
Pengantar: Saatnya Menata Ulang Pendidikan Akhlak di Tengah Disrupsi
Kita berada di era disrupsi, di mana nilai-nilai tradisional yang sebelumnya diperkuat oleh komunitas bertabrakan dengan gelombang informasi global. Pendidikan karakter dan akhlak Islami harus bertransformasi, mengadopsi pendekatan yang adaptif, relevan dengan konteks zaman, dan terintegrasi dalam ekosistem digital. Tantangan ini juga merupakan peluang untuk merancang strategi baru dalam pembentukan karakter Islami.
Dari Komunitas ke Konten: Perubahan Sumber Produksi Karakter
Dulu, karakter individu dibentuk melalui interaksi langsung dengan keluarga, tokoh agama, guru, dan lingkungan sekitar. Nilai-nilai ditanamkan melalui pengalaman nyata dan dialog personal. Namun kini, peran tersebut diambil alih oleh konten digital. Anak-anak dan remaja lebih sering belajar tentang etika dan perilaku dari platform seperti TikTok, YouTube, dan Instagram. Fenomena ini bukan sekadar pergeseran media, tetapi perubahan mendasar dalam bagaimana pengetahuan dan nilai-nilai disebarluaskan. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan baru untuk memastikan konten digital juga menjadi sarana pendidikan karakter.
Lahirnya Hyper Mind Connected Society dan Emotional Society
Masyarakat saat ini hidup dalam kondisi hiper-terkoneksi, di mana informasi dan emosi menyebar dengan cepat tanpa filter. Viralitas menjadi tolak ukur popularitas, bukan kedalaman ilmu atau pengalaman. Konsekuensinya, banyak figur publik yang muncul secara instan karena daya tarik emosional semata. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi lebih reaktif dan kurang reflektif. Pendidikan karakter harus mampu mengajarkan kecerdasan emosional dan kemampuan berpikir kritis agar tidak mudah terombang-ambing oleh arus informasi yang deras.
Lingkungan Digital dan Krisis Identitas Sosial
Lingkungan digital telah menjadi “dunia nyata” bagi generasi muda. Identitas mereka dibentuk bukan hanya dari pengalaman fisik, tetapi juga dari interaksi di ruang maya. Fenomena ini mengakibatkan munculnya “disorder society” dan “social hypocrisy,” di mana seseorang bisa menunjukkan citra yang sangat berbeda di dunia digital dibandingkan kehidupan sehari-hari. Krisis ini tidak bisa diatasi hanya dengan pelarangan teknologi. Sebaliknya, perlu ada strategi pengelolaan yang mengintegrasikan nilai-nilai Islami ke dalam kehidupan digital.
Strategi Menjawab Tantangan Lingkungan Baru (Diperluas dengan Contoh Nyata)
Menghadapi tantangan ini, ada empat strategi kunci:
Understanding (Memahami):
Memahami bagaimana algoritma bekerja dan bagaimana logika digital memengaruhi perilaku pengguna. Misalnya, memahami bagaimana algoritma YouTube merekomendasikan video berdasarkan histori tontonan pengguna. Guru dan orang tua dapat mengedukasi anak-anak bagaimana memilih konten yang bermanfaat, serta menghindari jebakan “infinite scroll” yang membuat waktu terbuang sia-sia
Classifying (Mengklasifikasikan):
Mampu membedakan konten positif yang mendukung pendidikan karakter dan konten negatif yang merusak nilai moral. Contohnya, sekolah dapat mengadakan program literasi digital dengan melibatkan siswa untuk mengidentifikasi konten yang menginspirasi, seperti ceramah religius, kisah inspiratif, atau tutorial berfaedah, serta membedakannya dengan konten yang mengandung hoaks atau kekerasan.
Explaining (Menjelaskan):
Menggunakan bahasa dan pendekatan yang relevan dengan budaya digital untuk menyampaikan ajaran Islam secara efektif. Sebagai contoh, seorang ustaz muda membuat video dakwah pendek di TikTok dengan gaya santai namun berisi pesan moral Islami yang kuat, sehingga mudah diterima oleh generasi muda. Pendekatan ini lebih efektif untuk menarik perhatian remaja dibanding ceramah formal yang kaku.
Engaging (Melibatkan):
Membangun komunitas digital yang aktif memproduksi dan menyebarkan konten positif. Contohnya adalah komunitas “Pemuda Hijrah” yang aktif di media sosial, mengajak anak muda untuk berbagi pengalaman spiritual mereka, membuat podcast tentang akhlak Islami, dan mengadakan webinar yang membahas tantangan moral di era digital. Komunitas ini menjadi wadah bagi anak muda untuk saling mendukung dalam mengamalkan nilai-nilai Islam.
Paradigma Baru: Rekayasa Sosial Islami
Rekayasa Sosial Islami bukan sekadar upaya menghidupkan kembali nilai-nilai lama, tetapi merupakan pendekatan sistematis untuk menyusun ulang struktur sosial berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Ini mencakup penggunaan teknologi, memanfaatkan figur publik yang relevan, dan mengintegrasikan isu-isu aktual untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pembentukan karakter Islami yang relevan dengan zaman.
Membangun Lingkungan Islami sebagai Lanskap Sosial
Pendidikan karakter tidak cukup dilakukan di ruang kelas atau majelis taklim. Nilai-nilai Islami harus tertanam dalam seluruh aspek kehidupan sosial, termasuk:
- Ritual: Aktivitas keagamaan yang memperkuat kebersamaan dan spiritualitas.
- Budaya: Tradisi lokal yang mengajarkan nilai-nilai kearifan.
- Ekonomi: Etika dalam bisnis dan konsumsi sehari-hari.
- Pendidikan: Baik formal maupun informal, semua menjadi bagian dari ekosistem pendidikan karakter.
Transformasi ini menuntut kolaborasi antara berbagai elemen masyarakat untuk memastikan pendidikan karakter menjadi gerakan kolektif.
Peran Strategis Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah memiliki peran penting sebagai fasilitator perubahan sosial Islami. Beberapa langkah strategis meliputi:
- Fasilitasi Dialog: Menyediakan ruang diskusi antara tokoh agama, influencer, pemuda, dan akademisi untuk merancang program yang relevan.
- Integrasi Program: Memasukkan pendidikan karakter dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
- Insentif Kreatif: Memberikan dukungan bagi para kreator konten Islami yang mempromosikan pesan moral positif di ruang digital.
Mewujudkan Masyarakat Islami Masa Depan
Dengan menerapkan strategi-strategi tersebut secara konsisten, kita bisa membangun masyarakat Islami yang tidak hanya mempertahankan nilai tradisional tetapi juga adaptif terhadap tantangan era digital. Masyarakat ini akan memiliki karakter religius yang kuat, berpikiran kritis terhadap arus informasi, dan siap menghadapi dinamika global.
Penutup: Dari Wacana ke Aksi Kebijakan
Presentasi ini bukan sekadar wacana ilmiah, melainkan ajakan untuk bertindak. Saatnya merumuskan kebijakan yang:
- Berakar pada nilai Islam yang otentik,
- Relevan dengan tantangan era digital,
• • Mampu merekayasa lanskap sosial untuk memproduksi karakter mulia.
Pendidikan karakter Islami bukan nostalgia masa lampau, melainkan strategi masa depan untuk membangun peradaban yang bermartabat.