Banda Aceh, 11 Agustus 2025 – Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh menggelar kegiatan Evaluasi dan Penguatan Desa/Gampong Sadar Kerukunan yang berlangsung pada 11–13 Agustus 2025 di Rasamala Hotel, Banda Aceh. Acara ini diikuti oleh 40 peserta dari 19 gampong binaan yang sejak 2017 hingga 2025 mendapat pendampingan khusus dalam membangun harmoni sosial.
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat desa dalam membangun kerukunan, mendorong pemahaman yang lebih dalam mengenai hidup berdampingan secara damai, serta memperluas partisipasi aktif warga dalam kegiatan sosial lintas agama, adat, dan budaya.
Membaca Ulang Makna Kerukunan
Dalam paparan bertajuk “Tantangan dan Peluang dalam Mewujudkan Desa Sadar Kerukunan: Perspektif Lokal”, saya mengajak peserta untuk merefleksikan kembali konsep kerukunan dalam realitas sosial kontemporer Aceh.
Beliau menguraikan bahwa kerukunan tidak hanya soal “rukun di rumah” tetapi juga rukun di pikiran, ekonomi, dan interaksi sosial. Tantangan muncul ketika realitas sosial-budaya terperangkap dalam arus post-modernisme, di mana hubungan alam nyata bergeser ke alam maya, memunculkan ancaman patologi sosial digital seperti polarisasi, ujaran kebencian, dan penyebaran hoaks.
Kita sedang menghadapi fenomena di mana masyarakat cepat bertindak sebelum berpikir matang. Hubungan antarindividu bergeser, dan budaya yang diwarisi kadang terpinggirkan oleh budaya populer instan. Ini sebuah refleksi yang memancing perenungan mendalam ketika menyoroti realitas yang kerap terjadi di tengah masyarakat, bahwa kerukunan sering kali hanya terlihat di permukaan. Ada yang rukun di rumah, tetapi tidak rukun di pikiran. Ada yang tampak akrab di forum, namun di ruang maya justru saling menjatuhkan. Ada pula yang bersatu dalam urusan keuangan, namun terpecah dalam interaksi sosial yang bersifat langsung.
Adapun n wajah sosial-budaya masyarakat Aceh yang kini berada dalam pusaran perubahan besar. Hubungan-hubungan yang dulunya dibangun di alam nyata, kini semakin banyak bergeser ke ruang maya, yang membawa serta jebakan post-modernisme dengan segala distraksi dan patologi sosialnya. Media sosial, yang seharusnya menjadi sarana mempererat, justru kerap memicu polarisasi dan kegaduhan. “Kita sedang memasuki fase di mana orang lebih cepat bertindak sebelum berpikir matang,” tegasnya, sembari mengajak hadirin untuk kembali merenungkan esensi kerukunan.
Lebih jauh, terdapat model baru untuk membaca dan membangun kerukunan di tingkat desa yang tidak sekadar memberikan teori, tetapi mengajak peserta membayangkan enam skenario yang mungkin terjadi di masyarakat. Dalam skenario-skenario tersebut, dipaparkan dinamika antara aktor, isu, agama, dan budaya. Ada situasi di mana banyak aktor hadir namun berpikir seragam, ada pula kondisi di mana segelintir aktor berkuasa dengan dukungan finansial besar, hingga skenario di mana karisma seorang pemimpin membuat masyarakat menerima tanpa bertanya.
Tidak berhenti di situ, perlu juga untuk mengkritisi fenomena komodifikasi agama yang mengubah ajaran suci menjadi barang dagangan, serta selebrasi budaya yang dilakukan hanya sebatas seremonial tanpa membawa perubahan signifikan pada kesejahteraan masyarakat. Di hadapan para peserta, beliau menekankan bahwa agama dan budaya seharusnya menjadi sumber nilai dan moral, bukan alat transaksi kepentingan politik atau ekonomi.
Dapat dikatakan bahwa kerukunan bukan sekadar program pemerintah yang dijalankan setahun sekali, tetapi modal sosial yang harus dipelihara setiap hari. Perlu ditekankan perlunya penguatan literasi sosial-budaya, keterlibatan tokoh-tokoh desa yang visioner, dan keterbukaan masyarakat dalam menghadapi perbedaan. Baginya, kerukunan adalah proses yang berkelanjutan, yang tumbuh dari interaksi tulus antarwarga, dari musyawarah yang sehat, serta dari kesadaran bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan kekayaan bersama.
Di akhir sesi, para peserta tidak hanya membawa catatan, tetapi juga membawa pulang tantangan baru: menjadikan desa mereka bukan sekadar “desa sadar kerukunan” di atas kertas, tetapi desa yang benar-benar hidup dalam harmoni. masa depan Aceh sebagai provinsi percontohan kerukunan akan sangat ditentukan oleh sejauh mana masyarakatnya mau mengelola perbedaan sebagai kekuatan, bukan perpecahan.
Model Baru Kerukunan: Enam Skenario
Saya juga memperkenalkan enam skenario kerukunan desa yang memadukan analisis aktor, isu, agama, dan budaya:
-
Aktor Beragam, Pikiran Seragam? – ketika pluralitas aktor tidak diikuti kebebasan berpikir.
-
Aktor Sedikit, Punya Duit Melejit? – konsentrasi kekuatan pada segelintir orang berpengaruh.
-
Aktor Berkarisma, Masyarakat Menerima? – kepemimpinan karismatik yang diterima tanpa kritik.
-
Isu Dikembangkan, Masyarakat Dibuat Bimbang? – isu sosial dimanfaatkan untuk membingungkan publik.
-
Agama Jadi Komoditi, Masyarakat Jadi Pembeli? – komersialisasi agama yang mengikis nilai spiritual.
-
Budaya Dirayakan, Masyarakat Diabaikan? – selebrasi budaya tanpa dampak nyata pada kesejahteraan masyarakat.
Skenario ini menjadi alat analisis untuk melihat bagaimana harmoni sosial dapat terbangun atau justru terkikis di tingkat desa.
Pesan Kunci
Saya ingin menegaskan bahwa kerukunan harus dikelola sebagai modal sosial dan bukan sekadar slogan program pemerintah. Upaya ini memerlukan:
-
Penguatan literasi sosial-budaya di masyarakat.
-
Kolaborasi lintas aktor: pemerintah, tokoh agama, tokoh adat, pemuda, dan sektor swasta.
-
Peneguhan nilai agama dan budaya sebagai fondasi moral, bukan alat politik atau ekonomi.
Harapan ke Depan
Melalui evaluasi dan penguatan Desa Sadar Kerukunan, Kanwil Kemenag Aceh berharap setiap gampong mampu menjadi pusat harmoni sosial yang dapat menjadi model nasional. Dengan pengelolaan isu yang tepat, pemimpin lokal yang bijak, dan partisipasi aktif warga, Aceh diharapkan mampu menjadi provinsi percontohan kerukunan di Indonesia.