Banda Aceh, 13 Agustus 2025 โ Ruang Memorial Perdamaian Kesbangpol Aceh sore itu menjadi arena diskusi intens. Forum Group Discussion (FGD) yang digelar Tim Kajian Pendidikan Perdamaian Kesbangpol Aceh menghadirkan para akademisi, anggota tim kajian, dan perwakilan Kesbangpol untuk membedah satu isu strategis: Posisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dalam menjaga atau justru mengancam keberlanjutan damai di Aceh menjelang dua dekade perdamaian (2005โ2025).
Acara ini dipandu oleh Dr. Mukhlisuddin Ilyas, yang menjadi narasumber adalahย Khairulyadi, M.H.Sc. dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala, FGD bertema “Mendorong Damai yang Berkelanjutan: Refleksi Kritis Menjelang Dua Dekade UUPA” ini mengupas persoalan yang mengakar: mulai dari semantical games of politics, tumpang tindih regulasi, hingga peran UUPA yang kerap dilihat lebih sebagai instrumen politik daripada motor pembangunan.
Sorotan Utama: Politik, Otonomi, dan Syariah Islam
Dalam presentasinya, Khairulyadi menekankan bahwa kata “otonomi” dalam konteks Aceh tidak pernah netral, melainkan selalu terkait dengan hubungan tarik-ulur antara Aceh dan Jakarta. Ia menyinggung adanya โdesakralisasi syariah Islamโ yang terjadi ketika Qanun lebih didorong oleh semangat normatif-dogmatis tanpa menyelesaikan persoalan riil masyarakat. Dana otonomi khusus, menurutnya, belum dimanfaatkan maksimal, sementara UUPA sering kali diposisikan sebagai simbol politik ketimbang instrumen pembangunan yang substantif.
Persoalan transisional dari MoU Helsinki ke UUPA juga disorot, termasuk isu self-government yang bergeser menjadi otonomi khusus, serta revisi UUPA yang masuk Prolegnas 2024/2025 dengan semangat โmengembalikan ruh MoUโ.
Pandangan Peserta: Kritik dan Harapan
Beberapa peserta menyampaikan pandangan kritis. Adi Warsidi mengingatkan pentingnya fokus pada isu sentral politik, mempertanyakan apakah โUUPA harga matiโ benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat atau hanya pada elite politik. Ahmad Sanusi menyoroti lemahnya perhatian kementerian pusat terhadap kekhususan Aceh, yang membuat bibit-bibit konflik tetap ada.
Darlis menekankan kendala implementasi UUPA yang masih diwarnai masalah teknis dan politik. Nurul Fajri menggarisbawahi pentingnya meninjau pasal-pasal UUPA yang belum dijalankan, termasuk 118 pasal yang kini menjadi bahan revisi. Putri Lestari bersikap realistis, menilai Aceh tidak bisa terlalu berharap pada pusat dan harus fokus membangun hukum dan politiknya sendiri, khususnya dalam menanamkan pengetahuan damai kepada generasi muda.
Jauhari Samalanga menyoroti UU Pemilu yang dianggap menghambat kekhususan Aceh, terutama terkait absennya pelaksanaan pemilu legislatif dua tahun di daerah. Fadlan Barakah mengangkat sisi sosiologis, menilai imajinasi damai di kalangan generasi muda Aceh masih menjadi tantangan yang perlu dijawab.
Kesimpulan Sementara
Diskusi FGD ini menunjukkan bahwa menjelang dua dekade perdamaian Aceh, UUPA masih berada di persimpangan: antara menjadi pilar keberlanjutan damai atau menjadi sumber friksi politik baru. Semua peserta sepakat bahwa komitmen menjaga UUPA harus disertai perbaikan implementasi, fokus pada kebutuhan riil rakyat, serta penyelarasan dengan semangat awal MoU Helsinki.
Kegiatan ini diikuti 15 peserta aktif dan 10 peserta tamu dari kalangan akademisi, anggota tim, dan perwakilan Kesbangpol. Diskusi berlangsung hangat, penuh argumentasi, namun tetap dalam bingkai saling menghormati, mencerminkan esensi perdamaian yang ingin dipertahankan Aceh untuk masa depan.
Leave a Reply