Dalam literatur militer Indonesia, jarang sekali kita menemukan buku yang ditulis langsung oleh seorang pelaku lapangan intelijen yang mau membuka catatan pribadinya secara terbuka. Intelijen: Catatan Harian Seorang Serdadu karya Slamet Singgih adalah salah satu pengecualian itu. Buku ini bukan sekadar memoar, melainkan sebuah mosaik pengalaman seorang prajurit yang menyaksikan — dan ikut membentuk — sejarah Indonesia dari balik layar operasi militer.
Membuka Pintu Ruang Intelijen
Slamet Singgih menulis dari perspektif orang yang hidup dalam dua dunia: dunia terbuka yang dilihat publik, dan dunia senyap yang penuh intrik, operasi rahasia, dan negosiasi di ambang bahaya. Dari kerusuhan Mei 1998 hingga operasi penangkapan figur politik penting, dari pemberantasan judi hingga operasi “membujuk” tahanan politik, pembaca dibawa masuk ke jantung operasi yang selama ini hanya menjadi bisik-bisik di koridor kekuasaan.
Buku ini dibuka dengan pengantar yang kuat dari Kuntoro Mangkusubroto, menegaskan bahwa perjalanan Slamet bukanlah kisah biasa. Kiki Syahnakri dalam epilognya menyebut buku ini sebagai cermin keteladanan seorang perwira yang bekerja dalam diam, tanpa haus sorotan, namun dengan dedikasi yang teguh.
Struktur yang Menyimpan Rangkaian Operasi
Daftar isinya sendiri sudah seperti peta kronologi operasi dan penugasan. Dari menjadi taruna Akademi Militer Nasional, pindah ke Korps Infanteri, hingga menjabat Komandan Peleton, kisah ini terus menanjak menuju peran strategis di jajaran intelijen. Bab-bab seperti “Peristiwa Talangsari Lampung”, “Menculik Liem Soei Liong”, atau “Bahaya Laten Eks PKI” menunjukkan bahwa buku ini tak hanya merekam sejarah, tapi juga membedahnya dari dalam.
Kekuatan buku ini ada pada detailnya. Slamet Singgih tidak menulis dengan bahasa kode yang membingungkan, tetapi juga tidak menelanjangi rahasia negara secara mentah. Ia menjaga keseimbangan antara memberi informasi dan tetap menghormati etika intelijen.
Antara Lapangan dan Meja Komando
Yang menarik, buku ini tidak hanya menceritakan pertempuran fisik, tapi juga manuver di balik meja komando. Pembaca akan menemukan bagaimana sebuah operasi bisa gagal bukan karena strategi militer yang buruk, tetapi karena friksi antar pemangku kepentingan, perubahan peta politik, atau bahkan intrik di tubuh institusi itu sendiri.
Slamet mengisahkan momen saat ia hampir dicoret dari Sesko TNI-AD, pergulatan menghadapi atasan yang “tidak loyal” pada pimpinan, hingga ketegangan operasi di Timor Timur. Semua disajikan dengan nada yang tenang, nyaris dingin, namun justru itulah yang membuat kesaksiannya terasa otentik.
Nilai Historis dan Edukasi Strategis
Dari perspektif pembaca umum, buku ini adalah dokumentasi sejarah yang berharga, terutama untuk memahami bagaimana institusi intelijen beroperasi dalam dinamika politik Indonesia. Dari perspektif akademis, buku ini adalah studi kasus yang kaya tentang hubungan antara intelijen, politik, dan militer di negara berkembang.
Bagi mereka yang mengkaji studi keamanan, buku ini dapat menjadi bahan diskusi: bagaimana seorang prajurit menjaga idealisme di tengah politik praktis, dan bagaimana intelijen tidak hanya menjadi alat, tetapi juga benteng pertahanan ideologi negara.
Catatan Penutup
Intelijen: Catatan Harian Seorang Serdadu adalah bacaan yang langka — bukan hanya karena topiknya, tetapi juga karena keberanian penulisnya untuk menaruh pengalaman pribadi di atas meja publik. Ini bukan glorifikasi, bukan pula pembelaan diri, melainkan catatan seorang saksi sejarah yang pernah berada di garis depan, di saat-saat krusial bangsa ini.
Buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami wajah intelijen Indonesia, bukan dari mitos atau rumor, tetapi dari cerita seorang prajurit yang pernah menapakinya.
Penulis: Slamet Singgih
Prolog: Prof. Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto, MSc
Epilog: Letjen (Purn) Kiki Syahnakri
Penerbit: Kata Penerbit