I. Pendahuluan
A. Latar Belakang: Dinamika Migrasi Tenaga Kerja di Asia Tenggara dan Munculnya Perkawinan Lintas Negara
Migrasi tenaga kerja di Asia Tenggara merupakan fenomena yang kompleks, didorong oleh disparitas ekonomi yang signifikan antara negara-negara pengirim dan negara-negara penerima. Destinasi seperti Hong Kong dan Malaysia telah menjadi magnet bagi jutaan pekerja dari negara-negara berkembang, yang mencari peluang ekonomi dan peningkatan kualitas hidup. Fenomena ini tidak hanya membentuk lanskap ekonomi regional tetapi juga memicu dinamika sosial dan demografi yang unik, termasuk munculnya tren perkawinan lintas negara di antara para pekerja migran.1
Di Hong Kong, mayoritas pekerja migran di sektor berketerampilan rendah terkonsentrasi pada pekerjaan rumah tangga. Pekerja domestik migran (MDWs) ini sebagian besar adalah perempuan, dengan lebih dari 150.000 pekerja rumah tangga Indonesia (IMDWs) yang mencakup lebih dari 95% dari total tersebut. Pada tahun 2005, sekitar 43,15% dari total “foreign domestic helpers” di Hong Kong berasal dari Indonesia.2 Pekerja-pekerja ini umumnya tinggal di rumah majikan, seringkali mengalami isolasi, dan hanya memiliki satu hari libur per minggu, yang membatasi interaksi sosial mereka.2
Sementara itu, di Malaysia, Indonesia juga menjadi negara sumber utama bagi ratusan ribu pekerja migran, dengan mayoritas perempuan bekerja di sektor non-formal, khususnya layanan domestik.1 Sebuah survei menunjukkan bahwa 35% pekerja domestik di Malaysia berasal dari Indonesia, dan 56% dari mereka sudah menikah.7 Di sisi lain, buruh migran dari Bangladesh di Malaysia umumnya adalah laki-laki yang bekerja di sektor berketerampilan rendah, seperti konstruksi atau manufaktur, dan dianggap sebagai pekerja transien. Mereka menghadapi berbagai pembatasan terkait status residensi, kesempatan kerja, dan hak untuk menikah.3 Penting untuk dicatat bahwa upaya Hong Kong untuk mengimpor pekerja dari Bangladesh dilaporkan telah gagal, yang secara signifikan membatasi kemungkinan terjadinya perkawinan antara buruh Indonesia dan Bangladesh di Hong Kong.5 Oleh karena itu, fokus utama analisis perkawinan lintas negara antara kedua kelompok ini kemungkinan besar terkonsentrasi di Malaysia.
Dalam konteks migrasi yang kompleks ini, tren perkawinan lintas negara muncul sebagai konsekuensi dari interaksi sosial yang intens, kebutuhan pribadi yang mendalam, dan kerangka regulasi yang ada di negara tujuan. Fenomena ini menghadirkan tantangan sosial, ekonomi, dan hukum yang unik, memerlukan analisis mendalam untuk memahami akar penyebab dan implikasinya.
B. Tujuan dan Pertanyaan Penelitian
Tujuan laporan ini adalah untuk menganalisis secara mendalam perkembangan perkawinan antara buruh migran Indonesia dan Bangladesh di Hong Kong dan Malaysia. Laporan ini berupaya memberikan pemahaman komprehensif mengenai dinamika di balik tren ini, mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat, serta mengevaluasi dampak yang ditimbulkan pada individu, keluarga, dan masyarakat.
Kajian ini berupaya menjawab serangkaian pertanyaan mengenai tren perkawinan lintas negara antara buruh migran Indonesia dan Bangladesh di Hong Kong serta Malaysia, dengan menelusuri bagaimana fenomena ini muncul, berkembang, dan dimaknai oleh para aktornya. Fokus analisis mencakup alasan terjadinya perkawinan, termasuk faktor psikologis seperti kesepian dan “cinta lokasi,” serta peran pihak-pihak yang memfasilitasi atau memengaruhi proses pernikahan, baik secara formal maupun informal. Kajian ini juga menyoroti siapa yang paling rentan atau menjadi “korban” dalam relasi perkawinan lintas negara, apakah pekerja migran yang menikah telah memiliki pasangan di negara asal, serta bagaimana respons pemerintah Hong Kong, Malaysia, Bangladesh, dan Indonesia terhadap fenomena tersebut. Pada akhirnya, penelitian ini menilai dampak jangka panjang dari tren perkawinan lintas negara bagi individu, keluarga, dan masyarakat, baik di negara asal maupun di negara tujuan.
C. Struktur Laporan
Studi ini akan terstruktur menjadi delapan bagian utama untuk memberikan analisis yang komprehensif. Dimulai dengan pendahuluan yang menguraikan latar belakang, tujuan, dan pertanyaan penelitian, laporan akan dilanjutkan dengan profil demografi pekerja migran dan gambaran umum tren perkawinan lintas negara. Bagian berikutnya akan membahas faktor-faktor pendorong dan motivasi di balik perkawinan ini, diikuti oleh analisis proses perkawinan dan aktor-aktor kunci yang terlibat. Dampak dan kerentanan yang dialami oleh para pekerja migran dan keluarga mereka akan dieksplorasi secara mendalam. Laporan kemudian akan menganalisis respons kebijakan dari pemerintah Hong Kong, Malaysia, Bangladesh, dan Indonesia, serta peran organisasi non-pemerintah (NGO). Bagian khusus akan menyajikan temuan-temuan unik dan implikasi jangka panjang dari fenomena ini, dan diakhiri dengan kesimpulan yang merangkum temuan utama dan rekomendasi kebijakan.
II. Profil Buruh Migran dan Tren Perkawinan Lintas Negara
A. Demografi dan Sektor Kerja Buruh Migran Indonesia di Hong Kong dan Malaysia
Hong Kong telah lama menjadi salah satu tujuan utama bagi pekerja rumah tangga migran (MDWs). Data menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 150.000 Pekerja Domestik Migran Indonesia (IMDWs) di Hong Kong, yang merupakan lebih dari 95% dari total pekerja domestik perempuan di sana.2 Pada tahun 2005, angka resmi menunjukkan bahwa 43,15% dari total “foreign domestic helpers” di Hong Kong berasal dari Indonesia, sementara Filipina menyumbang 53,11%.5 Jumlah pekerja domestik asing di Hong Kong terus meningkat, mencapai sekitar 330.000 pada Desember 2014, dengan mayoritas adalah perempuan.5 Pekerja ini umumnya diwajibkan untuk tinggal bersama majikan mereka ( live-in maids), yang seringkali menyebabkan isolasi dan membatasi interaksi sosial mereka di luar lingkungan kerja.2
Di Malaysia, Indonesia merupakan negara sumber utama bagi ratusan ribu pekerja migran, dengan mayoritas perempuan bekerja di sektor non-formal, khususnya layanan domestik.1 Survei menunjukkan bahwa 35% pekerja domestik di Malaysia berasal dari Indonesia. Menariknya, 56% dari responden pekerja domestik ini sudah menikah, menunjukkan bahwa banyak dari mereka meninggalkan pasangan di negara asal.7
B. Demografi dan Sektor Kerja Buruh Migran Bangladesh di Malaysia
Buruh migran dari Bangladesh di Malaysia umumnya adalah laki-laki yang bekerja di sektor berketerampilan rendah, seperti konstruksi atau manufaktur.3 Mereka seringkali dianggap sebagai pekerja transien dan menghadapi berbagai pembatasan terkait status residensi, kesempatan kerja, serta hak untuk menikah di negara tujuan.3 Penting untuk dicatat bahwa upaya Hong Kong untuk mengimpor pekerja dari Bangladesh dilaporkan telah gagal.5 Hal ini mengindikasikan bahwa interaksi dan perkawinan lintas negara antara buruh Indonesia dan Bangladesh kemungkinan besar terkonsentrasi di Malaysia, di mana kedua kelompok ini memiliki kehadiran populasi yang signifikan, meskipun di sektor kerja yang berbeda.
C. Gambaran Umum Tren Perkawinan Lintas Negara: Kemunculan dan Perkembangan
Fenomena migrasi perempuan secara mandiri, tanpa didampingi suami atau keluarga, telah menjadi karakteristik yang mengakar dalam pola migrasi di abad ke-21.2 Berbeda dengan pola migrasi tradisional di mana perempuan seringkali bermigrasi untuk bergabung dengan suami atau ayah mereka, kini semakin banyak perempuan yang bermigrasi secara independen untuk mencari pekerjaan.2 Pergeseran ini telah mengubah dinamika sosial di negara-negara tujuan.
Perkawinan lintas negara telah menjadi “norma” dalam dunia yang semakin mengglobal saat ini.10 Fenomena ini didorong oleh berbagai faktor, termasuk kebutuhan pribadi, kondisi di negara tujuan, dan interaksi yang meningkat antara individu dari berbagai kebangsaan.
Pergeseran Demografi Migrasi Mendorong Perkawinan Lintas Negara. Secara historis, migrasi perempuan seringkali merupakan bentuk migrasi keluarga, di mana perempuan bergabung dengan suami atau ayah mereka di negara tujuan.2 Namun, data menunjukkan adanya “feminisasi migrasi” yang signifikan, di mana perempuan kini bermigrasi secara mandiri untuk mencari pekerjaan.2 Di Hong Kong dan Malaysia, mayoritas pekerja domestik adalah perempuan Indonesia.5 Di sisi lain, pekerja Bangladesh di Malaysia didominasi oleh laki-laki.3 Ketidakseimbangan gender yang mencolok dalam arus migrasi ke negara-negara tujuan ini menciptakan lingkungan di mana interaksi antara pekerja migran dari berbagai kebangsaan menjadi lebih sering dan intens. Kesenjangan demografi ini secara langsung memfasilitasi dan mendorong munculnya tren perkawinan lintas negara, karena individu mencari pasangan dari kumpulan yang tersedia di lingkungan kerja dan sosial mereka, yang seringkali merupakan individu dari kebangsaan lain.
Munculnya “Pasar Pernikahan Migran” Informal sebagai Respons Adaptif. Mengingat adanya kesenjangan gender dalam populasi pekerja migran di Malaysia (perempuan Indonesia di sektor domestik dan laki-laki Bangladesh di sektor lain), dan adanya pembatasan hukum yang ketat terhadap pernikahan formal bagi pekerja migran berketerampilan rendah 11, kebutuhan fundamental akan hubungan intim dan pembentukan keluarga tidak hilang. Kesenjangan antara kebutuhan sosial-emosional yang mendalam dan kerangka hukum yang membatasi ini secara tidak langsung menciptakan “pasar” informal untuk perjodohan dan pernikahan. Pekerja migran, dalam upaya mencari koneksi dan stabilitas di lingkungan yang asing dan seringkali keras, terpaksa mencari jalur alternatif yang seringkali tidak tercatat secara resmi, seperti pernikahan siri. Ini adalah bentuk adaptasi terhadap kondisi migrasi yang menantang dan kebijakan yang membatasi, meskipun pilihan ini seringkali membawa risiko hukum dan sosial yang tinggi.
Berikut adalah perkiraan jumlah buruh migran Indonesia dan Bangladesh di Hong Kong dan Malaysia, berdasarkan data yang tersedia:
Tabel 1: Perkiraan Jumlah Buruh Migran Indonesia dan Bangladesh di Hong Kong dan Malaysia
Kategori Pekerja Migran | Lokasi | Perkiraan Jumlah / Persentase | Sumber Data | Catatan Penting |
Pekerja Domestik Asing (Total) | Hong Kong | 400.000 (2019) | 5 | Mayoritas perempuan (98.5%) |
Pekerja Domestik Indonesia | Hong Kong | 140.720 (2010), 140.057 (2021) | 5 | Lebih dari 95% perempuan 2 |
Pekerja Migran Indonesia (Total) | Malaysia | Ratusan ribu (sumber utama) | 1 | Mayoritas perempuan di sektor non-formal 1 |
Pekerja Domestik Indonesia (Survei) | Malaysia | 35% dari total responden pekerja domestik (survei), 56% sudah menikah | 7 | Survei 310 pekerja domestik, sebagian besar perempuan |
Pekerja Migran Bangladesh | Malaysia | Populasi laki-laki dominan di sektor berketerampilan rendah | 3 | Upaya Hong Kong mengimpor pekerja Bangladesh gagal 5 |
Tabel ini memberikan gambaran kuantitatif yang jelas mengenai skala populasi migran yang relevan di kedua yurisdiksi. Hal ini membantu pembaca memahami basis demografi di mana tren perkawinan lintas negara ini terjadi. Data ini juga secara visual mendukung argumen tentang konsentrasi demografi perempuan Indonesia di sektor domestik dan laki-laki Bangladesh di sektor lain di Malaysia, yang kemudian mengarahkan fokus analisis perkawinan lintas negara antara kedua kelompok ini ke Malaysia.
III. Mengapa Perkawinan Lintas Negara Terjadi? Faktor Pendorong dan Motivasi
A. Dimensi Psikologis dan Sosial: Kesepian, Kebutuhan Emosional, dan “Cinta Lokasi”
Kondisi kerja dan hidup yang dihadapi oleh pekerja migran di negara tujuan seringkali sangat mengisolasi. Pekerja domestik, khususnya di Hong Kong, sebagian besar terisolasi di dalam rumah majikan mereka, dengan waktu istirahat yang sangat terbatas, terkadang hanya satu hari per minggu.2 Lingkungan yang terkurung ini, ditambah dengan hambatan bahasa, dapat secara signifikan mengisolasi mereka dari masyarakat luas dan membatasi kemampuan mereka untuk membangun jaringan sosial yang kuat.9 Kondisi seperti ini dapat menyebabkan tingkat kesepian yang tinggi di kalangan pekerja migran.13
Dalam menghadapi isolasi dan keterbatasan interaksi sosial, pekerja migran, yang jauh dari keluarga dan dukungan sosial di negara asal, mencari hubungan intim dan dukungan emosional di negara tujuan.10 Kebutuhan untuk membentuk keluarga baru atau menemukan pasangan menjadi sangat kuat dalam kondisi isolasi ini, sebagai mekanisme untuk mengatasi kesepian dan mencari stabilitas emosional.16 Fenomena “cinta lokasi” atau “love in place” seringkali muncul dalam konteks ini. Studi menunjukkan adanya pembentukan hubungan intim, baik homoseksual maupun heteroseksual, antara perempuan migran Indonesia dengan laki-laki lokal atau asing di Hong Kong.15 Pekerja migran perempuan berusia antara 17 hingga 25 tahun terlibat dalam hubungan ini, yang didorong oleh kebutuhan akan keintiman dan dukungan emosional yang mendalam.15
Kesenjangan Kebutuhan Emosional sebagai Katalisator Hubungan Lintas Negara. Kondisi kerja yang mengisolasi, jauh dari jaringan dukungan keluarga dan sosial di negara asal 2, menciptakan kekosongan emosional dan psikologis yang signifikan bagi pekerja migran. Manusia memiliki kebutuhan dasar akan koneksi, keintiman, dan dukungan. Dalam lingkungan yang asing dan seringkali menekan, pencarian hubungan ini menjadi prioritas untuk menjaga kesehatan mental dan kesejahteraan. Oleh karena itu, “cinta lokasi” atau pembentukan hubungan intim dengan individu dari kebangsaan lain yang berada di lingkungan yang sama, dapat dipahami sebagai respons adaptif terhadap kesepian dan kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi. Ini bukan semata-mata romansa, tetapi juga mekanisme coping yang penting yang memungkinkan individu untuk menemukan stabilitas dan dukungan di tengah ketidakpastian.
B. Dimensi Ekonomi dan Mobilitas Sosial
Bagi pekerja migran Bangladesh di Malaysia, perkawinan dengan perempuan Malaysia, terutama yang beragama Islam (Melayu-Muslim), dapat menjadi jalur strategis untuk memperoleh stabilitas finansial dan prospek masa depan yang lebih baik.3 Pekerja migran laki-laki Bangladesh seringkali menghadapi pembatasan ketat terkait status residensi dan kesempatan kerja sebagai pekerja berketerampilan rendah.3 Dalam konteks ini, pernikahan dapat membuka pintu bagi mereka untuk mendirikan usaha kecil dan bahkan berpotensi mendapatkan residensi permanen, yang pada gilirannya meningkatkan mobilitas sosial mereka.3 Beberapa perempuan Malaysia juga memilih menikah dengan laki-laki Bangladesh karena prospek keamanan finansial yang ditawarkan, meskipun ada stigma sosial atau stereotip negatif yang harus dihadapi dari masyarakat lokal.3
Kesamaan agama (Islam) antara mayoritas pekerja migran Bangladesh dan mayoritas Melayu-Muslim di Malaysia memainkan peran krusial dalam memfasilitasi hubungan dan perkawinan. Kongruensi agama ini membantu pekerja migran Bangladesh mengatasi pembatasan hukum dan stereotip rasial, serta memfasilitasi penerimaan sosial yang lebih besar dalam masyarakat Malaysia.3 Hal ini memungkinkan mereka untuk menavigasi hambatan yang mungkin tidak dapat diatasi oleh pekerja migran dari latar belakang agama lain.
Perkawinan sebagai Strategi Mobilitas Sosial dan Legalitas yang Direkayasa. Pekerja migran, khususnya laki-laki Bangladesh di Malaysia, menghadapi pembatasan ketat terkait status residensi dan kesempatan kerja.3 Dalam konteks ini, perkawinan dengan warga negara lokal (Malaysia) berubah menjadi lebih dari sekadar ikatan personal; ia menjadi alat instrumental atau “strategi yang direkayasa” untuk memperoleh status hukum yang lebih stabil (misalnya, Long Term Social Visit Pass, izin kerja) dan akses ke kesempatan ekonomi (misalnya, mendirikan bisnis) yang tidak tersedia bagi pekerja migran dengan visa kerja biasa.3 Hal ini menyoroti bagaimana individu memanfaatkan celah dalam sistem migrasi untuk meningkatkan kualitas hidup mereka, meskipun dengan risiko sosial dan hukum tertentu. Pernikahan ini menjadi jembatan bagi mobilitas sosial dan legalitas yang sulit dicapai melalui jalur migrasi tenaga kerja konvensional.
C. Dinamika Hubungan Transnasional dan Peran Media Sosial
Pekerja migran modern tetap terhubung secara mendalam dengan keluarga dan negara asal mereka melalui berbagai platform media sosial seperti Facebook, KakaoTalk, LINE, dan Viber.20 Konektivitas digital ini secara signifikan mengurangi dampak jarak fisik dan memberikan stabilitas psikologis yang krusial bagi individu yang jauh dari rumah.20 Media sosial memungkinkan mereka untuk mempertahankan ikatan keluarga, memantau perkembangan anak-anak, dan memberikan dukungan emosional dari jarak jauh, yang sangat penting untuk menjaga kesejahteraan mental mereka.
Media sosial tidak hanya berfungsi sebagai saluran komunikasi, tetapi juga sebagai outlet emosional, membantu menjaga peran keibuan transnasional, dan memungkinkan pembentukan jaringan sosial yang kuat di antara komunitas migran.20 Jaringan ini dapat mengurangi stigma sosial dan meningkatkan resiliensi migran dalam menghadapi tantangan di negara tujuan. Pekerja migran menggunakan platform ini untuk berbagi pengalaman, mencari nasihat, dan mengorganisir dukungan kolektif, terutama dalam menghadapi kondisi kerja yang sulit atau eksploitasi.
Dualitas Media Sosial: Jembatan Konektivitas dan Gerbang Kerentanan Baru. Meskipun media sosial jelas berperan sebagai jembatan yang vital untuk konektivitas dan dukungan emosional bagi pekerja migran 20, penting untuk melihat sisi lain dari penggunaan platform ini. Dalam konteks pernikahan lintas negara, terutama yang tidak tercatat (siri), penggunaan media sosial juga dapat menciptakan kerentanan baru. Informasi pribadi yang dibagikan secara
online dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti agen ilegal atau penghulu palsu yang memfasilitasi pernikahan siri. Lebih jauh, jejak digital dari hubungan atau pernikahan di negara tujuan dapat menjadi bukti bigami jika pekerja migran sudah memiliki pasangan di negara asal, yang berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum yang serius di negara asal maupun negara tujuan. Ini menunjukkan bahwa media sosial, meskipun memberdayakan dan memfasilitasi koneksi, juga membuka pintu bagi risiko dan komplikasi yang tidak terduga, menambah lapisan kompleksitas pada kehidupan pekerja migran.
IV. Proses Perkawinan dan Aktor-Aktor Kunci
A. Jalur Perkawinan Formal: Persyaratan dan Prosedur Hukum di Hong Kong dan Malaysia
Di Hong Kong, hukum pernikahan relatif lugas dan terbuka bagi warga negara asing. Usia minimum untuk menikah adalah 16 tahun, dan tidak ada persyaratan residensi atau kewarganegaraan bagi pihak yang akan menikah.24 Calon pengantin harus memberikan pemberitahuan pernikahan kepada kantor pendaftaran, yang kemudian akan dipajang selama 15 hari. Pernikahan harus dilangsungkan dalam waktu tiga bulan sejak pemberitahuan diberikan.25 Jika salah satu pihak berusia antara 16-21 tahun dan belum pernah menikah, diperlukan persetujuan tertulis dari orang tua atau wali, yang harus disahkan oleh Notaris Publik jika orang tua/wali tidak berada di Hong Kong.25 Bagi pasangan warga negara asing, dimungkinkan untuk mengajukan visa tanggungan jika ada bukti hubungan yang sah dan sponsor (pasangan warga negara Hong Kong atau penduduk tetap) dapat memberikan dukungan finansial dan akomodasi yang memadai.26 Visa tanggungan ini juga memungkinkan pasangan untuk bekerja di Hong Kong setelah mendapatkan persetujuan.26
Di Malaysia, proses pernikahan berbeda untuk Muslim dan non-Muslim. Pernikahan harus terdaftar di Departemen Pendaftaran Nasional (untuk non-Muslim) atau Departemen Agama Islam (untuk Muslim) agar diakui secara hukum.29 Orang asing yang ingin menikah di Malaysia mungkin diwajibkan untuk menyiapkan Affidavit of Single Status yang disumpah di kedutaan negara asal mereka, yang kemudian harus diautentikasi oleh Kementerian Luar Negeri Malaysia.29 Calon pengantin harus tinggal di Malaysia setidaknya 7 hari sebelum mengajukan permohonan, dan ada masa tunggu minimal 21 hari setelah pengajuan permohonan pertama, tetapi tidak lebih dari 6 bulan.29 Dua saksi berusia di atas 21 tahun juga diperlukan untuk memfinalisasi pernikahan.29
B. Fenomena Perkawinan Tidak Tercatat (Siri) di Malaysia
Alasan di Balik Pilihan Pernikahan Siri. Regulasi pemerintah Malaysia secara eksplisit melarang pekerja migran yang memegang visa kerja sementara (PLKS – Pass Kerja Lawatan Sementara) untuk menikah secara legal di Malaysia, baik dengan sesama pekerja migran maupun dengan warga negara lokal.11 Undang-Undang Imigrasi Malaysia 1959/1963, bagian 8 (3) poin 15, menyatakan bahwa ada larangan bagi pekerja migran yang bekerja di Malaysia untuk menikah.11 Pelanggaran aturan ini dapat mengakibatkan pemutusan kontrak kerja dan deportasi.11 Bagi pekerja migran ilegal, pernikahan resmi tentu saja tidak mungkin dilakukan karena status mereka yang tidak sah.11 Kondisi hukum yang membatasi ini secara langsung mendorong pekerja migran untuk memilih “pernikahan siri” (pernikahan yang sah secara agama tetapi tidak tercatat secara negara) sebagai satu-satunya cara untuk melegitimasi hubungan mereka di mata agama dan sosial.11
Aktor yang Memfasilitasi Pernikahan Siri. Pernikahan siri seringkali difasilitasi oleh “penghulu” informal. Mereka adalah sesama pekerja Indonesia di Malaysia, sebagian besar berasal dari Madura dan Aceh, yang dianggap memiliki pengetahuan agama yang cukup atau pernah belajar di pesantren.30 Selain itu, terdapat juga laporan mengenai agen perjalanan ilegal yang menjual sertifikat pernikahan palsu, yang semakin memperumit masalah legalitas dan membuka peluang penipuan.30
Regulasi Migrasi yang Kaku Mendorong “Pasar Gelap” Pernikahan dan Komplikasi Hukum. Kebijakan migrasi Malaysia yang melarang pekerja berketerampilan rendah untuk menikah secara legal 11 menciptakan celah signifikan antara kebutuhan sosial-emosional pekerja migran untuk membentuk keluarga dan kerangka hukum yang ada. Kesenjangan ini secara langsung memicu munculnya praktik pernikahan siri, yang meskipun sah secara agama bagi banyak Muslim, tidak memberikan perlindungan hukum atau pengakuan sipil. Hal ini juga mendorong munculnya aktor-aktor informal, seperti penghulu tidak resmi dan agen ilegal, yang memfasilitasi pernikahan tersebut. Akibatnya, kebijakan yang dirancang untuk mencegah pemukiman jangka panjang secara tidak sengaja menciptakan masalah hukum dan sosial yang lebih kompleks, termasuk kesulitan dalam mendaftarkan anak dan isu bigami. Kondisi ini menunjukkan bahwa regulasi yang terlalu kaku tanpa mempertimbangkan realitas sosial dapat memicu munculnya praktik ilegal dengan konsekuensi yang merugikan.
C. Kisah-kisah Konkret: Narasi Pengalaman Buruh Migran dalam Perkawinan Lintas Negara
Laporan dari organisasi seperti Amnesty International dan ILO menyajikan kisah-kisah konkret pekerja migran Indonesia di Hong Kong dan Malaysia yang mengalami berbagai bentuk eksploitasi dan pelanggaran hak. Ini termasuk penipuan terkait janji kerja dan gaji, pemotongan gaji ilegal, jam kerja yang berlebihan tanpa istirahat, penyitaan paspor, dan kekerasan fisik maupun verbal oleh majikan.5 Beberapa pekerja bahkan mengalami trauma mendalam akibat perlakuan kejam yang mereka terima.32 Misalnya, beberapa pekerja melaporkan bahwa agen menipu mereka tentang gaji dan biaya, memaksa mereka menandatangani perjanjian pinjaman palsu, dan menyita paspor mereka untuk mencegah mereka melarikan diri atau mengajukan keluhan.5
Terdapat juga narasi tentang perempuan Malaysia yang memilih menikah dengan laki-laki Bangladesh. Motivasi mereka bervariasi, dari pencarian keamanan ekonomi hingga kebutuhan akan perhatian dan kasih sayang yang tidak mereka temukan dari pasangan lokal, meskipun mereka harus menghadapi tantangan sosial dan stereotip negatif dari masyarakat.3 Beberapa perempuan melaporkan bahwa mereka merasa “tervindikasi” oleh keberhasilan pernikahan dan bisnis mereka, meskipun awalnya diremehkan oleh orang lain karena memilih pasangan asing.3
Kasus-kasus pekerja domestik di Hong Kong yang melahirkan bayi tanpa status pernikahan sah juga mencerminkan realitas hubungan intim di luar kerangka formal, seringkali dalam kondisi yang rentan.14 Kisah-kisah ini menyoroti kompleksitas kehidupan emosional dan sosial pekerja migran yang jauh dari rumah, di mana kebutuhan akan keintiman dapat berujung pada konsekuensi yang tidak terduga dan sulit.
Narasi Individu Menyingkap Lapisan Kerentanan dan Agensi yang Tersembunyi. Data statistik dan kerangka kebijakan seringkali hanya memberikan gambaran makro dan abstrak tentang fenomena migrasi. Namun, kisah-kisah konkret dari pekerja migran 3 sangat penting karena mereka menyingkap realitas pengalaman individu yang kompleks dan multifaset. Narasi ini menunjukkan bahwa di balik tren makro, ada keputusan personal yang didorong oleh kombinasi kebutuhan ekonomi, emosional, dan adaptasi terhadap lingkungan yang keras dan seringkali tidak adil. Kisah-kisah ini juga menyoroti agensi (kemampuan bertindak) pekerja migran dalam mencari solusi, meskipun berisiko, untuk kondisi mereka, seperti memilih pernikahan siri atau menjalin hubungan di tengah isolasi. Hal ini menunjukkan ketahanan dan kreativitas mereka dalam menghadapi tantangan sistemik, meskipun seringkali dengan konsekuensi yang tidak diinginkan dan kerentanan yang lebih dalam.
V. Dampak dan Kerentanan: Siapa yang Menjadi Korban?
A. Status Perkawinan di Negara Asal: Isu Bigami, Poligami, dan Poliandri
Pernikahan kedua yang dilakukan oleh pekerja migran di negara tujuan, terutama melalui jalur siri (tidak tercatat secara resmi), dapat menimbulkan masalah bigami (memiliki dua pasangan sah secara bersamaan) atau poliandri (bagi perempuan) jika mereka sudah memiliki pasangan sah di negara asal. Kondisi ini seringkali terjadi karena kurangnya verifikasi status pernikahan sebelumnya atau karena pekerja migran sengaja menyembunyikan status mereka.
Di Hong Kong, bigami merupakan pelanggaran pidana serius yang dapat dihukum hingga 7 tahun penjara.35 Pernikahan yang bigami juga dinyatakan batal demi hukum (void) dan dapat memengaruhi status imigrasi serta hak-hak lain seperti tunjangan.35 Kasus-kasus di pengadilan Hong Kong menunjukkan bahwa meskipun pernikahan dinyatakan batal, konsekuensi hukumnya bisa sangat rumit, terutama terkait dengan masalah imigrasi, tunjangan, dan warisan.36
Praktik pernikahan siri di Malaysia, karena sifatnya yang tidak tercatat secara resmi, sangat rentan terhadap kasus bigami atau poliandri, terutama karena tidak ada mekanisme verifikasi status pernikahan sebelumnya yang efektif.11 Pekerja migran, baik yang legal maupun ilegal, memilih pernikahan siri karena regulasi Malaysia melarang mereka menikah secara resmi, sehingga mereka tidak dapat mendaftarkan pernikahan mereka di kedutaan atau konsulat Indonesia.11 Ini membuka celah bagi individu untuk melakukan pernikahan ganda tanpa konsekuensi hukum langsung di Malaysia, tetapi menciptakan masalah besar jika status pernikahan mereka di negara asal terungkap.
Konflik Hukum Transnasional dan “Hantu” Pernikahan Ganda. Perbedaan dan ketidakselarasan antara hukum pernikahan di negara asal (Indonesia/Bangladesh) dan negara tujuan (Hong Kong/Malaysia) menciptakan “zona konflik” hukum. Jika seorang pekerja migran sudah menikah di negara asalnya dan kemudian menikah lagi di negara tujuan (terutama secara siri karena pembatasan hukum), ini menciptakan “hantu” bigami/poliandri. Konsekuensi hukumnya sangat serius, tidak hanya bagi individu yang melakukan bigami (potensi penjara, deportasi, dan hilangnya hak-hak tertentu), tetapi juga bagi pihak yang tidak sadar akan status pernikahan ganda pasangannya. Situasi ini menyoroti perlunya harmonisasi hukum atau setidaknya mekanisme verifikasi status pernikahan yang lebih ketat untuk mencegah kerentanan ini dan melindungi semua pihak yang terlibat.
B. Eksploitasi dan Pelanggaran Hak
Pekerja migran sangat rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi dan pelanggaran hak oleh agen perekrutan dan majikan. Ini termasuk penipuan terkait janji kerja dan gaji, pemotongan gaji ilegal, jam kerja yang berlebihan tanpa istirahat, penyitaan paspor, dan kekerasan fisik maupun verbal.1 Banyak pekerja yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang hukum dan hak-hak mereka, sehingga mudah menjadi korban agen yang tidak bermoral.5 Utang yang mereka tanggung untuk mendapatkan pekerjaan di luar negeri dapat mengunci mereka dalam siklus penyalahgunaan dan eksploitasi.5
Di Malaysia, kebijakan yang mengikat visa kerja pekerja domestik dengan majikan mereka membuat pekerja terjebak dalam situasi eksploitatif. Melarikan diri dari majikan yang abusif berarti kehilangan status imigrasi yang sah, membuat mereka rentan terhadap penangkapan dan deportasi.34 Kurangnya perlindungan hukum yang setara bagi pekerja domestik di Malaysia, dengan jam kerja, pembayaran lembur, dan hari libur yang tidak diatur secara memadai, semakin memperparah kerentanan ini.34
Perkawinan Lintas Negara Memperparah Lingkaran Eksploitasi yang Sudah Ada. Meskipun eksploitasi adalah risiko inheren dalam migrasi tenaga kerja, terutama di sektor-sektor yang kurang diatur seperti pekerjaan domestik 1, pernikahan lintas negara, terutama yang tidak tercatat secara resmi (siri), dapat memperdalam kerentanan pekerja migran. Ketika pernikahan tidak memiliki dasar hukum yang kuat di negara tujuan, pekerja migran kehilangan akses terhadap perlindungan hukum yang mungkin ada untuk pernikahan resmi. Hal ini membuat mereka lebih mudah dieksploitasi, tidak hanya oleh majikan atau agen, tetapi juga oleh pasangan atau pihak ketiga yang mengetahui status rentan mereka. Ketiadaan status hukum yang jelas juga mempersulit mereka untuk mencari keadilan atau dukungan dari pemerintah atau lembaga perlindungan, sehingga memperpanjang lingkaran eksploitasi yang sudah ada.
C. Dampak pada Anak-anak dan Keluarga: Tantangan Legalitas dan Hak
Salah satu dampak paling serius dari pernikahan siri adalah pada anak-anak yang lahir dari ikatan tersebut. Karena pernikahan orang tua mereka tidak tercatat secara resmi, anak-anak ini menghadapi kesulitan besar dalam mendapatkan dokumen resmi seperti akta kelahiran, kartu identitas, dan paspor.11 Akibatnya, status hukum mereka menjadi tidak jelas, dan akses mereka terhadap hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan kewarganegaraan terancam. Mereka mungkin tidak dapat mendaftar sekolah, mengakses layanan kesehatan formal, atau bepergian secara legal.
Pemerintah Indonesia menghadapi dilema dalam menanggapi situasi ini. Di satu sisi, mengakui dan melegalkan pernikahan siri berarti pemerintah harus menanggung biaya penyediaan fasilitas sosial bagi anak-anak tersebut, yang bisa menjadi beban finansial. Di sisi lain, tidak mengakui pernikahan tersebut berarti mengabaikan hak-hak dasar warga negara yang rentan, yang bertentangan dengan prinsip perlindungan warga negara.11 Dilema ini mencerminkan kompleksitas dalam menyeimbangkan kedaulatan hukum negara dengan tanggung jawab kemanusiaan.
Generasi “Anak Tanpa Negara” dan Krisis Identitas Jangka Panjang. Dampak paling tragis dan jangka panjang dari pernikahan lintas negara yang tidak tercatat adalah pada anak-anak. Tanpa akta kelahiran atau dokumen identitas resmi, anak-anak ini secara efektif menjadi “stateless children” atau “anak tanpa negara”.11 Kondisi ini memiliki implikasi yang sangat luas, membatasi akses mereka terhadap pendidikan formal, layanan kesehatan, dan pada akhirnya, kemampuan mereka untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Mereka mungkin menghadapi diskriminasi dan kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan di masa depan, menciptakan krisis identitas dan hak asasi manusia yang berpotensi berlanjut hingga dewasa. Ini juga dapat menciptakan masalah sosial yang signifikan di masa depan bagi negara asal maupun negara tujuan, karena adanya populasi yang terpinggirkan dan tidak memiliki status hukum yang jelas.
D. Dampak Psikologis Jangka Panjang: Trauma dan Stigma
Pengalaman eksploitasi, kekerasan, dan ketidakpastian hukum dapat menyebabkan trauma psikologis yang mendalam bagi pekerja migran.32 Mereka mungkin mengalami kecemasan, depresi, dan gangguan stres pasca-trauma akibat kondisi kerja yang abusif, penyitaan paspor, dan ancaman deportasi.5 Trauma ini dapat bertahan lama bahkan setelah mereka kembali ke negara asal, memengaruhi kemampuan mereka untuk berfungsi secara normal dalam masyarakat.
Selain itu, pekerja migran perempuan yang menjalin hubungan homoseksual atau memiliki bayi di luar nikah di negara tujuan dapat menghadapi stigma budaya yang kuat dan penilaian negatif dari masyarakat di negara asal mereka, bahkan jika mereka kembali.14 Norma-norma sosial dan agama yang ketat di komunitas asal dapat membuat mereka merasa terasing dan dihakimi, menambah beban psikologis yang sudah ada.
Beban Ganda Migran: Eksploitasi Sistemik dan Stigma Sosial-Budaya. Pekerja migran tidak hanya menghadapi eksploitasi ekonomi dan kerentanan hukum di negara tujuan, tetapi juga menanggung beban psikologis yang berat. Isolasi, kekerasan, dan ketidakpastian status hukum berkontribusi pada trauma yang mendalam.32 Lebih dari itu, pilihan hidup atau konsekuensi tak terduga dari hubungan yang terjalin di luar negeri (misalnya, hubungan sesama jenis, melahirkan anak di luar nikah) dapat bertentangan dengan norma budaya dan agama yang kuat di negara asal mereka.14 Hal ini menciptakan “beban ganda” bagi migran: tekanan eksternal dari sistem eksploitatif yang diperparah oleh konflik internal dan stigma sosial-budaya jika mereka kembali ke rumah. Beban ganda ini dapat menghambat reintegrasi mereka ke dalam masyarakat dan memperpanjang penderitaan psikologis mereka.
VI. Respons Pemerintah dan Organisasi Pendukung
A. Kebijakan Pemerintah Hong Kong: Regulasi Pernikahan dan Perlindungan Buruh Migran
Hong Kong memiliki kerangka hukum yang jelas untuk pernikahan, memungkinkan pernikahan lintas negara jika persyaratan dipenuhi, dan pasangan dapat mengajukan visa tanggungan.24 Visa tanggungan ini dapat memberikan hak untuk tinggal dan bekerja di Hong Kong, asalkan sponsor (pasangan warga negara Hong Kong atau penduduk tetap) dapat memberikan dukungan finansial dan akomodasi yang memadai.26
Namun, kebijakan “tinggal-dalam” (live-in rule) yang wajib bagi pekerja domestik secara signifikan meningkatkan kerentanan mereka terhadap eksploitasi dan pengawasan majikan, membatasi kebebasan bergerak dan interaksi sosial.8 Pekerja domestik seringkali bekerja dalam lingkungan tertutup dengan sedikit visibilitas, membuat mereka sulit mendapatkan sumber daya dan dukungan pemerintah.9 Pemerintah Hong Kong telah dikritik oleh Amnesty International karena kurangnya pengawasan dan penindakan yang efektif terhadap agen perekrutan yang melanggar hukum, yang berkontribusi pada praktik penipuan dan eksploitasi.5
B. Kebijakan Pemerintah Malaysia: Peraturan Imigrasi dan Tantangan Pernikahan Lintas Negara
Regulasi imigrasi Malaysia secara eksplisit melarang pekerja migran dengan visa kerja sementara (PLKS) untuk menikah secara legal di negara tersebut, baik dengan sesama pekerja migran maupun dengan warga negara lokal.11 Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah pemukiman permanen pekerja berketerampilan rendah.39 Pelanggaran aturan ini dapat mengakibatkan pemutusan kontrak kerja dan deportasi.11
Pemerintah Malaysia telah berupaya memerangi perdagangan manusia, termasuk melalui peningkatan penyelidikan dan penuntutan terhadap pelaku.40 Namun, masih ada tantangan signifikan dalam identifikasi korban dan koordinasi antarlembaga, yang menghambat upaya penegakan hukum.40 Petugas penegak hukum seringkali mencampuradukkan perdagangan manusia dengan penyelundupan migran, yang menghambat identifikasi korban yang tepat.40 Pekerja domestik di Malaysia juga tidak mendapatkan perlindungan hukum yang setara dengan pekerja lain, dengan jam kerja, pembayaran lembur, dan hari libur yang tidak diatur secara memadai.34
Disparitas Kebijakan Menciptakan “Zona Abu-abu” Hukum dan Memicu Jalur Ilegal. Terdapat perbedaan mendasar dalam pendekatan kebijakan pernikahan dan imigrasi antara Hong Kong (yang relatif terbuka untuk pernikahan lintas negara dengan visa tanggungan) dan Malaysia (yang secara tegas melarang pernikahan bagi pekerja migran dengan status visa tertentu). Disparitas ini menciptakan “zona abu-abu” hukum di Malaysia, di mana kebutuhan manusiawi untuk membentuk keluarga berbenturan dengan regulasi yang kaku. Hal ini secara langsung memaksa pekerja migran untuk memilih jalur ilegal seperti pernikahan siri, yang pada akhirnya merugikan mereka dan anak-anak mereka. Kondisi ini menunjukkan bagaimana kebijakan negara tujuan memiliki dampak langsung dan signifikan terhadap praktik perkawinan migran, seringkali dengan konsekuensi yang tidak diinginkan dan menciptakan kerentanan yang lebih besar.
C. Kebijakan Pemerintah Indonesia: Perlindungan Pekerja Migran dan Upaya Legalisasi Pernikahan di Luar Negeri
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) bertujuan untuk memberikan perlindungan komprehensif kepada pekerja migran dan anggota keluarga mereka, termasuk dari perdagangan manusia, perbudakan, kerja paksa, dan kekerasan.41 Undang-undang ini juga mendefinisikan “keluarga pekerja migran” secara luas, mencakup suami, istri, anak-anak, atau orang tua pekerja, baik yang tinggal di Indonesia maupun yang tinggal bersama pekerja migran di luar negeri.41
Pemerintah Indonesia telah berupaya melegalkan pernikahan siri yang dilakukan di luar negeri melalui program itsbat nikah yang difasilitasi oleh perwakilan diplomatik, seperti Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Malaysia.11 Namun, implementasi program ini masih belum efektif, dengan tingkat partisipasi yang rendah.11 Pada tahun 2011, hanya sekitar 600 permintaan itsbat nikah yang diajukan, dan pada tahun 2017, hanya 292 layanan pernikahan yang diajukan di Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Johor Bahru.11
Presiden Joko Widodo pernah menyatakan bahwa ekspor tenaga kerja domestik adalah “aib nasional” dan berjanji akan mengakhiri praktik tersebut, menunjukkan pengakuan pemerintah atas kerentanan yang dihadapi pekerja migran.5 Meskipun demikian, remitansi yang dikirimkan oleh pekerja migran merupakan kontribusi ekonomi yang sangat signifikan bagi Indonesia, mencapai lebih dari USD 6 miliar per tahun pada 2019.1
Dilema Negara Pengirim: Antara Devisa dan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Indonesia sebagai negara pengirim pekerja migran menghadapi dilema yang kompleks. Di satu sisi, remitansi yang dikirimkan oleh pekerja migran merupakan kontribusi ekonomi yang sangat signifikan bagi negara.1 Di sisi lain, pemerintah memiliki kewajiban moral dan hukum untuk melindungi hak-hak dasar warganya dari eksploitasi dan memastikan kesejahteraan mereka, termasuk hak untuk menikah dan memiliki keluarga yang sah. Upaya itsbat nikah yang kurang efektif menunjukkan kesulitan dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi nasional dengan tanggung jawab perlindungan hak asasi manusia, menciptakan kesenjangan antara kebijakan dan realitas di lapangan.
D. Kebijakan Pemerintah Bangladesh: Kerangka Hukum Migrasi dan Perlindungan Warga Negara di Luar Negeri
Bangladesh telah mengesahkan Overseas Employment and Migrants Act 2013, yang bertujuan untuk mempromosikan migrasi yang aman dan adil serta memastikan hak dan kesejahteraan pekerja migran dan keluarga mereka.42 Undang-undang ini juga mendefinisikan “tanggungan” yang mencakup pasangan, anak-anak, ibu, dan ayah yang secara finansial bergantung pada pekerja migran.42 Pemerintah Bangladesh juga berupaya memperkuat layanan dukungan melalui misi diplomatik di negara tujuan dan mengatasi masalah korupsi dalam proses perekrutan.43 Mereka telah melakukan kunjungan oleh Atase Ketenagakerjaan di berbagai negara tujuan untuk memverifikasi ketentuan kontrak kerja.43
Tantangan Implementasi Kebijakan Perlindungan di Negara Asal. Meskipun Bangladesh memiliki kerangka hukum yang bertujuan melindungi pekerja migran 42, tantangan implementasi tetap ada. Laporan menunjukkan adanya masalah korupsi dalam proses migrasi dan rendahnya ratifikasi konvensi perlindungan pekerja migran oleh negara-negara tujuan.43 Proses migrasi yang rumit, dengan banyak langkah yang harus dilalui, juga membuka peluang terjadinya korupsi.43 Hal ini menciptakan kesenjangan antara niat kebijakan yang baik dan realitas di lapangan, yang pada akhirnya berkontribusi pada kerentanan pekerja migran Bangladesh di luar negeri, termasuk dalam konteks pernikahan.
E. Peran Organisasi Non-Pemerintah (NGO) dan Komunitas Migran
Organisasi non-pemerintah (NGO) dan komunitas migran memainkan peran krusial sebagai “jaring pengaman” dan pendukung bagi pekerja migran yang rentan. Contohnya termasuk Asia Pacific Mission for Migrants (APMM) di Hong Kong, yang mendukung pemberdayaan migran dan pembangunan gerakan mereka melalui advokasi, kampanye, pendidikan, dan penelitian.44 Di Malaysia, PERTIMIG (Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran) didirikan untuk mengorganisir pekerja domestik migran Indonesia dan melakukan advokasi hak-hak mereka.22 Berbagai NGO di Indonesia seperti Center for Indonesian Migrant Workers (CIMW), Consortium of Indonesian Migrant Workers Advocacy (KOPBUMI), Migrant Care, dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) juga aktif dalam memberikan perlindungan dan advokasi bagi pekerja migran dan keluarga mereka.46
Organisasi-organisasi ini menyediakan berbagai layanan, termasuk advokasi, bantuan hukum, konseling, pendidikan tentang hak-hak pekerja, dan dukungan sosial.22 Mereka secara aktif memanfaatkan media sosial (misalnya, Facebook, WhatsApp, Zoom) untuk mengorganisir, melatih, mengadvokasi hak-hak pekerja, dan membangun komunitas, terutama di tengah pembatasan pergerakan yang diberlakukan selama pandemi.22 Penggunaan platform digital ini memungkinkan mereka untuk menjangkau pekerja migran yang terisolasi dan membangun solidaritas.
NGO sebagai “Jaring Pengaman” Alternatif dan Pendorong Perubahan dari Bawah ke Atas. Mengingat adanya kegagalan pemerintah dalam memberikan perlindungan penuh dan adanya “zona abu-abu” hukum yang merugikan pekerja migran, NGO dan komunitas migran menjadi “jaring pengaman” yang sangat vital. Mereka tidak hanya memberikan bantuan langsung kepada individu yang membutuhkan, tetapi juga menjadi aktor kunci dalam mengidentifikasi masalah sistemik, mengadvokasi perubahan kebijakan, dan memberdayakan pekerja migran melalui peningkatan kesadaran dan keterampilan. Penggunaan platform digital oleh NGO-NGO ini menyoroti adaptasi strategis mereka dalam mencapai dan mengorganisir komunitas migran yang tersebar dan seringkali terisolasi. Ini menunjukkan bahwa meskipun sistem formal mungkin gagal, ada upaya kolektif yang kuat dari akar rumput untuk mengatasi tantangan dan mendorong perubahan yang lebih adil.
VII. Temuan Unik dan Implikasi Jangka Panjang
A. “Ekonomi Seksual Hasrat” dan Mutabilitas Seksualitas di Kalangan Buruh Migran Perempuan
Studi menunjukkan bahwa pengalaman migrasi dapat secara fundamental mengubah konstruksi seksualitas perempuan. Jauh dari pengawasan keluarga dan norma-norma sosial yang ketat di negara asal, pekerja migran perempuan mungkin mengeksplorasi hubungan yang berbeda, termasuk hubungan homoseksual atau heteroseksual dengan laki-laki lokal atau asing, yang terkadang berujung pada kehamilan yang tidak direncanakan.14 Ini bukan sekadar penyimpangan dari norma, melainkan bentuk adaptasi terhadap kondisi baru dan kebutuhan emosional yang mendalam yang muncul dalam lingkungan migrasi yang terisolasi.
Seksualitas sebagai Ranah Adaptasi, Agensi, dan Negosiasi Identitas dalam Konteks Migrasi yang Rentan. Migrasi tidak hanya mengubah status ekonomi seseorang, tetapi juga secara mendalam membentuk ulang identitas sosial dan pribadi, termasuk ekspresi seksualitas. Dalam kondisi isolasi dan kesepian 2, serta jauh dari norma sosial yang mengikat di kampung halaman, pekerja migran perempuan mengalami “mutabilitas seksualitas”.15 Ini berarti mereka memiliki agensi untuk mengeksplorasi hubungan yang mungkin tidak akan mereka pertimbangkan atau berani lakukan di negara asal. Fenomena ini bukan hanya tentang “cinta lokasi” romantis, tetapi juga tentang bagaimana individu yang rentan menggunakan seksualitas dan hubungan intim sebagai strategi untuk mengatasi kesepian, mencari dukungan emosional, dan bahkan menegosiasikan identitas mereka dalam lingkungan baru. Namun, agensi ini seringkali datang dengan risiko tinggi, termasuk kehamilan yang tidak diinginkan dan stigma sosial yang kuat dari negara asal, yang dapat menimbulkan konsekuensi jangka panjang bagi individu dan keluarga mereka.
B. Strategi Adaptasi dan Agensi Buruh Migran dalam Menavigasi Keterbatasan Hukum dan Sosial
Meskipun menghadapi pembatasan hukum yang ketat (misalnya, larangan menikah bagi pekerja PLKS di Malaysia) dan risiko eksploitasi yang tinggi, pekerja migran menunjukkan agensi yang luar biasa dalam mencari cara untuk membentuk keluarga dan meningkatkan status mereka. Contohnya adalah melalui praktik pernikahan siri, yang meskipun tidak diakui secara hukum oleh negara tujuan, memberikan legitimasi agama dan sosial bagi hubungan mereka.11 Selain itu, mereka juga memanfaatkan kesamaan agama untuk memfasilitasi hubungan dengan warga lokal, seperti pekerja migran Bangladesh dengan perempuan Melayu-Muslim di Malaysia.3
Agensi Tersembunyi di Balik Citra Kerentanan: Inovasi Sosial dalam Menghadapi Sistem yang Membatasi. Pekerja migran seringkali digambarkan sebagai korban pasif dari sistem migrasi yang eksploitatif. Namun, analisis mendalam menunjukkan bahwa mereka adalah agen aktif yang secara kreatif menavigasi dan bahkan “merekayasa” sistem yang kompleks dan seringkali menindas. Pilihan untuk menikah siri, meskipun berisiko hukum dan sosial, adalah bentuk agensi yang kuat untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial (seperti keintiman, dukungan emosional, dan pembentukan keluarga) di tengah pembatasan hukum yang kaku. Ini menyoroti ketahanan, kecerdikan, dan inovasi sosial mereka dalam menghadapi tantangan, mengubah batasan menjadi peluang, meskipun dengan konsekuensi yang tidak diinginkan dan kerentanan yang lebih lanjut.
C. Tantangan Integrasi Sosial dan Dampak pada Masyarakat Penerima
Integrasi pekerja migran dengan masyarakat lokal di Malaysia masih terbatas, seringkali diperparah oleh kebijakan tempat tinggal terpisah seperti kamp pekerja.48 Terdapat kecurigaan di kalangan masyarakat lokal terhadap hubungan antara pekerja migran dan perempuan lokal, yang terkadang berujung pada kasus bayi yang ditinggalkan, menciptakan ketegangan sosial dan masalah komunitas.48
Meskipun perkawinan lintas negara dapat menjadi faktor yang berpotensi meruntuhkan hambatan rasial, studi menunjukkan bahwa pasangan campuran (inter-etnis) memiliki kemungkinan tingkat perceraian yang lebih tinggi dibandingkan pasangan homogen.16 Hal ini menunjukkan adanya tantangan tambahan dalam hubungan lintas budaya yang mungkin tidak dihadapi oleh pasangan dari latar belakang yang sama.
Perkawinan Lintas Negara sebagai Barometer Kompleksitas Integrasi Sosial dan Identitas Nasional. Tingkat penerimaan dan keberhasilan integrasi pasangan migran dalam masyarakat penerima dapat menjadi indikator yang kompleks tentang kesehatan sosial dan kohesi masyarakat tersebut. Konflik dan tingkat perceraian yang lebih tinggi pada pasangan campuran 16, serta kecurigaan yang masih ada di kalangan masyarakat lokal 48, menunjukkan bahwa meskipun ada upaya integrasi, masih ada hambatan mendalam terkait ras, agama, dan status sosial yang perlu diatasi. Perkawinan lintas negara, dalam konteks ini, tidak hanya mencerminkan pilihan individu tetapi juga dinamika yang lebih besar tentang bagaimana masyarakat penerima beradaptasi dengan keragaman dan tantangan identitas nasional yang muncul akibat migrasi.
D. Rekomendasi Kebijakan untuk Peningkatan Perlindungan dan Kesejahteraan Buruh Migran
Berdasarkan analisis mendalam mengenai perkembangan perkawinan antara buruh migran Indonesia dan Bangladesh di Hong Kong dan Malaysia, beberapa rekomendasi kebijakan dapat dirumuskan untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan mereka:
- Harmonisasi Hukum: Mendesak harmonisasi hukum pernikahan dan imigrasi antara negara pengirim (Indonesia, Bangladesh) dan negara penerima (Hong Kong, Malaysia). Hal ini bertujuan untuk mengurangi “zona abu-abu” hukum yang mendorong praktik pernikahan ilegal dan menciptakan kerentanan.
- Akses Informasi dan Layanan Legal: Meningkatkan akses pekerja migran terhadap informasi hukum yang akurat dan layanan legalisasi pernikahan yang terjangkau dan mudah diakses. Program itsbat nikah dari pemerintah Indonesia perlu diperkuat dan didesentralisasi agar lebih proaktif dalam menjangkau pekerja migran di seluruh wilayah negara tujuan.
- Penguatan Pengawasan dan Penegakan Hukum: Memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap agen perekrutan dan majikan yang melanggar hak-hak pekerja migran, dengan sanksi yang tegas dan konsisten. Ini termasuk penindakan terhadap praktik penipuan agen, pemotongan gaji ilegal, dan penyitaan paspor.
- Dukungan Psikologis dan Sosial: Menyediakan layanan dukungan psikologis dan sosial yang komprehensif bagi pekerja migran yang terisolasi dan rentan. Layanan ini harus mencakup konseling, dukungan kesehatan mental, dan pembentukan jaringan komunitas yang kuat.
- Perlindungan Anak: Memastikan hak-hak anak yang lahir dari pernikahan lintas negara terpenuhi, terlepas dari status legalitas pernikahan orang tua mereka. Ini mencakup akses tanpa hambatan terhadap akta kelahiran, pendidikan, dan layanan kesehatan, serta perlindungan dari status tanpa kewarganegaraan.
- Kampanye Kesadaran: Melakukan kampanye kesadaran yang ditargetkan di negara asal dan negara tujuan mengenai risiko pernikahan tidak tercatat, konsekuensi bigami/poliandri, dan pentingnya perlindungan hukum. Kampanye ini harus disampaikan dalam bahasa yang mudah dipahami dan melalui saluran yang relevan dengan pekerja migran.
- Kolaborasi Multilateral: Mendorong kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah negara pengirim dan negara penerima, serta dengan organisasi internasional dan NGO, untuk mengembangkan kerangka kerja perlindungan yang lebih komprehensif dan responsif terhadap kebutuhan pekerja migran.
VIII. Kesimpulan
Fenomena perkawinan lintas negara antara buruh migran Indonesia dan Bangladesh di Hong Kong dan Malaysia adalah hasil dari interaksi kompleks antara kebutuhan pribadi yang mendalam, seperti mengatasi kesepian dan mencari keintiman, serta motivasi ekonomi, seperti pencarian stabilitas finansial dan mobilitas sosial. Kondisi kerja yang mengisolasi dan ketidakseimbangan demografi gender di negara tujuan turut memfasilitasi tren ini.
Meskipun beberapa pernikahan dapat memberikan stabilitas dan mobilitas bagi individu, banyak di antaranya, terutama “pernikahan siri” di Malaysia, menciptakan kerentanan hukum dan sosial yang signifikan. Perempuan dan anak-anak seringkali menjadi pihak yang paling rentan, menghadapi masalah bigami, eksploitasi, dan krisis identitas akibat status hukum yang tidak jelas. Anak-anak yang lahir dari pernikahan tidak tercatat berisiko menjadi “anak tanpa negara” dengan akses terbatas pada hak-hak dasar.
Respons pemerintah di keempat negara masih belum sepenuhnya memadai dalam mengatasi kompleksitas ini. Kebijakan yang kaku di negara tujuan, seperti larangan menikah bagi pekerja migran dengan visa tertentu di Malaysia, secara tidak sengaja menciptakan celah yang dieksploitasi oleh pihak tidak bertanggung jawab, mendorong praktik ilegal. Di sisi lain, negara pengirim seperti Indonesia dan Bangladesh menghadapi dilema antara manfaat ekonomi dari remitansi dan tanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia warganya di luar negeri.
Organisasi non-pemerintah dan komunitas migran memainkan peran vital sebagai jaring pengaman alternatif, memberikan dukungan langsung dan advokasi bagi pekerja migran yang rentan. Kemampuan mereka untuk beradaptasi dan memanfaatkan media sosial untuk mengorganisir dan memberdayakan komunitas migran menunjukkan agensi yang tersembunyi di balik citra kerentanan.
Secara keseluruhan, temuan unik dalam kajian ini menyoroti bagaimana migrasi tidak hanya mengubah status ekonomi tetapi juga membentuk ulang ekspresi seksualitas dan identitas, serta bagaimana pekerja migran secara kreatif menavigasi sistem yang membatasi. Implikasi jangka panjang mencakup isu bigami, generasi anak tanpa negara, dan tantangan integrasi sosial yang kompleks di masyarakat penerima. Diperlukan pendekatan yang lebih terkoordinasi, berpusat pada hak asasi manusia, dan adaptif dari semua pihak yang terlibat untuk melindungi pekerja migran dan keluarga mereka, serta untuk mengatasi tantangan sosial yang timbul dari tren perkawinan lintas negara ini.
Works cited
- Labour Migration from Indonesia: An Overview (English), accessed on August 19, 2025, https://www.iom.int/jahia/webdav/shared/shared/mainsite/published_docs/Final-LM-Report-English.pdf
- Female Indonesian Migrant Domestic Workers In Hong Kong And Media Activism – Universitas Terbuka Repository, accessed on August 19, 2025, https://repository.ut.ac.id/7991/1/FISIP201601-10.pdf
- Full article: Ties that bind, lines that divide: Bangladeshi labour migrants, Malaysian spouses, and the new contours of racialization, accessed on August 19, 2025, https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01419870.2021.1921238
- Ties that bind, lines that divide: Bangladeshi labour migrants, Malaysian spouses, and the new contours of racialization – ResearchGate, accessed on August 19, 2025, https://www.researchgate.net/publication/362180786_Ties_that_bind_lines_that_divide_Bangladeshi_labour_migrants_Malaysian_spouses_and_the_new_contours_of_racialization
- Foreign domestic helpers in Hong Kong – Wikipedia, accessed on August 19, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Foreign_domestic_helpers_in_Hong_Kong
- Migration data in South-eastern Asia, accessed on August 19, 2025, https://www.migrationdataportal.org/regional-data-overview/south-eastern-asia
- Migration cost survey among Indonesian and Filipina domestic workers in Malaysia – U.S. Department of Labor, accessed on August 19, 2025, https://www.dol.gov/sites/dolgov/files/ILAB/G23.%20Malaysia%20%E2%80%93%20Research%20brief%20Migration%20cost%20domestic%20workers.pdf
- View of When the Home Is Also the Workplace: Women migrant domestic workers’ experiences with the ‘live-in’ policy in Singapore and Hong Kong | Anti-Trafficking Review, accessed on August 19, 2025, https://antitraffickingreview.org/index.php/atrjournal/article/view/678/518
- The Foreign Domestic Workers in Singapore, Hong Kong, and Taiwan: Should Minimum Wage Apply to Foreign Domestic Workers? – ResearchGate, accessed on August 19, 2025, https://www.researchgate.net/publication/325274381_The_Foreign_Domestic_Workers_in_Singapore_Hong_Kong_and_Taiwan_Should_Minimum_Wage_Apply_to_Foreign_Domestic_Workers
- International marriage migration: The predicament … – fass@ubd.edu, accessed on August 19, 2025, https://fass.ubd.edu.bn/staff/docs/AU/journals/Ullah-Chattoraj-2023-international-migration.pdf
- Legalizing Unofficial (Sirri) Marriage for Indonesian Migrant Workers in Malaysia – SciTePress, accessed on August 19, 2025, https://www.scitepress.org/Papers/2018/99228/99228.pdf
- The social determinants of migrant domestic worker (MDW) health and well-being in the Western Pacific Region: A Scoping Review – PMC, accessed on August 19, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10971684/
- The perceived relationship quality with migrant domestic workers is …, accessed on August 19, 2025, https://s3-ap-southeast-2.amazonaws.com/figshare-production-eu-deakin-storage4133-ap-southeast-2/coversheet/48265909/1/cheungperceivedrelationship2023.pdf?X-Amz-Algorithm=AWS4-HMAC-SHA256&X-Amz-Credential=AKIA3OGA3B5WOX2T3W6Z/20250726/ap-southeast-2/s3/aws4_request&X-Amz-Date=20250726T003021Z&X-Amz-Expires=86400&X-Amz-SignedHeaders=host&X-Amz-Signature=1eb22e2bde6e2890093594c037975f59372fac916cb98c3b16480ad52cdca746
- Loneliness and Social Isolation of Older Adults and Quality of Dyadic Relationships with Migrant Domestic Workers: A Mixed-Method Study – MDPI, accessed on August 19, 2025, https://www.mdpi.com/2227-9032/12/24/2496
- Chapter title: The Sexual Economy of Desire: Girlfriends, Boyfriends and Babies Among Indonesian Women Migrants in Hong Kong – GOV.UK, accessed on August 19, 2025, https://assets.publishing.service.gov.uk/media/57a08b7240f0b652dd000ca6/Sim_Sexual_Economy_of_Desire.pdf
- Marriage and migration – Taxonomy, accessed on August 19, 2025, https://migrationresearch.com/taxonomies/topics-migration-consequences-for-migrants-sending-and-receiving-countries-socio-cultural-consequences-marriage-and-migration
- Migration, families, and counterfactual families – Open Knowledge Repository, accessed on August 19, 2025, https://openknowledge.worldbank.org/bitstreams/1bd3540a-75da-40a8-944c-befb9fc25918/download
- Terms and conditions for the employment of a Citizen’s Spouse – Malaysian Immigration Department – Jabatan Imigresen Malaysia, accessed on August 19, 2025, https://www.imi.gov.my/index.php/en/terms-and-conditions-for-the-employment-of-a-citizens-spouse/
- Working permit for Spouse of Malaysian Citizen – Malaysian Immigration Department – Jabatan Imigresen Malaysia, accessed on August 19, 2025, https://www.imi.gov.my/index.php/en/working-permit-for-spouse-of-malaysian-citizen/
- Marriage migrants’ use of social media – InK@SMU.edu.sg, accessed on August 19, 2025, https://ink.library.smu.edu.sg/context/cis_research/article/1088/viewcontent/Marriage_migrants__use_of_social_media.pdf
- Social Media as a Coping Strategy for Indonesian Migrant Mothers in Hong Kong to Maintain Mothering Roles – Bridgewater State University Virtual Commons, accessed on August 19, 2025, https://vc.bridgew.edu/context/jiws/article/3297/viewcontent/11.__FINAL__Social_Media_as_a_Coping_Strategy_for_Indonesian_Migrant_Mothers_in_Hong_Kong_to_Maintain_Mothering_Roles_RVSD.pdf
- Formation of Migrant Domestic Workers Associations in Malaysia – Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran (PERTIMIG) and Asosasyon ng mga Makabayang Manggagawang Pilipino Overseas (AMMPO), accessed on August 19, 2025, https://migrationnetwork.un.org/practice/formation-migrant-domestic-workers-associations-malaysia-persatuan-pekerja-rumah-tangga
- For Indonesian domestic workers in Malaysia, Facebook becomes a tool for empowerment, accessed on August 19, 2025, https://storytracker.solutionsjournalism.org/stories/for-indonesian-domestic-workers-in-malaysia-facebook-becomes-a-tool-for-empowerment
- Family Focus Week: Different Types of Marriages in Hong Kong | Hugill & Ip Solicitors, accessed on August 19, 2025, https://www.hugillandip.com/2019/01/family-focus-week-different-types-of-marriages-in-hong-kong/
- Marriage Registration | Immigration Department, accessed on August 19, 2025, https://www.immd.gov.hk/eng/faq/marriage-registration.html
- Marrying non-HK residents – Family CLIC, accessed on August 19, 2025, https://familyclic.hk/en/topics/matrimonial-matters/marriage-and-co-habitant-issues/marrying-non-hk-residents/
- Dependants | Immigration Department, accessed on August 19, 2025, https://www.immd.gov.hk/eng/services/visas/residence_as_dependant.html
- Getting Married – GovHK, accessed on August 19, 2025, https://www.gov.hk/en/residents/immigration/bdmreg/marriage/gettingmarried.htm
- Marriage – U.S. Embassy in Malaysia – USEmbassy.gov, accessed on August 19, 2025, https://my.usembassy.gov/marriage/
- CHAPTER V CLOSING A. Conclusion Problem of the study which is focussed of discussion for this research can be summarized as f – etheses UIN, accessed on August 19, 2025, http://etheses.uin-malang.ac.id/529/9/10210055%20Bab%205.pdf
- Indonesian migrant workers in Hong Kong tell their stories – Amnesty International, accessed on August 19, 2025, https://www.amnesty.org/en/latest/news/2013/11/migrant-workers-tell-their-stories/
- Tales of Survival: – International Labour Organization, accessed on August 19, 2025, https://www.ilo.org/media/348361/download
- Halting exploitation of Indonesian domestic workers in Hong Kong – Amnesty International, accessed on August 19, 2025, https://www.amnesty.org/en/latest/campaigns/2013/11/halting-exploitation-of-indonesian-domestic-workers-in-hong-kong/
- Help Wanted: Abuses against Female Migrant Domestic Workers in Indonesia and Malaysia, accessed on August 19, 2025, https://www.hrw.org/report/2004/07/21/help-wanted/abuses-against-female-migrant-domestic-workers-indonesia-and-malaysia
- Bigamy | Community Legal Information Centre (CLIC), accessed on August 19, 2025, https://www.clic.org.hk/en/topics/familyMatrimonialAndCohabitation/marraige_and_cohabitant_issues/bigamy
- Foreign Marriages, Bigamy, Polygamy and Nullity in the Law of Hong Kong -, accessed on August 19, 2025, https://www.tannerdewitt.com/zh-hans/foreign-marriages-bigamy-polygamy-nullity-law-hong-kong/
- Bigamy – Family CLIC, accessed on August 19, 2025, https://familyclic.hk/en/topics/matrimonial-matters/marriage-and-co-habitant-issues/bigamy/
- ASSESSMENT OF CAUSES AND CONTRIBUTING FACTORS TO MIGRANT WORKERS BECOMING UNDOCUMENTED IN MALAYSIA – International Organization for Migration, accessed on August 19, 2025, https://www.iom.int/sites/g/files/tmzbdl2616/files/documents/2023-08/english_undocumented-migrant-workers-report.pdf
- In-between (il)legality and legitimacy: Marriages between foreign workers and citizens in Malaysia – ResearchGate, accessed on August 19, 2025, https://www.researchgate.net/publication/262263495_In-between_illegality_and_legitimacy_Marriages_between_foreign_workers_and_citizens_in_Malaysia
- 2024 Trafficking in Persons Report: Malaysia – State Department, accessed on August 19, 2025, https://www.state.gov/reports/2024-trafficking-in-persons-report/malaysia/
- Law of The Republic of Indonesia No. 18 of 2017 on Protection of Indonesian Migrant Workers – Asean, accessed on August 19, 2025, https://asean.org/wp-content/uploads/2016/05/Law-of-Indonesia-No-18-of-2017-on-Protection-of-Indonesian-Migrant-Workers.pdf
- Overseas Employment and Migrants Act 2013 _English_ -Passed, accessed on August 19, 2025, http://asianparliamentarians.mfasia.org/wp-content/uploads/2017/01/bangladesh_overseas_empl_migrants_act2013-_eng.pdf
- Committee on the Protection of the Rights of Migrant Workers considers initial report of Bangladesh | OHCHR, accessed on August 19, 2025, https://www.ohchr.org/en/press-releases/2017/04/committee-protection-rights-migrant-workers-considers-initial-report
- About – Asia Pacific Mission for Migrants, accessed on August 19, 2025, https://www.apmigrants.org/about
- Asia Pacific Mission for Migrants, accessed on August 19, 2025, https://www.apmigrants.org/
- Members & Partners – Migrant Forum in Asia, accessed on August 19, 2025, https://mfasia.org/about-us/membersandpartners/
- Association of Indonesian Migrant Workers in Hong Kong or Asosiasi Te naga Kerja Indonesia (ATKI-HK) – Global Alliance Against Traffic in Women, accessed on August 19, 2025, https://www.gaatw.org/asia/hong-kong-sar/555-atki-hk
- COUNTRY REPORT MIGRANT WORKERS SITUATION IN MALAYSIA Overview and concerns The MTUC recognizes the positive contribution of migr, accessed on August 19, 2025, https://www.jil.go.jp/foreign/event/itaku/20051107/pdf/malaysia_e.pdf