Serangan udara dilakukan malam oleh 2 Yak-130 (jet latih serang), tapi RTAF sudah bersiaga – 2 Gripen dikerahkan dari Surat Thani, menembak jatuh kedua Yak-130 sebelum sempat bomb release.

Kekalahan udara telak memaksa Myanmar akhirnya terima mediasi. China, yang bertetangga dan berpengaruh di Myanmar, panik konflik meluas tak terkendali, segera menekan junta mengalah di front Thai. Beijing juga hubungi Bangkok (punya hubungan baik) tawarkan fasilitasi pertemuan. Akhirnya, pertempuran mereda setelah ~1 minggu.

Analisis Kekuatan: Secara konvensional Thailand unggul jauh atas Myanmar dalam hal teknologi dan kesiapan. Walau jumlah personel Myanmar diklaim ~300-350k, analis memperkirakan efektif tinggal ~150k akibat desertir[92]. Thai ~360k terlatih baik. Thailand punya angkatan udara modern vs Myanmar beberapa jet Sino-Pakistan JF-17 dan Yak-130 subsonik yang inferior. Heli serang Myanmar (Mi-35) berbahaya bagi pemberontak, tapi lawan tentara Thai dengan pertahanan udara (RBS-70 MANPADS dll) mudah ditembak jatuh.

Kekuatan Myanmar hanya etos prajurit (mereka kasar ke sipil, tapi moral melawan Thai bisa luntur – kenapa lawan negara tetangga ketika di dalam negeri ada musuh lebih mendesak?). Juga, Myanmar under heavy sanctions, supply suku cadang minim; sedang Thailand berlimpah dukungan (AS bisa diam-diam beri intel UAV).

Thailand pun tak berniat invasi mendalam (tak mau terjebak seperti AS di Vietnam dulunya). Cukup pukul Tatmadaw supaya jaga peluru. Ini sesuai skenario: Thai buat buffer, lalu stop.

Konsekuensi Geopolitik: Konflik ini contoh peperangan implikasi krisis domestik (civil war spillover). ASEAN serbasulit: Myanmar di ASEAN tapi dikucilkan junta-nya. Thailand melanggar prinsip non-intervensi? Walau Thai bilang bela diri dari mortar nyasar. ASEAN dibawah Chair (misal Indonesia 2023) kumpulkan extraordinary summit. Tekan Myanmar implementasi 5-Point Consensus (gencatan nasional). Junta Myanmar makin tersudut reputasi – kalah militer lawan Thai, domestic chaotic. Mungkin memaksa mereka kembali negosiasi damai dengan etnis.

Dalam big picture, China main peran ganda: dukung junta tapi tak mau perang dengan Thai (China punya invest banyak di Thai). AS dan Barat mendukung Thailand (secara moral, bahkan puji Thai melindungi pengungsi). Hasilnya, posisioning geopolitik Myanmar makin dekat ke China (karena butuh senjata ganti yang hancur, minta tolong China/Rusia). Thailand makin dianggap pilar pro-demokrasi (karena melawan junta).

Konflik berakhir dengan Thailand menarik pasukan usai dapat jaminan Myanmar tidak kejar pengungsi lagi dan setuju border safety zone diawasi ASEAN observer (kalau jadi, mungkin militer ASEAN bergantian jaga, win-win).

Bagi militer Thai, ini sedikit “pemanasan” memperkuat patriotisme (pemerintah Thai mungkin diuntungkan domestik). Bagi Tatmadaw, moral drop makin memicu desertir. Bisa jadi skenario ini satu paku peti mati rezim junta – dalam setahun kudeta internal pecah di Myanmar oleh perwira yang kesal.

Ringkasan: Skenario Myanmar-Thai memperlihatkan dampak instabilitas internal satu negara memicu konflik antarnegara di ASEAN. Juga menunjukkan ketimpangan militer (Myanmar dulunya kuat era 90an, kini rapuh; Thai walau kudeta2 tapi profesional hadapi situasi). Dan sekali lagi, kekuatan besar (China) menentukan eskalasi: intervensi diplomatik China sangat penting menahan Myanmar (client state-nya). Hal ini tegaskan betapa tergantungnya Myanmar ke China, dan buat ASEAN dilema – penyelesaian krisis Myanmar perlu kerjasama dengan China.

Skenario 5: Perlombaan Senjata di Laut Natuna Utara – Indonesia vs Vietnam vs Malaysia (Sengketa Multilateral)

Latar Belakang: Laut Cina Selatan (LCS) jadi arena tumpang tindih klaim bukan hanya China vs ASEAN, tapi antar negara ASEAN sendiri di Spratly dan parit laut. Contohnya pulau/koral di Spratly: Vietnam, Malaysia, Filipina masing-masing menduduki sebagian dan mengklaim lainnya. Indonesia tak mengklaim Spratly, namun punya ZEE Natuna Utara yang bersinggungan dengan klaim China dan Vietnam. Skenario ini imajinasikan situasi multi-negara: 2027, setelah China dan AS tegang di Laut Filipina, ASEAN claimant berusaha memperkuat posisi. Vietnam memperluas landasan di Pulau Spratly (Truong Sa Lon). Malaysia mengumumkan eksplorasi migas baru di daerah dituntut Vietnam dekat Sabah. Indonesia, meski bukan claimant Spratly, gusar karena kapal-kapal Vietnam makin sering masuk Natuna Utara untuk menangkap ikan.

Hal ini memicu insiden: kapal coast guard Vietnam dan Malaysia bertabrakan dekat Karang Amboyna (feature diklaim kedua). Malaysia tangkap 5 nelayan Vietnam. Vietnam marah, kirim kapal patroli bersenjata ke sana. Malaysia minta Indonesia – selaku negara besar ASEAN – bantu mediasi atau kirim observer. Indonesia berinisiatif mengirim 2 kapal Bakamla ke wilayah sengketa untuk “memantau netral”. Tapi langkah ini disalahpahami: Vietnam menduga Indonesia mendukung Malaysia (karena sama-sama Muslim, dsb). Tensi naik segitiga.

Jalannya Konflik: Di Karang Amboyna, kapal Vietnam Fisheries Surveillance menolak pergi saat kapal TLDM Malaysia tiba. Terjadi tembakan peringatan, lantas pertempuran kecil – senapan mesin kedua pihak. Kapal Malaysia rusak kena RPG Vietnam, tenggelam, beberapa pelaut gugur. Malaysia nyatakan ini casus belli. Sementara itu di Natuna, kapal nelayan Vietnam (berlindung di balik coast guard-nya) terlibat kejar-kejaran dengan Bakamla Indonesia. Sebuah kapal Bakamla ditabrak kapal Vietnam sampai nyaris karam. TV Indonesia menayangkan, publik berang.

Kini 3 negara maritim ASEAN ini di ambang pertempuran terbuka.

Malaysia mengerahkan kapal perang – 1 fregat Lekiu ke Amboyna Cay, bersama 2 kapal cepat. Vietnam pun kirim 2 korvet Molniya bersenjata rudal. Terjadi standoff. Lalu situasi meletus ketika salah satu korvet Vietnam mengunci radar ke fregat Malaysia – anggap akan menembak, frigat Malaysia mendahului melepaskan 2 rudal Exocet. Satu rudal meleset, satu mengenai korvet Vietnam, meledak hebat dan kapal itu terbakar. Vietnam pun menembakkan rudal anti kapal Kh-35 dari korvet kedua – mengenai fregat Malaysia, menyebabkan kerusakan berat (mesin mati). TNI-AL Indonesia yang memantau (punya 1 korvet di radius 50km) tak terlibat baku tembak, tapi melaporkan intel ke Jakarta.

Diplomasi panas: Ibu kota ketiga negara sibuk saling kontak. Namun lapangan terus genting: Angkatan Laut Vietnam memerintahkan satu skuadron Kilo submarines menuju area Amboyna. Malaysia meminta bantuan intel dari Singapura (FPDA). Singapura mengirim pesawat MPRA (Poseidon) pantau subs Vietnam.

Di Natuna, Indonesia memanfaatkan momen – mereka luncurkan operasi “Tumpas Ikan Asing”: mengerahkan 4 KRI (termasuk 2 korvet Parchim, 2 OPV) untuk menyapu kapal-kapal Vietnam di ZEE-nya. Satu kapal patroli Vietnam yang bandel ditangkap TNI AL, ABK-nya ditahan.

Vietnam kini hadapi 2 front: melawan Malaysia di Amboyna, disikat Indonesia di Natuna. Hanoi memutuskan fokus ke ancaman terbesar: Malaysia (karena sudah adu senjata). Kepada Indonesia, Vietnam kirim nota diplomatik protes tapi tahan diri tak melawan bersenjata, berharap kelak negosiasi.

LCS pun memanas – China diam-diam senang rival ASEAN saling perang. Filipina dan Brunei cemas, serukan ASEAN emergency meeting.

Pertempuran Amboyna memuncak saat AL Vietnam mempraktikkan taktik “serbuan subs”: 2 kapal selam Kilo memburu kapal Malaysia. Satu Kilo melepas torpedo ke frigat Malaysia yang sedang ditarik ke pangkalan – frigat pun tenggelam[5]. Ini pukulan bagi TLDM (kehilangan salah 1 dari hanya 2 fregat modern!). FPDA langsung aktif: Singapura dan Australia mendesak gencatan, bahkan merencanakan utus kapal Angkatan Laut ke area kalau perlu melindungi Malaysia. Hal ini buat Vietnam gentar – tak ingin perang dengan negara FPDA. Maka Vietnam mendeklarasikan “kami pertahankan hak kami tapi siap gencatan ASEAN”.

Indonesia, sebagai pihak agak luar, menawarkan diri mediasi resmi. Didukung Singapura, pertemuan di Jakarta dilakukan. Setelah 2 minggu tensi, dicapai kesepakatan: ketiga negara setuju freeze aktivitas di area sengketa; menempuh perundingan trilateral klaim maritim; tahan diri tingkatkan militer di LCS. Pertempuran pun usai, meski kecurigaan tertinggal.

Analisis Kekuatan: Skenario ini kompleks karena multi-negara. Vietnam punya AL cukup kuat (9 frigat/korvet, 6 submarine[93]) vs Malaysia (2 fregat, 2 subs[22]) vs Indonesia (7 frigat, 4 subs[55], plus banyak kapal kecil). Secara keseluruhan, Indonesia > Vietnam > Malaysia dalam total. Tapi di area kecil Spratly, Vietnam unggul lokal (basis dekat, bisa kerahkan banyak kapal cepat, subs). Malaysia terpencar (dari Sabah). Indonesia sebetulnya paling kuat, tapi tak klaim area itu, terlibat atas insiden Natuna. Kemampuan militer: Vietnam berani karena punya submarine advantage (terbukti menenggelamkan frigat Mal[5]). Malaysia terbatas kapal, reliance ke FPDA. Indonesia unggul jumlah tapi tak main di Spratly (hanya natuna, di mana menang sepihak lawan nelayan).

Geopolitik, perang ini merugikan semua kecuali China. China bisa hadir sebagai “penengah” tapi ASEAN cenderung selesaikan sendiri. FPDA tunjuk peran melindungi Malaysia (semi deter China juga).

Konsekuensi Geopolitik: ASEAN jadi sadar bahaya sengketa internal LCS, mungkin buat mekanisme “ASEAN maritime zone resolution” agar gak dipecah belah China. China diuntungkan jangka pendek (ASEAN unity drop), tapi jangka panjang malah dorong Vietnam-Malaysia-Indo lebih militerisasi – mungkin belanja kapal & rudal agar unggul satu sama lain, tapi itu juga bisa dipakai lawan China. US & Barat mungkin tawarkan alutsista ke ketiganya (ambil kesempatan pasar).

Setelah konflik, mungkin trilateral maritime patrol Indo-Viet-Mal utk jaga dari intrusi asing (alias China), jadi ironisnya konflik internal memaksa mereka bekerjasama lagi lawan ancaman lebih besar.

Bagi Indonesia, mereka lihat harus jaga netral tapi kuat di LCS – kemungkinan percepat program pembelian kapal fregat besar (Frigate Arrowhead UK misal). Vietnam & Malaysia mungkin percepat aspirasi resolusi damai klaim overlapping (agar bisa fokus hadapi China).

Ringkasan: Skenario segitiga ini gambarkan kompleksitas multi-claim di LCS. Koordinasi buruk antar ASEAN bisa pecah konflik. Pentingnya komunikasi & transparansi militer ASEAN (misal pakta non-agresi internal atau hotline menteri pertahanan). Menonjol juga, kekuatan besar (AS, China) tdk intervensi langsung – menandakan jika ASEAN conflict internal, mereka cenderung biarkan (dengan masing2 punya preferensi: China pro-Viet? AS pro-Mal/Indo?). Hal ini seyogianya memacu ASEAN perkuat mekanisme sendiri.

Kelima skenario hipotetis di atas menekankan betapa rentannya perdamaian regional jika ASEAN gagal mengelola sengketa perbatasan dan rivalitas nasionalisme. Faktor-faktor seperti perbedaan kekuatan militer, campur tangan kekuatan besar, dan masalah internal suatu negara dapat memicu konflik yang melibatkan negara tetangga. Dalam dunia nyata, ASEAN telah berhasil mencegah peperangan antar anggotanya sejak 1960an, namun tantangan ke depan (klaim maritim, perubahan rezim, perlombaan senjata) tetap perlu diwaspadai.

Pembelajaran utama dari analisis ini meliputi: – Pentingnya diplomasi preventif ASEAN: mekanisme seperti Hotline militer antar panglima, forum arbitrase (ICJ untuk kasus seperti Preah Vihear) harus dioptimalkan sebelum letusan senjata. – Modernisasi militer yang seimbang: Kesenjangan kapabilitas antarnegeri dapat mendorong agresi dari yang lebih kuat atau mispersepsi di yang lebih lemah. Transparansi melalui forum seperti ASEAN Defence Ministers’ Meeting (ADMM) perlu ditingkatkan agar pembangunan kekuatan tidak disalahartikan. – Peran kekuatan eksternal: Konflik ASEAN dapat dimanfaatkan pihak luar. Memperkuat kesatuan ASEAN (solidaritas dalam sengketa LCS, misalnya) akan mengurangi peluang proxy war atau intervensi yang memecah belah. – Menangani aktor non-negara: Banyak skenario dipicu milisi/nelayan/gerilyawan. Kerja sama intelijen dan penegakan hukum antar ASEAN perlu ditingkatkan menanggulangi ancaman lintas batas semacam itu sebelum memantik konflik antarnegara.

Pada akhirnya, meskipun skenario-skenario di atas bersifat hipotetis, analisisnya didasarkan pada kapabilitas nyata dan dinamika politik terkini di Asia Tenggara. Hal ini memberikan gambaran bahwa perdamaian ASEAN bukan sesuatu yang taken for granted, melainkan memerlukan upaya kolektif kontinu. Kekuatan militer yang modern sebaiknya menjadi deterrent untuk menjaga stabilitas, bukan untuk konfrontasi antar anggota. Semoga ASEAN dapat terus memegang prinsip persatuan dan menyelesaikan perselisihan melalui jalur damai, sebagaimana diamanatkan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) yang menjadi fondasi norma kawasan.

[1] [2] [3] [4] [5] [6] [48] [49] [50] [51] [52] [53] [54] [55] 2025 Indonesia Military Strength

https://www.globalfirepower.com/country-military-strength-detail.php?country_id=indonesia

[7] [8] [9] [10] [11] [47] [70] [71] [72] [89] [93] Comparison of Thailand and Vietnam Military Strengths (2025)

https://www.globalfirepower.com/countries-comparison-detail.php?form=form&country1=thailand&country2=vietnam&Submit=COMPARE

[12] [40] [41] [74] [78] [90] Comparison of Vietnam and Cambodia Military Strengths (2025)

https://www.globalfirepower.com/countries-comparison-detail.php?country1=vietnam&country2=cambodia

[13] [14] [15] [16] 2025 Thailand Military Strength

https://www.globalfirepower.com/country-military-strength-detail.php?country_id=thailand

[17] [34] [35] [36] [37] Comparison of Thailand and Myanmar Military Strengths (2025)

https://www.globalfirepower.com/countries-comparison-detail.php?country1=thailand&country2=myanmar

[18] [19] [20] [21] [22] [87] 2025 Malaysia Military Strength

https://www.globalfirepower.com/country-military-strength-detail.php?country_id=malaysia

[23] Malaysia Defense Market Size, Trends, Budget Allocation …

https://www.globaldata.com/store/report/malaysia-defense-market-analysis/

[24] [25] [26] [27] [63] 2025 Singapore Military Strength

https://www.globalfirepower.com/country-military-strength-detail.php?country_id=singapore

[28] [33] [38] [56] [81] [84] Trends in World Military Expenditure, 2024

https://www.sipri.org/sites/default/files/2025-04/2504_fs_milex_2024.pdf

[29] [30] [31] [32] 2025 Philippines Military Strength

https://www.globalfirepower.com/country-military-strength-detail.php?country_id=philippines

[39] How do Cambodia and Thailand’s militaries compare?

https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/how-do-cambodia-and-thailands-militaries-compare

[42] [44] [46] List of countries by number of military and paramilitary personnel

https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_number_of_military_and_paramilitary_personnel

[43] Brunei defense budget surges by 32%, with focus on intel, targeting

https://www.defensenews.com/global/asia-pacific/2024/03/07/brunei-defense-budget-surges-by-32-with-focus-on-intel-targeting/

[45] 2025 Laos Military Strength

https://www.globalfirepower.com/country-military-strength-detail.php?country_id=laos

[57] The Role of ASEAN in the U.S.-China Competition – Foreign Analysis

https://foreignanalysis.com/the-role-of-asean-in-the-u-s-china-competition/

[58] ASEAN running out of time to recast role as buffer in US-China great …

https://www.brookings.edu/articles/asean-running-out-of-time-to-recast-role-as-buffer-in-us-china-great-power-competition/

[59] Malaysia’s defence policy under the Anwar government

https://www.iiss.org/ar-BH/online-analysis/online-analysis/2023/09/malaysias-defence-policy-under-the-anwar-government/

[60] Cambodia had a defence budget of $1.3 billion in 2024 … – Facebook

https://www.facebook.com/kathmandupost/posts/cambodia-had-a-defence-budget-of-13-billion-in-2024-and-124300-active-military-p/1159294582898461/

[61] Malaysia’s Defence Budgeting Still Not Fit for Purpose

https://www.asianmilitaryreview.com/2024/08/malaysias-defence-budgeting-still-not-fit-for-purpose/

[62] Military expenditure (% of GDP) – Malaysia – World Bank Open Data

https://data.worldbank.org/indicator/MS.MIL.XPND.GD.ZS?locations=MY

[64] ASEAN is more pro-China than US: Survey : r/geopolitics – Reddit

https://www.reddit.com/r/geopolitics/comments/1bvmwiz/asean_is_more_prochina_than_us_survey/

[65] Thailand’s Defence Budget in 2024-2025: Appeasing the Military?

https://fulcrum.sg/thailands-defense-budget-in-2024-2025-appeasing-the-military/

[66] [67] [68] [83] Can Asean mediate Thailand-Cambodia tensions? Growing violence tests peace mandate | South China Morning Post

https://www.scmp.com/week-asia/politics/article/3319504/can-asean-mediate-thailand-cambodia-tensions-growing-violence-tests-peace-mandate?module=top_story&pgtype=section

[69] Thailand Military Expenditure – Trading Economics

https://tradingeconomics.com/thailand/military-expenditure

[73] [75] [76] [77] [79] [80] Vietnam – Defense and Security Sector

https://www.trade.gov/country-commercial-guides/vietnam-defense-and-security-sector

[82] ASEAN Should be Prepared for a South China Sea Crisis

https://www.internationalaffairs.org.au/australianoutlook/asean-should-be-prepared-for-a-south-china-sea-crisis/

[85] Aerospace and Defense Exporter Alert

https://www.trade.gov/aerospace-and-defense-exporter-alert

[86] Myanmar’s humanitarian crisis worsens under military rule

https://eastasiaforum.org/2024/02/13/myanmars-humanitarian-crisis-worsens-under-military-rule/

[88] Factbox-How Do Cambodia and Thailand’s Militaries Compare?

https://www.usnews.com/news/world/articles/2025-07-24/factbox-how-do-cambodia-and-thailands-militaries-compare

[91] Military manpower has become a critical factor for Myanmar’s junta

https://www.aspistrategist.org.au/military-manpower-has-become-a-critical-factor-for-myanmars-junta/

[92] Myanmar’s Military Is Smaller Than Commonly Thought

https://www.usip.org/publications/2023/05/myanmars-military-smaller-commonly-thought-and-shrinking-fast

About The Author