Pendahuluan
Invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022 menjadi titik balik besar bagi tatanan dunia pasca-Perang Dingin. Keputusan Presiden Vladimir Putin melanggar Piagam PBB Pasal 2(4), memicu kecaman global yang dituangkan dalam Resolusi UN General Assembly ES-11/1.
Respon internasional membelah dunia menjadi tiga kubu: negara-negara yang mengecam Rusia (AS, Uni Eropa, Jepang, Australia), negara-negara yang netral atau menahan diri (India, Brasil, Afrika Selatan), dan negara-negara yang condong mendukung atau bekerja sama dengan Rusia (Iran, Korea Utara, sebagian negara Afrika).
Konflik ini menunjukkan bahwa globalisasi tidak menjamin stabilitas politik. Alih-alih menciptakan dunia yang saling terhubung dan damai, perang di Ukraina memicu kembalinya blok-blok geopolitik yang mengingatkan pada era Perang Dingin.
Selain itu, invasi ini mempercepat tren multipolaritas. Negara-negara non-Barat semakin aktif mencari aliansi baru di luar dominasi AS dan NATO. Tiongkok, India, dan Turki memainkan peran lebih besar dalam mediasi, perdagangan, dan militer.
Artikel ini membahas lima dimensi utama: sanksi ekonomi, kekuatan paramiliter, dilema strategis Tiongkok, biaya perang berkepanjangan, dan implikasinya terhadap tatanan dunia.
Sanksi Ekonomi dan Dampaknya terhadap Tatanan Global
Sanksi Barat terhadap Rusia adalah yang paling luas dalam sejarah modern. Uni Eropa melarang impor minyak mentah Rusia melalui laut, membatasi akses bank Rusia ke SWIFT, dan membekukan aset lebih dari 1.200 individu terkait Kremlin (European Council, 2023).
IMF (2023) mencatat PDB Rusia menyusut -2,1% pada 2022, meski pemulihan sebagian terjadi pada 2023 karena lonjakan ekspor energi ke Asia. Namun, efek jangka panjangnya adalah isolasi teknologi yang akan menghambat inovasi Rusia.
Sanksi memicu krisis energi global. Menurut International Energy Agency (IEA), harga gas Eropa melonjak lebih dari 400% pada puncaknya, memaksa industri mengurangi produksi. Pasar pangan global terganggu karena Ukraina adalah salah satu eksportir gandum dan jagung terbesar dunia (FAO, 2022).
Efek sanksi membentuk “ekonomi blok” baru. Negara-negara pro-Barat memperkuat perdagangan internal, sementara Rusia dan sekutunya membangun jaringan pembayaran alternatif seperti CIPS Tiongkok dan sistem kartu MIR. Bank Dunia (2023) memperingatkan bahwa fragmentasi ini dapat mengurangi pertumbuhan global hingga 5% dalam dua dekade.
Dari perspektif tatanan dunia, sanksi mempercepat pergeseran ke arah multipolar, di mana dominasi dolar AS mulai mendapat tantangan serius dari mata uang lain, terutama yuan Tiongkok.
Kekuatan Paramiliter dan Risiko Perang Berkepanjangan
Sejak 2015, pasca-aneksasi Krimea, CIA dan beberapa negara NATO mendukung pelatihan pasukan khusus Ukraina untuk melawan agresi Rusia (Yahoo News, 2022). Fokusnya adalah perang gerilya, sabotase infrastruktur, dan intelijen medan.
Kelompok paramiliter pro-Ukraina mendapat dukungan dari jaringan internasional yang memasok senjata canggih seperti Javelin dan HIMARS. Dukungan ini memungkinkan Ukraina bertahan melawan keunggulan artileri Rusia.
Sebaliknya, Rusia memanfaatkan kelompok bersenjata pro-Moskow di Donetsk dan Luhansk, serta kontraktor militer swasta seperti Wagner Group. Laporan Institute for the Study of War (2023) menunjukkan Wagner memimpin operasi kunci di Bakhmut.
Konflik yang melibatkan banyak aktor non-negara sering kali menjadi perang berkepanjangan. Pengalaman di Suriah dan Libya menunjukkan bahwa meski pertempuran utama berhenti, kekerasan dan ketidakstabilan dapat berlangsung bertahun-tahun.
Risiko bagi tatanan dunia adalah terciptanya “zona perang kronis” di Eropa Timur, yang dapat menjadi medan perang proksi bagi kekuatan besar selama dekade mendatang.
Dilema Strategis Tiongkok di Eropa
Tiongkok berusaha mempertahankan citra sebagai kekuatan damai melalui Belt and Road Initiative (BRI), namun hubungannya yang erat dengan Rusia memicu kecurigaan Barat. Presiden Xi Jinping mengunjungi Moskow pada Maret 2023, memperkuat persepsi aliansi strategis melawan AS (Brookings, 2023).
Meski menyerukan gencatan senjata, Beijing menolak mengecam Moskow secara terbuka. Sikap ini menghambat hubungan dagang dengan beberapa negara Eropa yang kini memperkuat kerja sama keamanan dengan AS. European Council on Foreign Relations (2023) mencatat penurunan minat investasi BRI di Eropa Barat sejak 2022.
Namun, perang ini juga memberi peluang bagi Beijing. Sanksi Barat terhadap Rusia membuka ruang bagi perusahaan Tiongkok untuk menguasai pasar energi dan teknologi Rusia. Rusia kini menjadi pemasok utama minyak dan gas ke Tiongkok, melampaui Arab Saudi (Reuters, 2023).
Dari sudut pandang tatanan global, Tiongkok memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat posisi dalam sistem internasional yang semakin multipolar, sekaligus menantang dominasi ekonomi AS dan Uni Eropa.
Risikonya, jika perang Ukraina mempererat aliansi Barat, Beijing dapat menghadapi hambatan besar dalam ekspansi pengaruhnya di Eropa.
Biaya Perang yang Berkepanjangan
Menurut SIPRI (2024), Rusia menghabiskan USD 300–400 juta per hari pada puncak operasi militer di Ukraina. Biaya ini mencakup persenjataan, logistik, gaji prajurit, dan perawatan peralatan.
Pengalaman perang di Afghanistan menunjukkan bahwa konflik panjang membebani keuangan negara, menggerus pertumbuhan ekonomi, dan memicu ketidakpuasan publik. Laporan Brown University’s Costs of War Project (2021) mencatat biaya AS di Afghanistan mencapai USD 2,3 triliun dalam 20 tahun.
Ukraina, di sisi lain, sangat bergantung pada bantuan asing. Bank Dunia (2023) melaporkan bahwa 55% anggaran pemerintah Ukraina 2022 dibiayai oleh bantuan internasional, terutama dari AS, UE, dan IMF.
Perang berkepanjangan juga memengaruhi politik domestik negara-negara pendukung Ukraina. Di Eropa, kenaikan harga energi memicu protes publik, sementara di AS, dukungan militer ke Kyiv menjadi isu politik dalam pemilu.
Bagi tatanan dunia, perang panjang di Ukraina mengalihkan perhatian dan sumber daya global dari isu-isu lain seperti perubahan iklim, kemiskinan, dan stabilitas kawasan lain.
Implikasi terhadap Tatanan Dunia
Perang Ukraina menandai percepatan transisi dari tatanan dunia unipolar yang dipimpin AS menuju multipolaritas. Negara-negara seperti Tiongkok, India, Turki, dan Brasil semakin berperan sebagai penyeimbang kekuatan global (CFR, 2023).
Konflik ini juga menguji efektivitas lembaga internasional. PBB terbukti sulit memaksa penghentian perang karena hak veto Rusia di Dewan Keamanan. Hal ini memicu wacana reformasi struktur PBB agar lebih representatif dan responsif.
Aliansi militer seperti NATO menunjukkan kebangkitan kembali relevansinya. Invasi Rusia mendorong Finlandia bergabung pada 2023, dan Swedia dalam proses bergabung, memperluas cakupan pertahanan kolektif di Eropa Utara.
Di sisi ekonomi, perang ini memperkuat tren “deglobalisasi” parsial, di mana perdagangan dan teknologi terbelah menjadi blok-blok yang bersaing. Persaingan ini menciptakan ketidakpastian baru bagi negara-negara berkembang.
Jika tidak dikelola melalui diplomasi multilateral, konflik Ukraina berpotensi menjadi titik awal “Perang Dingin Baru” yang akan membentuk politik, ekonomi, dan keamanan dunia selama puluhan tahun ke depan.
Daftar Pustaka
United Nations General Assembly. (2022). Resolution ES-11/1.
International Monetary Fund. (2023). World Economic Outlook: Navigating Global Fragmentation.
European Council. (2023). EU Sanctions against Russia.
International Energy Agency. (2023). Gas Market Report Q4.
Food and Agriculture Organization. (2022). The Importance of Ukraine and the Russian Federation for Global Agricultural Markets.
World Bank. (2023). Global Economic Prospects.
Institute for the Study of War. (2023). Russian Offensive Campaign Assessment.
European Council on Foreign Relations. (2023). China’s Position in the Ukraine War.
Reuters. (2023). China Becomes Russia’s Top Oil Buyer.
SIPRI. (2024). Trends in World Military Expenditure.
Brown University. (2021). Costs of War Project.
Council on Foreign Relations. (2023). Global Order in Transition.
Brookings Institution. (2022). China-Russia Strategic Alignment.