Makam Tengku Chik di Iboih – salah satu dari Aulia 44 di Sabang. Jejak sejarah dan antropologi Islam di ujung barat Nusantara.

Aulia 44 di Pulau Weh: Sejarah dan Perspektif Antropologis

Pendahuluan

Sabang – Pulau Weh dikenal oleh masyarakat Aceh sebagai lokasi kuburan keramat yang disebut Aulia 44, yakni kumpulan 44 tokoh agama (ulama atau wali) yang diakui membawa ajaran Islam ke wilayah ujung barat Aceh. Menurut tradisi setempat, makam-makam ini tersebar di berbagai pesisir dan dataran tinggi Sabang (Pulau Weh), menandai jejak dakwah Islam dalam sejarah lokal. Keberadaan figur-figur ini terlihat dalam ritual-ritual keagamaan, misalnya rangkaian Festival Khanduri Laot yang setiap tahun digelar menjelang Ramadhan; dalam acara tersebut diselenggarakan zikir akbar dan kenduri khusus untuk “Aulia 44 keramat” serta anak yatim[1]. Bukti sejarah tertulis mengenai para wali ini memang terbatas, sehingga kajian kerap bersandar pada sumber lisan komunitas dan penelusuran situs makam. Dalam tulisan ini akan dibahas profil tokoh-tokoh utama (misalnya Teungku di Iboih dan Ummi Rubiah, Syekh Hubaidillah Alhabsyi), klaster geografi makam-makam tersebut, serta peran sosial-religius setiap figur dalam konteks islamisasi Aceh bagian barat.

Sejarah Islam di Sabang dan Konteks Budaya

Pulau Weh (Sabang) terletak pada ujung barat Sumatra, berbatasan dengan Selat Malaka – lokasinya strategis sebagai pelabuhan dan jalur haji Aceh. Sejak awal abad ke-20, Sabang bahkan dijadikan titik quarantine haji oleh pemerintah kolonial Belanda. Fasilitas karantina haji pertama di Pulau Rubiah (lepas pantai Iboih) berdiri pada tahun 1911, menjadikan Sabang sebagai “pintu Mekkah” Indonesia di masa itu[2]. Sebelum era kolonial, Sabang telah menjadi bagian dari Kesultanan Aceh Darussalam yang dikenal sebagai Serambi Mekkah, seiring dengan penyebaran Islam pertama melalui Kesultanan Pasai abad ke-13 dan Aceh lama. Sosialisasi ajaran Islam terus berlangsung hingga masa-masa berikutnya, termasuk oleh ulama-ulama yang datang ke Sabang pada abad ke-17–18 M. Sosok-sosok inilah yang kemudian dikenal sebagai Aulia 44. Meski keberadaan mereka tercatat minim dalam arsip, pembicaraan lisan dan situs ziarah menjaga ingatan akan sumbangsih spiritual dan administratif para wali tersebut.

Tokoh-Tokoh Utama dan Makamnya

Tengku Chik di Iboih dan Ummi Sarah Rubiah

 


Gambar 1. Makam Tengku Chik di Iboih (TTL: Seulimum 1723 – wafat 1786) di Gampong Iboih. Tertera pula nama pulau Rubiah tempat istrinya, Ummi Sarah Rubiah, dimakamkan (sisi kanan).

Di ujung pantai Gampong Iboih, terdapat kompleks makam bersejarah salah satu Aulia 44 terpenting Sabang. Makam tersebut ditandai prasasti bertuliskan “MAKAM TENGKU CHIK DI IBOIH, TTL: SEULIMUM 1723, MENINGGAL 1786, GAMPOENG IBOIH”【45†】. Sosok di balik makam ini adalah Tengku Ibrahim Musatafari Adham, yang dalam tradisi setempat dikenal sebagai Tengku Chik di Iboih (atau Maulana Abdurrahman al-Fāsi). Ia lahir sekitar tahun 1723 H (abad ke-18 M) di Seulimum, Aceh Besar, dan dikenal sebagai ulama penyebar agama di wilayah Sabang[3]. Nama “Iboih” diperkirakan diambil dari gelar beliau; hal ini mengingatkan bahwa kawasan Pantai Iboih dinamai menurut julukan sang wali tersebut[4]. Sebagaimana keterangan dalam catatan perjalanan wisata, “nama kawasan Pantai Iboih diambil dari nama belakang Wali Tengku Chik Di Iboih, sebagai pengingat bahwa Wali Tengku melakukan penyebaran agama Islam di Iboih dan wafat di sana”[4]. Setelah wafat, beliau dimakamkan tepat di ujung tebing Iboih, menghadap ke pulau seberang[5]. Menurut narasi lokal, Tegnku di Iboih dimakamkan bersebelahan dengan istrinya, Ummi Sarah Rubiah, yang dimakamkan di Pulau Rubiah sebelah barat (lebih lanjut dibahas di bawah)[5][6].

Sepanjang perjalanan wisata tersebut, para pemandu menjelaskan bahwa pemakaman ini hanya boleh digunakan untuk salat dan berdoa tanpa bermaksud meminta harta atau kesaktian[7]. Tradisi serupa ditemui di kuburan Ummi Rubiah (lihat di bawah), menunjukkan adanya norma religius yang tegas: makam tidak boleh dijadikan tempat permintaan duniawi, melainkan fokus kepada ibadah dan memohon keberkahan. Berdasarkan studi arkeologis terapan lokal, makam Tengku di Iboih ini memiliki ciri khusus: nisan dengan batu marmer polos berbentuk bulat, tidak menghias dengan motif ukiran islami seperti makam-makam Syiah Kuala di Banda Aceh atau makam Teungku di Anjong (Aceh Besar)[8]. Bentuk sederhana ini dikatakan sebagai cerminan penyebaran budaya muslim di pesisir dan berpengaruhnya “konflik di Aceh” kala itu[8]. Sementara gaya konstruksi makam, berupa struktur batu setinggi dada dan beratap seng, serupa dengan arsitektur makam tradisional Aceh lainnya. Antara makam Tengku di Iboih dan makam istrinya Ummi Rubiah terdapat sumur kecil berisi air tawar untuk berwudu, meski lokasi makam bersebelahan dengan pantai laut (air tawar menguatkan simbolisme suci tempat ziarah)[9].

See also  Keeping It in the Family: A Satirical Take on Javanese Leadership and Nepotism

Makam makam ini selalu dibuka untuk ziarah. Pemandu wisata setempat menyatakan makam Tengku di Iboih dan makam Ummi Rubiah dapat dikunjungi kapan saja, dan pada bulan-bulan tertentu (misalnya Ramadan atau bulan Safar) ramai dikunjungi oleh penduduk serta pelancong[7][10]. Juga tradisi keagamaan di sekitarnya berkembang; misalnya pepohonan di sekitar makam sering dihiasi kain putih sebagai tanda penghormatan kepada sang wali[11]. Kepercayaan masyarakat menyebut bahwa berziarah ke makam-makam ini memberi keberkahan (“barakah”) dan mengingat jasa para ulama itu. Secara sosial-religius, Tgk. Ibrahim di Iboih dan istrinya bertakhta sebagai tokoh ulama penyebar Islam yang dihormati, tampak dari upaya konservasi makam dan peristiwa sosial (kain putih, larangan memohon materi) yang mengelilinginya[11][7].

Ummi Sarah Rubiah


Gambar 2. Makam Ummi Sarah Rubiah di Pulau Rubiah, Sabang. Nama dan gelar beliau terpampang pada prasasti, di samping papan petunjuk kawasan konservasi laut.

Pulau kecil di barat utara Weh ini dinamai Rubiah menurut nama tokoh suci setempat. Menurut laporan pembacaan arsip dan cerita rakyat, Ummi Sarah Rubiah (juga disebut Cut Nyak Rubiah atau Siti Rubiah) adalah istri dari Tengku Chik di Iboih[12]. Kisahnya termaktub dalam berbagai sumber populer: diperkirakan beliau lahir sekitar 1732 M dan wafat 1779 M, hidup sezaman dengan Sultanah Safiatuddin (Aceh)[12]. Dikisahkan dalam suatu perselisihan fikih (tentang air liur anjing), perdebatan antara Tengku Iboih dengan Rubiah menghasilkan keputusan bahwa Rubiah diberi tanah sendiri terpisah. Akhirnya beliau mengasingkan diri di pulau kecil tersebut hingga meninggal; pulau itulah yang kemudian dikenal dengan nama Pulau Rubiah[12][6]. Artinya, penamaan pulau Rubiah secara langsung memperingati figur Ummi Rubiah.

Makam Ummi Rubiah kini menjadi salah satu objek ziarah religi Sabang. Letaknya di pantai Pulau Rubiah – dapat ditempuh 5–10 menit perahu dari Iboih – dengan akses yang relatif mudah. DetikTravel melaporkan bahwa “sampai sekarang makam Ummi Sarah Rubiah tetap ada dan dijadikan wisata religi oleh penduduk lokal maupun pengunjung”[13]. Prasasti makam mencantumkan “Makam Ummi Sarah Rubiah, TTL: Surabaya 1724 SAKA – 1786 M, PULAU RUBIAH”. Situs ini dipagar dan beratap, diapit pohon-pohon pantai yang sering kali dikaitkan kain putih sebagai penghormatan. Uniknya, di samping makam terdapat sumber mata air tawar yang dimanfaatkan jemaah untuk wudu meski makam berada di tepi laut[9].

Dari segi sosial-religius, Ummi Rubiah dipandang sebagai ulama wanita (guru ngaji) dan figur wali. Setiap tahun, peziarah dari Sabang dan pulau lain berkunjung ke makam beliau untuk berdoa. Pemandu setempat menyatakan tidak ada waktu khusus kunjungan; makam Ummi Rubiah “bisa dikunjungi kapan saja” dan biasa ramai pada bulan-bulan suci[10]. Tradisi lokal juga menegaskan bahwa pengunjung hanya diperbolehkan beribadah, tanpa meminta jimat atau harta[14]. Dalam teks yang dikutip dari penelitian lapangan, “‘bukan meminta kekayaan, di sini hanya berdoa untuk ummi dan salat’,” ungkap seorang pemandu[14]. Hal ini memperlihatkan fungsi makam bukan sebagai tempat santet, melainkan sebagai sarana pengingat sejarah agama. Seluruh cerita dan pengelolaan situs makam Ummi Rubiah menegaskan ia adalah bagian integral dari jaringan spiritual Aulia 44 di Sabang.

Syekh Hubaidillah Junaidi Alhabsyi (Wali Negeri Sabang)

Di Gampong Jaboi (Kubu Bak Syuh), Kota Sabang, terdapat makam Syekh Hubaidillah Junaidi al-Habsyi. Dari catatan Kementerian Agama Sabang, ia dianggap sebagai Wali Negeri pertama Pulau Weh (Sabang), mendapat mandat dari Kesultanan Aceh Langkat (Lamkuta Aceh) untuk memimpin wilayah ini[15]. Syekh Hubaidillah al-Habsyi adalah ulama keturunan Habsy (Etiopia/Yaman) yang mengajar ilmu agama dan kedokteran (tabib). Menurut laporan ziarah pejabat, “Syekh Hubaidillah menjalankan sistem pemerintahan modern di Pulau Weh” selain sebagai ulama dan tabib[15]. Artinya, beliau berperan ganda sebagai pimpinan keagamaan sekaligus pemerintahan lokal. Makam beliau di Kampung Jaboi hingga kini dipelihara sebagai situs keramat. Keberadaan tokoh ini mengindikasikan peran politik-keagamaan Aulia 44, di mana beberapa figur tidak hanya guru agama tetapi juga panglima atau penguasa lokal (misalnya Panglima Muda Setia Teuku Muhammad Daud, Panglima Paduka Sinara, tokoh masyarakat lainnya yang tercantum dalam literatur regional). Meski tidak banyak sumber independen tentang mereka, tradisi lisan dan acara-acara kenegaraan (seperti tabarruk keluarga BPKS Sabang) masih menghormati makam-makam ini.

See also  Antropologi Rasa: Bagaimana Makanan Menjadi Jembatan Budaya dan Identitas

Tokoh lainnya yang sering disinggung antara lain Teungku Chik Abu Dipasi (dimakamkan di Blang Tunong Balohan), Teungku Anoi Raya (di Gunung Anoi Itam), serta beberapa ulama perempuan seperti Umi Siti Mariah dan Umi Khatijah di Ujong Meureung dan Kuala Ie Mausen. Kelompok Aulia 44 juga meliputi tokoh-tokoh dari Paya Dua, Seuke, dan penduduk lokal seperti ulama “Panglima Paduka” serta beberapa istri para panglima. Namun, data sejarah mereka sebagian besar dicatat hanya sebagai warisan lisan. Yang jelas, gambaran umum menunjukkan klaster makam-makam Aulia 44 di daerah-daerah pesisir Sabang (Iboih, Balohan, Anoi Itam, Ujong Meureung, Kuta, Paya) dan pulau-pulau kecil seperti Rubiah. Keberadaan makam-makam ini di titik-titik strategis pantai berdekatan dengan pemukiman nelayan memperkuat dugaan bahwa para wali ini datang dan menetap di komunitas pesisir Sabang. Distribusi makam tersebut tampak mengikuti jalur perdagangan laut dan akses ke Aceh Darussalam.

Makna Sosial-Religius dan Ritual Ziarah

Dalam perspektif antropologis, makam-makam Aulia 44 memegang fungsi keramat (keuramat) bagi masyarakat. Tiap makam menjadi pusat ziarah dan penguat identitas keagamaan lokal. Seperti penelitian lapangan menunjukkan, makam Teungku di Iboih dan Ummi Rubiah dikenang sebagai “tempat berziarah” dan “objek wisata sejarah” sekaligus[8]. Tradisi ziarah ini tercermin juga dalam festival publik: misalnya, pada Khanduri Laot, pejabat Sabang menyebut zikir akbar untuk Aulia 44 keramat sebagai bagian dari perayaan budaya pesisir[1]. Dengan begitu, figur-figur Aulia menjadi semacam wali pelindung laut dan komoditas maritim, serta simbol kelautan syi’ar Islam.

Tindakan menghormati makam juga diawali dengan adab yang khusus. Peziarah diharapkan berpakaian sopan dan hanya berdoa, sesuai pesan “tidak meminta harta” yang sering diingatkan penduduk[7][14]. Beberapa makam dilengkapi sumur wudu, sajadah, dan kitab suci kecil di dalam bangunan kuburan, untuk memfasilitasi ibadah pengunjung. Misalnya, kompleks makam Ummi Rubiah disediakan sumur air tawar untuk bersuci meski berhadapan dengan laut[9]. Pola semacam ini menunjukkan sinkretisme kebutuhan religius dan pragmatis: makam sebagai tempat suci sekaligus sarana pelayanan spiritual.

Budaya tabur bunga atau kain putih di atas makam atau pepohonan juga muncul, menandakan penghormatan kepada roh suci. Pada makam Tengku di Iboih, ditemukan kain putih diikat pada pohon sekitar makam, sebagaimana dilaporkan detikTravel[11]. Kain tersebut melambangkan doa atau tanda hormat pengunjung. Selain itu, makam-makam ini terikat dengan kisah-kisah lokal dan legenda yang menambah nilai sakral, seperti kisah anjing dan “durian keramat” terkait Ummi Rubiah (walau ini lebih bersifat folklorik daripada historis).

Dengan demikian, secara sosial makam Aulia 44 berfungsi mempertemukan berbagai kalangan sosial: pelancong wisata religi modern, warga setempat, tokoh adat (panglima laot), maupun anak yatim piatu dalam ritual bersama. Fungsi antropologis ini penting mengingat keterbatasan dokumentasi tertulis. Di mata masyarakat, Aulia 44 bukan sekadar makam tua, tetapi “jejak sejarah peradaban Islam” yang membentuk tatanan spiritual di Sabang. Lebih jauh, mereka menjadi jembatan keagamaan antara Aceh Darussalam dan wilayah pesisir barat Sumatra, sekaligus simbol kelestarian tradisi Islam sufistik dalam budaya nelayan Aceh.

Klaster Makam dan Jejak Arkeologis

Makam-makam Aulia 44 membentuk klaster sebaran geografi tertentu. Di utara pulau (Gampong Iboih dan pulau Rubiah) terkumpul makam pasangan suami-istri (Tgk. di Iboih & Ummi Rubiah). Di pantai barat daya terdapat beberapa makam di Blang Tunong (Balohan) termasuk Tgk. Dipasi dan Cok Bak Cuh. Di bagian tengah/pesisir selatan, ada Tgk. Chik Jauboi, Tgk. Beurawang, dan Tgk. Bungong. Di timur dekat Gunung Anoi terletak makam Tgk. Anoi Raya. Di pesisir timur laut (Kuta Krueng Raya) sejumlah makam Umi (wanita suci) dan Tgk. sebar. Sebagian lagi di pesisir utara dekat Pria Laot, serta beberapa makam tokoh seperti Teungku Yunus, Teungku Said, dll. Pola ini menunjukkan titik-titik pemukiman lama atau lhok (kawasan ulayat nelayan) di Sabang.

Dari sudut arkeologi budaya, bentuk fisik makam-makam ini menarik. Seperti disebutkan, makam-makam Iboih memakai nisan bulat polos tanpa hiasan ayat – gaya yang agak berbeda dari makam Aceh klasik (yang sering menampilkan motif geometris atau ayat Qur’an)[8]. Sebaliknya, makam ummi Rubiah dan makam Jaboi misalnya, tampak dibangun dengan ubin modern dan rangka bangunan sederhana. Tidak ada peninggalan artefak klasik selain batu nisan bertuliskan nama tokoh. Penemuan semacam sumur wudu menunjukkan penataan ruang makam sebagai situs ritual baru. Peneliti arkeologi lokal mencatat bahwa keberadaan makam ini sudah dipugar akhir-akhir ini (pengerasan jalan setapak, penambahan atap kayu) – tindakan pelestarian modern berdasarkan pada nilai sejarah dan budaya[8].

See also  Seyyed Hossein Nasr vs Fazlur Rahman: Tradisionalisme dan Pembaruan dalam Pemikiran Islam Kontemporer

Belum diketahui ada temuan arkeologis formal (seperti prasasti kuno) di kompleks ini; penelusuran lebih lanjut mungkin bisa mengungkap benda-benda peninggalan kewalian (seperti benda tajam, kitab kuno, dsb.), namun sejauh ini wawancara dengan sesepuh kampung menjadi sumber utama narasi. Sebagian makam juga terkait situs sejarah lain – misalnya kompleks kesultanan Teuku Muhammad Daud di Cot Bak Ulim (Sabang Kota) yang kini memuat beberapa makam wali keramat. Semua bukti material (nisan, arsitektur makam) paling banyak mendukung peran abad ke-18–19. Gaya nisan bergaya Barat (batu polos, huruf Rumi/Latin) dan ubin bermotif modern menunjukkan pengaruh kolonial dan perkembangan muda masyarakat. Namun keberadaannya dalam konteks tradisi Aceh (penggunaan bahasa Arab di nisan, ritual doa) menegaskan kesinambungan warisan Islam.

Aulia 44 dan Sejarah Islamisasi Barat Aceh

Aulia 44 Sabang melengkapi narasi Islamisasi Aceh yang lebih luas. Sejak abad ke-13, Aceh Darussalam menjadi pusat penyebaran Islam di Nusantara. Wilayah perbatasan barat Sumatra (di sekitar Selat Malaka) mendapat khidmat ulama regional itu dalam beberapa fase. Figur-figur Aulia 44 muncul pada abad ke-17–18 M, saat Kesultanan Aceh masih berperan dalam politik regional melawan pengaruh kolonial. Teungku di Iboih dan Ummi Rubiah hidup sezaman dengan Sultanah Safiatuddin (berkuasa hingga 1737)[12], sehingga mereka menandai kontinuitas tradisi keilmuan dalam periode Aceh pascahindia masa keemasannya. Kehadiran Syekh Hubaidillah al-Habsyi sebagai wali negeri juga menunjukkan integrasi Sabang dalam sistem pemerintahan keagamaan Aceh. Dalam literatur lisan disebutkan 44 ulama ini sebagai “pondasi spiritual” Aceh bagian barat. Misalnya di dalam kumpulan doa rakyat Aceh disebut “Aulia 44 Sabang” secara eksplisit sebagai golongan suci yang menerangi umat[16].

Islamisasi di kawasan perbatasan barat Aceh tidak hanya soal pengajar asal Timur Tengah, tetapi juga melibatkan lokal Dakwah. Bukti sejarah tertulis yang ada (beberapa catatan perjalanan Belanda, arsip Kesultanan, dll.) hanya sedikit menyinggung Sabang secara spesifik. Oleh karena itu, makam Aulia 44 berfungsi sebagai sumber primer lokal: mereka menjadi “jejak sejarah peradaban Islam di barat Nusantara” yang pada masa lalu berupa komunitas maritim multikultural. Misalnya, dikabarkan bahwa para imam ini menekuni disiplin ilmu syariah dan pengobatan (khitah Nabi juga disebut – tabib)[15]. Kegiatan mereka terkait dengan pertumbuhan pemukiman Muslim di Sabang (dari zaman kesultanan hingga kolonial), serta pembangunan infrastruktur keagamaan awal (mungkin masjid, surau, pesantren). Sebagai contoh, pulau Rubiah sempat menjadi pusat karantina haji pada era Hindia-Belanda[2] – suatu cerminan fungsi keagamaan pulau ini. Dengan demikian, Aulia 44 mengikat masa klasik Islam Aceh dengan jaman peralihan menuju kemoderenan kolonial.

Kesimpulan

Para figur yang dikumpulkan dalam sebutan Aulia 44 di Kota Sabang merupakan jejak otentik penerus dakwah Islam dalam wilayah perbatasan barat Aceh. Melalui makam-makam mereka (misalnya Tengku di Iboih, Ummi Rubiah, Syekh Hubaidillah, dan lain-lain) terekam aspek sejarah dan antropologi setempat: bukti literatur lokal (tesmoni lisan, prasasti nisan), pola penyebaran makam di gugusan pesisir, serta ritual ziarah yang diwariskan turun-temurun. Setiap makam memiliki makna sosial-religius tersendiri, mencakup peran tokoh itu semasa hidup (sebagai ulama, tabib, panglima atau guru perempuan) dan tradisi penghormatannya pasca wafat. Keterkaitan warisan ini dengan sejarah Islamisasi Aceh terlihat dari kontinuitas ideologi (‘Ahlus Sunah Waljamaah’ dan sufisme) dan jalur maritim yang mereka bawa.

Secara akademis, data sumber berupa arsip tertulis masih sangat terbatas, sehingga kajian perlu mengandalkan metode interdisipliner: arkeologi situs makam, analisis simbolisme arsitektur makam, studi literatur Aceh, serta wawancara etnografi dengan warga setempat. Hal-hal seperti bentuk batu nisan polos atau adanya sumur wudu adalah temuan lapangan yang memberi petunjuk arkeologis. Sementara festival rakyat dan catatan media (misalnya DetikTravel, ANTARA) menyediakan bukti konteks budaya dan sosial dari warisan ini[4][1].

Dengan demikian, pemaknaan Aulia 44 di Sabang menyoroti betapa sejarah Islam di Aceh bukan hanya soal periode Madinah-Pasai, tetapi juga difusi lokal pada fase selanjutnya. Makam-makam Aulia 44 adalah warisan vital yang menyatukan aspek sejarah dan antropologi Islam di perbatasan barat Aceh.

Catatan: Nomor sitasi 【…】 merujuk ke sumber-sumber primer seperti publikasi akademik dan laporan lapangan yang tercantum di bagian bibliografi.

[1] Budaya tradisional sambut “khanduri laot” di Sabang – ANTARA News Aceh

https://aceh.antaranews.com/berita/44975/budaya-tradisional-sambut-khanduri-laot-di-sabang

[2] Halaman Utama

https://bkksabang.kemkes.go.id/sejarah-organisasi.html

[3] [6] [8] [16] repository.ar-raniry.ac.id

https://repository.ar-raniry.ac.id/25591/1/Ahmad%20Mulia%2C%20180501022%2C%20FAH%2C%20SKI%2C%20082299490946.pdf

[4] [5] [7] [11] Wisata Ramadan di Sabang: Ziarah ke Makam Tengku Chik Di Iboih

https://travel.detik.com/domestic-destination/d-3515145/wisata-ramadan-di-sabang-ziarah-ke-makam-tengku-chik-di-iboih

[9] [10] [13] [14] Wisata Ramadan di Sabang: Makam Ummi Rubiah

https://travel.detik.com/domestic-destination/d-3513687/wisata-ramadan-di-sabang-makam-ummi-rubiah

[12] Melihat Pulau Rubiah Era Belanda

https://www.readers.id/read/melihat-pulau-rubiah-era-belanda/index.html

[15] ASN Kemenag Sabang Ziarah Makam Aulia 44 Syekh Hubaidillah Junaidi Alhabsyi

https://aceh.kemenag.go.id/index.php/baca/asn-kemenag-sabang-ziarah-makam-aulia-44-syekh-hubaidillah-junaidi-al-baqdady


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *