Siswa SMA, menikmati kopi sambil berbagi ruang dengan bapak-bapak penikmat kopi dan remaja produktif. Inilah wajah Aceh—tradisi ngopi lintas generasi yang tetap hidup di tengah modernitas

Hidup Anak Banda Aceh dan Warkop: Cerita dari Seorang Siswa SMA

Pendahuluan

Kalau bicara soal Banda Aceh, pasti susah melewatkan satu hal yang paling melekat: warkop alias warung kopi. Buat sebagian orang, warkop mungkin cuma tempat minum kopi, tapi bagi saya—Qaishar, siswa SMA di Banda Aceh—warkop itu sudah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Rasanya aneh kalau seminggu nggak nongkrong di sana.

Di Aceh, warkop bukan cuma tempat buat orang tua ngopi, tapi juga markas anak muda. Ada yang produktif bawa laptop sambil kerjain tugas, ada juga yang cuma ngobrol ngalor-ngidul sama temannya. Saya sendiri sering jadi bagian dari keduanya: kadang serius ngetik tugas sekolah, kadang sekadar ketawa-ketawa sampai lupa waktu.

Kenapa Harus Warkop?

Banyak yang mungkin heran, kenapa anak muda Aceh lebih sering ke warkop ketimbang ke coffee shop keren? Jawabannya simpel: harga bersahabat dan suasana lebih bebas. Di coffee shop, suasananya sering kaku, kadang bikin minder kalau belum pesan menu mahal. Sementara di warkop, kita bisa duduk santai berjam-jam cukup dengan segelas kopi atau teh tarik.

Sebagai anak sekolah, duit jajan saya terbatas. Jadi warkop itu ibarat penyelamat kantong. Selain murah, di sana saya bisa ketemu siapa saja: teman sekolah, abang-abang mahasiswa, bahkan bapak-bapak yang udah jadi langganan tetap. Rasanya kayak semua orang punya tempat di warkop.

See also  Antropologi Rasa: Bagaimana Makanan Menjadi Jembatan Budaya dan Identitas

Sejarah yang Hidup di Sekitar Kita

Saya pernah baca (dan sering dengar cerita dari orang tua) kalau tradisi ngopi di Aceh sudah ada sejak zaman Kesultanan Aceh Darussalam, sekitar abad ke-17. Waktu itu, kopi Gayo mulai dikenal lewat pedagang Arab, India, sampai Turki. Sejak saat itu, kopi bukan sekadar minuman, tapi jadi budaya.

Kata orang, dulu kedai kopi juga jadi tempat diskusi politik dan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Jadi, sebenarnya apa yang kami lakukan sekarang—ngobrol, debat, tukar pikiran—itu meneruskan tradisi panjang orang Aceh. Bedanya, sekarang ada tambahan WiFi gratis, jadi obrolan di warkop kadang ditemani suara ketikan laptop atau notifikasi Instagram.

Warkop: Ruang Semua Kalangan

Kalau masuk ke salah satu warkop di Banda Aceh, gampang banget lihat betapa beragamnya orang di sana. Ada bapak-bapak yang setia ngopi dari pagi sampai siang, ngobrolin politik atau sekadar cerita nostalgia masa muda. Ada mahasiswa yang sibuk bikin presentasi atau nulis skripsi. Dan tentu saja, ada remaja seperti saya yang kadang produktif, kadang malah lebih banyak ketawa sama geng sekolah.

Saya pernah ngerasain gimana serunya ngerjain tugas di warkop. Buka laptop, sambil pesan kopi sanger, suasana jadi lebih hidup daripada belajar sendirian di kamar. Tapi jujur aja, lebih seringnya sih malah ngobrolin hal-hal nggak penting sama teman. Dari warkop juga kadang lahir ide-ide liar, mulai dari rencana bikin komunitas sampai sekadar wacana jalan-jalan ke Sabang yang nggak pernah jadi.

See also  How was the Early History of the Acehnese Waqf and Their Intellectual Network in Mecca?

Ekonomi, Budaya, dan Wisata

Kalau dipikir-pikir, warkop juga punya peran penting di Banda Aceh. Dari sisi ekonomi, warkop ngasih lapangan kerja untuk banyak orang, dari tukang parkir sampai pelayan. Dari sisi budaya, ngopi sudah jadi gaya hidup orang Aceh. Bahkan wisatawan yang datang ke Banda Aceh sering diajak singgah ke warkop biar tahu gimana nikmatnya kopi Ulee Kareng atau kopi Gayo.

Yang bikin unik, meskipun sekarang banyak coffee shop modern berdiri, warkop tetap nggak tergeser. Justru malah makin ramai. Mungkin karena di sanalah orang bisa merasa bebas, tanpa aturan dress code atau gengsi.

Penutup

Bagi saya, warkop itu bukan sekadar tempat minum kopi. Ia adalah tempat belajar tentang hidup. Dari ngobrol sama orang tua di meja sebelah, saya bisa dapat cerita pengalaman hidup yang nggak ada di buku sekolah. Dari nongkrong bareng teman, saya belajar tentang kebersamaan. Dari suasana yang sederhana tapi hangat, saya sadar bahwa hal-hal kecil bisa bikin kita merasa dekat dengan orang lain.

Jadi, kalau ada yang tanya: “Apa sih yang khas dari Banda Aceh?” Saya bakal jawab tanpa ragu: warkop dan tradisi ngopi-nya. Karena di sanalah, semua kalangan bisa ketemu, dari orang tua sampai anak remaja seperti saya.

About The Author


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *