Gideon’s Spies: Membongkar Rahasia Mossad dalam Sejarah Intelijen Global

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Gideon’s Spies: The Secret History of the Mossad karya Gordon Thomas membuka tabir Mossad, dari perburuan Nazi, intrik nuklir, konflik Timur Tengah, hingga jihad global.
Gideon’s Spies: The Secret History of the Mossad karya Gordon Thomas membuka tabir Mossad, dari perburuan Nazi, intrik nuklir, konflik Timur Tengah, hingga jihad global.

Pendahuluan

Mossad kerap muncul dalam imajinasi global sebagai lembaga intelijen yang paling misterius, ditakuti, sekaligus dikagumi. Gordon Thomas, melalui Gideon’s Spies: The Secret History of the Mossad (2012), mengisahkan bagaimana badan intelijen Israel itu bergerak dari perburuan Nazi hingga menghadapi jihadisme global. Buku ini bukan sekadar catatan sejarah, tetapi sebuah narasi investigatif yang menyingkap wajah tersembunyi intelijen modern.

Dari Perburuan Nazi ke Perang Dingin

Thomas memulai kisahnya dengan operasi legendaris: penculikan Adolf Eichmann di Buenos Aires pada 1960. Aksi ini mengukuhkan Mossad sebagai agen global yang berani melintasi batas hukum internasional demi membela memori kolektif bangsa Yahudi. Dari sini terbentuk doktrin utama Mossad: tidak ada batas geografis dalam memburu musuh.

Memasuki Perang Dingin, Mossad menjelma broker informasi. Mereka menukar intelijen vital tentang dunia Arab dengan teknologi dan dukungan Barat. Meski sering beroperasi bersama CIA dan MI6, Mossad tidak segan bergerak unilateral bila kepentingan Israel menuntutnya. Informasi menjadi mata uang politik yang mengangkat Mossad ke level global.

Intrik Nuklir dan Kampanye Bayangan

Salah satu bab paling penting dalam buku ini adalah Gideon’s Nuclear Sword. Mossad menjalankan kampanye global untuk menggagalkan program nuklir musuh, dari Irak hingga Iran. Operasi sabotase terhadap reaktor Osirak (1981) dan pembunuhan ilmuwan Iran adalah contoh nyata strategi pre-emptive defense.

Selain nuklir, Mossad menggunakan berbagai metode bayangan: slush funds untuk membeli kesetiaan, honey traps dengan agen perempuan, hingga disinformasi untuk melemahkan lawan. Mossad tidak hanya bertarung dengan senjata, melainkan juga dengan persepsi. Reputasi mereka sendiri adalah senjata psikologis.

See also  Misi Walet Hitam: Menguak Misteri Teroris Dr. Azhari dan Operasi Penumpasan Terbesar dalam Sejarah Indonesia

Timur Tengah Kontemporer

Thomas menyingkap peran Mossad dalam konflik kontemporer: dari Hamas di Gaza, Hizbullah di Lebanon, hingga Suriah. Bab After Saddam menggambarkan Mossad setelah kejatuhan Saddam Hussein. Irak yang kacau dipandang sebagai ladang subur bagi Al-Qaeda, lalu ISIS. Mossad melihat ancaman non-negara ini sebagai lebih berbahaya daripada rezim Saddam, karena bersifat transnasional dan ideologis.

Mossad dan Jihad Global

Pasca-9/11, Mossad meningkatkan kerjasama dengan CIA dalam “War on Terror.” Israel memiliki pengalaman panjang menghadapi bom bunuh diri dan operasi urban, sehingga menjadi mitra berharga. Namun, Mossad tetap menjaga independensi, sering melakukan operasi rahasia tanpa memberitahu sekutu.

Thomas menggambarkan bahwa dalam menghadapi jihad global, Mossad memainkan peran “deterrence shadow”—bayangan pencegah. Musuh tahu, bila mereka bergerak, Mossad bisa hadir di mana saja. Reputasi ini saja sudah cukup membuat lawan merasa selalu diawasi.

Kritik atas Gordon Thomas

Meski kaya narasi, karya Thomas sering dikritik karena sensasional. Detail operasi ditulis dramatis, kadang lebih mirip novel spionase daripada laporan akademik (Ransom, 2014). Bias pro-Israel juga terasa kuat: keberhasilan Mossad digambarkan heroik, sementara konsekuensi politik atau moral kurang dibahas.

Namun demikian, nilai buku ini tetap signifikan. Ia memperkenalkan dunia intelijen kepada pembaca luas, sekaligus memberi data awal bagi studi akademik. Gideon’s Spies lebih tepat dibaca sebagai “narasi populer yang kaya informasi” daripada “kajian akademik murni.”

See also  Strategi Intelijen Amerika di Indo-Pasifik: Analisis Teori, Geopolitik, dan Pertahanan

Refleksi dan Kesimpulan

Mossad adalah cermin dunia intelijen modern: bergerak di antara fakta dan mitos, antara hukum dan pelanggaran, antara moralitas dan pragmatisme. Thomas menunjukkan bahwa bagi Israel, intelijen adalah seni bertahan hidup. Mossad menjadikan informasi, manipulasi, dan reputasi sebagai senjata utama.

Gideon’s Spies bukan hanya buku tentang spionase. Ia adalah pengingat bahwa geopolitik global tidak hanya ditentukan oleh diplomasi terbuka, tetapi juga oleh operasi rahasia yang sering tak terlihat. Bagi siapa pun yang ingin memahami politik bayangan, buku ini adalah bacaan wajib.

 

Also Read

Bagikan:

Avatar photo

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. Prof. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). Currently, he is Dean of Faculty and Shariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia.

Leave a Comment