
Banda Aceh, 2 Juli 2025 — Dua dekade setelah perjanjian damai Helsinki, Aceh tak hanya menutup bab kelam masa lalunya, tetapi kini membuka halaman baru yang menjanjikan: menjadi pusat percontohan studi perdamaian di Asia. Wujud paling konkret dari cita-cita ini adalah peluncuran Program Magister Internasional ‘Peace and Development Studies’ oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh—sebuah program unggulan yang digarap bersama dua institusi terkemuka: International Institute of Peace and Development Studies (IIPDS) dan Asian Muslim Action Network (AMAN) International.
Peluncuran program ini bukan sekadar simbol peringatan damai, melainkan realisasi strategis dari mimpi panjang: mempersembahkan pengalaman damai Aceh sebagai laboratorium hidup bagi dunia akademik dan praktisi global.
Sinergi Tiga Kekuatan Asia: Akademisi, Aktivis, dan Spirit Perdamaian
Kerja sama ini berakar dari kunjungan resmi delegasi UIN Ar-Raniry ke kantor IIPDS di Bangkok pada 25 Oktober 2024. Dalam pertemuan penting tersebut, Rektor UIN Ar-Raniry Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.Ag., didampingi Prof. Dr. H. M. Yasir Yusuf, M.A., Dr. Murdani, dan Dr. Hasnul Arifin Melayu, menjajaki peluang kerja sama strategis dengan Dr. M. Abdus Sabur, pimpinan IIPDS yang juga merupakan tokoh penting dalam jaringan AMAN International.
IIPDS, yang berbasis di Bangkok, telah lama dikenal sebagai pusat unggulan studi resolusi konflik, pelatihan pemimpin muda perdamaian, dan penelitian pembangunan berkelanjutan. Sementara itu, AMAN International adalah jaringan cendekiawan dan aktivis Muslim progresif yang aktif mempromosikan perdamaian, keadilan sosial, dan dialog lintas iman di berbagai negara Asia, termasuk kawasan yang rentan terhadap konflik berbasis agama dan identitas.
Kolaborasi ketiga lembaga ini menghadirkan sebuah program magister yang bukan hanya akademik, melainkan sarat dengan etos pergerakan sosial dan semangat perubahan global.
Rektor: “Aceh Bukan Lagi Objek Studi, Tapi Subjek Perdamaian Dunia”
Dalam konferensi pers peluncuran program ini, Rektor UIN Ar-Raniry menegaskan pentingnya menjadikan Aceh sebagai sumber inspirasi global.
“Ini adalah langkah bersejarah. Setelah 20 tahun damai, Aceh bukan lagi hanya objek studi, tetapi telah menjadi subjek yang membagikan hikmah dan pengalamannya kepada dunia. Program ini kami rancang untuk mencetak lulusan yang mumpuni sebagai akademisi dan negosiator perdamaian di tingkat global,” ujar Prof. Mujiburrahman.
Program ini memposisikan mahasiswa sebagai pelaku aktif dalam produksi pengetahuan perdamaian, bukan sekadar penikmat teori di ruang kuliah.
Kurikulum yang Kontekstual dan Internasional
Didesain dengan pendekatan multidisipliner, kurikulum program ini mengintegrasikan nilai-nilai lokal, konteks konflik global, dan instrumen hak asasi manusia. Beberapa mata kuliah unggulan yang akan ditawarkan antara lain:
- Perdamaian dan Studi Agama-Agama
- Kajian Perdamaian dan Transformasi Konflik
- Perdamaian dan Komunikasi
- Women, Peace and Security
- Ekologi, Perlindungan Lingkungan, dan Sustainable Development
- Agama dan Perdamaian
- Hak Asasi Manusia
- Mental Health dalam Konteks Pascakonflik
Perkuliahan akan dilaksanakan di dua kampus: UIN Ar-Raniry di Banda Aceh dan IIPDS di Bangkok. Mahasiswa juga akan menjalani satu semester lapangan untuk observasi, riset, dan pengabdian di komunitas damai—sebuah bentuk pendidikan yang holistik dan berakar pada kenyataan sosial.
Membuka Pintu untuk Dunia
Dengan visi internasional yang kuat, program ini terbuka bagi mahasiswa dari berbagai negara melalui proses seleksi ketat. Beasiswa akan disediakan untuk kandidat terbaik. Selain pengajar dari UIN Ar-Raniry, program ini akan menghadirkan praktisi dan akademisi dari jaringan AMAN dan IIPDS yang telah lama bergelut dalam isu-isu perdamaian di kawasan Asia Selatan dan Tenggara.
Menuju Universitas Berkelas Dunia
Peluncuran Program Magister Peace and Development Studies adalah bagian dari strategi jangka panjang UIN Ar-Raniry menuju World Class University. Kolaborasi ini tidak hanya meningkatkan daya saing internasional, tetapi juga menegaskan bahwa Aceh, yang pernah menjadi zona konflik, kini menjadi poros penting dalam upaya membangun peradaban damai berbasis pengetahuan dan empati.