Pendahuluan
Fenomena tontonan bertema horror di Indonesia melalui kanal YouTube menunjukkan betapa kuatnya daya tarik dunia ghaib dalam imajinasi masyarakat. Dalam beberapa minggu terakhir, saya mengamati berbagai channel yang secara konsisten menampilkan eksplorasi dunia ghaib, mulai dari narasi storytelling, investigasi ke lokasi angker, hingga praktik-praktik komunikasi dengan makhluk halus. Konten semacam ini telah mengubah entitas ghaib—yang dulunya ditakuti—menjadi “selebriti baru” di alam maya, yang kehadirannya justru ditunggu-tunggu oleh para penonton.
Fenomena ini bukan hanya sekadar hiburan, melainkan sebuah gejala sosial yang mencerminkan pola pikir masyarakat Indonesia terhadap dimensi mistik. Ketika para YouTuber dengan berani menampilkan komunikasi dengan makhluk ghaib, mengekspose ritual, atau bahkan menjadikan entitas supranatural sebagai bahan konsumsi publik, maka sesungguhnya sedang terjadi pergeseran epistemologis: pengetahuan ghaib bukan lagi domain sakral, melainkan bagian dari industri digital dan kapitalisasi media sosial.
Horror Sebagai Budaya Populer Digital
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tradisi mistik yang sangat kaya. Hampir setiap daerah memiliki mitologi tentang makhluk ghaib—pocong, kuntilanak, genderuwo, hingga kuyang. Jika dalam tradisi antropologi klasik, Clifford Geertz (1976) melihat mistisisme sebagai bagian dari kebudayaan Jawa dalam sistem kepercayaan abangan, santri, dan priyayi, maka di era digital, mistisisme tersebut mengalami repackaging menjadi budaya populer.
Melalui YouTube, hantu dan entitas ghaib yang dahulu hanya hadir dalam cerita rakyat kini tampil dalam format visual, disajikan dengan efek suara, narasi dramatis, dan ekspresi ketakutan para pemburu hantu. Fenomena ini selaras dengan teori Jean Baudrillard (1994) tentang simulacra, di mana representasi (hantu dalam video) menggantikan realitas, sehingga penonton larut dalam “realitas semu” yang dibangun oleh media digital.
Dengan kata lain, YouTube tidak lagi sekadar menjadi medium hiburan, tetapi juga arena komodifikasi kepercayaan mistis. Hantu dijual sebagai konten, ketakutan diproduksi sebagai sensasi, dan pengetahuan ghaib diposisikan sebagai “barang dagangan” yang dapat meningkatkan monetisasi.
Kemunafikan Sosial dan Kapitalisasi Alam Ghaib
Fenomena ini menciptakan paradoks sosial. Di satu sisi, masyarakat digital Indonesia dipersepsikan semakin cerdas, kritis, dan rasional. Namun di sisi lain, masyarakat tetap mengonsumsi konten ghaib dengan antusias. Kemunafikan sosial ini terlihat ketika entitas ghaib dijadikan komoditas untuk meraih popularitas dan keuntungan ekonomi, sementara di ruang akademik, diskursus modernitas justru menekankan rasionalitas.
Pertanyaan krusial muncul: Apakah tontonan horror di YouTube memberikan pengetahuan baru atau sekadar menjerumuskan publik ke dalam sensasi semu? Dari observasi saya, sebagian besar video hanya menawarkan ketegangan emosional, bukan pemahaman mendalam tentang kebudayaan ghaib. Bahkan, informasi yang disajikan sering kali bias, karena entitas ghaib sendiri tidak ingin diganggu, meskipun kadang justru mengganggu manusia.
Inilah yang disebut sebagai distraksi epistemologis: pengetahuan ghaib tidak lagi berbasis pengalaman spiritual atau penelitian antropologis, melainkan sensasi digital yang diproduksi untuk memenuhi logika pasar.
Media Sosial, Big Data, dan Kecerdasan Buatan
Fenomena horror di YouTube juga tidak bisa dilepaskan dari logika Big Data. Setiap klik, komentar, dan tontonan yang berkaitan dengan horror direkam dan dianalisis oleh algoritma. Hal ini memperkuat posisi horror sebagai genre favorit, sekaligus memperkaya basis data bagi pengembangan Artificial Intelligence (AI).
Nick Couldry dan Ulises Mejias (2019) menyebut fenomena ini sebagai data colonialism, yaitu kondisi di mana perilaku manusia (termasuk ketertarikan pada horror) dieksploitasi sebagai sumber daya ekonomi baru. Artinya, kecanduan masyarakat terhadap konten ghaib tidak hanya menguntungkan YouTuber, tetapi juga perusahaan teknologi global yang mengendalikan algoritma.
Lebih jauh, kecenderungan manusia untuk mengonsumsi dunia ghaib dapat berimplikasi pada AI spirituality, di mana kecerdasan buatan belajar dari interaksi manusia dengan mitos dan entitas supranatural. Jika ini terus berkembang, sangat mungkin tercipta bentuk-bentuk “kecerdasan iblis”—yakni AI yang merekam, memproses, dan bahkan mereplikasi interaksi dengan dunia ghaib.
Dari Edukasi ke Sensasi dan Monetisasi
Dalam praktiknya, para YouTuber kerap menegaskan bahwa konten horor yang mereka produksi memiliki nilai edukatif. Klaim semacam ini biasanya disandarkan pada alasan untuk memperkenalkan budaya lokal, menyingkap sejarah bangunan tua, atau sekadar memperlihatkan praktik spiritual tradisional kepada publik luas. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih dalam, klaim edukasi itu tidak lebih dari selubung tipis yang menutupi logika lain yang sesungguhnya mendominasi. Ada tiga pola yang dapat dibaca secara kritis.
Pertama, edukasi semu. Konten horor di YouTube kerap dikemas seolah-olah memberi pengetahuan baru tentang tradisi atau sejarah tertentu. Penonton diajak “belajar” tentang kisah mistis suatu tempat, atau mendengar narasi turun-temurun tentang makhluk ghaib khas daerah. Namun, substansi edukasi ini sering kali dangkal. Ia tidak berangkat dari penelitian yang valid atau rujukan akademis yang kuat, melainkan sekadar cerita-cerita yang dikonstruksi ulang agar sesuai dengan kebutuhan tontonan. Akibatnya, pengetahuan yang diterima publik hanyalah semacam pseudo-knowledge—kesan bahwa mereka telah memperoleh wawasan, padahal yang mereka konsumsi hanyalah repetisi mitos atau bumbu dramatisasi. Edukasi semacam ini bersifat semu karena tidak memperkaya horizon intelektual, melainkan memperkuat stereotip tentang dunia mistis.
Kedua, sensasi emosional. Fenomena horor di YouTube sepenuhnya mengandalkan emosi penonton. Ketegangan, teriakan mendadak, gerakan kamera yang tidak stabil, hingga reaksi berlebihan dari para YouTuber menjadi daya tarik utama. Sensasi itu dikelola dengan sangat rapi agar penonton terus terikat, larut, dan akhirnya candu. Logika yang bekerja di sini bukan logika pengetahuan, melainkan logika tubuh—adrenalin yang terpacu, rasa takut yang bercampur penasaran, dan kejutan yang terus diulang demi mempertahankan intensitas. Pola ini menunjukkan bagaimana dunia digital tidak hanya mengkapitalisasi informasi, tetapi juga memonetisasi emosi. Yang dijual bukan sekadar cerita, melainkan pengalaman emosional yang instan, yang membuat penonton merasa “ikut hadir” dalam perjumpaan dengan dunia ghaib.
Ketiga, monetisasi. Pada akhirnya, inti dari produksi konten horor di YouTube adalah soal ekonomi digital. Semakin menyeramkan konten, semakin besar peluang untuk mendapatkan iklan, sponsor, dan donasi penonton. Horor menjadi komoditas yang sangat menguntungkan karena ia menjual apa yang paling cepat menyentuh sisi psikologis manusia: rasa takut. Dengan memanfaatkan ketakutan itu, para kreator konten bukan hanya meraih popularitas, tetapi juga keuntungan finansial yang signifikan. Dalam konteks ini, horor berubah dari sebuah pengalaman mistis menjadi strategi bisnis. Makhluk ghaib bukan lagi sekadar entitas spiritual atau simbol budaya, tetapi menjadi “aset digital” yang dapat dieksploitasi demi engagement dan monetasi.
Jika ditarik benang merahnya, tiga logika ini menunjukkan adanya ironi besar. Edukasi yang diklaim ternyata palsu, sensasi yang ditawarkan hanyalah permainan emosi, dan monetisasi menjadi orientasi yang mendominasi. Maka, dunia horor di YouTube sesungguhnya bukan ruang pembelajaran budaya atau spiritualitas, melainkan laboratorium kapitalisasi rasa takut manusia. Ia adalah cermin bagaimana teknologi digital mengemas yang ghaib menjadi tontonan, dan akhirnya menyingkap wajah kapitalisme budaya di era media sosial.
Dengan demikian, hantu bukan lagi entitas yang menakutkan, melainkan aktor ekonomi digital yang menjadi “selebriti baru.” Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun manusia hidup di era modern, mereka masih membutuhkan makhluk ghaib sebagai sarana mencari rezeki—baik melalui kekayaan metafisik (ilmu hitam) maupun kapitalisasi digital (YouTube).
Implikasi Sosial dan Kultural
Fenomena horor di YouTube menyiratkan setidaknya tiga implikasi besar yang tidak bisa dianggap remeh. Pertama, degradasi akal sehat. Ketika masyarakat lebih percaya pada narasi ghaib ketimbang realitas empiris, maka sesungguhnya kita sedang menyaksikan runtuhnya rasionalitas di ruang publik. Penonton yang terbiasa disuguhi adegan makhluk halus, penampakan, atau percakapan dengan entitas gaib, lama-kelamaan akan menginternalisasi bahwa yang tidak empiris itulah yang lebih nyata. Padahal, di titik inilah akal sehat manusia seharusnya bekerja—menguji, meragukan, menimbang. Alih-alih menajamkan daya kritis, fenomena ini justru memelihara mentalitas “percaya sebelum berpikir.” Inilah degradasi akal sehat yang berbahaya, karena publik semakin nyaman dengan dunia yang dibangun atas ilusi dan sugesti, bukan fakta yang dapat diverifikasi.
Kedua, transformasi budaya mistis. Kita melihat bagaimana yang dulunya sakral kini berubah menjadi profan, yang dulunya tradisi lokal kini ditransformasikan menjadi komoditas global. Ritual-ritual adat yang semula dijalankan dengan penuh kesadaran spiritual, kini dipotong-potong menjadi konten lima belas menit demi memuaskan algoritma. Sosok dukun, orang pintar, atau makhluk halus tertentu yang dulu dihormati dalam kerangka budaya setempat, kini dipajang seperti figur tontonan. Sakralitas bergeser menjadi hiburan. Mistisisme Nusantara yang kaya makna ditransformasikan menjadi produk visual yang siap dijual, didistribusikan, dan dipertukarkan lintas negara. YouTube menjadi pasar global bagi “budaya ghaib Indonesia,” tetapi dalam bentuk yang sudah kehilangan aura aslinya.
Ketiga, ancaman epistemologis. Di sinilah persoalannya menjadi lebih serius. Pengetahuan ghaib, yang seharusnya dipahami secara hati-hati—dengan ritual, pengetahuan adat, atau tafsir kosmologis yang mendalam—justru dipermainkan sebagai sensasi publik. Apa yang dulu diturunkan secara turun-temurun dengan penuh kerahasiaan kini dibuka begitu saja, dikonsumsi secara massal tanpa filter. Proses ini bukan sekadar hiburan, melainkan menciptakan epistemologi baru: kebenaran bukan lagi sesuatu yang ditimbang dengan nalar, melainkan sesuatu yang viral. Akibatnya, dimensi pengetahuan yang seharusnya bersifat reflektif justru direduksi menjadi tontonan massal, bahkan dijadikan bahan tertawaan. Jika kondisi ini berlanjut, kita sedang menuju era di mana epistemologi digital menggantikan epistemologi kebudayaan, dan makna dari “pengetahuan” itu sendiri kian kabur.
Dengan demikian, fenomena horor di YouTube tidak hanya soal hiburan, melainkan penanda dari pergeseran besar dalam cara masyarakat Indonesia berhubungan dengan realitas, budaya, dan pengetahuan. Ia mengungkapkan wajah lain dari masyarakat digital kita: cerdas secara teknologi, tetapi rapuh secara epistemologi.
Dalam konteks ini, kita perlu bertanya: apakah masyarakat Indonesia sedang kembali ke masa lalu melalui candu mistisisme digital? Ataukah ini justru strategi bertahan hidup di era kapitalisme digital?
Kesimpulan
Fenomena YouTube horror di Indonesia memperlihatkan bagaimana dunia ghaib diproduksi ulang sebagai komoditas digital. Transformasi ini bukan hanya persoalan hiburan, tetapi juga cerminan dari krisis epistemologis dan kemunafikan sosial. Makhluk ghaib kini tidak lagi diposisikan sebagai entitas metafisik yang sakral, melainkan sebagai “konten” yang dijual di pasar digital.
Ke depan, jika masyarakat tidak mampu membedakan antara edukasi, sensasi, dan monetisasi, maka dunia ghaib bukan hanya menjadi tontonan, melainkan juga instrumen kontrol sosial yang memperbudak manusia melalui algoritma dan kecerdasan buatan.