Subuh selalu menjadi momentum spiritual yang mendalam, apalagi ketika saf-saf dipenuhi oleh mahasiswa yang baru saja memulai perjalanannya di kampus UIN Ar-Raniry. Pada hari Ahad, 21 September 2025, suasana Masjid Fathun Qarib dipenuhi wajah-wajah muda yang menyimpan harapan dan sekaligus kegelisahan akan masa depan. Dalam kesempatan itu saya menyampaikan arahan pada Subuh Tarbawi yang bertepatan dengan pembukaan program Ma’had, sebuah program yang telah ditetapkan oleh Kementerian Agama sebagai wajib bagi seluruh mahasiswa UIN di Indonesia. Kehadiran Ma’had bukanlah kebijakan seremonial, melainkan sebuah langkah strategis untuk meneguhkan kembali identitas keislaman mahasiswa UIN setelah materi pengetahuan dan keterampilan keislaman tidak lagi menjadi syarat dalam tes masuk perguruan tinggi.
Saya ingin menekankan bahwa Ma’had di UIN Ar-Raniry adalah benteng yang menjaga ruh pendidikan Islam. Mahasiswa tidak cukup hanya ditempa oleh ilmu pengetahuan dalam kelas, melainkan harus memiliki dasar akhlak yang kokoh, kemampuan membaca Alquran yang mumpuni, serta keterampilan dalam menjalankan ibadah. Tanpa itu semua, gelar sarjana yang diraih akan kehilangan makna sejati. Saya sering katakan bahwa seorang sarjana yang tidak mampu membaca Alquran atau tidak menguasai tata cara ibadah yang benar bagaikan rumah megah tanpa pondasi. Intelektualisme Islam harus berdiri di atas ketakwaan, dan program Ma’had adalah instrumen yang dirancang untuk memastikan keseimbangan itu tetap terjaga.
Saya pun mengingatkan bahwa mahasiswa tidak boleh hanya pasif mengikuti jadwal yang ditentukan. Belajarlah secara mandiri, datangi halaqah-halaqah di masjid sekitar kampus, dan biasakan diri duduk bersama guru, ustaz, dan ulama. Mahasiswa yang bersungguh-sungguh akan mencari jalan untuk menambah ilmunya, bukan sekadar menunggu kelas dimulai. Keberhasilan mengikuti Ma’had bukan hanya diukur dari administrasi kelulusan, melainkan dari transformasi pribadi yang tampak pada akhlak, ibadah, dan kedisiplinan hidup. Karena itu saya tekankan dengan keras, setiap mahasiswa wajib lulus program Ma’had, sebab tanpa kelulusan itu perjalanan akademik mereka akan timpang.
Permasalahan lain yang saya soroti adalah pengelolaan waktu. Banyak mahasiswa yang menghabiskan malam di kafe dengan dalih mencari akses internet. Saya tidak melarang mahasiswa untuk memanfaatkan fasilitas yang ada, tetapi harus ada batasan yang jelas. Bila harus duduk di kafe, lakukanlah secukupnya dan pulang sebelum pukul sebelas malam. Pola hidup yang benar adalah tidur lebih awal dan bangun di waktu subuh, bukan begadang hingga larut malam dan bangun kesiangan. Tidur cepat bukan hanya sunnah Nabi, melainkan juga pola hidup sehat yang memberi energi untuk belajar lebih maksimal. Fenomena mahasiswi yang duduk di kafe hingga larut malam jauh lebih memprihatinkan. Hal itu bukan hanya persoalan pribadi, melainkan cermin kerusakan sosial yang sedang menggerogoti Aceh. Negeri yang seharusnya menjaga marwah perempuan kini diwarnai dengan perilaku yang merendahkan kehormatan mereka sendiri. Inilah tanda bahwa struktur sosial kita sedang rapuh, dan mahasiswa harus berhati-hati agar tidak terhanyut dalam arus yang merusak.
Saya juga mengingatkan tentang krisis kesehatan yang lahir dari gaya hidup buruk. Banyak pemuda Aceh yang gagal dalam tes masuk BUMN, perbankan, atau lembaga lain karena teridentifikasi mengidap penyakit lever. Salah satu penyebabnya adalah kebiasaan begadang dan pola hidup tidak sehat. Begadang tidak hanya merusak tubuh, tetapi juga mematikan semangat. Bila tubuh lemah, ilmu tidak akan masuk, dan produktivitas akan hilang. Lebih jauh lagi, Aceh saat ini juga menghadapi masalah sosial yang serius, mulai dari maraknya judi online, meningkatnya kasus HIV/AIDS, hingga fenomena anak muda yang semakin berani membuka aurat di ruang publik. Saya tegaskan bahwa membuka aurat memiliki konsekuensi dosa yang sama beratnya dengan meninggalkan shalat. Generasi muda harus memahami bahwa setiap pelanggaran moral membawa dampak spiritual, sosial, dan bahkan peradaban.
Mahasiswa juga tidak boleh melupakan amanah orang tua. Di balik setiap mahasiswa yang duduk di ruang kuliah ada seorang ayah yang berpeluh di ladang atau seorang ibu yang mengorbankan dirinya untuk membiayai pendidikan anaknya. Jangan sia-siakan pengorbanan itu. Jangan hancurkan kepercayaan mereka dengan perilaku sia-sia. Tetaplah hormati dan ta’zhim kepada orang tua, dengarkan perintahnya, dan wujudkan harapan mereka untuk melihat anaknya menyandang gelar sarjana. Usahakan lulus tepat waktu, karena menunda kelulusan hanya akan menambah beban mereka. Saya selalu percaya bahwa doa seorang ibu dan kerja keras seorang ayah adalah bahan bakar sejati bagi keberhasilan seorang mahasiswa.
Dari semua pesan itu, saya ingin mahasiswa menanamkan konsep qawiyun amin yang termaktub dalam Alquran, khususnya dalam Surah Al-Qashash ayat 26 dan Surah An-Naml ayat 39. Konsep ini menyatukan dua unsur yang saling melengkapi: kekuatan ilmu dan keterampilan di satu sisi, serta kejujuran, amanah, dan integritas di sisi lain. Seorang pemimpin masa depan harus memiliki keduanya. Tanpa kekuatan, ia tidak mampu membawa perubahan. Tanpa amanah, kekuatan itu akan berubah menjadi tirani. Krisis kepemimpinan yang kita hadapi hari ini adalah bukti hilangnya keseimbangan itu. Demonstrasi yang terjadi di Jakarta beberapa waktu lalu hanyalah gejala dari penyakit yang lebih dalam, yaitu krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin mereka. Karena itu mahasiswa harus menyiapkan diri sejak dini, agar ketika tiba waktunya memimpin, mereka benar-benar siap sebagai generasi qawiyun amin.
Namun saya juga sadar bahwa mahasiswa tidak bisa berjalan sendiri. Program Ma’had akan kehilangan kekuatan bila tidak didukung oleh pimpinan universitas. Karena itu saya menyerukan agar para dekan, wakil dekan, ketua prodi, dan sekretaris prodi ikut turun langsung memantau, mengevaluasi, dan memotivasi mahasiswa. Dukungan pimpinan bukan hanya sebatas tanda tangan pada kertas administrasi, melainkan keterlibatan nyata dalam proses pembinaan. Kehadiran seorang pimpinan di tengah mahasiswa akan memberi teladan yang lebih kuat daripada seribu kata motivasi.
Pada akhirnya, Subuh Tarbawi kali ini bukan hanya acara seremonial, tetapi sebuah peringatan bahwa mahasiswa adalah masa depan bangsa. Mereka adalah calon pemimpin, calon ulama, calon cendekiawan, dan calon profesional yang akan menggantikan generasi kami. Program Ma’had harus dilihat sebagai jalan menuju pembentukan generasi yang kuat, amanah, berilmu, dan berakhlak mulia. Generasi inilah yang akan mengangkat kembali martabat Aceh, menjaga identitas keislaman, dan menjawab tantangan global.
Saya berharap setiap mahasiswa benar-benar menghayati pesan ini. Jangan biarkan waktu berlalu sia-sia. Jangan hancurkan masa depan dengan gaya hidup yang salah. Jadikan Ma’had sebagai momentum untuk memperbaiki diri, mendalami agama, dan mempersiapkan diri menjadi generasi qawiyun amin yang dirindukan bangsa. Semoga Allah SWT memberi kekuatan kepada kita semua untuk menjalankan amanah besar ini.
Leave a Reply