Revolusi Gen Z Nepal 2025 — Analisis Intelijen Strategis KBA13 Insight.

Revolusi Gen Z di Nepal 2025: Intelijen, Aktor, dan Perang Narasi

Latar Belakang dan Pemicu Unjuk Rasa

Gelombang protes besar melanda Nepal pada akhir Agustus hingga September 2025, dipicu oleh kombinasi faktor politik dan ekonomi yang sudah lama membara. Pemicu langsungnya adalah keputusan pemerintah Nepal untuk memblokir akses ke 26 platform media sosial (termasuk Facebook, YouTube, Instagram, WhatsApp, dan X/Twitter) pada awal September 2025[1][2].

Langkah ini resmi berdalih mengekang akun palsu, ujaran kebencian, dan penipuan daring, namun di mata publik – khususnya generasi muda – dianggap sebagai bentuk sensor dan “hukuman kolektif” yang tidak adil[3][4]. Kebijakan mendadak ini menyulut kemarahan luas karena sekitar 90% penduduk Nepal (30 juta jiwa) terhubung dengan internet dan sangat bergantung pada media sosial[1].

Bagi pemuda Nepal, platform digital bukan sekadar hiburan, tetapi lifeline untuk mencari kerja, berdagang, mendapat berita, dan bersosialisasi – penutup celah di tengah lapangnya waktu akibat pengangguran (March 2025[5][6]). Oleh karena itu, penutupan akses media sosial dirasakan sebagai pengekangan hak dan kesempatan, memantik aksi protes spontan.

Di luar pemicu langsung tersebut, bahan bakar utama kemarahan massa adalah kekecewaan menahun terhadap korupsi endemik, nepotisme politik, stagnasi ekonomi, dan minimnya lapangan kerja di Nepal (Pattisson 2025[7][8]). Selama satu dekade terakhir, Nepal diperintah bergantian oleh segelintir elit politik tua – seperti K.P. Sharma Oli, Sher Bahadur Deuba, dan Pushpa Kamal Dahal (Prachanda) – yang silih-berganti menjabat perdana menteri hingga 12 kali[9].

Roda pemerintahan yang didominasi “wajah lama” ini dituding gagal memberantas korupsi serta kolusi keluarga (“politik dinasti”), sehingga menimbulkan ketidakpercayaan publik. Sebuah kampanye viral di media sosial bertagar #NepoBabyNepal sempat menghebohkan sebelum protes, memajang gaya hidup mewah “anak-anak pejabat” (nepo kids) – mulai pendidikan luar negeri, mobil luks, hingga liburan ke luar negeri – yang kontras dengan realitas rakyat biasa[10][11].

Video TikTok ber-view jutaan memperlihatkan “anak pejabat” berpesta di luar negeri sementara ratusan ribu pemuda Nepal terpaksa migrasi kerja ke luar negeri setiap tahun[12]. Fakta memang menunjukkan exodus pemuda: lebih dari 740 ribu orang Nepal bekerja di luar negeri pada tahun 2024/25, dengan remitansi menyumbang sekitar 33% PDB[13][14]. Angka pengangguran pemuda dalam negeri pun tinggi (sekitar 20% pada 2024)[15].

Keadaan ini melahirkan rasa frustrasi mendalam – banyak generasi muda merasa masa depan mereka “dicuri” oleh elit korup (Sharma 2025[16][17]). Dengan demikian, larangan media sosial hanyalah katalis; tuntutan yang melatari protes jauh lebih luas, mencakup perlawanan terhadap korupsi, ketimpangan, dan kurangnya kesempatan ekonomi[18][19].

Aktor Utama: Generasi Z sebagai Penggerak

Unjuk rasa ini secara jelas digerakkan oleh anak-anak muda Nepal – Generasi Z. Mayoritas demonstran berusia belasan hingga 20-an tahun, termasuk pelajar SMA dan mahasiswa yang bahkan mengenakan seragam sekolah saat turun ke jalan[20]. Organisator aksi secara terbuka menyebut gerakan ini sebagai “demonstrasi oleh Gen Z” dan menegaskan bahwa pemuda generasi baru lah yang memprotes korupsi pemerintah dan kurangnya peluang ekonomi[21].

Slogan-slogan yang diusung pun mencerminkan semangat muda, misalnya “Tutup korupsi, jangan tutup medsos” dan “Pemuda melawan korupsi”[22]. Dalam beberapa hal, gelombang protes Gen Z ini menggemakan gerakan mahasiswa di negara tetangga – dari protes pelajar di Bangladesh hingga gerakan Aragalaya di Sri Lanka – di mana kaum muda lintas lapisan kompak menentang kebobrokan pemerintahan[23].

Yang menarik, gerakan ini tidak memiliki satu tokoh oposisi tradisional sebagai pemimpin; protes bersifat horisontal dan spontan. Namun, beberapa figur muda muncul menjadi simbol. Salah satunya adalah Abiskar Raut, siswa 16 tahun yang merupakan ketua OSIS Holy Bell School. Raut sebelumnya (Maret 2025) menyampaikan pidato sekolah yang berapi-api mengkritik korupsi dan pengangguran, menyerukan generasi muda untuk bangkit membangun “Nepal baru”[24][25]. Video pidato Raut yang viral itu – dikenal dengan pidato “Jai Nepal” – kembali beredar luas di media sosial saat protes memuncak awal September[26][27].

Dalam cuplikan tersebut, Raut lantang berkata, “Kita terbelenggu rantai pengangguran… Korupsi telah tumbuh bagai jaring yang memadamkan cahaya masa depan kita”, sembari mendesak pemuda “bangkit, karena jika bukan kita yang membangun bangsa ini, siapa lagi?” (Raut 2025 dalam NDTV[25][28]). Retorika Raut – “Kita adalah api yang akan membakar kegelapan, badai yang akan menyapu ketidakadilan” – menjadi mantra penyemangat di kalangan demonstran (NDTV 2025[28]).

Sosok remaja ini pun dielu-elukan sebagai simbol keberanian Gen Z Nepal. Enam bulan pasca pidato itu, Raut muncul di garis depan unjuk rasa Kathmandu, dengan ketenangannya menghadapi gas air mata dan peluru karet menjadikannya ikon perlawanan tanpa rasa takut[29]. Singkatnya, aktor utama gerakan ini adalah kaum muda terdidik yang muak dengan status quo; meski tidak berafiliasi partai, mereka mendapat dukungan simpati luas dari masyarakat yang lelah dengan korupsi lintas partai.

Dinamika Munculnya Gerakan dan Kronologi

Gerakan protes Gen Z ini meledak secara cepat dan meluas. Setelah pemblokiran media sosial diberlakukan tengah malam 4 September 2025[30][31], kemarahan mulai marak di dunia maya melalui VPN. Pada Senin, 8 September 2025, ribuan pemuda turun ke jalan di Kathmandu dan kota-kota lain, menandai hari pertama aksi massal[20]. Demonstrasi awalnya berlangsung damai, dengan massa berkumpul di luar gedung parlemen membawa bendera nasional dan poster tuntutan[22].

Namun, situasi memburuk ketika para pemuda mencoba merangsek melewati barikade menuju kompleks parlemen Singha Durbar. Polisi antihuru-hara merespons dengan tembakan gas air mata, peluru karet, dan akhirnya peluru tajam ketika situasi kian kacau[32][33]. Terjadi bentrokan hebat di sekitar gedung parlemen dan lokasi lain. Senin malam itu, setidaknya 19 hingga 22 orang tewas (kebanyakan demonstran muda), menjadikannya kerusuhan terburuk Nepal dalam beberapa dekade[32][7].

Ratusan lainnya luka-luka akibat tembakan dan pukulan, termasuk puluhan polisi yang ikut terluka[34]. Rumah sakit di Kathmandu dipenuhi remaja usia belasan-duapuluhan dengan luka tembak[35].

Menurut kesaksian aktivis, kekerasan awal bukan dimulai oleh pemuda pengunjuk rasa, melainkan diprovokasi oleh “kelompok di luar gerakan antikorupsi” yang menunggangi kerumunan[36]. Dalam kekacauan itu, seorang remaja ditembak mati di depan mata teman-temannya[37]. Amuk massa pun tak terkendali: sejumlah kantor pemerintah diserbu dan dibakar, termasuk kompleks kementerian di Singha Durbar yang dilalap api hebat[38].

Bahkan, para demonstran berhasil menyeret keluar sebuah truk polisi dari dalam kompleks dan menaikinya dengan sorak kemenangan[39]. Di lokasi lain, kantor media dan percetakan (misalnya milik Kantipur Media Group) ikut diserang oleh oknum tak dikenal, memperluas lingkup kerusuhan (SpecialEurasia 2025[40][41]).

Memasuki Selasa, 9 September 2025, kerusuhan menyebar secara nasional. Meski pemerintah telah mencabut larangan media sosial pada pagi harinya dalam upaya meredam amarah[42], demonstrasi justru kian membesar dengan nuansa perayaan sekaligus kemarahan. Massa muda menentang jam malam yang diberlakukan pemerintah dan tetap memadati jalan-jalan ibu kota[2].

Di Kathmandu, ribuan orang kembali turun ke jalan sejak siang hingga petang meneriakkan yel-yel antikorupsi dan anti-Oli. Para demonstran berkonvoi sepeda motor sembari mengibarkan bendera Nepal, tak menghiraukan larangan berkumpul[43]. Seusai kerja, warga sipil lainnya bergabung, menjadikan protes lintas generasi meski dipelopori kaum muda. Mereka menyadari sedang mencatat sejarah dan ramai merekam momen tersebut lewat ponsel[44]. Pada sore harinya kabar penting beredar:

Perdana Menteri K.P. Sharma Oli menyatakan mundur dari jabatannya[45]. Pengunduran diri Oli pada 9 September itu memang dihadapkan pada fakta politik tak terbantahkan – pemerintahannya kehilangan legitimasi setelah pertumpahan darah hari pertama (Sharma & Chitrakar 2025[2]).

Begitu mendengar Oli lengser, massa bersorak sorai. Sekelompok pemuda bahkan masuk ke kompleks parlemen yang masih terbakar sambil berteriak “Kami menang!”, dan mencoretkan tulisan tersebut di dinding gedung dengan cat semprot oranye[46][38]. Di titik ini, euforia kemenangan terasa di kubu pengunjuk rasa, karena mereka berhasil memaksa tumbangnya seorang perdana menteri hanya dalam dua hari tekanan jalanan.

Sayangnya, kekerasan di lapangan belum sepenuhnya reda di hari kedua tersebut. Amuk massa meluas ke sasaran tokoh politik lain: rumah pribadi mantan PM Jhalanath Khanal di Kathmandu turut diserbu dan dibakar, tragisnya menewaskan istri beliau, Rajyalaxmi Chitrakar, yang terperangkap di dalam rumah[47]. Beberapa kantor partai dan properti milik politisi juga menjadi sasaran vandalisme rakyat yang murka atas status quo.

Selain itu, ribuan narapidana (lebih dari 12.500 orang) dilaporkan kabur dari berbagai penjara di seluruh Nepal, memanfaatkan situasi kacau[48][49]. Beberapa tahanan bahkan melarikan diri menyeberang perbatasan ke India sebelum akhirnya ditangkap kembali[50].

Lepasnya para napi dalam jumlah masif ini menandakan betapa aparat keamanan kewalahan menghadapi multi-krisis (kerusuhan sipil plus kerusuhan di lembaga pemasyarakatan). Pemerintah Nepal kemudian memberlakukan status darurat tidak resmi dengan menyerahkan kendali keamanan kepada militer.

Revolusi Gen Z? Motif dan Semangat Gerakan

Banyak pengamat menyebut rangkaian protes 2025 di Nepal ini sebagai “Revolusi Gen Z”, mengingat peran sentral generasi muda dalam menjatuhkan rezim korup. Para pemuda sendiri menyatakan gerakan ini sebagai “giliran kami sekarang” untuk membawa perubahan[7]. Mereka menilai generasi tua politisi telah gagal dan waktunya generasi Z mengambil alih demi masa depan bangsa.

See also  What are the chances of Anies Baswedan in the 2024 presidential election in Indonesia?

Ungkapan seorang demonstran, “Ini revolusi kami. Sekarang giliran kami.”, menunjukkan rasa kepemilikan kaum muda atas gerakan ini (Pattisson 2025[7]). Semangat tersebut juga tercermin dari tekad mereka menghadapi risiko: meski mengetahui bahaya, ribuan pelajar tetap turun aksi. Seorang pemuda 23 tahun yang gugur ditembak sempat berkata kepada keluarganya bahwa dia tak gentar memperjuangkan negara sementara teman-temannya mundur (Al Jazeera 2025[51][52]).

Apakah ini benar sebuah revolusi? Secara substansial, gerakan ini memenuhi unsur pergerakan revolusioner generasi baru – memperjuangkan perubahan sistemik (pembersihan korupsi, reformasi politik) dipimpin aktor non-elit dengan metode ekstra-parlementer. Namun, beberapa analis menilai bahwa “revolusi” ini bukan sepenuhnya revolusi politik terencana, melainkan ledakan kemarahan organik yang sudah lama terpendam.

Menurut March (2025)[53][54], antropolog yang puluhan tahun meneliti Nepal, protes 2025 melanjutkan jejak people power Nepal 1990 dan 2006 – di mana mayoritas penggerak juga anak muda – tetapi kali ini tuntutan khusus Generasi Z (seperti isu digital) lebih menonjol. Jika gerakan 1990/2006 berfokus menumbangkan monarki dan mengantarkan demokrasi, gerakan 2025 berfokus menumbangkan “korupsi sistemik” dari demokrasi yang ada.

Perbedaannya, gerakan kali ini sangat ditopang media sosial sehingga aspirasi pemuda menjadi pusat perhatian (March 2025[55][56]). Dalam arti itu, boleh dikatakan ya, ini Revolusi Gen Z – sebuah pemberontakan generasi muda Nepal menuntut tatanan baru yang bersih dan adil, dengan memanfaatkan kekuatan jaringan digital global.

Meski demikian, tantangan sesudah euforia “revolusi” ini nyata. Gerakan yang tidak terstruktur rentan disusupi kekerasan dan kehilangan arah (SCMP 2025). Beberapa aktivis Gen Z sendiri belakangan membantah terlibat dalam tindakan anarki seperti pembakaran gedung, seolah ingin menjaga kemurnian gerakan (SCMP Letters 2025[57]).

Tanpa kepemimpinan dan agenda jelas, ada risiko gerakan melemah pasca keberhasilan awal. Hal ini menjadi pelajaran bahwa semangat saja tidak cukup; perlu visi jangka panjang agar revolusi Gen Z benar-benar menghasilkan perubahan konkret, bukan sekadar mengganti figur pemimpin (SCMP Letters 2025[58]).

Respon Pemerintah Nepal

Pemerintah dan aparat keamanan Nepal awalnya merespons protes dengan tindakan represif, lalu berujung pada konsesi besar. Pada puncak krisis 8–9 September, polisi dan tentara dikerahkan di ibu kota. Polisi anti-huru-hara menggunakan kekuatan berlebihan – menurut saksi, mereka menembak “secara membabi-buta” ke arah demonstran pada 8 September[34] – yang justru memperkeruh situasi.

Tindakan keras ini menuai kritik luas, termasuk dari Komisi HAM Nasional Nepal dan Amnesty International yang mendesak investigasi independen atas dugaan penggunaan kekuatan mematikan yang melanggar hukum[59]. Seiring memburuknya keamanan, pemerintah pusat mengumumkan jam malam dan pelarangan berkumpul di beberapa kota pada 8–9 September (People’s Dispatch 2025[60]). Langkah ini gagal meredam protes; Generasi Z justru terang-terangan menentang jam malam, menandakan pudarnya rasa takut terhadap aparatus negara (Sharma 2025[2]).

Merespons eskalasi, Menteri Dalam Negeri Ramesh Lekhak mundur lebih dulu pada 8 September malam, menyatakan mengambil “tanggung jawab moral” atas jatuhnya korban[61]. Ini isyarat awal keretakan di pihak rezim. Keesokan harinya, di bawah tekanan, pemerintah mencabut larangan media sosial secara resmi[62], berharap bisa menenangkan kemarahan pemuda setelah tuntutan awal dipenuhi.

Namun, langkah itu terlambat; gerakan telanjur berkembang menjadi protes antikorupsi menyeluruh. Akhirnya, pada 9 September sore, Perdana Menteri K.P. Sharma Oli mengajukan pengunduran diri kepada Presiden Ram Chandra Poudel[63]. Dalam suratnya, Oli menyatakan mundur demi “membantu penyelesaian masalah secara konstitusional”[63]. Pengunduran diri Oli menandai kemenangan besar bagi demonstran dan sekaligus membuka babak ketidakpastian politik baru.

Pasca lengsernya Oli, Presiden Poudel bergerak cepat berkoordinasi dengan petinggi militer dan partai untuk menstabilkan keadaan. Kepala Angkatan Darat, Jenderal Ashok Raj Sigdel, muncul di televisi menyerukan demonstran menghentikan kerusuhan dan bersedia berdialog demi mencegah pertumpahan darah lebih lanjut[64][65]. Tentara mengambil alih kendali keamanan di Kathmandu: bandara internasional ditutup sementara (untuk mencegah eksodus dan melokalisir situasi)[66], dan pasukan bersenjata berpatroli di jalan-jalan ibu kota[67].

Lebih dari 100 pucuk senjata api berhasil disita kembali dari tangan perusuh setelah kantor-kantor polisi dijarah sehari sebelumnya[68]. Situasi darurat militer de facto ini diberlakukan hingga beberapa hari, dengan jam malam ketat. Namun demikian, tanda-tanda pemulihan ketertiban mulai tampak pada 12–13 September: toko-toko kembali buka, kendaraan kembali memenuhi jalan, dan pasukan yang berjaga mulai berkurang jumlahnya[52].

Dalam upaya menenangkan publik dan memenuhi aspirasi Gen Z, langkah terpenting rezim adalah penunjukan perdana menteri interim baru yang “netral” dan bersih. Pada 12 September 2025, pemerintah mengumumkan penunjukan Sushila Karki sebagai Perdana Menteri interim[69]. Sushila Karki, 73 tahun, adalah mantan Ketua Mahkamah Agung yang dikenal berintegritas dan vokal melawan korupsi – figur non-partisan yang diharapkan dapat diterima kaum muda (Al Jazeera 2025[69][70]).

Pengangkatannya menjadikan Karki perdana menteri perempuan pertama dalam sejarah Nepal[69]. Penunjukan ini diumumkan langsung oleh Presiden Poudel di Istana Presiden dan disiarkan TV nasional[71]. Menurut pengamat, Karki dipilih karena citranya yang bersih anti-korupsi sesuai tuntutan Gen Z, meski ia bukan anggota parlemen (McBride 2025 dalam Al Jazeera[70][72]).

Untuk memungkinkan hal itu, partai-partai sepakat membubarkan sementara parlemen sehingga perdana menteri interim non-parlemen bisa dilantik (sesuatu yang tidak lazim secara konstitusional)[72]. Karki dilantik pada 12 September malam, menakhodai pemerintahan transisi dengan mandat utama memulihkan ketertiban dan menyiapkan jalan bagi reformasi politik.

Langkah pemerintah berikutnya adalah mengakomodasi tuntutan korban. Jumlah korban tewas resmi tercatat bervariasi; Reuters melaporkan 19 meninggal pada hari pertama[32], Guardian menyebut 22 tewas[7], sedangkan sumber lain menyebut total 51 korban jiwa selama kerusuhan (termasuk beberapa polisi dan napi)[48]. Pemerintah akhirnya mengakui para korban sipil sebagai “martir”, menjanjikan santunan kepada keluarga korban dan perawatan bagi yang luka.

Total korban luka mencapai lebih dari 1.300 orang[48]. Pengakuan status martir ini dimaksudkan meredakan amarah publik dan menunjukkan empati negara. Selain itu, aparat mulai menyelidiki oknum petugas yang melakukan penembakan berlebihan, meski hasilnya belum jelas. Intinya, respon pemerintah bergeser dari represi ke meredam dan memenuhi sebagian tuntutan, diiringi penataan ulang pemerintahan melalui tokoh interim.

Pertarungan di Dunia Maya: Peran Media Sosial dan Narasi Digital

Dinamika protes Nepal 2025 sangat kental dengan pertarungan di ranah digital. Sejak awal, media sosial bukan hanya pemantik isu (dengan larangannya), tetapi juga wadah konsolidasi dan medan opini bagi gerakan Gen Z. Meskipun pemerintah berusaha memadamkan “api” media sosial dengan blokir, kaum muda dengan cepat beralih menggunakan VPN untuk tetap terhubung dan mengabarkan situasi sebenarnya ke dunia[73][74].

Mereka berbagi video langsung bentrokan, foto korban, dan pesan-pesan perlawanan, sehingga simpati publik mengalir deras. Bahkan di tengah blackout internet parsial, ada jaringan global diaspora dan netizen yang haus informasi, siap menyebarkan kabar dari Nepal begitu berhasil menembus sensor (March 2025[75][76]).

Satu ironi mencolok adalah bahwa TikTok tetap berfungsi normal selama pemblokiran platform lain. Ternyata, TikTok (milik perusahaan China, ByteDance) luput dari blokir karena sudah memiliki kantor perwakilan di Nepal dan patuh registrasi lokal[30][31]. Hanya beberapa aplikasi minor (Viber, WeChat, dsb) yang juga tidak diblokir. Bagi pemuda Nepal, “pengecualian TikTok” ini justru dianggap mencurigakan dan menegaskan motif politis pemerintah[31][77].

Banyak yang menilai pemerintah cenderung mengikuti garis Tiongkok (yang memiliki pendekatan regulasi internet ketat namun melindungi platform China), apalagi PM Oli baru saja berfoto dengan pejabat di Shanghai tak lama sebelum kerusuhan[78]. Kenyataan bahwa semua platform Barat diblokir kecuali TikTok menimbulkan persepsi bahwa pemerintah Oli “condong ke Beijing” (Dutta 2025[78]). Isu ini menambah kemarahan: pemuda merasa pemerintah lebih mementingkan hubungan geopolitik daripada kebebasan rakyatnya sendiri.

Selama protes berlangsung, narasi digital berkembang pesat. Tagar seperti #HatyaraSarkar (artinya “Pemerintah Pembunuh”) dan #ResignKPOli menjadi trending, menggambarkan kemarahan atas tewasnya demonstran dan tuntutan agar Oli mundur[79]. Para influencer Gen Z memanfaatkan TikTok, Instagram (saat VPN), dan Twitter untuk melaporkan situasi di lapangan dan menyebarkan semangat perlawanan.

Misalnya, seorang TikToker bernama Dristhi Adhikari memposting video emosional mengecam pemerintah yang menembaki siswa, sambil menyerukan solidaritas internasional (Dutta 2025[79]). Beredar pula kompilasi video kreatif: pemuda Nepal bermain kartu UNO di tengah jalan sebagai simbol protes damai, kelompok lain membersihkan sampah di jalan setelah demo – semua ini menjadi viral di tagar #GenZNepal dan mendapat pujian netizen global (Khaleej Times 2025). Secara digital, Gen Z Nepal berhasil memenangkan simpatik publik dengan menampilkan diri sebagai generasi sadar sosial, kreatif, namun ditindas rezim tua represif.

Selain menggalang dukungan, media sosial juga digunakan untuk koordinasi aksi. Grup-grup WhatsApp dan Telegram (meski diblokir, bisa diakses via VPN) menjadi sarana berbagi rencana demo dan tips menghadapi gas air mata. Bahkan saat internet mati lokal, SMS berantai dan radio komunitas mengisi peran, menunjukkan adaptabilitas gerakan.

Satu contoh inovatif: beberapa pengunjuk rasa menggunakan fitur mesh network pada aplikasi tertentu yang tidak memerlukan internet untuk berkomunikasi jarak dekat, menjaga agar massa tetap terhubung meski jaringan down.

Menariknya, budaya pop internasional turut mewarnai protes di dunia maya. Di lapangan, banyak demonstran mengibarkan bendera bajak laut “Straw Hat” dari anime One Piece, melambangkan perlawanan kaum muda terhadap “tirani”[80][75]. Simbol ini kemudian viral di TikTok global, mengaitkan gerakan Nepal dengan kultur gamer dan anime generasi Z sedunia (March 2025[80]).

See also  Strategi Intelijen Amerika di Indo-Pasifik: Analisis Teori, Geopolitik, dan Pertahanan

Selain itu, istilah “Nepo Babies” yang populer di barat diadopsi generasi Z Nepal untuk mengecam anak-anak pejabat korup, hingga menjadi kampanye daring massif sebelum demo[10]. Hal-hal ini menunjukkan jaringan solidaritas digital global: postingan dari Nepal tentang ketimpangan ekonomi dan nepotisme digaungkan oleh pengguna di negara lain yang melihat kesamaan isu.

Secara keseluruhan, dunia maya menjadi arena kunci yang memperkuat dan meluaskan dampak gerakan. Gen Z Nepal menggunakannya untuk menciptakan narasi: bahwa mereka berjuang demi keadilan generasi melawan rezim korup. Narasi tersebut memperoleh legitimasi global, dengan sejumlah kedutaan asing (AS, Inggris, Prancis, Jepang) di Kathmandu ikut mengeluarkan pernyataan via media sosial mengecam kekerasan dan mendukung hak protes damai[81].

Tekanan opini internasional ini turut mendorong pemerintah Nepal menahan diri pasca 9 September. Kemenangan informasi di dunia maya ini adalah salah satu faktor kunci keberhasilan cepat gerakan Gen Z menumbangkan PM Oli hanya dalam hitungan hari (Times of India 2025[82]).

 

Peran Abiskar Raut dalam Gerakan

Nama Abiskar Raut tidak bisa dipisahkan dari narasi protes Gen Z Nepal. Remaja 16 tahun ini boleh dikata menjadi inspirator moral gerakan. Pidato Raut di acara sekolah (Maret 2025) bak pendahuluan ideologis bagi gelombang unjuk rasa yang terjadi enam bulan kemudian. Dalam pidato berbahasa Inggris bercampur Nepali tersebut, Raut mengecam para politisi yang “hanya menjual negeri demi keserakahan mereka” dan menyemangati generasi muda untuk bangkit melawan ketidakadilan[83].

Ia mengutip kata-kata terkenal Raja Birendra, “Even if I die, shall my country live on” (Sekalipun aku mati, biarlah bangsaku terus hidup), dan menyerukan teman-temannya mengukir “monumen perubahan dalam lintasan sejarah”[84]. Retorika patriotik nan puitis ini awalnya menuai beragam reaksi – bahkan sempat dikritik gayanya terlalu berapi-api laiknya orator diktator – tetapi saat situasi negara memburuk, pesannya menemukan resonansi kuat (RepublicWorld 2025).

Ketika video pidato Raut kembali viral di awal September 2025, banyak pemuda mengaku tergugah dan tergerak turun aksi. Media India melaporkan bahwa video “Jai Nepal” Raut yang diunggah ulang di Twitter pada 9 September mendapat ribuan retweet dalam sehari[85].

Tagar #AbiskarRaut sempat trending di Nepal. Raut pun dielu-elukan sebagai “pahlawan pelajar” yang berani mengkritik oligarki tua di hadapan publik. Beberapa poster demonstrasi bahkan menampilkan kutipan pidato Raut seperti “We are the fire that will burn away the darkness” sebagai semboyan.

Tak hanya sebagai simbol, Abiskar Raut kemudian turut hadir langsung di tengah demonstrasi. Laporan media sosial menyebut Raut terlihat memimpin sekelompok pelajar di Kathmandu pada 9–10 September, memberikan orasi singkat yang meminta massa menjaga damai dan fokus pada isu korupsi (Instagram 2025).

Sikapnya relatif tenang dan berani di garis depan meski ada tembakan dan gas air mata, membuatnya semakin dihormati (India Today 2025). Raut sendiri melalui unggahan di media sosial menyatakan bahwa gerakan ini adalah gerakan kolektif pemuda dan ia “hanyalah satu di antara jutaan yang menginginkan Nepal bebas korupsi dan penindasan generasi tua”. Meski rendah hati, banyak pihak menyebutnya de facto pemimpin muda gerakan ini.

Menariknya, keterkaitan Raut dengan wacana pro-monarki juga menjadi perbincangan. Pidatonya mengutip Raja Birendra (raja Nepal yang tewas 2001) memunculkan spekulasi apakah ia simpati pada gagasan restorasi monarki. Namun, dalam konteks pidato dan aksinya, Raut tampak menggunakan kutipan tersebut untuk membangkitkan nasionalisme pemuda, bukan secara spesifik mengembalikan raja.

Bahkan, beberapa hari setelah protes, Raut dilaporkan menyatakan dukungannya pada reformasi demokrasi langsung ketimbang kembali ke monarki (sumber lokal). Hal ini selaras dengan arah umum gerakan Gen Z yang lebih berfokus memperbaiki republik daripada menghidupkan lagi kerajaan (APF Canada 2025[86]).

Secara keseluruhan, Abiskar Raut berperan sebagai katalis – sosok muda berani yang memantik imajinasi kolektif Gen Z Nepal tentang perubahan. Kisahnya juga membantu mengkomunikasikan gerakan ini ke dunia luar: misalnya media internasional seperti NDTV dan Reuters menyorot kisah “School Head Boy” yang orasinya menjadi kenyataan revolusi[26][28].

Dengan demikian, Raut menjadi salah satu “wajah” dari revolusi Gen Z Nepal, meski gerakan ini jauh lebih luas daripada satu orang. Perannya mengingatkan pada tokoh mahasiswa dalam gerakan reformasi di berbagai negara – memberi suara moral bagi aspirasi yang sudah lama terpendam di hati generasinya.

Isu Intelijen dan Keterlibatan Asing: Siapa Dalang di Balik Unjuk Rasa?

Di tengah pergolakan ini, timbul pertanyaan di kalangan pengamat dan media: apakah protes Gen Z Nepal sepenuhnya gerakan organik, atau ada “dalang” tersembunyi? Beberapa pihak – terutama di media sosial dan forum geopolitik – berspekulasi tentang peran “deep state” atau kekuatan asing yang menunggangi atau merekayasa kerusuhan. Spekulasi ini muncul karena gelombang protes tampak terkoordinasi luas dan mampu menumbangkan pemerintahan dengan cepat, sebuah skenario yang mengingatkan pada pola regime change di negara-negara lain.

Salah satu teori mencurigai keterlibatan faksi internal Nepal sendiri, semacam “deep state” domestik yang ingin menjatuhkan PM Oli. Yang disorot adalah kelompok royalis pro-monarki dan elite konservatif yang mungkin tidak suka dengan kebijakan Oli yang dekat Tiongkok. Teori ini mengutip fakta bahwa jauh sebelum protes, pada akhir 2024 seorang komentator sudah menulis prediksi di Twitter bahwa “Nepal akan segera ada demo besar menuntut kembalinya monarki, akan memuncak tahun depan”[87].

Benar saja, pada Maret 2025 terjadi serangkaian unjuk rasa pro-monarki di Kathmandu, dengan ribuan orang melambaikan bendera kerajaan dan foto Raja Gyanendra (mantan raja)[88][89]. Dukungan terhadap kembalinya monarki memang menguat belakangan ini, meski masih minoritas (partai royalis RPP hanya meraih ~6% suara pada pemilu 2022)[90].

Kalangan skeptis menduga kelompok royalis melihat peluang dalam ketidakpuasan pemuda: mengarahkan frustrasi terhadap demokrasi yang korup menjadi kerinduan akan stabilitas monarki Hindu. Referensi Abiskar Raut terhadap Raja Birendra juga dipelintir sebagian pihak sebagai “bukti tersembunyi” bahwa gerakan ini bagian skenario restorasi (Dutta 2025[91]).

Di sisi lain, ada pula yang menuduh keterlibatan asing. Seorang pensiunan jenderal India bahkan secara blak-blakan bertanya di TV: “Apakah intelijen Amerika berada di balik protes Nepal?”, menginsinuasi kemungkinan AS mendorong perubahan rezim pro-demokrasi di Nepal untuk mengurangi pengaruh Tiongkok (Times Now 2025). Narasi ini mengaitkan bahwa belakangan terjadi serentetan perubahan rezim di Asia Selatan – dari Sri Lanka (2022), Pakistan (2022), hingga Bangladesh (2024) – sehingga ada yang menjuluki ini semacam “Asia Cup of regime change”[92].

Teori konspirasi semacam itu menyebut kekuatan Barat mungkin memanfaatkan ketidakstabilan dalam upaya memperkuat “tata dunia beraturan” versi mereka[93]. Namun, pandangan ini sejauh ini tidak didukung bukti konkret. Pejabat AS sendiri hanya mengeluarkan pernyataan standar menyerukan tidak ada kekerasan dan mendukung demokrasi di Nepal[94], tanpa tanda interfensi langsung.

Justru, analis kredibel menilai protes Nepal 2025 lebih merupakan letupan organik akibat akumulasi masalah dalam negeri daripada operasi intelijen asing (People’s Dispatch 2025[95]). Indikatornya: tuntutan demonstran murni seputar isu domestik (korupsi, medsos, pengangguran), bukan agenda geopolitik. Selain itu, gerakan ini leaderless di permukaan dan muncul spontan, sulit direkayasa pihak luar dalam waktu singkat.

Konfirmasi tak langsung datang dari sikap Tiongkok dan India selama krisis: Tiongkok cenderung diam di ranah publik, hanya menyatakan harapan Nepal kembali stabil (yang bisa diartikan Beijing mendukung status quo Oli, bukan mendukung protes)[78]. India, meski rival Oli, juga hanya siaga di perbatasan dan mengeluarkan imbauan keamanan bagi warganya di Nepal[96], tanpa tanda mendalangi aksi.

Adapun badan intelijen Nepal sendiri (National Investigation Department/NID) kemungkinan justru kecolongan dengan fenomena ini. Tidak ada indikasi NID mengorkestrasi protes – kalaupun ada, justru mungkin terlambat mendeteksi gejolak di kalangan pemuda. Namun, pasca kerusuhan, elemen militer dan intelijen Nepal tentu bergerak cepat memetakan aktor-aktor di balik kerusuhan, terutama setelah ditemukan fakta koordinasi di media sosial dan adanya pihak yang melakukan vandalisme terencana (seperti pembakaran gedung kementerian dan penjara).

Teori “konspirasi pembakaran untuk hapus bukti korupsi” sempat mencuat – contohnya, kantor Kementerian atau bahkan Mahkamah Agung yang ikut terbakar mungkin mengandung arsip kasus korupsi besar, sehingga ada kecurigaan insiden itu dimanfaatkan oknum untuk memusnahkan dokumen (March 2025[97][98]). Meski masuk akal, ini masih berupa dugaan. Pihak keamanan Nepal menyatakan akan menyelidiki keterlibatan “penyusup” atau “penjahat oportunis” dalam kerusuhan[99], sembari menegaskan komitmen melindungi nyawa dan harta masyarakat[65][100].

Secara intelijen strategis, krisis ini jelas membuka peluang bagi aktor asing untuk meningkatkan pengaruh di Nepal pasca kejatuhan Oli. Tiongkok misalnya, telah banyak berinvestasi di Nepal melalui inisiatif Belt and Road (proyek infrastruktur seperti pembangkit listrik dan bandara)[101]. Dengan ekonomi Nepal kini terguncang dan perlu rekonstruksi pascakerusuhan, Beijing mungkin menawarkan bantuan finansial – namun tentu dengan syarat meningkatkan ketergantungan Kathmandu (SpecialEurasia 2025[102][103]).

India di sisi lain memiliki ikatan budaya, ekonomi, dan keamanan yang kuat dengan Nepal, dan pastinya tak ingin Nepal jatuh ke kekacauan berkepanjangan yang bisa dimanfaatkan Tiongkok. New Delhi kemungkinan mendorong stabilitas melalui dukungan pada transisi politik (terlihat dari komunikasi intensif pejabat India-Nepal pasca kerusuhan, menurut sumber diplomatik). Amerika Serikat pun berkepentingan menjaga Nepal sebagai demokrasi yang stabil dalam kerangka Indo-Pasifik.

See also  Situasi Keamanan Maritim Indonesia di Tengah Ancaman Regional

Jadi, vacuum kepemimpinan di Nepal akibat protes Gen Z ini membuka perebutan pengaruh halus: siapa yang membantu Nepal bangkit mungkin akan memenangkan hati publik dan elite. Bagi intelijen Nepal, menjaga agar bantuan asing tidak menjelma dominasi merupakan tantangan pasca-krisis (SpecialEurasia 2025[104][105]). Saat ini prioritas Kathmandu adalah memulihkan pemerintahan fungsional dan menerima bantuan tanpa menyerahkan kendali kebijakan ke pihak luar (SpecialEurasia 2025[106][107]).

Dalam kesimpulan bagian ini: tidak ada bukti dalang tunggal di balik protes – gerakan ini pada intinya lahir dari dalam negeri oleh kekecewaan generasi muda. Meski demikian, aktor-aktor oportunis (baik faksi politik domestik maupun kekuatan asing) tentu berusaha memanfaatkan situasi. Royalis misalnya mencoba menunggangi isu, tapi sejauh ini gerakan Gen Z tetap fokus reformasi demokrasi ketimbang restorasi raja[86][108].

Teori konspirasi “operasi intelijen asing” lebih banyak menjadi perdebatan di media sosial tanpa bukti nyata (Dutta 2025[109][110]). Sementara itu, aparat Nepal akan terus memburu provokator destruktif yang mencoreng gerakan damai. Bagi penggerak Gen Z sendiri, penting menjaga kemurnian gerakan agar tidak dicap boneka kepentingan terselubung.

 

Gelombang Protes dalam Konteks Global dan Regional

Fenomena unjuk rasa Gen Z di Nepal ini tidak terjadi dalam isolasi, melainkan seiring dengan tren lebih luas di kawasan Asia Selatan dan dunia. Secara regional, Nepal hanyalah satu dari beberapa negara Asia Selatan yang mengalami gejolak dipicu ketidakpuasan rakyat dalam beberapa tahun terakhir. Sri Lanka mengalami protes besar 2022 yang menggulingkan pemerintahan Rajapaksa ketika krisis ekonomi memuncak – juga dipimpin kaum muda dan kelas menengah yang muak korupsi, sangat mirip dengan pola di Nepal[111][112].

Bangladesh pun pada 2023-2024 dilanda demonstrasi mahasiswa menentang pemerintahan Sheikh Hasina, yang kabarnya sampai mendorong Hasina mundur pada Agustus 2024 dan menyerahkan ke pemerintahan interim (meski situasi Bangladesh kemudian masih rapuh)[113][114]. Bahkan di Pakistan, protes massal rakyat dan tekanan militer menyebabkan jatuhnya PM Imran Khan pada 2022. Pola umumnya: populasi muda yang besar, frustrasi ekonomi, dinasti politik korup berkuasa lama, lalu pecah gelombang unjuk rasa mendadak yang menumbangkan pemimpin. Media sosial kerap menjadi pemantik dan alat konsolidasi di seluruh kasus tersebut.

Kondisi Nepal – dengan median usia penduduk hanya ~25 tahun – memang representatif sebuah negara muda yang menuntut pembaruan[115][116]. Mayoritas generasi Z di berbagai negara memiliki karakteristik serupa: melek teknologi, berani menyuarakan hak, dan kurang sabar terhadap institusi lama.

Ini menjelaskan mengapa inspirasi lintas negara terjadi. Aktivis Nepal sendiri mencontoh gerakan mahasiswa di negara tetangga sebagai inspirasi[23]. Mereka menyebut keberhasilan pemuda Sri Lanka menumbangkan presiden korup sebagai penyemangat, juga memantau aksi protes di Indonesia dan India terhadap isu-isu serupa (APF 2025[73][74]).

Selain Asia Selatan, jika ditarik lebih luas, gerakan ini sejalan dengan tren global meningkatnya aktivisme kaum muda melawan pemerintah yang dianggap gagal. Dari gerakan pro-demokrasi di Hong Kong (2019) hingga protes anti-otoritarian di Sudan dan Chili (2019), serta aksi iklim global (Greta Thunberg generation), semuanya menunjukkan Generasi Z dan milenial tampil sebagai kekuatan sosial baru.

Kesamaan yang mencolok: penggunaan media sosial sebagai alat mobilisasi, narasi anti-ketimpangan, dan ketidakpercayaan pada politikus mapan. Dalam hal Nepal, isu utamanya korupsi dan hak digital, namun semangatnya nyambung dengan aspirasi universal generasi muda di banyak tempat: pemerintahan harus bersih, akuntabel, dan menjamin masa depan.

Beberapa pengamat mengingatkan agar tidak menyederhanakan bahwa semua protes ini “digerakkan kekuatan asing” sebagaimana teori konspirasi populer. Ini bisa jadi confirmation bias melihat pola serupa lalu menyimpulkan ada dalang tunggal[109]. Padahal kondisi lokal lah faktor primer. Meski demikian, efek domino tidak bisa dipungkiri: sukses di satu negara menginspirasi negara lain.

Contohnya, tagar solidaritas di media sosial: setelah Oli mundur, tagar #NepalProtests sempat trending di India dan negara lain, memicu diskusi “kalau Nepal bisa, mengapa kita tidak?”. Tentu, setiap negara punya konteks unik, tapi gelombang aspirasi anak muda anti-korupsi ini bisa disebut bagian dari arus perubahan global abad ke-21.

Bagi kawasan, implikasinya adalah ketidakpastian politik jangka pendek namun harapan pembaruan jangka panjang. Instabilitas Nepal membuat negara-negara tetangga waspada (khususnya India, yang khawatir efek limpahan keamanan dan arus pengungsi jika chaos berkepanjangan). Di sisi lain, suksesnya Gen Z Nepal menumbangkan oligarki mungkin memberi angin segar bagi gerakan civil society di tempat lain.

Balancing power antara India-China di Nepal juga menjadi perhatian: sebelum jatuh, Oli dikenal mendekat ke Beijing[117][118]. Jika pasca ini Nepal lebih condong ke pihak tertentu, itu akan memengaruhi geopolitik regional. Namun hingga kini, transisi masih cair – dengan militer Nepal mengambil peran penjaga sementara – sehingga belum jelas ke mana arah kebijakan luar negeri baru.

Sebagai penutup, gelombang protes Nepal 2025 menunjukkan kekuatan strategis aktor non-negara, yakni generasi muda dalam era digital. Dalam beberapa hari, mereka menggoyang lanskap politik domestik dan memaksa aktor negara dan asing merespons mereka. Seperti diutarakan seorang pengamat, “Nepal’s Gen Z, connected by VPNs and hashtags, managed to topple a government within days” (Dutta 2025[82]).

Ke depan, tugas berat menanti: memastikan energi perubahan ini terkonversi menjadi reformasi nyata, alih-alih chaos. Pemerintahan interim Sushila Karki memiliki kesempatan merangkul aspirasi Gen Z – misalnya dengan merancang pemilu baru yang lebih kredibel, atau reformasi konstitusi (pembatasan masa jabatan, pemilihan langsung pemimpin) sesuai sejumlah tuntutan demonstran[119][120].

Gen Z Nepal telah menunjukkan mereka adalah kekuatan yang tak bisa diabaikan. Jika berhasil diorganisasi dan disalurkan positif, mereka bisa menjadi penggerak transformasi negeri. Sebaliknya, jika diabaikan atau ditekan lagi, bukan mustahil “revolusi” serupa akan berulang di kemudian hari.

Referensi:
– Pattisson, Pete. 2025. Laporan The Guardian tentang protes Gen Z Nepal (September 10, 2025)[7][9].
– Sharma, Gopal. 2025. Berita Reuters – “Nineteen killed in Nepal in ‘Gen Z’ protest…” (September 8, 2025)[32][20].
– Sharma, Gopal & Navesh Chitrakar. 2025. Berita Reuters – “Young anti-corruption protesters oust Nepal PM Oli” (September 9, 2025)[2][16].
– March, Kathryn. 2025. Komentar antropolog Cornell University mengenai protes Nepal (Sept 10, 2025)[53][99].
– People’s Dispatch. 2025. “Nepal’s Gen-Z uprising is about jobs, dignity…” (9 Sept 2025)[62][14].
– Dutta, Nirmalya. 2025. Analisis Times of India – “Gen Z protests: Is Nepal unrest organic or deep state…” (11 Sept 2025)[87][10].
– Asia Pacific Foundation of Canada (Dutta Choudhury, Suvolaxmi et al.). 2025. Insight – “Nepal’s Gen Z Protests Expose Deeper Frustrations…” (11 Sept 2025)[73][86].
– Al Jazeera. 2025. “Nepal appoints first female PM in wake of deadly protests” (12 Sept 2025)[69][48].
– NDTV. 2025. “Nepal Head Boy’s Viral Speech” – liputan pidato Abiskar Raut (10 Sept 2025)[25][121].
– SpecialEurasia OSINT Team. 2025. “Protests and Political Crisis in Nepal: Intel Brief” (10 Sept 2025)[19][101].

[1] [20] [21] [22] [32] [34] [61] Nineteen killed in Nepal in ‘Gen Z’ protest over social media ban, corruption | Reuters

https://www.reuters.com/business/media-telecom/nineteen-killed-nepal-gen-z-protest-over-social-media-ban-corruption-2025-09-08/

[2] [16] [17] [42] [46] [63] [64] [65] [94] [100] Young anti-corruption protesters oust Nepal PM Oli | Reuters

https://www.reuters.com/world/asia-pacific/young-anti-corruption-protesters-oust-nepal-pm-oli-2025-09-09/

[3] [4] [13] [14] [15] [18] [23] [59] [60] [62] [95] Nepal’s Gen-Z uprising is about jobs, dignity – and a broken development model : Peoples Dispatch

https://peoplesdispatch.org/2025/09/09/nepals-gen-z-uprising-is-about-jobs-dignity-and-a-broken-development-model/

[5] [6] [53] [54] [55] [56] [75] [76] [80] [97] [98] [99]  Nepal expert comments on violent protests in Nepal

https://as.cornell.edu/news/nepal-expert-comments-violent-protests-nepal

[7] [9] [33] [35] [36] [37] [38] [39] [43] [44] [45] [83] ‘This is our revolution. It’s our turn now’: Nepal’s ‘gen Z protesters’ speak out against corruption | Nepal | The Guardian

https://www.theguardian.com/world/2025/sep/10/nepal-gen-z-protests-corruption

[8] [73] [74] [81] [86] [108] [111] [112] [115] [116] [117] [118] [119] [120] Nepal’s Gen Z Protests Expose Deeper Frustrations, Raise Regional Stakes

https://www.asiapacific.ca/publication/nepals-gen-z-protests-expose-deeper-frustrations-and-regional-stakes

[10] [11] [12] [30] [31] [77] [78] [79] [82] [87] [91] [92] [93] [96] [109] [110] Gen Z protests: Is Nepal unrest organic or ‘deep state’ regime change? Decoding Oli’s ouster | World News – The Times of India

https://timesofindia.indiatimes.com/world/south-asia/gen-z-protests-is-nepal-unrest-organic-or-deep-state-regime-change-decoding-olis-ouster/articleshow/123787883.cms

[19] [40] [41] [101] [102] [103] [104] [105] [106] [107] Nepal: Protests and Political Crisis – SpecialEurasia

https://www.specialeurasia.com/2025/09/10/nepal-protest-crisis/

[24] [25] [26] [27] [28] [47] [66] [84] [85] [121] Nepal Gen Z Protest, PM KP Sharma Oli Resigns Latest News: “We Are Bounded By Chains Of Unemployment”: Nepal Head Boy’s Viral Speech

https://www.ndtv.com/world-news/nepal-gen-z-protest-pm-kp-sharma-oli-resigns-latest-news-we-are-fire-nepal-schoolboys-old-speech-calling-out-youth-is-viral-9248915

[29] Six months ago, Abiskar Raut was just a Class 10 student at Holy …

https://www.facebook.com/100064150980357/posts/six-months-ago-abiskar-raut-was-just-a-class-10-student-at-holy-bell-school-in-j/1198149629000059/

[48] [49] [50] [51] [52] [67] [68] [69] [70] [71] [72] Nepal appoints first female PM in wake of deadly protests | Protests News | Al Jazeera

https://www.aljazeera.com/news/2025/9/12/nepal-protest-death-toll-reaches-51-as-12500-prisoners-remain-on-the-run

[57] [58] [113] [114] Letters | From Nepal to Bangladesh, Gen Z’s passion must be paired with perspective | South China Morning Post

https://www.scmp.com/opinion/letters/article/3325287/nepal-bangladesh-gen-zs-passion-must-be-paired-perspective

[88] [89] [90] Making Sense of Nepal’s Pro-monarchy Protests – The Diplomat

https://thediplomat.com/2025/03/making-sense-of-nepals-pro-monarchy-protests/

 

About The Author