
Artikel ini melanjutkan diskusi sebelumnya tentang perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Dalam konteks ini, saya ingin menggarisbahawi bahwa apa yang harus dan tidak harus dilakukan oleh pemerintah Prabowo, jika ingin mengambil keuntungan dari konflik dua pemain global ini. Di sini saya akan melakukan Analisa berdasarkan ujung daripada konflik geopolitik antara dua kubu. Jika sebelumnya, Amerika membabat Uni Sovyet melalui berbagai strategi saat Perang Dingin, hingga dampaknya terasa sampai sekarang di Timur Tengah.
Secara global, Tiongkok telah melebarkan pengaruh geopolitik selama dua dekade terakhir. Banyak kajian yang mengatakan bahwa mereka akan mampu menyaingi Amerika Serikat. Selama ini, pemerintah Amerika tampaknya masih menginginkan kestabilan global, dengan terus memperkuat aliansi globalnya. Namun demikian, agresifitas Cina yang secara perlahan-lahan memperlemah pengaruh Amerika Serikat, tampaknya menjadi hal yang menjadi isu global, khususnya jika kita membaca berbagai hasil global strategi atau global outlook dari beberapa agenda tink tank di Amerika Serikat. All eyes on China menjadi babak baru untuk memulai ketidakstabilan global dalam beberapa tahun ke depan.
Kestabilan di Timur Tengah saat ini pun belum sepenuhnya stabil, khususnya dalam konflik yang tidak berkesudahan antara Israel dan Palestina. Konflik yang tidak berujung juga masih berlaku antara Russia dan Ukraina. Sikap berhati-hatinya negara Eropa terhadap Amerika dan Cina terus membayangi eskalasi kestabilan global. “Perang Dingin” di Asia Timur dan campur tangan Amerika di kawasan ini juga menjadi hal yang tidak dapat diabaikan. Kondisi dan potensi konflik massif di Laut Cina Selatan juga menjadi sinyal bahwa berbagai masalah di kawasan ini belum tuntas. Sikap tidak mesranya antara Australia dengan Cina juga menjadi pertanda untuk kehati-hatian di Asia Pasifik.
Kehadiran pemerintah Prabowo merupakan kelanjutan dari gaya kepemimpinan Jokowi yang kedua-duanya ingin membangun kedaulatan bernegara yang tidak begitu bergantung pada blok manapun. Filosofi mengambil manfaat sambil menjalankan misi internasionalisasi Indonesia menjadi pemain baru pada tahun 2045 adalah hal nyata yang tidak dapat dipungkiri. Kedaulatan yang mesti dipikirkan dan perkirakan adalah postur kekuatan ekonomi, militer, dan situasi politik yang memadai. Dalam hal ini, Prabowo ingin melakukannya secara agresif sambil memasukkan kembali kekuatan militer ke dalam sistem pertahanan negaranya yang dapat mengjangkau semua lini kekuatan pemerintahannya saat ini.
Menanggapi konflik antara Cina dan Amerika, Indonesia langsung meresponnya dengan mengirimkan utusannya untuk bernegosiasi tentang tarif yang sedang ditunda oleh Trump terhadap beberapa negara, tidak terkecuali Indonesia. Upaya ini sebenarnya sudah sangat strategis, namun dapat dipandang bahwa apa yang dilakukan oleh Trump baru permulaan. Karena tahapan berikutnya adalah menggunting semua pengaruh kekuatan shadow-militer Cina di berbagai kawasan di dunia ini. Upaya ini tentu akan mengakibatkan penguasaan baru terhadap kekuatan militer di beberapa tempat, dimana selama ini telah dimanfaatkan oleh Cina untuk membangun kekuatan ekonominya, seperti BRI (Belt and Road Initiative) di beberapa negara yang telah menghubungkan Cina dengan berbagai negara di benua, baik secara darat maupun secara laut.
Dalam hal ini, pola Trump yang sangat agresif dalam memperlihat sikapnya terhadap “American First!” tentu akan memutar arah jarum jam ketika memberikan pilihan bagaimana masa depan negara-negara yang menjadi mitra ekonomi daripada pemerintah Cina. Dengan kata lain, upaya Trump menekan jika bukan melakukan isolasi aktif terhadap Cina akan memberikan dampak signifikan secara global. Harus diakui bahwa aliansi kekuatan Ekonomi Cina memang sudah merambah ke hampir semua benua. Mereka sepertinya nyaman melakukan aktifitas perdagangan dengan Cina, ketimbang Amerika Serikat.
Namun pilihan untuk berusaha mempertahankan aliansi pro-Amerika Serikat tidak akan berhenti. Negara-negara di seluruh dunia masih memiliki kepentingan jangka panjang dengan Amerika. Kendati dalam beberapa tahun belakangan, ketergantungan akan kepentingan nasional ini sudah perlahan-lahan diambil bebannya oleh Cina. Kemampuan Cina dalam membangun berbagai infrastruktur melalui model “invested by China” memberikan kemudahan straregis bagi pembangunan di negara-negara yang menjadi objek dari strategi BRI pemerintah Cina.
Dalam konteks ini, Asia Tenggara menjadi “surga” bagi berbagai pabrik barang-barang Cina. Vietnam, Kamboja, dan beberapa negara lainnya di Asia Tenggara telah begitu aktif dalam menyambut upaya Cina dalam membangun kekuatan ekonominya secara global. Bahkan di Indonesia, Cina menjadi salah satu pemain utama dalam pengembangan aktifitas perekonomian. Selama 10 tahun, diplomasi Cina di dalam pemerintahan Jokowi, telah memberikan kesan bahwa pengaruh Cina mulai meredupkan pengaruh Amerika. Beberapa proyek ambisius di Indonesia telah banyak didanai oleh pemerintah Cina dengan berbagai skema bantuan, yang kemudian mengikat hubungan emosional antara kedua pemerintah tersebut.
Kemunculan Prabowo yang ingin sekali melakukan kedaulatan ekonomi melalui maksimalisasi kekuatan dalam negeri menjadi negara maju pun menjadi hal yang begitu penting untuk dilihat dari aspek geopolitik. Ketika baru saja dilantik menjadi presiden, Prabowo langsung melakukan kunjungan ke beberapa negara, dimana negara yang pertama sekali dikunjungi adalah Tiongkok. Di sini dapat dipahami bahwa secara meyakinkan Prabowo ingin menjadikan Cina sebagai kawan yang akan membantu Prabowo dalam membangu kedaulatan ekonomi di Indonesia. Dalam konteks ini, Cina menempati urutan kedua dalam melakukan investasi di Indonesia, setelah pemerintah Singapura. Adapun Amerika berada di urutan kelima.
Jadi, dalam konteks perang dagang, pemerintah Prabowo harus memikirkan beberapa hal, yaitu: Pertama, harus memikirkan dampak jangka panjang bahwa konflik dagang antara Cina dan Amerika Serikat akan berdampak panjang di kawasan Asia Tenggara. Jika tidak mampu membaca arah yang sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia, maka sangat boleh Indonesia akan terjerembab sebagai korban dari konflik dua negara adi daya tersebut. Maksudnya, jika Prabowo “bernegosiasi” dengan Amerika Serikat untuk tarif baru, sekaligus memberikan “red carpet” bagi cadangan Cina sebagai basis industri mereka dalam jangka panjang, maka sangat boleh jadi, Indonesia akan mengalami kesakitan dan kesulitan, tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam hal aspek-aspek lainnya, khususnya postur pertahanan dan keamanan.
Kedua, saat ini sangat boleh jadi, pemerintah Cina sedang mengupayakan untuk “menenangkan” keadaan dalam negerinya sebagai respon atas dampak dari kebijakan Trump, karena beberapa industri sudah merasakan dampak dari kebijakan tersebut, secara signifikan. Strategi Cina biasanya akan menggunakan negara-negara aliansi yang sudah dibina melalui BRI, sebagai rencana cadangan untuk melakukan aktifitas perdagangan, tidak hanya dengan Amerika, tetapi juga dengan negara-negara para pendukung Amerika. Indonesia harus mengukur secara strategis jika merespon harapan jangka panjang pemerintah Cina tersebut beserta konsekuensinya, terlebih lagi keadaan perekonomian di Indonesia masih tidak begitu baik-baik saja dalam pertumbuhannya.
Ketiga, pemerintah Amerika Serikat masih menganggap bahwa dominasi pengaruh Cina di Asia Tenggara telah “menganggu” kestabilan pengaruhnya secara global. Konflik di Laut Cina Selatan menjadi pintu masuk bagi pemerintah Trump untuk melakukan upaya-upaya diplomasi sekaligus memprovokasi wilayah ini, agar memikirkan ulang jika Cina terlalu agresif. Negara-negara di Asia Tenggara sudah merasakan “gangguan” dengan begitu agresifnya Cina mencaplok kawasan perairan tersebut, dimana tidak hanya mencaplok, tetapi sudah memulai mengklaim bahwa beberapa titik di kawasan ini adalah bagian dari wilayah teritorinya. Pemerintah Indonesia harus betul-betul meyakinkan mitranya melalui forum ASEAN, bagaimana jika sewaktu-waktu keadaan di kawasan ini memburuk.
Keempat, pemerintah Prabowo juga harus menindaklanjuti untuk menstabilkan keadaan di Asia Tenggara, khususnya di kawasan Selat Melaka dan Laut Cina Selatan sebagai respon aktif terhadap berbagai upaya dampak dari konflik antara Cina dan Amerika Serikat. Jika kondisi ini tidak menjadi kalkulasi global bagi Indonesia, maka tidak menutup kemungkinan beberapa tahun mendatang, berbagai konflik baru akan muncul di Indonesia, ketika upaya memindahkan konflik dagang ke konflik-konflik yang mengancam kepentingan nasional negara Indonesia.