
Pendahuluan – Masyarakat Pase sebagai Laboratorium Sosial
Masyarakat Pase di Aceh bukan sekadar komunitas geografis. Ia adalah entitas sosial dinamis yang menjadi medan pertemuan berbagai kepentingan, identitas, dan strategi bertahan. Sebagai seorang antropolog sosial, saya memandang Pase sebagai laboratorium kebudayaan yang memperlihatkan bagaimana sebuah masyarakat mengelola keragaman internalnya dalam berbagai dimensi: sosial, politik, budaya, ekonomi, hingga digital.
Dalam telaah antropologis, keberadaan berbagai kelompok dalam masyarakat Pase—mulai dari intelektual, budayawan, pebisnis, perantau, hingga mafia—menggambarkan kompleksitas struktur sosial yang tak bisa direduksi menjadi dikotomi kota-desa semata. Setiap kelompok ini mencerminkan dimensi agensi sosial yang memperjuangkan visinya masing-masing tentang apa itu Pase, siapa yang berhak memimpinnya, dan bagaimana masa depan harus dibentuk.
Fragmentasi dan Rekonsolidasi Identitas Kelompok
Salah satu temuan menarik dalam membaca masyarakat Pase adalah keberadaan kelompok-kelompok sosial dengan fungsi dan peran yang saling silang. Kelompok intelektual dan teknokrat membawa diskursus pembangunan; kelompok religius menawarkan legitimasi moral dan spiritual; kelompok bisnis mendorong mobilitas ekonomi; sedangkan kelompok mafia beroperasi dalam bayang-bayang kekuasaan informal.
Setiap kelompok ini menempati ruang sosial yang berbeda: ruang publik seperti perkantoran, ruang privat dalam jaringan kekeluargaan, ruang maya dalam platform digital, dan ruang alam dalam praktik sehari-hari masyarakat adat dan petani. Antropolog melihat ini bukan sebagai chaos, tetapi sebagai mosaik sosial yang sedang berproses menemukan pola interaksi baru.
Dalam konteks Pase, identitas kelompok tidak statis. Mereka saling berebut ruang dan sumber daya, sekaligus bernegosiasi membentuk tatanan sosial baru. Inilah yang saya sebut sebagai rekonsolidasi identitas—suatu proses di mana identitas kolektif Pase terus dinegosiasikan antara lokalitas dan globalitas, antara adat dan modernitas.
Ruang Sebagai Arena Perebutan Makna
Tidak cukup memahami masyarakat Pase tanpa mengkaji bagaimana ruang dikonstruksi secara sosial. Dalam antropologi, ruang bukan sekadar tempat fisik, tetapi juga arena simbolik tempat ideologi, kekuasaan, dan identitas saling berbenturan. Dalam file yang disajikan, kita menemukan konsep ruang publik, ruang alam, ruang privat, hingga ruang maya—semuanya mencerminkan medan sosial yang sedang digarap oleh pelaku-pelaku Pase.
Ruang publik (perkantoran, pemerintahan) menjadi lokasi dominasi teknokrat dan politisi. Ruang maya dipenuhi oleh narasi generasi milenial dan diaspora Pase. Ruang privat menjadi benteng resistensi budaya dan etika komunitarian. Ruang alam adalah tempat praktik keseharian masyarakat petani dan pegunungan yang kerap terabaikan.
Ruang-ruang ini bukan netral. Siapa yang menguasai ruang, dia yang menentukan wacana. Maka penting bagi antropologi untuk menggali siapa yang mengontrol representasi masyarakat Pase di tiap ruang tersebut. Apakah narasi dominan datang dari elite? Dari perantau? Atau justru dari masyarakat akar rumput?
Kemiskinan Sukarela dan Daya Tahan Sosial
Salah satu pertanyaan penting yang muncul adalah: benarkah ada bentuk “kemiskinan sukarela” dalam masyarakat Pase? Dari perspektif antropologis, ini bisa ditafsirkan sebagai ekspresi budaya resistensi terhadap modernisasi hegemonik. Di beberapa komunitas, memilih tetap tinggal di pedalaman atau pegunungan bukanlah tanda ketertinggalan, tetapi bentuk penjagaan terhadap nilai-nilai hidup yang tak bisa diukur oleh indeks pembangunan manusia.
Namun demikian, frasa ini juga bisa menjadi ironi: apakah masyarakat benar-benar memilih miskin, atau mereka tidak diberi pilihan selain hidup dalam marginalitas? Di sini, konsep “ketimpangan struktural” menjadi penting. Siapa yang menguasai wacana pembangunan, dia bisa memutuskan siapa yang dianggap berkembang dan siapa yang tertinggal.
Antropolog sosial tidak hanya mencatat data, tetapi menafsirkan makna. Maka dari itu, masyarakat pedalaman dalam konteks Pase perlu dibaca dalam kerangka agensi dan struktur, bukan hanya dari statistik kemiskinan. Apakah mereka memiliki daya tawar politik? Apakah narasi mereka terdengar dalam forum publik?
Diaspora Pase dan Politik Pulang Kampung
Perantau Pase memiliki posisi unik dalam dinamika sosial-politik masyarakat. Mereka menjadi aktor hibrid yang menghubungkan dunia luar dengan kampung halaman. Dalam praktik sosial, diaspora tidak hanya mengirim uang, tetapi juga ide, nilai, dan bahkan konflik.
Dalam konteks pembangunan, keterlibatan diaspora Pase menjadi penentu arah. Mereka bisa mengusulkan proyek, membiayai kampanye politik, bahkan mempengaruhi kebijakan lokal dari kejauhan. Namun di sisi lain, kehadiran mereka bisa menimbulkan ketegangan identitas: siapa yang lebih berhak menentukan arah Pase—yang tinggal atau yang merantau?
Antropologi membaca diaspora bukan sebagai entitas luar, tetapi sebagai bagian dari sistem sosial yang saling mengisi. Diaspora membawa memori kolektif dan nostalgia, namun juga harapan dan tekanan modernitas. Mereka menjadi “agen transnasional” dalam ruang lokal.
Menuju Pase 2045: Membangun Blue Print Sosial
Gagasan tentang “Pase 2045” membuka ruang refleksi jangka panjang. Bagaimana masyarakat Pase membayangkan dirinya di masa depan? Siapa yang memimpin? Apa saja nilai utama yang ingin diwariskan?
Blueprint ini bukan hanya dokumen teknokratik, tetapi arena kontestasi ide. Perlu keberanian untuk memasukkan perspektif sosial dan budaya sebagai fondasi pembangunan, bukan hanya indikator ekonomi. Dalam hal ini, antropologi sosial bisa berperan menyumbang metodologi partisipatif, membaca narasi komunitas, dan merancang kebijakan berbasis nilai lokal.
Masa depan Pase adalah masa depan yang terbuat dari negosiasi, bukan dominasi. Ia dibentuk oleh dialog lintas kelompok: dari petani ke politisi, dari ulama ke milenial, dari budayawan ke diaspora. Blueprint itu hanya akan bermakna jika semua suara didengar, tidak hanya suara yang paling keras.
Penutup – Membaca Pase dengan Mata Batin Sosial
Sebagai antropolog sosial, saya meyakini bahwa memahami masyarakat Pase bukan soal menemukan “jawaban benar,” tetapi membuka ruang dialog makna. Pase adalah masyarakat yang sedang berproses, mencari harmoni dalam keragaman, menyusun strategi bertahan di tengah tekanan eksternal, dan membentuk masa depan dengan caranya sendiri.
Esai ini bukan akhir, tetapi pintu awal untuk membaca Pase secara lebih mendalam. Masyarakat ini bukan objek, melainkan subjek dari sejarahnya. Mereka punya bahasa sendiri, ruang sendiri, dan harapan yang tak bisa dibaca hanya dari statistik.