
Pada Rabu pagi, 19 Juni 2025, Ruang Meeting N.B Coffee di Desa Geulanggang Teungoh, Kecamatan Kota Juang, Bireuen, menjadi saksi penting lahirnya komitmen bersama untuk membangun sinergi kewaspadaan sosial di Kabupaten Bireuen. Dalam suasana yang hangat namun sarat makna, Badan Kesbangpol Aceh menyelenggarakan Rapat Kerja Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Pemerintah Daerah Kabupaten Bireuen Tahun 2025, dengan tema “Optimalisasi Forum-Forum dalam Kewaspadaan Dini di Daerah”.
Acara ini tidak hanya dihadiri oleh jajaran aparatur sipil negara dan lembaga vertikal seperti Dandim, Polres, BIN, dan Kejaksaan, namun juga melibatkan unsur tokoh masyarakat, akademisi, mahasiswa, dan organisasi kepemudaan. Ini adalah bukti bahwa semangat kolaborasi untuk menjaga harmoni sosial tidak lagi eksklusif dimiliki oleh institusi formal semata.
Mengapa FKDM Penting Hari Ini?
Kabid Penanganan Konflik dan Kewaspadaan Nasional dari Kesbangpol Aceh, Dedy Andrian, SE., MM, dalam sambutannya menggarisbawahi urgensi penguatan peran FKDM dalam konteks kekinian. Beliau menekankan bahwa kewaspadaan dini adalah pondasi dari stabilitas daerah. Dalam konteks Bireuen, yang dikenal sebagai kota juang dan kawasan lintas strategis Aceh, kehadiran FKDM bukan lagi pilihan, tetapi keniscayaan.
Dasar hukum kegiatan ini mengacu pada Permendagri No. 2 Tahun 2018 jo. Permendagri No. 46 Tahun 2019. Forum ini bukan hanya instrumen administratif, tetapi bentuk nyata kemitraan strategis antara pemerintah daerah dan masyarakat sipil untuk mencegah munculnya ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG).
Asisten I Sekdakab Bireuen, Mulyadi, SH., MM, yang juga menjabat Plt Kepala Kesbangpol Bireuen, menyampaikan dengan jelas bahwa FKDM harus menjadi kanal informasi yang lincah dan cepat dalam menjaring isu-isu lokal. Menurutnya, kemitraan ini akan efektif apabila ditopang dengan komunikasi yang intensif dan data yang akurat dari bawah.
Mendeteksi Realitas Sosial Baru
Dalam sesi kunci yang dinanti-nantikan, Ketua FKDM Aceh, Prof. Dr. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, menyampaikan refleksi sosial-antropologis atas dinamika sosial kontemporer. Beliau menggarisbawahi terjadinya pergeseran struktur masalah dari alam nyata ke alam maya. Masalah sosial konvensional—konflik tanah, kenakalan remaja, pencurian kecil—relatif dapat diselesaikan melalui pranata adat dan musyawarah. Namun, di dunia digital, provokasi, hoaks, ujaran kebencian, hingga penipuan online menciptakan ledakan kegaduhan sosial yang sulit ditangani secara konvensional.
“Anonimitas pelaku, kecepatan penyebaran, dan jangkauan informasi digital membuat masalah di satu desa bisa menjadi isu global dalam hitungan detik,” tegas Prof. Kamaruzzaman.
Beliau juga menyoroti meningkatnya ketergantungan masyarakat pada bantuan sosial dan pinjaman online yang berisiko menimbulkan kehancuran ekonomi mikro dan ketegangan sosial dalam keluarga. Bahkan kawasan Bireuen, dalam pandangannya, telah menjadi titik rawan patologi sosial dan berkembangnya “industri asusila” akibat tidak terkendalinya arus urbanisasi dan mobilitas masyarakat.
Influencer Sosial: Peluang atau Ancaman?
Prof. Kamaruzzaman juga memberikan perhatian pada fenomena baru: lahirnya aktor-aktor sosial digital seperti influencer dadakan dan pemburu cuan media sosial. Mereka memiliki daya pengaruh besar, namun tanpa kerangka etik atau kapasitas intelektual memadai. FKDM harus mampu membaca arah fenomena ini: apakah mereka mitra perubahan atau ancaman tatanan sosial?
“Kita tidak bisa mengabaikan mereka, tapi juga tidak boleh membiarkan mereka berjalan tanpa kendali sosial,” ujarnya.
Sinergi Multistakeholder: Wacana dan Praktik
AKP Barmawi dari Polres Bireuen memaparkan bahwa sepanjang 2025 telah terjadi beberapa kasus kriminal, namun situasi secara umum masih kondusif. Salah satu isu sensitif yang disorot adalah penolakan pembangunan Masjid Muhammadiyah di Samalanga, yang harus ditangani secara bijak dan adil agar tidak menimbulkan eskalasi konflik SARA.
Rapat kerja ini menjadi ruang klarifikasi, konsolidasi, dan juga peringatan. Kewaspadaan dini tidak cukup berbasis data atau laporan formal, tetapi harus menyatu dengan denyut kehidupan masyarakat. Untuk itu, peran tokoh masyarakat, LSM, media lokal, dan bahkan organisasi mahasiswa menjadi sangat penting sebagai mata dan telinga sosial.
Menuju Model FKDM yang Responsif dan Adaptif
Tiga catatan penting muncul dari dinamika raker FKDM ini:
- Sinergitas sebagai Modal Sosial: Harmonisasi antara pemerintah daerah dan masyarakat adalah kunci. Tanpa rasa saling percaya, upaya deteksi dini hanya akan menjadi formalitas.
- Deteksi Cepat, Tindak Cepat: Di era disrupsi informasi, kecepatan menjadi nilai strategis. FKDM harus mampu merespon isu sebelum membesar menjadi konflik.
- Revitalisasi Peran Tokoh Lokal: Kearifan lokal bukan sekadar narasi nostalgia, tetapi sumber solusi. FKDM harus menggandeng tokoh adat, agama, pemuda, dan perempuan sebagai simpul kekuatan sosial.
Harapan dan Jalan ke Depan
FKDM bukan sekadar forum, tetapi arena perjuangan ideologis dan sosial untuk menjaga keutuhan masyarakat. Raker ini menjadi tonggak penting untuk membangun pola pikir baru dalam menjaga keamanan dan stabilitas sosial. Bireuen, sebagai salah satu episentrum sosial Aceh, membutuhkan FKDM yang responsif, adaptif, dan partisipatif.
Sebagaimana ditutup oleh Mulyadi dalam sambutannya, keberlanjutan perdamaian di Aceh bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga amanah sosial yang harus diemban seluruh elemen masyarakat. FKDM menjadi sarana strategis untuk menjembatani antara problem sosial dan solusi kolektif.
Dalam suasana Aceh pascakonflik, kewaspadaan dini tidak boleh menjadi jargon. Ia harus menjadi cara hidup. Dan itu hanya mungkin jika kita membangunnya bersama—dengan hati, nalar, dan aksi nyata.