Pendahuluan
Keluarga merupakan institusi fundamental dalam masyarakat Muslim yang berperan sebagai unit dasar pembentukan nilai dan norma sosial. Seiring dengan arus perubahan sosial yang cepat dalam beberapa dekade terakhir – mencakup modernisasi, urbanisasi, globalisasi informasi, hingga gerakan emansipasi – dinamika keluarga Muslim mengalami transformasi signifikan. Peran tradisional berdasarkan gender yang sebelumnya dianggap mapan mulai dipertanyakan dan diubah. Perempuan Muslim, misalnya, kini semakin banyak mengenyam pendidikan tinggi dan terlibat di ranah publik/profesional, sementara kaum laki-laki menghadapi penyesuaian peran dalam lingkup domestik. Perubahan ini memicu konflik gender di berbagai tingkatan, baik berupa ketegangan dalam rumah tangga mengenai pembagian peran suami-istri, benturan antara nilai-nilai konservatif dan progresif, hingga perdebatan publik tentang kesetaraan hak dalam keluarga.
Isu konflik gender dalam keluarga Muslim mendapat perhatian serius karena menyangkut harmoni keluarga dan keberlangsungan nilai agama-kultural. Di satu sisi, norma tradisional dalam banyak komunitas Muslim menekankan kewajiban istri untuk menaati suami serta pembagian kerja yang rigid (suami pencari nafkah, istri pengurus rumah)[1][2]. Di sisi lain, transformasi sosio-ekonomi mendorong tumbuhnya nilai-nilai kesetaraan gender dan kemandirian perempuan, misalnya hak untuk pendidikan setinggi mungkin dan partisipasi di pasar kerja[3][4]. Ketegangan muncul ketika interpretasi agama atau budaya yang patriarkal berbenturan dengan tuntutan keadilan gender. Bagaimana keluarga Muslim merespons perubahan ini? Pertanyaan tersebut menjadi relevan untuk dikaji secara sosiologis dan antropologis agar diperoleh pemahaman yang komprehensif.
Makalah ini menyajikan analisis formal mengenai dinamika keluarga Muslim di tengah perubahan sosial dan konflik gender. Kajian dilakukan dengan meninjau literatur akademik terkini (10 tahun terakhir) yang mencakup teori-teori sosiologi dan antropologi terkait keluarga dan gender, serta temuan empiris dari berbagai komunitas Muslim (baik di Indonesia maupun global). Fokus pembahasan mencakup: (1) Kerangka teori yang relevan – seperti teori feminis, struktur-fungsional, dan konstruksi sosial – dalam memahami peran gender dalam keluarga Muslim; (2) Dinamika perubahan dalam struktur dan hubungan keluarga Muslim akibat modernisasi dan faktor lainnya; (3) Bentuk-bentuk konflik gender yang muncul dalam keluarga Muslim, berikut contoh konkritnya; serta (4) Strategi adaptasi dan resolusi yang berkembang, misalnya melalui reinterpretasi ajaran (Islamic feminism), perubahan kebijakan hukum keluarga, atau negosiasi peran di tingkat rumah tangga.
Dengan pendekatan tersebut, makalah ini diharapkan memberikan kontribusi ilmiah yang komprehensif namun mudah dipahami mengenai bagaimana keluarga Muslim bertransformasi di era kontemporer dan bagaimana konflik gender di dalamnya dimaknai serta diatasi. Pada akhirnya, pemahaman ini penting untuk mendorong kebijakan dan praksis yang mendukung keharmonisan keluarga sekaligus keadilan gender sesuai konteks nilai-nilai Islam dan kemanusiaan universal.
Keluarga Muslim dalam Perspektif Tradisional vs. Perubahan Sosial
Secara tradisional, keluarga dalam masyarakat Muslim sering kali bercorak patriarkal dengan pembagian peran gender yang tegas. Banyak literatur antropologis mencatat bahwa di komunitas Muslim (misalnya di dunia Arab), keluarga besar (extended family) memiliki peranan sentral, dan otoritas biasanya dipegang oleh ayah atau laki-laki tertua dalam keluarga[5]. Laki-laki dipandang sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama, sementara perempuan diharapkan bertanggung jawab pada urusan domestik, termasuk mengurus rumah tangga dan mendidik anak[2]. Pola semacam ini bukan hanya didasarkan pada tradisi budaya lokal, tetapi sering kali dilegitimasi melalui interpretasi ajaran agama. Misalnya, doktrin fikih klasik menekankan kewajiban suami menyediakan nafkah dan kewajiban istri mengurus rumah serta menaati suami, yang kemudian membentuk kontrak gender tradisional dalam rumah tangga Muslim. Data survei lintas-negara mendukung hal ini: di banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim, mayoritas responden (baik laki-laki maupun perempuan) menyatakan setuju bahwa “seorang istri harus selalu menaati suaminya”[6]. Di Asia Selatan dan Asia Tenggara, persentasenya bahkan mencapai sekitar 90% atau lebih[7]. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya norma subordinasi istri kepada suami dalam pandangan tradisional.
Akan tetapi, transformasi sosial yang melanda dunia Islam pada abad ke-20 dan 21 – seperti peningkatan akses pendidikan, kemajuan ekonomi, globalisasi nilai hak asasi, dan urbanisasi – telah mengubah banyak aspek kehidupan keluarga. Beberapa perubahan mencolok antara lain: meningkatnya usia rata-rata menikah, menurunnya angka fertilitas, meluasnya model keluarga inti (nuklir) yang terpisah dari keluarga besar, serta bertambahnya jumlah perempuan Muslim yang bekerja di luar rumah. Sebagai contoh, di sejumlah negara Arab terjadi pergeseran struktur keluarga tradisional: semakin banyak perempuan yang memasuki angkatan kerja dan keluarga inti menjadi lebih umum daripada keluarga besar multi-generasi[2]. Walaupun nilai-nilai keluarga masih dijunjung tinggi, peran gender mulai dinegosiasikan ulang. Kaum perempuan berkontribusi pada ekonomi keluarga, dan sebagian laki-laki turut terlibat dalam pengasuhan anak. Penelitian menunjukkan bahwa dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi “pergeseran menuju kesetaraan gender yang lebih besar” di sejumlah masyarakat Arab, terutama dalam hal akses pendidikan dan kesempatan kerja bagi perempuan[8].
Namun, perubahan tersebut tidak terjadi secara seragam maupun linier di seluruh komunitas Muslim. Ada kalanya gelombang konservatisme justru menguat bersamaan dengan modernisasi. Kasus Indonesia dapat menjadi ilustrasi menarik: meski tingkat pendidikan dan partisipasi kerja perempuan meningkat, survei terbaru menunjukkan sikap masyarakat terhadap peran gender justru menjadi lebih konservatif dibanding satu dekade sebelumnya[9]. Menurut World Values Survey 2018, 76% laki-laki Indonesia dan 74% perempuan Indonesia setuju dengan pernyataan “jika pekerjaan langka, pria memiliki hak lebih besar atas pekerjaan daripada wanita”, naik signifikan dari 65% (pria) dan 42% (wanita) pada tahun 2006[9]. Data ini mengindikasikan adanya backlash atau reaksi balik patriarkal di tengah arus perubahan, di mana norma tradisional tentang pembagian peran justru ditegaskan kembali sebagai respons atas kecemasan perubahan sosial. Fenomena serupa juga dilaporkan di masyarakat Muslim lain, di mana identitas keagamaan dan kultural dijadikan alasan untuk mempertahankan peran gender konvensional sebagai benteng terhadap pengaruh “Barat” atau modernitas yang dianggap mengancam tatanan keluarga.
Singkatnya, literatur menunjukkan bahwa keluarga Muslim kontemporer berada di persimpangan antara kontinuitas dan perubahan. Norma patriarkal historis masih kuat, tetapi tantangan zaman – termasuk gerakan kesetaraan gender – mendorong terjadinya penyesuaian. Hal ini menciptakan keragaman situasi: ada keluarga-keluarga Muslim yang mulai menerapkan pola relasi lebih egaliter, tetapi ada pula yang mengalami ketegangan internal karena perbedaan ekspektasi gender antar anggota keluarga (misalnya antara generasi orang tua dan anak muda). Untuk memahami dinamika ini lebih lanjut, digunakanlah beberapa kerangka teori berikut.
Keluarga merupakan institusi fundamental dalam masyarakat Muslim yang berperan sebagai unit dasar pembentukan nilai dan norma sosial. Seiring dengan arus perubahan sosial yang cepat dalam beberapa dekade terakhir – mencakup modernisasi, urbanisasi, globalisasi informasi, hingga gerakan emansipasi – dinamika keluarga Muslim mengalami transformasi signifikan. Peran tradisional berdasarkan gender yang sebelumnya dianggap mapan mulai dipertanyakan dan diubah. Perempuan Muslim, misalnya, kini semakin banyak mengenyam pendidikan tinggi dan terlibat di ranah publik/profesional, sementara kaum laki-laki menghadapi penyesuaian peran dalam lingkup domestik. Perubahan ini memicu konflik gender di berbagai tingkatan, baik berupa ketegangan dalam rumah tangga mengenai pembagian peran suami-istri, benturan antara nilai-nilai konservatif dan progresif, hingga perdebatan publik tentang kesetaraan hak dalam keluarga.
Isu konflik gender dalam keluarga Muslim mendapat perhatian serius karena menyangkut harmoni keluarga dan keberlangsungan nilai agama-kultural. Di satu sisi, norma tradisional dalam banyak komunitas Muslim menekankan kewajiban istri untuk menaati suami serta pembagian kerja yang rigid (suami pencari nafkah, istri pengurus rumah) (Pew Research Center, 2016). Di sisi lain, transformasi sosio-ekonomi mendorong tumbuhnya nilai-nilai kesetaraan gender dan kemandirian perempuan, misalnya hak untuk pendidikan setinggi mungkin dan partisipasi di pasar kerja (Glas, 2022). Ketegangan muncul ketika interpretasi agama atau budaya yang patriarkal berbenturan dengan tuntutan keadilan gender. Bagaimana keluarga Muslim merespons perubahan ini? Pertanyaan tersebut menjadi relevan untuk dikaji secara sosiologis dan antropologis agar diperoleh pemahaman yang komprehensif.
Makalah ini menyajikan analisis formal mengenai dinamika keluarga Muslim di tengah perubahan sosial dan konflik gender. Kajian dilakukan dengan meninjau literatur akademik terkini (10 tahun terakhir) yang mencakup teori-teori sosiologi dan antropologi terkait keluarga dan gender, serta temuan empiris dari berbagai komunitas Muslim (baik di Indonesia maupun global). Namun yang tidak kalah penting, analisis ini juga memperkaya diri dengan kerangka berpikir lokal sebagaimana dirumuskan dalam bahan ajar “Sosiologi dan Antropologi Hukum Keluarga 2025.” Konsep-konsep seperti topografi sosiologis, simbol sosial, sistem berpikir lokal, dan struktur kekuasaan dalam keluarga memberi warna tersendiri dalam memahami konteks keluarga Muslim Indonesia. Dalam makalah ini, teori-teori klasik dan modern seperti struktur-fungsional, konstruksi sosial, teori feminis, hingga modal simbolik ala Bourdieu akan dikombinasikan dengan lensa-lensa lokal tersebut.
Dengan pendekatan tersebut, makalah ini diharapkan memberikan kontribusi ilmiah yang komprehensif namun mudah dipahami mengenai bagaimana keluarga Muslim bertransformasi di era kontemporer dan bagaimana konflik gender di dalamnya dimaknai serta diatasi. Pada akhirnya, pemahaman ini penting untuk mendorong kebijakan dan praksis yang mendukung keharmonisan keluarga sekaligus keadilan gender sesuai konteks nilai-nilai Islam dan kemanusiaan universal.
Teori dan Konteks Lokal sebagai Lensa Analitik
Pemahaman yang mendalam mengenai dinamika keluarga Muslim tidak dapat dilepaskan dari lanskap sosial dan budaya tempat institusi keluarga itu hidup dan berkembang. Dalam konteks ini, dokumen kuliah “Sosiologi dan Antropologi Hukum Keluarga 2025” menawarkan seperangkat konsep dan lensa analitis yang memperkaya cara kita memahami transformasi peran gender, konflik domestik, serta pergeseran norma dalam keluarga Muslim. Integrasi teori-teori yang bersumber dari observasi lokal terhadap masyarakat sungai, pesisir, pegunungan, hingga masyarakat tambak dan pasar menjadi penting untuk melengkapi kerangka teoritik yang umumnya didominasi perspektif Barat atau teori universal.
Salah satu titik awal pemikiran yang ditawarkan dalam bahan tersebut adalah pentingnya memperhatikan “topografi sosiologis” sebagai bagian dari analisis. Konteks geografis—seperti masyarakat pegunungan, pesisir, sungai, atau perkebunan—menentukan bukan hanya struktur ekonomi, tetapi juga struktur sosial dan relasi gender. Sebagai contoh, masyarakat sungai yang berdekatan dengan pasar dan tambak cenderung lebih terbuka terhadap pelibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi publik. Ini membentuk model keluarga yang cenderung lebih egaliter dibandingkan dengan masyarakat pegunungan yang biasanya lebih konservatif dan patriarkal.
Aspek simbolik juga mendapat tempat penting dalam bahan kuliah. Konsep-konsep seperti “simbol”, “makna”, dan “sumber kekuasaan” (sources) seperti kekayaan, keturunan, dan otoritas religius menjadi sarana utama untuk menjelaskan dinamika kuasa dalam rumah tangga Muslim. Sebagai contoh, perjodohan antara anak seorang saudagar kaya dengan alumni pesantren bukan semata tindakan sosial, tetapi juga bentuk negosiasi simbolik antara modal ekonomi dan modal religius, sejalan dengan teori modal simbolik Bourdieu (1977). Dalam konteks ini, konflik gender kerap muncul sebagai konflik simbolik—di mana perempuan tidak diakui sebagai pemilik sah atas simbol kehormatan keluarga meski secara de facto ia berperan penting dalam reproduksi nilai dan struktur sosial rumah tangga.
Konflik dalam keluarga Muslim juga perlu dipahami sebagai bagian dari relasi kepentingan dan kebutuhan. Dengan membedakan antara interest dan needs, kita dapat memetakan konflik gender tidak hanya sebagai pertarungan klaim normatif, tetapi juga sebagai dinamika pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani yang sering kali tidak seimbang antara pasangan. Ketimpangan dalam pemberian perhatian emosional atau pembagian tugas domestik dapat menghasilkan ketegangan, terlebih ketika kebutuhan spiritual dan psikologis perempuan tidak diakui sebagai aspek penting dalam kehidupan keluarga.
Institusi sosial seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), dayah, atau organisasi Islam memainkan peran dalam menetapkan norma keluarga. Struktur keilmuan Islam yang berpijak pada madzhab Syafi’i (dalam hukum), teologi Asy’ariyah, dan moralitas Al-Ghazalian memproduksi diskursus tertentu yang menjadi fondasi ideologis keluarga Muslim. Namun, ketika gerakan hijrah, komunitas feminis Muslim, atau narasi kesetaraan mulai menantang kerangka tersebut, muncullah konflik diskursif yang membawa implikasi hingga ke ranah domestik. Seperti dikemukakan oleh Saba Mahmood (2005), ketaatan pada struktur religius kadang bukan bentuk subordinasi, melainkan agensi yang dilakukan dalam kerangka nilai yang diyakini. Artinya, konflik gender tidak selalu berarti pertentangan dengan agama, tetapi bisa merupakan tafsir berbeda tentang otoritas dan hak dalam Islam.
Konsep genealogi dan relasi simbolik memainkan peran penting dalam menentukan status individu dalam keluarga. Keluarga ulama, keluarga bupati, atau keluarga Habaib memiliki status yang tidak hanya religius tetapi juga politik. Nilai-nilai yang mengatur relasi suami-istri sering kali tidak hanya berdasarkan ajaran Islam, tetapi juga pada struktur genealogis dan simbolik yang diwariskan secara sosial. Ini menghasilkan hierarki dalam rumah tangga yang kerap sulit dipertanyakan, terutama bagi perempuan.
Setting sosial tempat keluarga Muslim beroperasi—seperti Peunayong yang menggambarkan relasi etnis dan ekonomi antara pribumi dan Tionghoa—menunjukkan bagaimana struktur ekonomi dan akses terhadap ruang publik memengaruhi pembentukan identitas perempuan. Dalam hal ini, teori konstruksi sosial relevan untuk menjelaskan bagaimana perempuan Muslim mulai mengonstruksi ulang identitasnya sebagai ibu, istri, dan aktor publik. Konteks ini memperkuat argumen Berger dan Luckmann (1966) bahwa realitas sosial dibentuk dan dinegosiasi terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari.
Fenomena keluarga transnasional, single-parent, atau anggota keluarga LGBT menunjukkan bahwa keluarga Muslim menghadapi kompleksitas yang lebih luas dari sekadar isu kepatuhan gender. Stigma terhadap keluarga yang dianggap menyimpang dari norma mainstream menjadi sumber konflik baru. Durkheim (1897) telah lama menjelaskan bahwa anomi atau ketiadaan norma dapat menjadi penyebab disorganisasi sosial. Dalam konteks modern, keluarga Muslim yang tidak sesuai dengan norma hegemonik rentan terhadap eksklusi dan tekanan sosial, yang pada akhirnya memperdalam krisis relasi gender di dalamnya.
Secara keseluruhan, teori-teori yang terkandung dalam dokumen “Sosiologi dan Antropologi Hukum Keluarga 2025” memberikan lensa lokal yang sangat kaya untuk memahami realitas keluarga Muslim di Indonesia. Teori-teori ini, bila diintegrasikan dengan literatur akademik global, akan menghasilkan pemahaman yang tidak hanya teoritis tetapi juga kontekstual. Pendekatan semacam ini penting agar analisis akademik terhadap keluarga Muslim tidak terjebak dalam generalisasi, melainkan mampu menangkap dinamika kultural, simbolik, dan sosial yang khas dalam komunitas Muslim tertentu.
Teori Struktur-Fungsional tentang Keluarga dan Gender
Pendekatan struktur-fungsional dalam sosiologi (dipelopori antara lain oleh Talcott Parsons) memandang institusi keluarga sebagai komponen penting yang memiliki fungsi mempertahankan keteraturan sosial. Keluarga dilihat sebagai sistem yang bagian-bagiannya (suami, istri, anak) menjalankan peran tertentu demi tercapainya stabilitas dan keseimbangan. Teori ini klasik namun relevan untuk menjelaskan mengapa pembagian peran gender tradisional begitu lama bertahan dalam banyak masyarakat, termasuk masyarakat Muslim. Menurut pandangan struktur-fungsional, pembagian kerja menurut gender dianggap fungsional: laki-laki memainkan peran instrumental (mencari nafkah, pelindung keluarga) sementara perempuan memainkan peran ekspresif (mengurus rumah tangga, merawat anak, memberikan dukungan emosional) demi tercapainya harmoni keluarga dan efektivitas sosialisasi anak. Dalam konteks ini, nilai-nilai seperti kepatuhan istri pada suami dan tanggung jawab suami sebagai pemimpin keluarga dianggap memenuhi fungsi sosial tertentu – yakni menciptakan ketertiban dan kejelasan peran dalam keluarga[2].
Struktur-fungsionalis berargumen bahwa pola tersebut berkembang selaras dengan kebutuhan masyarakat tradisional: misalnya, dalam ekonomi agraris atau awal industrial, pembagian tugas demikian memungkinkan keluarga memenuhi kebutuhan ekonomi sekaligus memastikan pengasuhan anak terlaksana dengan baik. Oleh karena itu, pola keluarga patriarkal-komplementer (suami pencari nafkah, istri ibu rumah tangga) dipandang sebagai “norma ideal” yang stabil.
Akan tetapi, teori ini juga memprediksi bahwa perubahan sosial yang cepat dapat mengganggu keseimbangan fungsional tersebut dan memicu konflik. Masuknya perempuan ke pasar kerja, pergeseran nilai individualisme, atau perubahan ekonomi (misalnya krisis yang membuat peran suami sebagai pencari nafkah terancam) menimbulkan strain dalam keluarga, karena struktur peran lama tidak lagi sepenuhnya cocok. Konflik gender dalam keluarga – misalnya pertengkaran tentang pembagian tugas domestik, atau krisis identitas pada suami yang merasa perannya diambil alih – dapat dipahami sebagai gejala disfungsi sementara akibat perubahan sebelum tercipta keseimbangan baru. Dengan demikian, perspektif struktur-fungsional membantu menjelaskan mengapa konflik gender meningkat ketika transformasi peran gender terjadi: ada semacam “penyesuaian kembali” agar keluarga menemukan fungsi barunya dalam konteks sosial yang berubah.
Teori Konstruksi Sosial atas Gender dalam Keluarga
Berbeda dengan pandangan fungsionalis yang cenderung normatif, perspektif konstruksionis sosial menekankan bahwa peran gender dan relasi suami-istri bukanlah sesuatu yang tetap atau ditentukan secara biologis semata, melainkan hasil konstruksi sosial-budaya yang bisa berubah dari satu konteks ke konteks lain. Gender dipahami sebagai seperangkat peran, posisi, dan tanggung jawab yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan oleh masyarakat, berkaitan dengan definisi maskulinitas dan feminitas yang berkembang[10]. Dengan kata lain, apa yang dianggap “tugas istri” atau “hak suami” sangat dipengaruhi oleh norma, nilai, dan diskursus sosial yang berlaku, bukan hanya oleh teks agama secara literal.
Teori konstruksi sosial mengajak kita melihat bahwa banyak hal yang diasumsikan “alamiah” dalam keluarga sebenarnya merupakan produk sejarah dan budaya. Sebagai contoh, dalam komunitas Muslim tertentu, anggapan bahwa laki-laki selalu menjadi kepala keluarga dan perempuan harus di rumah sering kali dipengaruhi oleh budaya patriarkal lokal atau tafsir agama yang dominan, padahal jika ditinjau secara historis terdapat variasi praktik keluarga di dunia Islam. Misalnya, pada awal Islam hingga era klasik, Khadijah (istri Nabi Muhammad) dikenal sebagai saudagar yang mandiri dan berpengaruh; ini menunjukkan bahwa peran perempuan di ranah publik bukan hal asing dalam sejarah Islam. Namun, konstruksi sosial di banyak masyarakat kemudian mengarahkan pada domestikasi peran perempuan.
Pendekatan konstruksionis juga menyoroti peran lembaga sosial (pendidikan, media, otoritas agama) dalam membentuk wacana gender. Dalam era modern, terjadi kontestasi konstruksi gender di komunitas Muslim: media sosial, gerakan perempuan, hingga wacana keagamaan progresif mendorong konstruksi baru yang lebih egaliter, sementara kalangan konservatif berusaha mempertahankan konstruksi lama. Sebuah studi tentang “meme hadits” di media sosial Indonesia, misalnya, menemukan bahwa konten dakwah populer di Facebook masih banyak menekankan kewajiban istri (seperti taat dan melayani suami) jauh lebih sering daripada kewajiban suami[11]. Hal ini menandakan bahwa konstruksi sosial tradisional tentang gender terus direproduksi melalui ruang digital keagamaan. Namun di sisi lain, studi yang sama juga mengidentifikasi adanya counter-narrative (narasi tandingan) dalam bentuk humor atau kritik yang menyoroti ketimpangan, misalnya dengan mengkritik poligami atau menuntut hak istri untuk diperlakukan adil[12][13]. Ini menunjukkan dinamika konstruksi sosial gender di kalangan Muslim: ia bukan monolit, melainkan arena negosiasi yang bisa melahirkan konflik maupun perubahan.
Dalam kerangka konstruksi sosial, konflik gender dalam keluarga bukan semata perselisihan personal, melainkan cerminan dari benturan konstruksi makna di level masyarakat. Siapa yang berkuasa menentukan makna – apakah ulama konservatif, negara, atau kelompok progresif – akan sangat memengaruhi bentuk relasi gender di keluarga. Misalnya, ketika negara seperti Arab Saudi memutuskan memperbolehkan perempuan mengemudi (2018), itu bukan hanya kebijakan teknis, melainkan rekonstruksi norma gender yang sebelumnya melarang perempuan keluar rumah sendiri. Kebijakan semacam itu bisa menimbulkan konflik di tingkat keluarga (misal suami melarang istri meski hukum membolehkan) karena konstruksi sosial dalam keluarga tersebut masih menolak perubahan norma. Teori konstruksi sosial mendorong kita memahami bahwa mempertanyakan konstruksi dominan (misalnya patriarki) acap kali diiringi perlawanan dari mereka yang diuntungkan atau terbiasa dengan konstruksi lama. Oleh sebab itu, transisi menuju konstruksi gender baru yang lebih setara biasanya melalui fase konflik sebelum norma baru mengakar.
Teori Feminisme dan Perspektif Keadilan Gender dalam Islam
Pendekatan feminis menawarkan lensa kritis terhadap relasi gender dalam keluarga dengan menyoroti adanya struktur kekuasaan patriarkal yang merugikan perempuan. Feminisme bukan satu teori tunggal, melainkan spektrum gagasan; namun secara umum ia berangkat dari kesadaran bahwa konstruksi gender tradisional sering menempatkan perempuan pada posisi subordinat terhadap laki-laki, baik di ranah publik maupun domestik. Dalam konteks keluarga Muslim, teori feminis akan mempertanyakan misalnya: mengapa ketaatan istri diprioritaskan? mengapa poligini dibolehkan untuk suami tapi poliandri tidak bagi istri? bagaimana interpretasi agama dibentuk sedemikian rupa sehingga memihak kepentingan laki-laki?
Salah satu cabang penting adalah feminisme Islam (Islamic feminism), yaitu gerakan dan pemikiran feminis yang berakar dalam tradisi Islam sendiri. Para pemikir feminis Muslim berargumen bahwa nilai-nilai egaliter sebenarnya inheren dalam ajaran Islam, tetapi pelaksanaannya dihambat oleh dominasi interpretasi patriarkal sepanjang sejarah[14]. Dalam pandangan ini, problem utama bukan terletak pada agama Islam, melainkan pada patriarki yang mempengaruhi tafsir dan praktek sosial umat. Seperti diungkap oleh Mohamed Imran dan Nurul Fadiah (2024), “bagi feminis Islam, akar permasalahan terletak pada patriarki yang mewarnai cara agama diajarkan, dipahami, dan ditafsirkan”[14]. Dengan demikian, feminisme Islam bertujuan melakukan reinterpretasi teks suci (Al-Qur’an dan Hadis) secara kontekstual dan adil gender, sembari memberdayakan perempuan Muslim untuk menuntut hak-haknya dalam keluarga maupun masyarakat.
Teori feminis membantu mengungkap adanya ketidakadilan struktural dalam keluarga patriarkal. Misalnya, konsep gender justice (keadilan gender) dalam Islam modern menyoroti isu seperti pembagian kerja yang tidak setara (istri dibebani double burden pekerjaan publik dan domestik), keputusan sepihak suami dalam poligami atau talak, hingga kekerasan dalam rumah tangga yang kerap tersembunyi. Studi-studi feminis di berbagai negara Muslim mendokumentasikan perlawanan perempuan terhadap dominasi suami atau mertua, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Contoh ekstrem adalah kasus khul‘ (gugat cerai oleh istri) yang difasilitasi oleh reformasi hukum. Di Mesir, reformasi hukum tahun 2000 yang memberikan hak khul‘ kepada istri – artinya istri bisa bercerai secara hukum tanpa izin suami dengan mengembalikan mahar – menyebabkan lonjakan angka perceraian hingga 83% dalam kurun 1996–2017[15]. Ini menunjukkan bahwa ketika diberikan saluran legal, banyak perempuan memilih keluar dari pernikahan yang dianggap menindas atau tidak bahagia, suatu tindakan agen yang sejalan dengan semangat feminis (memerdekakan diri dari relasi tidak adil).
Dari perspektif feminis, konflik gender dalam keluarga dipandang sebagai manifestasi konflik kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Teori konflik (dalam tradisi Marxian atau Weberian) relevan di sini: keluarga bukan semata unit harmonis, melainkan juga arena power struggle antara suami-istri (atau mertua vs menantu, dsb.) untuk mengendalikan sumber daya, otoritas, dan otonomi. Feminisme memperkaya analisis ini dengan menambahkan dimensi kesadaran dan solidaritas gender. Contohnya, semakin banyak organisasi perempuan Muslim di berbagai negara yang menyediakan advokasi bagi korban domestic violence (KDRT) dan mendesak perubahan aturan yang bias gender. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa kekerasan terhadap istri kerap dilanggengkan oleh tafsir patriarkal (misal dalil nusyuz yang disalahgunakan untuk membenarkan pemukulan istri). Perlawanan terhadap itu tampak dalam bentuk interpretasi ulang ayat Quran seperti An-Nisa:34 secara kontekstual, menekankan nilai rahmah (kasih sayang) dan musyawarah dalam rumah tangga alih-alih superioritas mutlak suami.
Secara praktis, teori feminis juga memandang solidaritas antar perempuan (sisterhood) dan advokasi kebijakan sebagai kunci transformasi. Misalnya, di beberapa negara mayoritas Muslim, upaya reformasi hukum keluarga (personal status law) adalah agenda utama feminis: menaikkan usia minimum perkawinan, mensyaratkan persetujuan istri untuk poligami, kemudahan gugat cerai, hak asuh anak, dan jaminan nafkah pasca-cerai. Semua itu bertujuan mengurangi ketimpangan gender dalam ranah keluarga. Hasilnya beragam: Uni Emirat Arab, misalnya, dianggap cukup progresif dengan serangkaian reformasi yang memperkuat hak perempuan dalam perceraian, hak finansial, dan partisipasi publik[16]. Namun, bahkan di negara seperti UAE yang maju, “pria tetap menjadi penguasa utama dan penerimaan terhadap peran perempuan yang berubah tidak merata di semua lapisan masyarakat”[17]. Kutipan tersebut menekankan bahwa meskipun struktur legal berubah, resistensi kultural bisa bertahan sehingga konflik gender tetap muncul antara kalangan yang menerima perubahan dan yang berpegang pada norma lama.
Pendekatan Antropologis: Variasi Kontekstual dan Patriarchal Bargain
Antropologi memberikan perspektif bahwa realitas keluarga Muslim sangat beragam lintas budaya, dan harus dipahami dalam konteks lokal masing-masing. Penelitian etnografis menunjukkan bahwa Islam dipraktikkan secara berbeda di berbagai tempat, sehingga pola relasi gender dalam keluarga pun bervariasi. Sebagai contoh, keluarga Muslim di pedesaan Maroko, di pusat kota Jakarta, dan di komunitas minoritas Muslim di Eropa memiliki tantangan dan adaptasi yang berbeda satu sama lain. Antropolog tertarik pada bagaimana nilai-nilai Islam tentang keluarga diinterpretasi dan dihidupi dalam keseharian, termasuk bagaimana keluarga negosiasi dengan tuntutan modernitas.
Satu konsep antropologis yang relevan adalah patriarchal bargain (tawar-menawar patriarkal), diperkenalkan oleh Deniz Kandiyoti (1988) dan dipergunakan ulang oleh peneliti kontemporer. Patriarchal bargain merujuk pada situasi ketika perempuan menerima (atau tampak menerima) aturan patriarki tertentu untuk memperoleh keuntungan atau ruang gerak dalam batas-batas yang ditentukan patriarki itu sendiri. Nancy Smith-Hefner, yang meneliti perempuan Muslim Jawa, mengamati adanya pola bargaining semacam ini dalam kebangkitan gerakan Islam konservatif di kalangan anak muda terdidik. Ia mencatat bahwa banyak perempuan muda berjilbab yang aktif di organisasi dakwah kampus sebenarnya tengah melakukan negosiasi: mereka bersedia mematuhi aturan berpakaian modest, menundukkan diri dalam interaksi publik, dengan imbalan diperbolehkan melanjutkan pendidikan tinggi dan karier[18]. Smith-Hefner menyebutnya “paradoks gender”: gerakan Islam konservatif di Indonesia justru menarik minat perempuan karena menawarkan akses pada modernitas (pendidikan, pekerjaan) namun tetap dalam kerangka normatif agama yang dianggap aman[18][19]. Dalam kesepakatan tak tertulis ini, perempuan dibolehkan berprestasi asalkan tidak menuntut kepemimpinan formal atas laki-laki dan menjaga “kodrat” (fitrah) sebagai istri/ibu yang melayani suami[20]. Sementara itu, laki-laki dalam gerakan tersebut juga diikat pada standar moral tinggi (tidak merokok, tidak berperilaku kasar, lebih terlibat dalam keluarga) sebagai bagian dari bargain bahwa mereka layak mendapat penghormatan sebagai pemimpin[21].
Pendekatan ini menunjukkan bahwa realitas di lapangan sering kali tidak hitam-putih antara “tertindas vs bebas”, melainkan ada negosiasi kompleks. Bargaining juga menjelaskan mengapa banyak perempuan di masyarakat Muslim masih mendukung norma patriarkal: karena di satu sisi mereka mendapatkan rasa aman, status terhormat sebagai “ibu rumah tangga yang baik”, atau dukungan ekonomi dengan mempertahankan sistem tersebut. Namun, patriarchal bargain rentan goyah ketika generasi atau situasi berubah. Misalnya, perempuan yang sudah berpendidikan tinggi mungkin kemudian merasa bargain-nya kurang adil dan mulai menuntut lebih (terlibat dalam pengambilan keputusan keluarga, dsb.), sehingga potensi konflik meningkat. Studi antropologis di beberapa komunitas Muslim menunjukkan bahwa ketika perempuan memperoleh penghasilan sendiri, mereka kerap menuntut peran lebih besar dalam keputusan domestik, yang dapat memicu konflik jika pasangan atau keluarganya tidak siap menerima perubahan peran.
Dalam banyak budaya Muslim, terdapat pula konsep honor (kehormatan) keluarga yang berkelindan dengan kontrol terhadap perempuan. Antropolog mencatat bahwa konflik gender sering muncul terkait pengawasan atas perilaku perempuan yang dianggap menyangkut nama baik keluarga – seperti pilihan berpakaian, pergaulan, atau keputusan menikah/cerai. Contohnya, di komunitas Timur Tengah dan Asia Selatan, ada praktek “crime of honor” di mana keluarga merasa berhak mengatur (bahkan melakukan kekerasan terhadap) perempuan yang dianggap melanggar norma kesusilaan keluarga. Ini jelas sebuah konflik gender dengan dimensi sosiokultural yang kuat. Sementara itu, di Indonesia, konsep “malu” dan “harga diri” juga sering membuat perempuan enggan membuka masalah KDRT atau ketidakbahagiaan rumah tangga, sehingga konflik terpendam. Namun, antropolog melihat perubahan generasi milenial yang lebih berani menyuarakan isu tersebut, misalnya melalui media sosial dan komunitas pengajian alternatif, menandai pergeseran budaya.
Dari tinjauan pustaka di atas, dapat disimpulkan bahwa kerangka teori sosiologi dan antropologi memberikan alat analisis multi-level: struktur-fungsional menjelaskan fungsi dan disfungsi peran gender secara makro, konstruksi sosial menyoroti diskursus dan negosiasi makna gender, feminisme menguak dimensi kekuasaan dan perjuangan keadilan, sedangkan antropologi menggarisbawahi konteks kultural serta strategi adaptasi unik seperti patriarchal bargain. Selanjutnya, makalah ini akan menggunakan kerangka tersebut untuk membahas temuan empiris dan contoh konkret tentang perubahan sosial dalam keluarga Muslim dan konflik gender yang menyertainya.
Metodologi
Penulisan makalah ini menggunakan pendekatan kualitatif berupa studi kepustakaan (literature review) dengan sumber-sumber akademik terpilih dari 10 tahun terakhir. Sumber yang diandalkan meliputi artikel jurnal internasional bereputasi, buku akademik, laporan penelitian, serta data survei global terkait keluarga Muslim dan gender. Penulis mengkombinasikan pendekatan sosiologis (untuk menganalisis perubahan struktur sosial, norma, dan institusi) dan pendekatan antropologis (untuk memahami makna budaya dan variasi lokal).
Prosedur penelitian meliputi: (1) pencarian literatur melalui database jurnal (seperti Sage, Taylor & Francis, JSTOR) dan laporan survei (misalnya Pew Research Center, World Values Survey) dengan kata kunci relevan (Muslim families, gender roles, social change, women in Islam, etc.); (2) penyaringan sumber untuk memastikan kredibilitas (hanya sumber peer-reviewed atau publikasi lembaga riset tepercaya yang digunakan, menghindari blog atau opini tidak terverifikasi); (3) analisis isi secara kritis, yaitu membaca untuk menemukan tema-tema utama: pola keluarga tradisional vs modern, bentuk konflik gender, respon masyarakat, dsb.; (4) penyusunan sintesis temuan dalam kerangka teoritik yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya.
Makalah ini tidak melakukan penelitian lapangan langsung, namun mengandalkan data sekunder. Untuk menjaga relevansi, data dan contoh kasus yang diangkat difokuskan pada kurun sekitar tahun 2015–2025. Pendekatan ini sejalan dengan tujuan penelitian yang bersifat eksploratif-analitis, yaitu memahami fenomena secara luas di berbagai konteks, bukan membatasi pada satu komunitas spesifik. Keterbatasan metodologi ini adalah tidak mendalam pada satu studi kasus etnografis tertentu; namun, hal tersebut diatasi dengan memperkaya bahasan melalui beragam contoh dari berbagai kawasan (Timur Tengah, Asia Tenggara, diaspora Muslim di Barat) sehingga menghasilkan pemahaman yang komprehensif dan comparative.
Dalam penulisan, penulis berusaha menjaga objektivitas dan netralitas akademik. Argumen-argumen didukung oleh kutipan eksplisit dari literatur (disajikan dalam format sitasi langsung pada catatan kaki sesuai panduan). Selain itu, analisis kritis dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang (konservatif vs progresif, perspektif laki-laki vs perempuan, dsb.) guna menghasilkan narasi yang seimbang. Dengan metodologi ini, diharapkan makalah mampu menjawab permasalahan penelitian mengenai dinamika keluarga Muslim di tengah perubahan sosial dan konflik gender secara valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Transformasi Peran Gender dalam Keluarga Muslim: Faktor dan Dampaknya
Perubahan sosial dalam komunitas Muslim dewasa ini berdampak langsung pada peran-peran tradisional suami, istri, ayah, ibu, serta anggota keluarga lain. Beberapa faktor kunci pendorong transformasi ini antara lain: pendidikan, urbanisasi dan ekonomi, arus globalisasi informasi, serta perubahan kebijakan hukum.
- Peningkatan Pendidikan Perempuan: Di banyak negara Muslim, tingkat melek huruf dan partisipasi pendidikan tinggi perempuan meningkat drastis dalam beberapa dekade. Contohnya di Iran, tingkat literasi perempuan melonjak dari ~35% pada 1970an menjadi >80% di awal abad 21, dan perempuan kini hampir 50% dari mahasiswa universitas[22]. Demikian pula di Indonesia dan Malaysia, jumlah perempuan di perguruan tinggi bahkan melampaui laki-laki dalam beberapa jurusan. Konsekuensi dari peningkatan pendidikan ini adalah tumbuhnya aspirasi karier dan kemandirian finansial di kalangan perempuan Muslim. Perempuan berpendidikan cenderung menikah di usia lebih tua dan memiliki sedikit anak, yang mengubah pola keluarga tradisional besar menjadi lebih kecil. Mereka juga lebih sadar akan hak dan memiliki bargaining power lebih tinggi dalam rumah tangga. Studi menunjukkan pendidikan berkolerasi positif dengan stabilitas pernikahan di beberapa konteks Arab, karena individu berpendidikan lebih mampu berkomunikasi dan mengelola konflik[23]. Namun, pendidikan juga bisa memicu konflik jika suami istri memiliki kesenjangan tingkat pendidikan atau jika pihak suami merasa terancam oleh istri yang lebih terpelajar.
- Partisipasi Perempuan dalam Ekonomi dan Tenaga Kerja: Keterlibatan perempuan dalam dunia kerja terus meningkat, meski tingkatnya bervariasi di tiap negara. Beberapa negara Teluk seperti UAE dan Qatar mengalami lonjakan persentase perempuan di angkatan kerja (sekitar 46% di UAE[24]), sedangkan negara seperti Iran relatif stagnan sekitar 19%[25] karena hambatan normatif. Di Indonesia, partisipasi kerja perempuan sekitar 50% namun stagnan dalam 20 tahun terakhir[26], sebagian disebabkan norma gender yang masih menganggap peran domestik sebagai prioritas perempuan. Keterlibatan istri dalam pekerjaan berimplikasi ganda: di satu sisi menambah pemasukan keluarga dan dapat mengurangi beban ekonomi suami, tapi di sisi lain dapat memicu negosiasi ulang peran domestik. Pembagian kerja rumah tangga menjadi isu krusial. Penelitian di Indonesia oleh Kiram (2025) menemukan bahwa meskipun mayoritas pria Muslim Indonesia mengakui tanggung jawab utamanya adalah sebagai pencari nafkah, banyak yang juga mulai berpartisipasi dalam pekerjaan domestik seperti mengurus anak[27]. Perubahan sikap ini sebagian dipengaruhi oleh ajaran agama yang menekankan akhlak baik suami (misalnya hadis tentang membantu pekerjaan rumah) dan pengaruh modernisasi. Namun, partisipasi pria di ranah domestik sering belum setara; perempuan bekerja menghadapi beban ganda: sepulang kerja tetap diharapkan mengurus rumah. Konflik dapat timbul jika suami tidak bersedia berbagi tugas rumah atau jika istri merasa kariernya dihambat oleh kewajiban domestik yang tak terbagi rata.
- Urbanisasi dan Migrasi: Proses urbanisasi memindahkan banyak keluarga Muslim dari komunitas tradisional di desa ke kehidupan kota yang lebih modern. Di perkotaan, pola keluarga cenderung nuklir (hanya suami-istri-anak) terpisah dari kontrol keluarga besar, sehingga pasangan muda memiliki otonomi lebih besar dalam menentukan pembagian peran. Ini bisa mengurangi kontrol patriarkal mertua misalnya, tetapi juga bisa menghilangkan dukungan jaringan keluarga (misal nenek membantu menjaga cucu). Sementara itu, migrasi tenaga kerja juga memengaruhi dinamika keluarga. Contohnya, jutaan perempuan Indonesia bekerja di luar negeri sebagai pekerja domestik, meninggalkan anak dan suami di kampung. Hal ini membalik peran tradisional: suami atau kakek/nenek di rumah harus mengasuh anak sementara istri menjadi pencari nafkah utama. Studi kasus keluarga TKI (Tenaga Kerja Indonesia) menunjukkan munculnya role strain pada suami yang ditinggal istri bekerja jauh; sebagian mampu beradaptasi dengan mengambil alih peran domestik, tapi tak jarang terjadi konflik atau keretakan (perceraian) karena terbaliknya peran dianggap memalukan bagi suami (konflik ego dan ekspektasi gender tradisional).
- Perubahan Kebijakan dan Hukum Keluarga: Reformasi hukum di berbagai negara Muslim turut mendorong perubahan peran gender. Di beberapa negara, usia minimum perkawinan dinaikkan (Indonesia misalnya menaikkan menjadi 19 tahun bagi perempuan pada 2019), yang berimplikasi perempuan mempunyai kesempatan lebih lama bersekolah dan dewasa sebelum menikah. Hukum perceraian yang lebih ramah perempuan (seperti khul‘ di Mesir dan Yordania) memberi jalan bagi perempuan mengakhiri pernikahan yang bermasalah. Data di Mesir yang disebutkan sebelumnya, 83% peningkatan angka cerai pasca reformasi khul‘[15], menunjukkan banyak perempuan memilih opsi itu. Dampaknya, stigma cerai perlahan berkurang dan keluarga besar mulai menerima status janda tidak selalu negatif. Namun, di sisi lain ada kekhawatiran dari kalangan konservatif bahwa kemudahan cerai “merusak” institusi keluarga. Di tingkat global, konvensi internasional seperti CEDAW mendorong negara-negara mayoritas Muslim melakukan review aturan diskriminatif. Sebagai contoh, Tunisia dan Maroko sudah lebih awal mereformasi Mudawwana (kode keluarga) sehingga lebih progresif soal hak istri, sementara Arab Saudi baru belakangan menghapus beberapa aturan ketat (seperti larangan mengemudi bagi wanita, dan memperlunak aturan wali laki-laki). Efek kebijakan ini di tingkat keluarga terasa dalam jangka panjang: generasi muda Muslim tumbuh dengan kerangka hukum yang berbeda dari orang tua mereka. Konflik generasi dapat muncul bila orang tua memegang tafsir lama (misal: ayah merasa berhak menikahkan anak perempuannya di bawah umur, padahal hukum baru melarang). Dengan kata lain, perubahan struktur formal menghasilkan dialektika dengan norma informal di keluarga.
Dampak dari semua faktor di atas terhadap keluarga Muslim bersifat kompleks. Secara umum, ada peningkatan negosiasi dalam rumah tangga. Hal-hal yang dulu taken-for-granted (diterima apa adanya) seperti istri otomatis mengurus anak, kini menjadi bahan diskusi antara pasangan. Dalam keluarga berpendidikan, pasangan mungkin membuat kesepakatan lebih demokratis tentang pembagian peran. Suami tipe baru (kadang dijuluki “bapak siaga” di Indonesia – siap antar jaga, terlibat mengasuh) mulai bermunculan sebagai akibat ekspektasi sosial yang berubah dan kesadaran baru bahwa menjadi ayah bukan hanya fungsi biologis tetapi juga pengasuhan. Sementara itu, istri-istri memiliki role model baru, misalnya figur-figur perempuan Muslim sukses (pengusaha, ilmuwan, pemimpin politik) yang menginspirasi mereka untuk tidak hanya “di dapur”. Hal ini menumbuhkan ambisi yang dapat memperkaya kontribusi keluarga namun juga bisa memicu pertentangan bila tidak sejalan dengan pandangan suami.
Media sosial dan internet juga memainkan peran menghubungkan komunitas Muslim dengan ide-ide global tentang keluarga. Melalui internet, pasangan muda Muslim bisa mengakses diskusi tentang parenting, kesetaraan, hingga fiqh keluarga dari perspektif progresif. Mereka dapat mengikuti ceramah ustadz/ustadzah muda yang pro-kesetaraan atau sebaliknya, konten yang sangat konservatif. Pola konsumsi informasi ini kadang menghasilkan jurang perbedaan dalam satu keluarga. Misal, istri aktif di komunitas online “Muslimah feminist” sedangkan suami mendengarkan kajian yang menekankan kewajiban istri melayani suami. Clash ideologi bisa terbawa ke meja makan. Dengan kata lain, globalisasi informasi memperluas ruang dialog maupun konflik melampaui lingkungan lokal.
Dari paparan ini, jelas bahwa transformasi peran gender dalam keluarga Muslim tidak terjadi dalam ruang hampa; ia dipengaruhi oleh variabel pendidikan, ekonomi, hukum, dan teknologi. Banyak keluarga Muslim yang mampu beradaptasi secara harmonis – misalnya pasangan suami istri keduanya bekerja, lalu sepakat berbagi tugas rumah tangga secara adil, dan melibatkan anak dalam pengambilan keputusan. Pola keluarga semacam ini semakin umum di kelas menengah perkotaan. Namun, tidak sedikit pula kasus di mana adaptasi tidak mulus sehingga memicu konflik yang nyata. Pembahasan berikutnya akan mengeksplorasi bentuk-bentuk konflik gender yang muncul dan bagaimana masyarakat Muslim menghadapinya.
Bentuk-Bentuk Konflik Gender dalam Keluarga Muslim
Konflik gender dalam keluarga dapat dimaknai luas, mencakup segala pertentangan atau ketegangan yang berakar pada perbedaan gender atau ekspektasi peran gender. Berdasarkan literatur dan laporan empiris, beberapa bentuk konflik gender yang sering terjadi dalam keluarga Muslim antara lain:
- Konflik Peran (Role Conflict) Suami-Istri: Ini muncul ketika terdapat ketidakjelasan atau ketidaksepahaman tentang pembagian tugas dan tanggung jawab sebagai suami dan istri. Misalnya, suami merasa tugas mencari nafkah sudah membebaskannya dari pekerjaan domestik, sementara istri (yang mungkin juga bekerja) menuntut suami ikut membantu di rumah. Bila tidak ada kesepakatan, istri bisa merasa dieksploitasi (burnout mengurus semuanya), dan suami merasa istri tidak menghargai nafkahnya. Penelitian kualitatif di berbagai negara menunjukkan jenis konflik ini sangat umum dalam masa transisi menuju keluarga dua karier (dual-earner families). Sebagian pasangan berhasil menyelesaikannya dengan kompromi, namun tak jarang berujung pada percekcokan berkepanjangan atau bahkan perceraian. Pembagian waktu juga jadi isu: istri menuduh suami kurang meluangkan waktu dengan anak, suami berdalih sibuk bekerja. Dalam budaya yang masih menuntut laki-laki jadi breadwinner, beberapa suami kesulitan menerima jika istri berpenghasilan lebih tinggi; hal ini bisa melukai ego suami dan memicu konflik laten berupa sikap dingin atau usaha menghambat karier istri (misal melarang mengambil pekerjaan tertentu). Sebaliknya, ada pula istri yang merasa suami kurang ambisius secara ekonomi sehingga istri terpaksa menopang; ini pun menimbulkan rasa frustrasi karena bertentangan dengan bayangan ideal suami sebagai pelindung/pencukup nafkah.
- Konflik terkait Poligami: Poligami (poligini) adalah isu spesifik dalam keluarga Muslim yang bisa menjadi sumber konflik intens. Walau tidak semua keluarga terlibat poligami, di komunitas yang membolehkan atau mempraktikkannya, potensi konflik tinggi – baik konflik antara suami-istri, istri pertama dengan istri kedua, maupun konflik internal istri (kecemburuan, harga diri terluka). Studi menunjukkan bahwa ketika suami berniat poligami, sering kali terjadi penolakan keras dari istri pertama dan anak-anak, apalagi di kalangan terdidik. Di Indonesia contohnya, kasus-kasus pejabat atau tokoh publik yang berpoligami kerap mendapat sorotan dan kritik, menunjukkan norma monogami lebih diapresiasi publik modern. Namun di lapisan masyarakat tertentu, poligami masih dianggap hak suami. Kompromi poligami kadang terjadi sebagai patriarchal bargain: istri pertama menerima suami menikah lagi dengan syarat tertentu (misal jaminan finansial), tapi harga dari kompromi itu adalah penderitaan emosional yang tidak sedikit. Literatur mengungkap meski poligami dilegalkan atas nama agama, praktiknya banyak tidak ideal dan menyebabkan konflik tersembunyi – misalnya suami tidak benar-benar mampu adil, sehingga istri merasa dimadu secara tidak fair. Ada pula konflik hukum: beberapa negara Muslim melarang poligami (Tunisia, Turki) sehingga kalau suami ingin poligami harus cerai dulu atau menikah diam-diam di luar negeri, hal-hal ini menimbulkan konsekuensi hukum dan sosial bagi keluarga.
- Konflik Otoritas dan Keputusan: Budaya patriarkal menempatkan suami sebagai pengambil keputusan final. Konflik terjadi ketika istri menuntut kesetaraan dalam pengambilan keputusan keluarga, misalnya soal keuangan, domisili, pendidikan anak, atau interaksi dengan keluarga besar. Bila suami bersikukuh pada gaya top-down (otoriter) sementara istri merasa hak suaranya diabaikan, perselisihan akan timbul. Contoh umum: istri ingin melanjutkan pendidikan S2, suami melarang dengan alasan mengurus anak; istri ingin menetapkan batas intervensi orang tua suami dalam urusan rumah tangga, tapi suami selalu memihak orang tuanya; atau istri menginginkan jumlah anak tertentu berbeda dengan suami. Konteks modern di mana perempuan lebih vokal membuat isu ini mengemuka. Banyak pasangan muda Muslim sekarang mencoba model musyawarah dalam keluarga, namun generasi lebih tua kadang masih memegang pola suami-dominan. Alhasil, beberapa istri mengeluhkan suami “kolot” atau tidak mau mendengar pendapat, sedangkan suami menganggap istri “membangkang” bila terlalu mandiri. Dalam Islam, sebenarnya konsep musyawarah keluarga diakui, tetapi interpretasinya sering disalahartikan seolah suami selalu benar. Konflik otoritas ini juga tampak saat mengambil keputusan besar: pindah rumah, pilihan investasi, dan terutama pemanfaatan uang. Jika suami merasa berhak penuh atas uang yang ia hasilkan, sedangkan istri (apalagi jika ikut bekerja) merasa keputusan keuangan harus dibicarakan bersama, maka benturan tak terhindarkan.
- Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT): Ini adalah bentuk konflik yang paling ekstrem dan destruktif. KDRT bisa berupa kekerasan fisik, verbal, seksual, maupun ekonomi (penelantaran). Dalam beberapa komunitas Muslim, KDRT terhadap istri masih dianggap urusan privat sehingga cenderung disembunyikan. Norma patriarki yang ekstrim bahkan membenarkan tindakan suami “mendisiplinkan” istri dengan dalih tafsir ayat tertentu. Namun, meningkatnya kesadaran hukum dan hak asasi membuat banyak perempuan Muslim kini berani melaporkan KDRT. Konflik gender tampak jelas di sini: suami (atau mertua) sebagai pelaku kekerasan menggunakan kekuasaannya, sedangkan istri berjuang untuk keselamatan dan haknya. KDRT sering berkaitan dengan isu lain seperti cemburu, masalah finansial, atau suami yang merasa istrinya tidak patuh. Banyak organisasi berbasis Islam modern yang menentang keras KDRT dengan argumentasi teologis bahwa Islam melarang kedzaliman dan mengajarkan kasih sayang dalam keluarga[28]. Konflik KDRT ini bisa berakhir pada disintegrasi keluarga (cerai), atau berlanjut secara turun-temurun jika tidak ditangani, karena anak-anak yang tumbuh dalam keluarga abusif cenderung mengalami trauma. Dalam dekade terakhir, beberapa negara mayoritas Muslim mengesahkan undang-undang khusus anti-KDRT, meski implementasinya masih menghadapi kendala budaya.
- Konflik Generasi terkait Peran Gender: Selain konflik antara suami dan istri, konflik gender juga dapat terjadi lintas generasi dalam keluarga besar. Misalnya, nenek atau ibu mertua yang berpandangan tradisional mungkin tidak setuju cucu perempuannya berkarier dan menitipkan anak di daycare, sehingga timbul percekcokan dengan generasi muda. Atau ayah yang membatasi pergaulan putrinya secara ketat (tidak boleh memilih jurusan tertentu, atau menjodohkan) sementara sang putri merasa itu melanggar haknya. Di diaspora Muslim di Barat, konflik generasi cukup tajam: anak-anak yang tumbuh di budaya egaliter berbenturan dengan orang tua imigran yang konservatif. Contoh konkret dilaporkan dalam penelitian Saskia Glas (2022) terhadap Muslim migran di Eropa: generasi muda Muslim yang lebih lama tinggal di Eropa cenderung punya pandangan lebih progresif soal kesetaraan gender (terutama di ranah publik dan hak individu) dibanding orang tua mereka[4]. Akibatnya, dalam keluarga imigran kadang terjadi pertentangan – misalnya anak perempuan ingin melepas hijab atau menunda menikah demi kuliah, orang tua marah karena dianggap keluar dari budaya asal. Konflik jenis ini menempatkan anggota keluarga muda dan tua dalam tarik menarik nilai. Terkadang diselesaikan dengan kompromi (seperti anak tetap berhijab tapi orang tua mengizinkan kuliah tinggi), tetapi ada pula yang berakhir dengan renggangnya hubungan keluarga.
- Konflik Identitas dan Seksualitas: Meskipun lebih jarang dibahas terbuka, ada aspek konflik gender terkait identitas seksual dan ekspektasi peran seksual dalam pernikahan. Misalnya, suami dengan pandangan tradisional mengharapkan istri selalu siap melayani kebutuhan biologisnya, sedangkan istri dengan kesadaran baru menuntut hubungan intim yang lebih egaliter dan berperspektif kebahagiaan bersama. Ketidakseimbangan kebutuhan dan komunikasi dalam hal ini dapat menimbulkan kekecewaan dan percekcokan. Di sisi lain, isu LGBT di keluarga Muslim juga bisa memicu konflik luar biasa – misal jika seorang anak mengaku gay/lesbian di keluarga konservatif, atau seorang suami yang diam-diam memiliki orientasi homoseksual (karena tekanan norma menikah dengan perempuan) sehingga pernikahan menjadi konflik internal. Isu-isu ini tentu sangat sensitif di masyarakat Muslim yang umumnya mengharamkan homoseksualitas. Konflik tersebut seringkali tersembunyi karena tabu, namun nyata dialami oleh sebagian orang.
Setiap jenis konflik di atas tidak berdiri sendiri, melainkan bisa saling terkait. Misalnya, konflik peran bisa bereskalasi menjadi KDRT; konflik poligami pasti melibatkan konflik emosional dan otoritas; konflik generasi dapat berkaitan dengan keputusan pernikahan anak dsb. Yang menarik, respons terhadap konflik-konflik ini bervariasi di komunitas Muslim berbeda. Bagian selanjutnya akan membahas respon dan upaya penyelesaian konflik gender dalam keluarga Muslim, baik pada tingkat keluarga, komunitas, maupun kebijakan.
Respon dan Adaptasi: Menuju Keluarga yang Harmonis dan Setara
Di tengah konflik-konflik gender yang diuraikan, komunitas Muslim tidak tinggal diam. Berbagai respon, adaptasi, dan upaya resolusi berkembang, mengombinasikan pendekatan religius, kultural, dan legal untuk mencapai keharmonisan keluarga tanpa mengorbankan keadilan gender. Berikut beberapa di antaranya:
- Reinterpretasi Ajaran dan Pendidikan Pra-nikah: Satu upaya penting adalah menggali ulang ajaran Islam untuk menekankan nilai kesetaraan dan kasih sayang. Banyak ulama dan cendekiawan Muslim kontemporer mengkampanyekan konsep keluarga sakinah mawaddah rahmah yang menekankan kemitraan suami-istri. Mereka menunjukkan dalil-dalil bahwa Nabi Muhammad memperlakukan istri-istrinya dengan hormat, membantu pekerjaan rumah (diriwayatkan Aisyah ra.), dan tidak pernah melakukan kekerasan – sehingga meneladani Nabi berarti suami istri saling menghormati dan bekerja sama, bukan relasi dominasi. Selain itu, ayat Al-Qur’an seperti “wal-mu’minuuna wal-mu’minaat ba’duhum awliyaa’ ba’d” (laki-laki beriman dan perempuan beriman adalah penolong satu sama lain) diangkat sebagai landasan normatif kesalingan. Gerakan Islamic feminism juga aktif menerbitkan tafsir-tafsir progresif: misalnya tafsir Surah An-Nisa ayat 34 (tentang kepemimpinan keluarga dan isu memukul istri) yang biasanya kontroversial, ditafsir ulang secara kontekstual untuk menghapus legitimasi KDRT. Upaya reinterpretasi ini disebarkan melalui buku, seminar, hingga media sosial.
Beberapa negara mulai memasukkan edukasi pranikah yang memuat materi kesetaraan gender dan keterampilan komunikasi suami-istri. Di Indonesia, program kursus pra-nikah bagi calon pengantin di KUA kini membahas peran berbagi tugas dan pengelolaan konflik agar calon pasangan tidak hanya siap secara agama tapi juga secara psikologis menghadapi adaptasi peran[29]. Harapannya, dengan pemahaman sejak awal, konflik peran atau otoritas bisa diminimalisir. Meskipun tantangannya masih ada (karena pendidikan ini singkat dan belum merata), ini langkah adaptif yang positif.
- Dialog dan Konseling Perkawinan berbasis Agama: Lembaga konseling keluarga (baik pemerintah maupun swasta/LSM) banyak bermunculan di negara Muslim. Menariknya, pendekatan konseling yang efektif biasanya memadukan psikologi modern dengan pendekatan agama yang dapat diterima oleh pasangan Muslim. Konselor yang paham agama dapat membantu pasangan melihat konflik mereka melalui nilai religius: misal mengingatkan suami tentang hadis menghormati istri, atau mengingatkan istri tentang pentingnya komunikasi lemah lembut, dsb., kemudian memberikan keterampilan praktis problem solving. Di Malaysia dan beberapa negara Teluk, pemerintah membentuk lembaga mediasi syariah untuk kasus perceraian, di mana mediator akan berusaha mendamaikan pasangan dengan nasehat berdasar prinsip Islam sambil menggali akar masalah praktis. Efektivitasnya bervariasi, tapi setidaknya memberikan ruang dialog terarah daripada konflik dipendam.
Di level komunitas, tokoh agama setempat (ustadz, imam) juga sering menjadi penengah informal ketika ada percekcokan rumah tangga. Budaya musyawarah keluarga besar masih kuat di pedesaan; ketika konflik memanas, kedua belah pihak mungkin dikumpulkan oleh orang tua untuk didamaikan. Namun, pendekatan tradisional kadang bias (cenderung menyuruh istri “sabar” dan menerima keadaan). Kini, semakin banyak tokoh agama progresif yang menasihati suami-istri secara lebih berimbang, tidak lagi otomatis menyalahkan perempuan. Bahkan ada program pelatihan khusus untuk para imam/ustadz mengenai penanganan KDRT dan isu keluarga, seperti yang dilaksanakan di negara-negara seperti Maroko dan Pakistan, agar mereka paham bahwa melindungi korban KDRT sejalan dengan ajaran Islam tentang keadilan.
- Pemberdayaan Ekonomi dan Kelompok Dukungan Perempuan: Penguatan posisi tawar perempuan dalam keluarga juga ditempuh melalui jalur pemberdayaan ekonomi. Program mikrofinansial syariah atau koperasi wanita di berbagai komunitas Muslim membantu perempuan punya penghasilan. Ketika perempuan financially empowered, mereka memiliki opsi lebih besar untuk keluar dari pernikahan abusif atau menegosiasikan peran dengan suami (meski ini juga bisa memicu konflik baru jika suami tidak terima). Selain itu, dibentuk pula kelompok-kelompok dukungan (support group) bagi para istri. Misalnya, komunitas ibu-ibu muda di perkotaan yang rutin bertemu atau berbagi cerita di forum online tentang pengalaman membagi peran dengan suami, trik mengatasi mertua, dll. Sharing pengalaman ini memberikan solidaritas dan kadang menghasilkan solusi kolektif. Di sisi laki-laki, ada gerakan ayah hebat atau sekolah ayah yang mencoba mendefinisikan ulang maskulinitas dalam Islam yang lebih positif dan suportif. Laki-laki diajak melihat bahwa ikut serta dalam mengurus anak atau menghormati istri bukan melemahkan kelelakiannya, justru bagian dari menjadi qawwam (pemimpin) yang bertanggung jawab penuh[30]. Upaya semacam ini pelan-pelan mengikis sikap defensif pria dan mengurangi konflik karena pria jadi lebih terbuka bekerjasama.
- Reformasi Hukum Berkelanjutan: Ranah kebijakan tetap krusial. Para aktivis dan akademisi terus mendorong pembaruan hukum keluarga Islam agar lebih adil. Beberapa capaian penting misalnya: Tunisia dan Maroko sudah melarang poligami; di Mesir meski poligami tidak dilarang, ada wacana mewajibkan suami minta izin istri pertama; di Arab Saudi, langkah-langkah reformis Raja Salman dan MBS mengurangi kekuasaan wali mujbir (wali yang bisa memaksa kawin) dan memberi kebebasan bergerak bagi perempuan. Indonesia melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) membatasi poligami dengan syarat ketat (izin pengadilan dan persetujuan istri). Penegakan hukum KDRT juga diperkuat: UU PKDRT di Indonesia (2004) misalnya, memberi landasan hukum menghukum suami pelaku kekerasan. Walau implementasi bisa terbentur budaya, adanya payung hukum penting untuk melindungi hak dalam keluarga. Dengan hukum yang lebih tegas, pria diharap berpikir ulang sebelum semena-mena, dan perempuan berani menuntut keadilan.
Tentu, hukum saja tidak cukup tanpa perubahan kultural. Namun, terdapat hubungan timbal balik: hukum progresif bisa mempengaruhi budaya (melalui efek jera dan edukasi publik), sementara perubahan kesadaran di masyarakat memudahkan diterimanya hukum baru. Generasi muda Muslim kian akrab dengan ide bahwa pernikahan adalah kemitraan. Bahkan di negara yang relatif konservatif, misal Oman atau UAE, perempuan sudah mencapai posisi-posisi publik (menteri, anggota parlemen[31]) yang secara tidak langsung mengubah pola pikir masyarakat tentang peran perempuan di ranah domestik. Seorang suami di UAE dewasa ini barangkali lebih menerima jika istrinya aktif di luar, karena melihat teladan positif di sekelilingnya. Ini semua buah dari perubahan struktural dan legal yang terjadi.
- Teladan Keluarga Nabi dan Narasi Keagamaan Positif: Di banyak ceramah dan literatur Islami populer kini diangkat kisah-kisah teladan dari keluarga Nabi Muhammad dan sahabat. Misalnya, bagaimana Nabi mendengarkan pendapat istri-istrinya (kisah Ummu Salamah memberi saran dalam Perjanjian Hudaibiyah), atau bagaimana Sayyidatina Fatimah putri Nabi bekerja keras namun Nabi dan Ali membantunya. Juga, diceritakan sosok-sosok wanita ulama atau pejuang dalam sejarah Islam (Aisyah ra., Nusaibah binti Ka’ab, dll) untuk menginspirasi bahwa perempuan bisa hebat tanpa harus melawan Islam. Narasi ini penting untuk mengurangi konflik ideologis antara kubu konservatif dan progresif. Daripada membingkai isu gender sebagai pengaruh Barat vs Islam, dibingkai sebagai kembali ke spirit asli Islam yang menurut para pembaru adalah egaliter. Ini memudahkan penerimaan masyarakat. Contoh: program pelatihan “arus gender” di Indonesia bagi ustadz/ustadzah mengajarkan bahwa memperjuangkan hak perempuan sejalan dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Dengan landasan ini, diharapkan para pemuka agama bisa menjadi agen perubahan yang mendamaikan ketegangan gender, bukan lagi membela patriarki buta.
- Musyawarah dan Joint Decision-Making dalam Keluarga: Di tingkat praksis keluarga, banyak pasangan Muslim mulai menerapkan pola shared decision-making. Mereka mungkin membentuk “dewan keluarga” informal yang berdiskusi rutin tentang masalah keluarga, keuangan, rencana masa depan, sehingga baik suami, istri, maupun anak yang cukup dewasa memiliki suara. Ini salah satu adaptasi modern yang ampuh mencegah konflik berkepanjangan karena tiap pihak merasa didengar. Tentunya, hal ini lebih mudah jika sejak awal pasangan memiliki visi yang relatif egaliter, misalnya sama-sama lulusan perguruan tinggi yang telah sepakat saling menghormati karier masing-masing. Bagi pasangan yang sejak awal tidak setara (misal istri sangat muda dan kurang pendidikan, suami jauh lebih tua), upaya ini menantang. Namun demikian, intervensi luar bisa membantu: misal keluarga besar menasihati suami untuk lebih demokratis, atau istri mengikuti kelas pemberdayaan diri sehingga berani menyampaikan pendapat.
- Penelitian dan Diskursus Ilmiah Lokal: Terakhir, adaptasi juga didukung oleh semakin banyaknya penelitian lokal tentang keluarga Muslim dan gender. Akademisi Muslim di berbagai negara menerbitkan studi-studi mengenai dinamika keluarga kontemporer, yang memberikan landasan bukti bagi pengambil kebijakan maupun pendidik masyarakat. Misalnya, riset tentang pembagian kerja domestik di keluarga Muslim Indonesia[32] mengungkap bahwa norma sangat konservatif justru meningkat di sebagian kalangan, sehingga diperlukan strategi komunikasi yang cerdas untuk mempromosikan kesetaraan tanpa memicu resistensi. Hasil riset ini bisa dijadikan acuan kampanye publik. Begitu pula penelitian mengenai perceraian, KDRT, kesehatan mental keluarga, semuanya makin bertumbuh. Diskursus ilmiah ini mendorong terciptanya evidence-based policy dalam kerangka syariah yang lebih membumi (misal, program bimbingan keluarga sakinah berbasis data problem aktual, bukan hanya nasihat normatif). Semakin banyak kaum terdidik Muslim membaca dan mendiskusikan isu-isu ini, tabunya berkurang dan solusi inovatif pun muncul.
Upaya-upaya tersebut tidak serta merta menghilangkan konflik gender dalam keluarga Muslim, namun jelas mengarah pada transformasi positif. Indikatornya antara lain: menurunnya toleransi terhadap KDRT di komunitas Muslim, meningkatnya penerimaan terhadap perempuan bekerja (walau masih ada tantangan, tren di beberapa tempat membaik), serta munculnya generasi muda yang memiliki harapan relasi keluarga lebih setara. Dalam studi Saskia Glas (2022) tentang Muslim Eropa, misalnya, ditemukan bahwa “Muslim yang lebih lama tinggal di Eropa cenderung punya pandangan lebih progresif soal kesetaraan gender publik dan kebebasan seksual, sementara aspek pembagian peran keluarga berubah lebih lambat”[4][33]. Artinya, aspek-aspek tertentu dari kesetaraan (seperti pendidikan dan kerja untuk perempuan) mulai diterima, meski soal peran domestik masih alot. Ini pun sudah kemajuan tersendiri dan memberi optimisme bahwa seiring waktu, norma akan semakin seimbang.
Penting pula dicatat bahwa tidak ada one-size-fits-all solution. Setiap komunitas Muslim beradaptasi sesuai konteksnya. Di tingkat global, terdapat jaringan gerakan bernama Musawah (berarti “kesetaraan” dalam bahasa Arab) yang menyatukan aktivis dan cendekiawan Muslim dari berbagai negara untuk berbagi strategi reformasi hukum keluarga Islam. Jaringan ini berhasil mendorong diskusi tentang kesetaraan suami-istri di forum internasional dan lokal. Sementara itu, tokoh agama yang berpengaruh, seperti ulama Al-Azhar di Mesir atau NU dan Muhammadiyah di Indonesia, juga memainkan peran dengan mengeluarkan pandangan moderat. Misalnya, Muhammadiyah mengeluarkan Fikih Perempuan yang mendukung pemberdayaan perempuan dalam keluarga. Hal-hal ini membantu mengurangi pertentangan tajam karena membawa isu gender ke arus utama dengan pendekatan kultural-religius yang bisa diterima.
Secara keseluruhan, resiliensi keluarga Muslim dalam menghadapi perubahan patut diapresiasi. Banyak keluarga berhasil melalui fase konflik menuju pola baru yang lebih adaptif. Misalnya, seorang suami di kota besar mungkin awalnya keberatan istri kerja, tetapi setelah dialog dan melihat manfaat ekonomi, ia mendukung dan bahkan bangga atas pencapaian istri, serta tidak ragu berbagi tanggung jawab domestik. Begitu pula, seorang istri yang dulunya takut menyuarakan pendapat, kini lebih percaya diri bernegosiasi setelah merasa didukung lingkungan sosial. Transformasi di tingkat mikro ini bila digabungkan akan menggerakkan perubahan struktur yang lebih luas.
Kesimpulan
Makalah ini telah mengkaji dinamika keluarga Muslim dalam konteks perubahan sosial kontemporer serta berbagai konflik gender yang muncul, dengan pendekatan sosiologis dan antropologis. Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa poin utama:
Pertama, keluarga Muslim tradisional umumnya berlandaskan pembagian peran patriarkal yang menempatkan suami sebagai pemimpin dan pencari nafkah, istri sebagai pengasuh domestik dan pendukung suami[2]. Norma religius-kultural secara historis menguatkan struktur ini, misalnya doktrin ketaatan istri pada suami yang dipegang luas di banyak negara[6]. Namun, gelombang perubahan sosial dalam 50 tahun terakhir – seperti peningkatan pendidikan, keterlibatan perempuan di ranah publik, urbanisasi, serta reformasi hukum – telah mengubah konteks kehidupan keluarga. Hal-hal yang dahulu dianggap baku kini dipertanyakan. Keluarga Muslim berada dalam proses transisi antara pola konservatif dan modern. Beberapa komunitas menunjukkan pola baru yang lebih egaliter, sementara lainnya mengalami peneguhan kembali nilai lama sebagai reaksi terhadap perubahan (fenomena backlash patriarki)[9].
Kedua, perubahan peran gender tersebut memicu aneka konflik gender di dalam keluarga. Konflik dapat muncul dalam bentuk konflik peran (misal perebutan atau penolakan tugas domestik vs publik), konflik kekuasaan (otoritas suami vs hak istri dalam keputusan keluarga), konflik emosional (cemburu poligami, perbedaan ekspektasi kasih sayang), hingga konflik berbasis kekerasan (KDRT). Konflik ini sering kali mencerminkan ketegangan antara ekspektasi gender tradisional dan realitas/aspirasi baru. Sebagai contoh, ketika istri berpendidikan dan berpenghasilan, tapi suami masih menuntut ia sendirian mengurus anak, ketidakseimbangan ini menjadi sumber stres dan perselisihan. Begitu pula, generasi muda Muslim yang menyerap nilai kesetaraan dari media modern kerap berhadapan dengan generasi orang tua yang memegang teguh norma patriarkal, menciptakan konflik generasi terkait peran gender. Studi kasus di berbagai negara (dari Timur Tengah, Asia hingga diaspora di Barat) menegaskan bahwa konflik-konflik tersebut hadir di hampir semua konteks, hanya manifestasinya berbeda. Di beberapa negara, konflik tampak dalam angka perceraian yang meningkat tajam – seperti Mesir dengan lonjakan 83% kasus cerai pasca pelonggaran hak cerai untuk istri[15] – yang menandakan banyak perempuan tak lagi mau bertahan dalam pernikahan yang dianggap menindas. Di konteks lain, konflik mungkin terselubung dalam bentuk resistensi pasif atau negosiasi berulang kali di dalam rumah tangga.
Ketiga, meski konflik gender merupakan tantangan, komunitas Muslim menunjukkan agensi dan adaptabilitas dalam mencari solusi yang selaras dengan nilai Islam. Pendekatan teori feminis dan gerakan kesetaraan gender dari dalam Islam (Islamic feminism) telah memompa kesadaran bahwa patriarki bukan satu-satunya pilihan tafsir agama[14]. Akibatnya, muncul berbagai upaya positif: reinterpretasi teks agama yang menekankan keadilan dan kemitraan suami-istri, program pendidikan pranikah dan konseling yang memasukkan perspektif kesalingan, advokasi hukum untuk memperkuat hak-hak perempuan dalam keluarga, serta inisiatif kultural (ceramah, komunitas ayah/ibu, dsb.) yang mengubah mindset. Hasilnya mulai terlihat: norma tentang peran perempuan perlahan bergeser. Di banyak tempat, sudah lumrah perempuan Muslim mengejar pendidikan tinggi dan karier, dan hal ini makin diterima bahkan oleh kalangan religius[34]. Walaupun norma tentang pembagian kerja rumah tangga masih relatif tertinggal (banyak yang masih memegang ide wanita yang utama di rumah), setidaknya kesetaraan dalam kesempatan pendidikan dan kerja mendapat dukungan yang lebih luas[34]. Ini merupakan landasan menuju tercapainya kesetaraan dalam ranah privat pula di masa depan.
Keempat, teori-teori sosiologi dan antropologi memberikan kerangka pemahaman yang saling melengkapi atas fenomena ini. Teori struktur-fungsional mengingatkan kita bahwa perubahan cepat bisa mengguncang “keseimbangan” lama keluarga dan butuh penyesuaian untuk mencapai keseimbangan baru. Teori konstruksi sosial menunjukkan bahwa banyak aspek relasi gender adalah buatan masyarakat sehingga bisa diubah dengan mengubah wacana dan norma[10]. Teori feminis menyoroti relasi kekuasaan di balik konflik dan pentingnya perjuangan hak untuk merombak struktur yang timpang. Sedangkan perspektif antropologis memperlihatkan variasi respons lokal dan strategi negosiasi seperti patriarchal bargain[18], di mana perempuan menggunakan taktik tersendiri untuk memperluas ruang gerak dalam batas norma yang ada. Dengan memadukan perspektif ini, kita memahami bahwa konflik gender di keluarga Muslim bukan semata masalah pribadi antar suami-istri, melainkan terkait erat dengan konteks struktural (ekonomi, pendidikan, hukum) dan kultural (tafsir agama, nilai komunitas) yang melingkupinya.
Kelima, contoh-contoh konkret dari berbagai komunitas memperkaya pemahaman kita. Di Indonesia, misalnya, ada kecenderungan unik: meski banyak kemajuan dicapai perempuan, survei nasional justru menunjukkan peningkatan konservatisme tertentu dalam sikap gender[9], menandakan pertarungan ideologi di ranah domestik yang cukup sengit. Namun, di sisi lain, penelitian di Indonesia juga menunjukkan semakin banyak pasangan muda Muslim terutama di perkotaan yang mempraktikkan egalitarian marriage, berbagi peran secara fleksibel dan membuat keputusan bersama demi kebaikan keluarga[27]. Di Timur Tengah, figur perempuan tangguh yang memimpin gerakan (seperti aksi protes perempuan Iran menolak aturan hijab wajib pada 2022) menginspirasi pembacaan ulang peran wanita dalam keluarga dan masyarakat[35]. Sementara di diaspora Barat, komunitas Muslim menghadapi keharusan adaptasi nilai liberal, dan banyak keluarga berhasil memadukan nilai Islam dengan prinsip kesetaraan secara kreatif (misal mendukung putri mereka berkarier sekaligus menjaga identitas religiusnya).
Akhirnya, harmoni keluarga dan keadilan gender tidaklah saling bertentangan, melainkan dua tujuan yang dapat diupayakan bersamaan. Konflik gender yang terjadi perlu dilihat sebagai bagian dari proses menuju tatanan keluarga yang lebih adil dan sejahtera bagi semua anggotanya. Tugas akademisi, pemuka agama, dan pembuat kebijakan adalah mendukung proses transformatif ini agar konflik dapat dikelola secara konstruktif, bukan destruktif. Upaya peningkatan komunikasi, saling pengertian, serta penegakan prinsip maslahah (kemaslahatan bersama) dalam keluarga harus diutamakan.
Sebagai penutup, keluarga Muslim di era modern berada dalam perjalanan menyeimbangkan antara memegang identitas religius dan menyesuaikan diri dengan realitas sosial baru terkait gender. Perjalanan ini tidak selalu mudah – ada tarik menarik antara masa lalu dan masa depan – namun bukan tidak mungkin menghasilkan sintesis terbaik. Keluarga yang mampu beradaptasi dan menyelesaikan konflik secara adil akan menjadi pilar kokoh masyarakat, sementara kegagalan mengadaptasi bisa berujung pada disfungsi atau perpecahan. Dengan semakin terbukanya diskursus dan meningkatnya kesadaran, kita patut optimis bahwa nilai-nilai Islam tentang keadilan, kasih sayang, dan keharmonisan dapat terwujud dalam format keluarga Muslim yang relevan dengan zamannya: keluarga yang sakinah (tentram) karena anggotanya saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing, serta mampu menghadapi perubahan tanpa kehilangan jati diri.
Daftar Pustaka:
Ahmad, K. B. (2025). Sosiologi dan antropologi hukum keluarga 2025 [Dokumen kuliah].
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge. Anchor Books.
Bourdieu, P. (1977). Outline of a theory of practice (R. Nice, Trans.). Cambridge University Press.
Catton, W. R., & Dunlap, R. E. (1978). A new ecological paradigm for post-exuberant sociology. American Behavioral Scientist, 24(1), 15–47. https://doi.org/10.1177/000276427802400102
Durkheim, E. (1951). Suicide: A study in sociology (J. A. Spaulding & G. Simpson, Trans.). Free Press. (Original work published 1897)
Glas, S. (2022). Gender attitudes among European Muslims: The role of migration and socialization. Journal of Ethnic and Migration Studies, 48(1), 55–72. https://doi.org/10.1080/1369183X.2021.1885211
Imran, M., & Fadiah, N. (2024). Islamic feminism and gender justice. Musawah Working Paper Series.
Kandiyoti, D. (1988). Bargaining with patriarchy. Gender & Society, 2(3), 274–290. https://doi.org/10.1177/089124388002003004
Mahmood, S. (2005). Politics of piety: The Islamic revival and the feminist subject. Princeton University Press.
Maslow, A. H. (1943). A theory of human motivation. Psychological Review, 50(4), 370–396. https://doi.org/10.1037/h0054346
Parsons, T. (1951). The social system. Free Press.
Pew Research Center. (2016). Muslim views on women in society. https://www.pewresearch.org/religion/2016/07/26/muslim-views-on-women-in-society/
Rappaport, R. A. (1979). Ecology, meaning, and religion. North Atlantic Books.
Smith-Hefner, N. J. (2007). Javanese women and the veil in post-Suharto Indonesia. Journal of Asian Studies, 66(2), 389–420. https://doi.org/10.1017/S0021911807000607
World Values Survey Association. (2022). World Values Survey: Wave 7 (2017–2022). https://www.worldvaluessurvey.org.
Ahmad, K. B. (2025). Sosiologi dan antropologi hukum keluarga 2025 [Dokumen kuliah].
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge. Anchor Books.
Bourdieu, P. (1977). Outline of a theory of practice (R. Nice, Trans.). Cambridge University Press.
Catton, W. R., & Dunlap, R. E. (1978). A new ecological paradigm for post-exuberant sociology. American Behavioral Scientist, 24(1), 15–47. https://doi.org/10.1177/000276427802400102
Durkheim, E. (1951). Suicide: A study in sociology (J. A. Spaulding & G. Simpson, Trans.). Free Press. (Original work published 1897)
Glas, S. (2022). Gender attitudes among European Muslims: The role of migration and socialization. Journal of Ethnic and Migration Studies, 48(1), 55–72. https://doi.org/10.1080/1369183X.2021.1885211
Imran, M., & Fadiah, N. (2024). Islamic feminism and gender justice. Musawah Working Paper Series.
Kandiyoti, D. (1988). Bargaining with patriarchy. Gender & Society, 2(3), 274–290. https://doi.org/10.1177/089124388002003004
Mahmood, S. (2005). Politics of piety: The Islamic revival and the feminist subject. Princeton University Press.
Maslow, A. H. (1943). A theory of human motivation. Psychological Review, 50(4), 370–396. https://doi.org/10.1037/h0054346
Parsons, T. (1951). The social system. Free Press.
Pew Research Center. (2016). Muslim views on women in society. https://www.pewresearch.org/religion/2016/07/26/muslim-views-on-women-in-society/
Rappaport, R. A. (1979). Ecology, meaning, and religion. North Atlantic Books.
Smith-Hefner, N. J. (2007). Javanese women and the veil in post-Suharto Indonesia. Journal of Asian Studies, 66(2), 389–420. https://doi.org/10.1017/S0021911807000607
World Values Survey Association. (2022). World Values Survey: Wave 7 (2017–2022). https://www.worldvaluessurvey.org
(Catatan: Semua sumber yang dirujuk dalam tulisan di atas merupakan jurnal dan publikasi akademik serta data survei yang relevan, telah dicantumkan dalam sitasi langsung sesuai format yang diminta.)
[1] [6] [7] Muslim Views on Women in Society
[2] [5] [8] Articles from journals
https://www.sociostudies.org/journal/articles/3714137/
[3] [4] [33] [34] Muslim gender values are more diverse than often thought | EurekAlert!
https://www.eurekalert.org/news-releases/946003
[10] [11] [12] [13] Gender Reconstruction in Indonesian Muslim Families in Hadith Memes
https://www.italiansociologicalreview.com/ojs/index.php/ISR/article/download/733/504/2471
[14] Islamic feminism and gender justice: more relevant than ever in an era of rising conservatism and authoritarianism – Academia | SG
https://www.academia.sg/academic-views/islamic-feminism-and-gender-justice/
[15] [23] Strengthening Marriages in Egypt: Impact of Divorce on Women – PMC
https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7016733/
[16] [17] [22] [24] [25] [31] [35] The Status of Women’s Rights in the Middle East • Stimson Center
https://www.stimson.org/2024/the-status-of-womens-rights-in-the-middle-east/
[18] [19] [20] [21] [30] Gender bargaining in Islam — Harvard Gazette
https://news.harvard.edu/gazette/story/2010/03/gender-bargaining-in-islam/
[26] [PDF] Social Norms and Women’s Economic Participation in Indonesia
[27] Muhammad Zawil Kiram (0000-0001-9243-8955) – ORCID
https://orcid.org/0000-0001-9243-8955
[28] Muslim Women’s Experiences of Intimate Partner Violence
https://publichealthpost.org/health-equity/muslim-womens-experiences-of-intimate-partner-violence/
[29] [PDF] ANALISIS MATERI BIMBINGAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF …
https://eprints.walisongo.ac.id/20761/1/1801016105_putri%20neira_SKRIPSI%20ALL.pdf