Man of Terror dan Man of War: Membaca Ulang War on Terror dari Perspektif Geopolitik Global dan Asia Tenggara

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

"Ilustrasi vintage sepia bergaya poster klasik, menampilkan simbol pertarungan global antara Man of Terror (Osama bin Laden) dan Man of War (Robert Gates) pasca-9/11, menggambarkan perang, terorisme, dan strategi militer Amerika Serikat."
"Dua wajah sejarah bertemu dalam satu titik: Man of Terror dan Man of War. Dari gua-gua tersembunyi hingga ruang strategi di Washington, mereka menulis ulang peta dunia dengan darah, ideologi, dan kebijakan. Thumbnail vintage ini bukan sekadar gambar, tetapi sebuah pintu menuju narasi intelektual tentang perang global, terorisme, dan dilema moral demokrasi.

Pendahuluan

Serangan 11 September 2001 bukan hanya tragedi kemanusiaan terbesar di jantung Amerika, tetapi juga simbol pergeseran geopolitik dunia. Di balik reruntuhan WTC, muncul dua figur sentral yang oleh Time Magazine disebut sebagai Man of Terror dan Man of War: Osama bin Laden dan Robert Gates. Keduanya merepresentasikan wajah berbeda dari sebuah pertarungan global yang disebut War on Terror (Beyer, 2001; Rubin, 2010).

Di satu sisi, bin Laden tampil sebagai wajah horor transnasional, ikon dari jaringan Al-Qaeda yang menjelma menjadi mitologi kekerasan. Di sisi lain, Gates berdiri sebagai arsitek perang, sosok teknokrat intelijen yang merancang strategi militer Amerika dari Perang Dingin hingga Perang Irak (Rubin, 2010; Gates, 2008). Pertemuan simbolik antara keduanya menciptakan satu frasa historis yang terus menggema: War Against Terror (Bush, 2001).

Tulisan ini akan membedah secara mendalam bagaimana Man of Terror dan Man of War membentuk lanskap politik global, bagaimana media membingkai keduanya, dan bagaimana imbasnya menjalar hingga Asia Tenggara melalui jaringan terorisme dan operasi intelijen.

 Man of Terror: Osama bin Laden sebagai Simbol Kekerasan Global

Osama bin Laden adalah figur yang selalu melekat dengan terorisme pasca-9/11. Dengan wajah yang dicetak merah darah di Time Magazine edisi 24 September 2001, ia digambarkan sebagai musuh utama peradaban Barat (Beyer, 2001). Literatur akademik menempatkan Osama sebagai personifikasi dari Man of Terror (Byman, 2003; Doran, 2002).

Osama bukan sekadar pemimpin Al-Qaeda, tetapi juga simbol ideologi “perang melawan Barat”. Jaringan Al-Qaeda lahir dari pengalaman jihad Afganistan melawan Uni Soviet, diperkuat dengan doktrin takfiri dan praktik jihad global. Narasi “martir” dalam Islam radikal kemudian dilembagakan ke dalam operasi bunuh diri, atau yang populer dengan istilah bride (pengantin) di Indonesia, yakni mereka yang menikahi kematian lewat bom bunuh diri.

See also  ISIS: The State of Terror – Mengurai Jantung Kekerasan Global

Di Indonesia, jaringan Al-Qaeda beresonansi dengan Jemaah Islamiyah (JI). Operasi Bom Bali 2002 dan JW Marriott 2003 menjadi bukti nyata keterhubungan jaringan teror transnasional dengan aktor lokal (Bassnett, 2005; Ayres, 2005). Terorisme di Asia Tenggara karenanya tidak bisa dipisahkan dari bayang-bayang figur Osama bin Laden sebagai Man of Terror.

Man of War: Robert Gates dan Politik Perang Amerika

Berbeda dengan Osama, Robert Gates tampil sebagai Man of War yang dibentuk dari birokrasi militer dan intelijen Amerika. Kariernya mencakup berbagai era: staf Dewan Keamanan Nasional pada masa Gerald Ford, pakar Soviet di era Jimmy Carter, Wakil Direktur CIA di masa Reagan, Direktur CIA di era George H.W. Bush, hingga Menteri Pertahanan di bawah George W. Bush dan Barack Obama (Rubin, 2010; Gates, 2008).

Time Magazine tahun 2010 menyebut Gates sebagai Man of War, karena hampir setiap strategi perang modern Amerika lahir dari tangannya. Ia adalah sosok yang menandatangani keputusan pengiriman rudal Stinger ke mujahidin Afganistan pada 1980-an (Rubin, 2010). Ironisnya, dukungan inilah yang kemudian memperkuat jaringan jihad global yang melahirkan Osama bin Laden.

Dengan latar belakang ini, Gates adalah antitesis dari bin Laden. Jika Osama mengobarkan perang ideologi, maka Gates mengobarkan perang teknologi dan strategi. Pertarungan keduanya bukan di medan langsung, tetapi di tataran wacana dan kebijakan global.

Pertemuan Simbolik: War on Terror sebagai Perang Abadi

Konsep War on Terror yang dilontarkan George W. Bush pasca-9/11 adalah kristalisasi dari dua figur ini: bin Laden sebagai Man of Terror dan Gates sebagai Man of War (Bush, 2001; Elliott, 2001). Narasi ini menjadikan teror sebagai “musuh tak berwujud”, sehingga perang melawan teror menjadi justifikasi abadi untuk operasi militer lintas benua (Phillips, 2006).

Proyek besar seperti The Project for the New American Century (PNAC) menjadi instrumen kebijakan yang memperluas peran Man of War. PNAC menegaskan pentingnya supremasi militer Amerika di abad ke-21, dengan Irak dan Afganistan sebagai laboratorium politiknya (Altheide & Grimes, 2005). Di titik inilah, Man of War mendapat legitimasi penuh, sementara Man of Terror dijadikan musuh global yang selalu harus dihancurkan.

See also  Dinasti Militer di Indonesia: Nepotisme, Patronase, dan Kekuasaan Keluarga di TNI dari Orde Baru hingga 2025

MoT dan MoW di Asia Tenggara: Bayang-Bayang Global di Kawasan Lokal

Dampak War on Terror tidak berhenti di Afghanistan atau Irak, tetapi juga merambah Asia Tenggara. Jaringan Al-Qaeda melalui Jemaah Islamiyah (JI) menjadi ancaman paling nyata. Bom Bali (2002) dan bom Jakarta (2003) menjadi bukti bahwa narasi Osama bin Laden beresonansi di wilayah ini (Miniter, 2003).

Pada saat yang sama, operasi intelijen Amerika, dengan dukungan Robert Gates dan Pentagon, memperluas jangkauan ke kawasan Asia Tenggara. Guantanamo menjadi simbol “penyiksaan legal” atas nama War on Terror, di mana beberapa tahanan berasal dari Asia Tenggara (Ayres, 2005; Yin, 2005).

Dengan demikian, MoT (Osama bin Laden) dan MoW (Robert Gates) tidak hanya membentuk lanskap global, tetapi juga secara langsung mengonstruksi wajah keamanan Asia Tenggara pasca-9/11.

 Narasi Keluarga: Antara Martir dan Patriot

Kedua figur ini juga melahirkan narasi sosial yang berbeda. Bagi Amerika, keluarga militer yang berperang di Irak digambarkan sebagai patriot sejati, seperti dalam laporan Time “An American Family Goes to War” (Gibbs, 2003). Sebaliknya, di dunia jihad, keluarga “pengantin” yang kehilangan anak karena bom bunuh diri dianggap sebagai keluarga martir.

Narasi ini menunjukkan bahwa teror dan perang pada dasarnya adalah dua wajah dari praktik yang sama: mengorbankan keluarga demi ideologi. Bedanya, satu diberi label “heroik”, satu lagi “teroris” (Stillman, 2003; Kellen, 1982).

 Teror vs Perang: Perbedaan Epistemologis

Susan Bassnett (2005) mengingatkan bahwa media memiliki peran penting dalam membingkai istilah “teror” dan “perang”. Tank Amerika yang membunuh puluhan warga sipil tidak disebut teror, tetapi perang. Sebaliknya, bom mobil yang meledak di Bali disebut teror, meski keduanya sama-sama menimbulkan korban sipil.

Dalam perspektif Islam klasik, perbedaan ini berakar pada konsep harb al-buġâ (perang melawan sesama Muslim) dan harb al-kuffar (perang melawan non-Muslim). Keduanya memiliki aturan berbeda, misalnya larangan membunuh perempuan dan anak-anak (El-Fadl, 1999). Namun dalam praktik modern, garis batas itu kabur, karena baik MoT maupun MoW sama-sama melegitimasi kekerasan.

Kesimpulan

Kisah Man of Terror dan Man of War adalah kisah tentang dua figur yang mewakili wajah berbeda dari dunia pasca-9/11. Osama bin Laden membangun teror melalui ideologi, jaringan, dan simbol perlawanan. Robert Gates membangun perang melalui teknologi, birokrasi, dan strategi militer. Pertemuan keduanya melahirkan War on Terror, sebuah perang tanpa akhir yang membentuk tatanan geopolitik global hingga Asia Tenggara.

See also  Perang Kognitif & Disinformasi: Operasi Psikologis, AI, dan Deepfake dalam Perebutan Persepsi Global

Dari perspektif akademik, pertarungan ini menyingkap tiga hal utama: (1) bagaimana media membentuk ikon-ikon teror dan perang, (2) bagaimana negara menggunakan War on Terror untuk melegitimasi kekerasan, dan (3) bagaimana Asia Tenggara ikut menjadi arena perebutan narasi global.

Dengan demikian, War on Terror bukan hanya kisah Osama vs Gates, tetapi juga kisah tentang dunia yang terus mencari makna atas kata “teror” dan “perang”.

Daftar Pustaka (APA Style)

  • Altheide, D. L., & Grimes, J. N. (2005). War programming: The propaganda project and the Iraq War. The Sociological Quarterly, 46(4), 617–643.

  • Ayres, C. (2005). Guantanamo: America’s War on Human Rights. London: Zed Books.

  • Bassnett, S. (2005). Translating terror. The Translator, 11(2), 389–400.

  • Beyer, L. (2001, September 24). The face of terror. Time Magazine, p. 47.

  • Bush, G. W. (2001). Address to a Joint Session of Congress and the American People, September 20, 2001. The White House Archives.

  • Byman, D. (2003). Al Qaeda as an adversary: Do we understand our enemy? World Politics, 56(1), 139–163.

  • Doran, M. (2002). Somebody else’s civil war. Foreign Affairs, 81(1), 22–42.

  • El-Fadl, K. A. (1999). Rebellion and violence in Islamic law. Cambridge: Cambridge University Press.

  • Elliott, M. (2001). We are at war. Time Magazine, September 24.

  • Gates, R. (2008). From the shadows: The ultimate insider’s story of five presidents and how they won the Cold War. New York: Simon & Schuster.

  • Gibbs, N. (2003, March 24). An American family goes to war. Time Magazine, 34.

  • Kellen, K. (1982). Terrorists: What are they like? RAND Corporation Papers, P-6201.

  • Miniter, R. (2003). Losing bin Laden: How Bill Clinton’s failures unleashed global terror. Washington: Regnery.

  • Phillips, K. (2006). American Theocracy: The peril and politics of radical religion, oil, and borrowed money in the 21st century. New York: Viking.

  • Powell, B. (2005). War families in America. Time Magazine.

  • Rubin, M. (2010). The Survivor: Robert Gates and the crisis of confidence. Yale University Press.

  • Stillman, P. G. (2003). Terrorism as strategy and ideology. Social Theory and Practice, 29(1), 83–98.

  • Yin, R. (2005). Guantanamo: America’s prison for terror suspects. New Haven: Yale University Press.

Also Read

Bagikan:

Avatar photo

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. Prof. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). Currently, he is Dean of Faculty and Shariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia.

Leave a Comment