Dua dekade telah berlalu sejak penandatanganan Memorandum of Understanding di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Damai yang terjalin antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia mengakhiri salah satu babak paling berdarah dalam sejarah Aceh modern. Namun, di balik lembar-lembar perjanjian itu, ada sosok yang namanya akan selalu melekat dalam narasi perjuangan dan perdamaian Aceh: Hasan Muhammad di Tiro.
Buku Hasan Tiro: The Unfinished Story of Aceh, yang disunting oleh Husaini Nurdin, hadir sebagai upaya kolektif untuk menulis kembali—atau mungkin tepatnya—merekam ulang memori kolektif tentang sang pendiri GAM. Seperti judulnya, kisah Hasan Tiro belum selesai. Ia adalah narasi yang selalu bergerak, berlapis, dan mengundang penafsiran baru, terutama ketika kita merayakan 20 tahun damai di Aceh.
Potret Sang Wali: Antara Simbol dan Realitas
Hasan Tiro bukan sekadar pemimpin gerakan bersenjata. Ia adalah simbol, bahkan mitos, yang menghidupkan aspirasi politik Aceh dalam bahasa martabat, harga diri, dan hak menentukan nasib sendiri. Buku ini memotret Tiro melalui puluhan lensa penulis: dari akademisi, jurnalis, mantan kombatan, hingga sahabat-sahabat dekatnya.
Tulisan seperti Logika Martir Tiroisme oleh Affan Ramli membedah cara Tiro membangun narasi perjuangan yang menggabungkan gagasan ideologis dengan simbol-simbol kultural Aceh. Amiruddin Al-Rahab dalam Merawat Tuah Hasan Tiro menegaskan bagaimana ‘karisma politik’ sang Wali tetap memengaruhi identitas Aceh, bahkan setelah ia wafat.
Dalam bab lain, Amrizal J Prang mengupas Paradigma Pembebasan Hasan Tiro yang melihat kemerdekaan Aceh bukan semata-mata proyek politik, tetapi sebagai proses pembebasan dari dominasi dan penyeragaman budaya.
Kenangan Personal yang Menghidupkan Narasi
Salah satu kekuatan buku ini terletak pada fragmen-fragmen personal yang menampilkan Hasan Tiro sebagai manusia biasa—dengan kegemaran, humor, dan prinsip yang ia pegang teguh. Asnawi Ali menulis tentang 30 Menit Bersama Hasan Tiro, sebuah pertemuan singkat namun sarat makna yang membuka dimensi personal sang Wali.
Fachrul Razi menyoroti Potret Hasan Tiro dalam bingkai politik internasional, sementara Fakhrurrazie Gade menghadirkan kisah kedekatan yang jarang diungkap di ruang publik. Ada pula M Rizwan Haji Ali dengan Efek Getar Sang Wali yang menuturkan bagaimana kehadiran fisik Tiro mampu mengubah suasana sebuah ruangan—bahkan sebelum ia berbicara.
Catatan-catatan ini mengingatkan bahwa di balik figur pemimpin gerakan, Hasan Tiro adalah seorang manusia dengan pergulatan batin, kesetiaan pada tanah kelahirannya, dan tekad yang tak mudah dikompromikan.
Hasan Tiro dan Politik Damai Aceh
Membaca buku ini di momen 20 tahun perdamaian Aceh berarti membaca ulang gagasan dan pilihan politik Hasan Tiro dalam kacamata sejarah yang lebih panjang. Ia memilih jalur perjuangan bersenjata di masa ketika negosiasi tampak mustahil, namun ia juga memberi ruang bagi solusi damai ketika sejarah membukakan peluangnya.
Tulisan Irwandi Zakaria, misalnya, membicarakan Getaran Hasan Tiro yang tak pernah benar-benar padam meskipun senjata telah diletakkan. Sementara wawancara Prof. James P. Siegel di bagian akhir buku merangkum Hasan Tiro sebagai sosok yang “memiliki obsesi besar”—obsesi yang melampaui medan perang, menuju cita-cita Aceh yang bermartabat di mata dunia.
Buku ini secara implisit mengajak pembaca bertanya: Apakah perdamaian yang kita nikmati hari ini selaras dengan visi Hasan Tiro? Atau justru menjauh dari cita-cita yang ia perjuangkan?
Menghidupkan Memori, Menatap Masa Depan
Dua puluh tahun setelah MoU Helsinki, Aceh berada di persimpangan jalan. Damai telah terjaga, tetapi tantangan politik, ekonomi, dan sosial terus menguji fondasinya. Di tengah situasi ini, Hasan Tiro: The Unfinished Story of Aceh berperan sebagai pengingat kolektif—bahwa damai bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan bab baru yang harus diisi dengan kebijaksanaan, konsistensi, dan keberanian moral.
Membaca buku ini berarti merawat ingatan. Ingatan tentang seorang pemimpin yang memilih jalan sulit demi prinsip. Ingatan tentang sebuah bangsa yang menolak dilupakan. Dan ingatan bahwa sejarah Aceh tak pernah berhenti bergerak—sebagaimana kisah Hasan Tiro yang tetap “belum selesai”.