Pendahuluan
Ketika dunia bergerak di antara konflik, kebijakan, dan opini publik yang saling berkelindan, kawasan Asia-Pasifik tampil sebagai laboratorium paling dinamis bagi masa depan demokrasi global. Di dalam pusaran itu, Australia dan Jepang berdiri sebagai dua kutub yang sama-sama membawa citra demokrasi liberal, tetapi dengan strategi, dilema, dan orientasi moral yang berbeda.
Australia hari ini menghadapi krisis legitimasi moral domestik setelah Pemerintah Northern Territory (NT), yang dikuasai oleh Country Liberal Party (CLP), mengesahkan reformasi besar dalam Youth Justice Act. Regulasi baru ini membuka kembali praktik-praktik represif dalam sistem penahanan anak: reintegrasi spit hoods (penutup kepala anti-ludah), penggunaan anjing polisi dalam pengendalian, hingga penghapusan prinsip “penahanan sebagai upaya terakhir.” Kebijakan ini diambil dengan retorika “darurat keamanan publik,” tetapi segera memicu kecaman luas. Para pakar psikiatri dari Royal Australian and New Zealand College of Psychiatrists (RANZCP), badan-badan HAM domestik, hingga United Nations Subcommittee on Prevention of Torture (SPT) menilai kebijakan tersebut sebagai bentuk “kemunduran moral” yang bertentangan dengan prinsip hukum internasional (RANZCP, 2023; Croakey Health Media, 2023; The Guardian, 2023).
Sebaliknya, Jepang bergerak pada jalur berbeda. Tokyo mengukuhkan dirinya sebagai kekuatan diplomasi strategis yang lebih otonom, terutama melalui kemitraan dengan India, keterlibatan aktif dalam Quad, serta partisipasi dalam program pertahanan multilateral seperti Global Combat Air Programme (GCAP). Di bawah Perdana Menteri Kishida Fumio, Jepang melangkah dari pasifisme konstitusional menuju diplomasi yang lebih pragmatis, aktif, dan normatif. Aliansi strategis Jepang–India dalam bidang mineral kritis, teknologi pertahanan, dan infrastruktur maritim hijau mencerminkan transformasi besar dalam diplomasi Asia (The Japan Times, 2024; CSIS, 2023; Indiatimes, 2024).
Tulisan ini akan mengeksplorasi paradoks Australia dan Jepang sebagai “mikrokosmos” pertarungan moral demokrasi Asia-Pasifik. Dengan pendekatan analitis dan reflektif, artikel ini menyoroti bagaimana trauma kolonial, kebijakan represif, dan politik populis di Australia berhadapan dengan transformasi strategis Jepang yang berusaha menyeimbangkan nilai normatif dengan kebutuhan geopolitik.
Australia: Ketamakan Politik dan Warisan Trauma
Don Dale dan Luka yang Belum Sembuh
Kisah Don Dale Youth Detention Centre adalah trauma nasional Australia. Pada 2016, program investigasi Four Corners dari ABC menayangkan rekaman mengejutkan: anak-anak diisolasi dalam sel kaca, dipasangi spit hoods, disemprot gas air mata, bahkan dipaksa duduk di kursi mekanis dengan pengikat tubuh. Publik terkejut, dan pemerintah terpaksa membentuk Royal Commission into the Protection and Detention of Children in the Northern Territory. Hasilnya: 226 rekomendasi reformasi yang menekankan rehabilitasi, larangan total penggunaan alat penyiksaan, dan perlunya pendekatan berbasis komunitas (Royal Commission, 2017).
Namun, hanya tujuh tahun kemudian, luka itu seolah dilupakan. Pemerintah NT justru menghidupkan kembali instrumen represif. Padahal, spit hoods telah dikategorikan oleh United Nations Committee Against Torture sebagai bentuk penyiksaan. Amnesty International dan Human Rights Law Centre menyebut langkah ini sebagai “betrayal of justice,” pengkhianatan terhadap komitmen internasional Australia sebagai penandatangan Konvensi Anti Penyiksaan (Human Rights Law Centre, 2023).
Politik Populis dan Ketamakan Kekuasaan
Kebijakan CLP tidak lahir dalam kekosongan. Ia merupakan refleksi dari ketegangan politik populis yang meningkat di NT, di mana kriminalitas anak, khususnya dari komunitas Aboriginal, dipolitisasi sebagai ancaman terhadap keamanan publik. Retorika yang dipakai adalah: “Tough on crime means safer streets.” Tetapi kenyataannya, 95% penghuni pusat penahanan remaja di NT adalah anak-anak Aboriginal (Australian Human Rights Commission, 2023).
Dengan demikian, kebijakan ini tidak netral, melainkan bentuk lanjutan dari rasisme sistemik dan kolonialisme internal. Akademisi hukum dari UNSW menegaskan bahwa kebijakan semacam ini hanya memperdalam trauma generasi, meningkatkan risiko residivisme, dan mengulang lingkaran kekerasan negara terhadap kaum pribumi (UNSW, 2023).
Trauma dan Paradoks Demokrasi
Australia mengklaim diri sebagai penjaga demokrasi dan hak asasi manusia di Indo-Pasifik. Namun, di dalam negeri, demokrasi justru digunakan untuk melegitimasi kebijakan yang bertentangan dengan prinsip hak anak. Inilah paradoks besar: di panggung internasional, Australia mengkritik pelanggaran HAM di Asia; tetapi di rumah sendiri, negara mempraktikkan kebijakan represif terhadap anak-anak yang termarjinalkan.
Para analis menyebut ini sebagai bentuk “double legitimacy crisis” (Croakey Health Media, 2023). Di satu sisi, pemerintah berusaha merespons kecemasan publik atas kriminalitas. Di sisi lain, pemerintah mengorbankan legitimasi moral demokrasi dengan mengabaikan rekomendasi ahli dan hukum internasional. Dengan kata lain, Australia memperlihatkan bahwa demokrasi bisa dipakai sebagai instrumen justifikasi kekerasan negara.
Jepang: Diplomasi Otonom dalam Ketidakpastian Geopolitik
Dari Pasifisme ke Proaktif Strategis
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, Jepang diikat oleh Pasal 9 Konstitusi yang menolak perang sebagai instrumen negara. Namun, tekanan geopolitik kontemporer—terutama kebangkitan Cina, ketidakpastian kebijakan AS, dan ancaman Korea Utara—mendorong Jepang untuk menafsirkan ulang pasifismenya. Di bawah kepemimpinan Kishida, Jepang tidak lagi sekadar “pengikut” Washington, melainkan mulai mengartikulasikan otonomi diplomatik (War on the Rocks, 2023).
Aliansi Jepang–India: Pilar Baru Indo-Pasifik
Kerja sama Jepang–India menjadi fondasi penting bagi strategi Indo-Pasifik. Dalam beberapa tahun terakhir, kedua negara memperkuat aliansi di bidang pasokan mineral kritis, pembangunan pelabuhan hijau, serta produksi bersama teknologi pertahanan. Kolaborasi ini tidak hanya bersifat pragmatis, tetapi juga simbolis: dua demokrasi Asia membangun narasi tandingan terhadap dominasi Cina (The Japan Times, 2024; Indiatimes, 2024).
Proyek seperti Unicorn Masts, teknologi militer canggih hasil kolaborasi Jepang–India, mencerminkan keberanian Jepang untuk menembus batas konstitusionalnya. Jepang kini lebih proaktif dalam industri pertahanan, namun tetap menekankan diplomasi normatif: kerja sama ini bukan untuk agresi, melainkan untuk menjaga stabilitas kawasan.
GCAP dan Otonomi Teknologi
Partisipasi Jepang dalam Global Combat Air Programme (GCAP) bersama Inggris dan Italia adalah bukti transformasi strategis. Dengan mengembangkan pesawat tempur generasi keenam, Jepang bukan hanya memperkuat keamanan nasional, tetapi juga meningkatkan statusnya sebagai inovator global dalam teknologi pertahanan (CSIS, 2023). GCAP menunjukkan bahwa Jepang ingin memainkan peran sebagai kekuatan teknologi dan diplomasi, bukan sekadar kekuatan militer.
Diplomasi Nilai dan Legitimasi Moral
Diplomasi Jepang tidak semata ditentukan oleh kepentingan strategis, tetapi juga oleh upaya membangun legitimasi moral. Dalam forum Quad, Jepang mendorong agenda keamanan maritim, infrastruktur berkelanjutan, dan pertukaran teknologi ramah lingkungan. Di sinilah Jepang berusaha menyeimbangkan realpolitik dengan soft power, menampilkan diri sebagai kekuatan demokratis yang konsisten dengan nilai non-agresi.
Kontras dan Paralel: Analisis Teoretis
Australia memperlihatkan bagaimana demokrasi dapat dibelokkan menjadi alat pembenaran bagi kebijakan represif di tingkat domestik. Pemerintah menggunakan trauma kolonial dan rasa takut publik—yang sering kali dilebarkan melalui narasi keamanan—untuk menghidupkan kembali instrumen kekerasan negara. Spit hood, isolasi anak, hingga penggunaan anjing penjaga, dijadikan seolah-olah langkah legal untuk melindungi masyarakat. Padahal, praktik ini justru melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia yang seharusnya menjadi fondasi demokrasi modern. Ironisnya, demokrasi yang diklaim sebagai “perlindungan” berubah menjadi wajah baru dari penindasan yang dilembagakan. Di sinilah paradoks moral muncul: negara yang menampilkan diri sebagai kampiun demokrasi dan HAM di panggung global, justru mengkhianati prinsip tersebut di halaman rumahnya sendiri.
Berbeda halnya dengan Jepang. Negeri ini menampilkan demokrasi bukan semata sebagai sistem politik internal, tetapi sebagai sumber legitimasi moral dalam interaksi global. Alih-alih menggunakan demokrasi untuk membenarkan kekerasan domestik, Jepang mengartikulasikannya sebagai instrumen membangun norma bersama yang lebih inklusif. Diplomasi nilai, partisipasi dalam Quad, serta komitmen pada stabilitas Indo-Pasifik menjadi bukti bahwa demokrasi dapat diproyeksikan sebagai kekuatan lunak (soft power) yang berpengaruh. Jepang tidak sekadar memelihara demokrasi untuk konsumsi internal, tetapi juga memosisikannya sebagai bahasa universal yang memungkinkan terbangunnya koalisi strategis lintas kawasan.
Dengan demikian, Australia dan Jepang tidak hanya berbeda dalam praktik kebijakan, tetapi juga dalam cara mereka memaknai demokrasi itu sendiri. Australia menampakkan demokrasi yang tercemar oleh politik rasa takut dan warisan kolonial, sementara Jepang menunjukkan demokrasi yang ditransformasikan menjadi narasi global untuk membangun legitimasi moral dan keseimbangan geopolitik.
Analisis ini menunjukkan bahwa legitimasi demokrasi tidak hanya diukur dari klaim retoris, tetapi dari konsistensi antara kebijakan domestik dan citra internasional.
Kesimpulan
Australia dan Jepang adalah cermin pertarungan moral demokrasi Asia-Pasifik. Australia, dengan trauma kolonial dan kebijakan represif, menegaskan bahwa demokrasi bisa terperangkap dalam logika ketamakan politik dan populisme. Jepang, dengan diplomasi otonom dan strategi normatif, menunjukkan bahwa demokrasi dapat menjadi fondasi legitimasi global.
Dalam dunia multipolar yang semakin kompleks, pelajaran penting muncul: kekuatan demokrasi tidak lagi ditentukan oleh dominasi militer atau retorika politik, tetapi oleh integritas moral dalam setiap kebijakan. Australia mungkin mengingatkan kita bahwa trauma yang tidak ditangani akan melahirkan kebijakan represif. Jepang mengingatkan bahwa otonomi strategis berbasis nilai bisa menjadi jalan baru bagi demokrasi di abad ke-21.
Daftar Pustaka
ABC News. (2016). Australia’s shame: Don Dale Youth Detention Centre investigation. ABC Investigations.
Australian Human Rights Commission. (2023). Children in detention: Northern Territory developments. Canberra: AHRC.
Croakey Health Media. (2023). Spit hoods and trauma: Why NT reforms are a step backwards. Retrieved from https://www.croakey.org
CSIS. (2023). Japan’s strategic autonomy and the Indo-Pacific. Washington DC: Center for Strategic and International Studies.
Human Rights Law Centre. (2023). Australia betrays children’s rights with new NT laws. Melbourne: HRLC.
Indiatimes. (2024). India–Japan strategic partnership: Beyond economics. Retrieved from https://www.indiatimes.com
RANZCP. (2023). Statement on NT youth justice reforms. Melbourne: Royal Australian and New Zealand College of Psychiatrists.
Royal Commission into the Protection and Detention of Children in the Northern Territory. (2017). Final Report. Canberra: Commonwealth of Australia.
The Guardian. (2023). NT government criticised for reintroducing spit hoods. Retrieved from https://www.theguardian.com
The Japan Times. (2024). Japan–India ties deepen amid China’s rise. Tokyo: The Japan Times.
UNSW. (2023). Legal experts slam NT’s youth justice rollback. Sydney: University of New South Wales.
War on the Rocks. (2023). Japan’s quiet revolution in foreign policy. Washington DC: Texas National Security Review.