
Pendahuluan
Di balik senyuman manis dan kehidupan rumah tangga yang tampak harmonis, terkadang tersembunyi badai yang tak kasat mata. Fenomena perceraian akibat guna-guna bukan sekadar cerita mistis yang diceritakan dari mulut ke mulut; ia nyata, hadir, dan meninggalkan luka dalam banyak keluarga. Di beberapa masyarakat, terutama yang masih menjunjung tinggi tradisi, guna-guna atau ilmu hitam kerap disebut sebagai salah satu penyebab keretakan rumah tangga.
Kepercayaan terhadap kekuatan supranatural ini terus bertahan meskipun zaman telah berkembang. Banyak pasangan yang awalnya hidup rukun, tiba-tiba berubah drastis tanpa alasan yang jelas hubungan menjadi tegang, pertengkaran kerap terjadi, dan rasa cinta yang dulu kuat perlahan memudar. Dalam kondisi seperti ini, keluarga besar sering menyarankan untuk mencari “jalan spiritual”, seperti meminta bantuan dukun atau orang pintar, untuk mengetahui apakah ada pengaruh gaib yang menyerang hubungan tersebut.
Faktor pemicu bisa beragam, namun dalam banyak kasus, pihak ketiga memainkan peran penting. Cinta yang tumbuh di luar ikatan sah, seringkali karena cinlok atau ketertarikan sesaat, kemudian dipertahankan dengan cara yang tidak sehat, salah satunya melalui praktik ilmu hitam. Pihak ketiga ini menggunakan guna-guna sebagai alat untuk “mengambil alih” pasangan orang lain, menjadikannya terikat secara tidak alami. Sayangnya, yang menjadi korban bukan hanya pasangan yang disihir, tetapi juga anak-anak dan keluarga besar yang ikut terombang-ambing dalam kekacauan batin dan spiritual. Fenomena ini menjadi luka sosial yang jarang dibicarakan secara terbuka, namun membekas dalam banyak kehidupan.
Antara Cinlok dan Black Magic
Semua berawal dari cinlok cinta lokasi. Cinlok adalah istilah populer yang merujuk pada hubungan cinta yang tumbuh karena intensitas pertemuan di suatu tempat, biasanya lingkungan kerja, proyek, atau produksi bersama. Pada dasarnya, cinlok adalah bentuk dari emosional yang terbentuk karena interaksi yang sering dan intens. Dalam konteks rumah tangga, cinlok bisa menjadi pemicu perselingkuhan, terutama jika komunikasi dalam pernikahan sedang renggang atau hubungan sedang mengalami konflik. Cinlok seringkali diawali dari hal-hal kecil: berbagi cerita, saling curhat, perhatian yang tampaknya sepele, namun perlahan menjadi keterikatan emosional.
Bahkan hubungan profesional yang seharusnya berlandaskan etika perlahan berubah menjadi ketertarikan pribadi. Saling bertemu, berbagi cerita, dan perhatian kecil yang kerap diberikan tanpa sadar membentuk ikatan emosional baru. Dalam situasi rapuh, muncul seseorang yang ingin memiliki dengan cara instan menggunakan black magic sebagai jalan pintas. Black magic atau ilmu hitam dalam konteks hubungan kerap digunakan sebagai cara mistis untuk mengikat perasaan seseorang secara paksa, memisahkan pasangan yang sah, atau membuat seseorang tergila-gila secara tidak alami. Di Indonesia, praktik-praktik seperti ini masih banyak ditemukan, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi.
Bentuk yang paling umum antara lain adalah pelet atau pengasihan, yang digunakan untuk menarik perhatian dan menanamkan rasa cinta secara instan, bahkan ketika sebelumnya tidak ada ketertarikan sama sekali. Ada pula santet pemisah, yang secara khusus ditujukan untuk menghancurkan keharmonisan rumah tangga menciptakan konflik, kebencian, dan akhirnya perceraian. Selain itu, ada pula guna-guna yang disalurkan melalui makanan, minuman, pakaian, atau benda-benda pribadi seperti foto, yang dijadikan media untuk menyalurkan energi negatif agar masuk ke dalam tubuh dan alam bawah sadar targetnya.
Ilmu hitam semacam ini sering kali digunakan oleh pihak ketiga orang yang menginginkan pasangan orang lain dan dampaknya sangat mengerikan. Perubahan yang terjadi pada korban biasanya drastis dan tidak dapat dijelaskan secara logika. Seseorang yang sebelumnya penuh kasih tiba-tiba menjadi dingin, mudah marah, atau bahkan membenci pasangan dan anak-anaknya tanpa sebab yang masuk akal. Ironisnya, penderitaan tidak berhenti di situ.
Dalam banyak kasus, energi negatif ini juga ikut memengaruhi anak-anak di dalam rumah. Mereka menjadi lebih pendiam, mengalami ketakutan berlebih, bahkan menunjukkan gejala gangguan psikis seperti sulit bicara (speech delay) atau sering mengalami mimpi buruk. Suasana rumah yang penuh ketegangan menciptakan trauma jangka panjang yang menghantui tumbuh kembang anak. Guna-guna dalam hubungan bukan hanya persoalan cinta yang dipaksakan, melainkan juga kekerasan emosional dan spiritual yang merusak tatanan keluarga dari akar yang paling dalam. Guna-guna dalam bentuk pelet atau santet cinta ditujukan untuk mengikat hati, membelokkan kesetiaan, dan memisahkan pasangan sah.
Perlahan, suami atau istri berubah. Kasih sayang memudar, emosi meledak-ledak tanpa alasan jelas, hingga akhirnya keputusan cerai pun tak terhindarkan. Ironisnya, banyak dari mereka yang bercerai bahkan tidak sepenuhnya memahami mengapa cinta mereka hancur begitu cepat. Salah satu kasus yang cukup ramai diperbincangkan adalah perceraian seorang tokoh pejabat publik yang mengaku rumah tangganya hancur karena adanya “kiriman” guna-guna dari orang ketiga.
Dalam berbagai wawancara, sang pejabat menceritakan perubahan drastis pada sikap pasangannya, mulai dari rasa benci yang mendadak hingga perselingkuhan, yang menurutnya terjadi tanpa sebab yang jelas. Kisah ini semakin menguatkan keyakinan banyak orang tentang peran guna-guna dalam perceraian. Praktisi spiritual pun sering memperkuat narasi ini dengan “mendeteksi” energi negatif dalam hubungan tersebut.
Dampak Black Magic dalam Keluarga
Dalam situasi penuh ketegangan yang diciptakan oleh guna-guna, anak-anak hidup dalam suasana rumah tangga yang penuh pertengkaran tanpa alasan jelas. Mereka melihat perubahan drastis dalam perilaku orang tua ayah atau ibu yang dulu penuh kasih tiba-tiba menjadi asing, kasar, bahkan menakutkan. Kondisi ini membuat jiwa kecil mereka terpukul. Tidak sedikit di antaranya yang mengalami speech delay, gangguan bicara yang muncul akibat tekanan emosional yang mendalam. Anak-anak yang seharusnya bebas mengungkapkan perasaan, justru membungkam dirinya sendiri, seolah takut berbicara bisa memicu amarah atau memperburuk keadaan.
Lebih tragis lagi, banyak anak yang tumbuh dengan ketakutan terhadap orang tua mereka sendiri. Dalam beberapa kasus, guna-guna dikirimkan melalui jalur makanan ritual mistis yang membuat salah satu pasangan berubah drastis setelah mengonsumsi makanan tertentu. Anak-anak yang menyaksikan perubahan ini tanpa mengerti apa yang terjadi mulai mengasosiasikan rasa aman dengan rasa takut. Mereka tidak lagi bisa membedakan mana cinta sejati dan mana manipulasi, karena yang mereka lihat adalah sosok orang tua yang berubah menjadi dingin, penuh kemarahan, atau bahkan membahayakan.
Trauma ini tidak berhenti di masa kecil. Ia berakar dalam, membentuk ketidakpercayaan terhadap institusi keluarga itu sendiri. Di masa depan, anak-anak ini sering kesulitan membangun hubungan yang sehat. Mereka tumbuh dengan perasaan curiga, rasa takut dikhianati, dan keyakinan bahwa cinta hanyalah ilusi yang rapuh. Dampak jangka panjangnya adalah generasi yang kehilangan fondasi emosional untuk membangun hubungan yang kuat dan sehat.
Dampaknya terhadap keluarga begitu dahsyat, lebih besar dari sekadar berakhirnya ikatan suami-istri. Anak-anak, yang seharusnya tumbuh dalam kehangatan cinta dan rasa aman, justru menjadi korban terbesar dalam pusaran konflik yang tak kasat mata ini. Guna-guna yang digunakan dalam perceraian bukan hanya menghancurkan pasangan ia menghancurkan satu generasi yang seharusnya menjadi penerus harapan. Dan luka yang ditinggalkan, lebih dalam dari yang terlihat, bertahan jauh lebih lama daripada sekadar berakhirnya ikatan pernikahan.
Namun, dari sisi kontra, banyak pihak menilai bahwa fenomena ini lebih merupakan bentuk pelarian daripada penjelasan rasional. Ilmu pengetahuan modern belum menemukan bukti sahih mengenai keberadaan dan efektivitas guna-guna. Sebaliknya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa perceraian umumnya disebabkan oleh faktor komunikasi yang buruk, perselingkuhan, masalah finansial, atau ketidakcocokan prinsip hidup. Selain itu, tekanan sosial, gaya hidup, dan dunia hiburan yang penuh dinamika juga bisa menjadi pemicu retaknya hubungan.
Dengan mempertimbangkan kedua sisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa fenomena guna-guna dalam perceraian tidak dapat diabaikan begitu saja, terutama dalam masyarakat yang masih kuat memegang kepercayaan tradisional. Namun, pendekatan rasional dan ilmiah tetap penting agar tidak terjebak dalam pola pikir fatalistik. Pemahaman budaya perlu diimbangi dengan upaya untuk mendorong penyelesaian masalah melalui komunikasi yang sehat, konseling, dan introspeksi diri. Dengan demikian, baik aspek budaya maupun ilmiah dapat berjalan beriringan dalam menghadapi persoalan rumah tangga.
Nice, terus semangat berjuang