
Pendahuluan
Masyarakat Aceh dikejutkan oleh langkah lima Kepala Desa (Keuchik) dari berbagai daerah yang melakukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar masa jabatan mereka diperpanjang dari enam tahun menjadi delapan tahun. Gugatan ini merujuk pada keinginan agar ketentuan masa jabatan kepala desa di Aceh setara dengan hasil revisi Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2024 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Namun yang menjadi sorotan utama, gugatan ini jelas-jelas mengabaikan dan tidak menghargai keberadaan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) sebagai lex specialis yang telah memberi ruang otonomi khusus bagi Aceh, termasuk dalam pengaturan pemerintahan desa (gampong).
Aksi ini mencerminkan rendahnya penghormatan terhadap sistem hukum dan kekhususan Aceh serta memperlihatkan kepentingan sempit kekuasaan yang dibalut narasi legalitas. Keuchik sebagai simbol pemimpin adat dan pemerintahan lokal seharusnya menjadi garda terdepan menjaga marwah kekhususan Aceh, bukan malah menjadi pihak yang justru menggerusnya.
Mengabaikan Kekhususan Aceh
Provinsi Aceh merupakan daerah di Indonesia yang memiliki kekhususan yang diatur secara khusus melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam undang-undang ini, disebutkan bahwa pengaturan tentang pemerintahan gampong adalah kewenangan Pemerintah Aceh dan bukan diatur langsung oleh UU Desa seperti daerah lain. Hal ini sudah ditegaskan dalam beberapa peraturan turunan seperti Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik dan Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong.
Oleh karena itu, ketika Keuchik menggugat ke Mahkamah Konstitusi supaya masa jabatan mereka mengikuti Undang-Undang Desa, tindakan tersebut menjadi sangat kontroversial. Dengan begitu, seakan mengesampingkan Aceh mempunyai hukum tersendiri yang sudah disetujui secara politik dan hukum oleh negara Indonesia, pasca terjadinya perdamaian MoU Helsinki. Ini tidak hanya langkah hukum biasa, namun juga upaya yang terdapat implikasi besar terhadap keberlangsungan kekhususan Aceh.
Cacat Logika dan Etika Hukum
Pengajuan permohonan Judicial Riview ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh beberapa Keuchik di Aceh tersebut bukan saja berpotensi salah dari sisi substansi hukum, tetapi juga bermasalah secara etika. Keuchik adalah seorang yang memimpin suatu gampong, tidak hanya berfungsi administratif, namun juga sebagai simbol adat, penjaga nilai sosial, dan pemangku martabat lokal. Oleh karena itu, sudah semestinya mereka memahami dan menghargai keberadaan Undang-Undang Pemerintah Aceh sebagai rumah hukum mereka sendiri.
Sebagai seorang pemimpin gampong, seharusnya lebih fokus untuk memperkuat kapasitas gampong, peningkatan layanan publik, dan pengelolaan dana desa secara transparan, namun sebagian Keuchik malahan sibuk mencari legitimasi hukum untuk memperpanjang masa kekuasaannya. Hal ini menunjukkan bahwa Judicial Riview ini bukan bertujuan untuk kepentingan pembangunan desa dan kemajuan masyarakat, tetapi untuk kelanggengan kekuasaan dan kepentingan pribadi.
MK Harus Hormati Lex Specialis Aceh
Terhadap permohonan Judicial Riview tersebut, sudah semestinya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan ini demi merawat integritas UUPA sebagai perwujudan dari kekhususan Aceh. Provinsi Aceh tidak mengikuti aturan-aturan dalam Undang-Undang Desa, sebab telah terdapat aturan tersendiri yang mengatur tentang pemerintahan gampong melalui UUPA dan qanun-qanun turunannya.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang akan menjaga produk hukum tegak lurus dengan konstitusi harus tegas dalam menjalankan norma umum (lex generalis) dan norma khusus (lex specialis) dalam sistem hukum di Indonesia serta menghargai otonomi daerah Aceh yang sudah disepakati pasca konflik.
Jika permohonan Judicial Riview ini diterima/dikabulkan, maka dapat berpotensi akan menciptakan celah intervensi aturan nasional (lex generalis)Â ke dalam wilayah kekhususan Aceh (lex specialis). Hal tersebut akan menimbulkan potensi rusaknya sistem hukum yang telah dibentuk dengan penuh pengorbanan.
Penutup: Kekuasaan Menggerus Keistimewaan
Permohonan Judicial Riview yang diajukan beberapa Keuchik di Aceh, berkeinginan masa jabatan mereka ditambah sampai dengan delapan tahun berpotensi sebagai bentuk pengingkaran terhadap kekhususan Aceh yang telah diperjuangkan melalui jalan damai. Ini bukan soal masa jabatan semata, tetapi menyangkut penghormatan terhadap sistem hukum yang khas, otonom, dan diakui secara nasional.
Para Keuchik seharusnya menjadi simbol pemersatu masyarakat, bukan penggugat marwah kekhususan Aceh di depan meja Hakim Mahkamah Konstitusi. Jika kekuasaan lebih utama daripada keistimewaan yang diwariskan dari sejarah panjang perjuangan, maka kita sedang berjalan mundur sebagai masyarakat hukum yang beradab.