
Dalam esai ini, saya akan melanjutkan diskusi tentang Industri Asusila di Aceh. Dalam konteks ini, akan disajikan melalui studi Sociology of Body (Sosiologi Tubuh). Kajian ini berupakan untuk memahami tubuh manusia sebagai bagian dari bangunan sosial dan budaya. Studi ini memang jarang dilakukan di perguruan tinggi, khususnya di provinsi Aceh.
Studi sosiologi tubuh ini menempatkan bagaimana manusia memahami dan meletakkan tubuh mereka dalam kehidupan kekinian. Karena itu, objek studi ini cenderung menghubungkan apa dan bagaimana manusia memahami tubuh mereka, serta menggunakan dalam kehidupan sosial budaya mereka sehari-hari.
Tubuh manusia sebenarnya dapat dikontekskan dalam kehidupan sosial dan budaya, termasuk dalam berbagai lini cakupannya dalam lanskap tersebut, yang kemudian sering kali berubah wujud sebagai komoditas atau aset yang harus dijaga dan kemudian dapat dijadikan sebagai barang.Karena itu, tubuh menjadi hal yang sangat penting.
Bahkan dalam kajian simbol, tubuh pun memainkan peran yang sangat signifikan. Misalnya, dalam konteks kehidupan di Aceh, sangat tidak dianjurkan untuk menyentuh kepala, tanpa ijin dari si empunya.
Pemahaman akan tubuh sebagai aset, terkadang dihubungkan dengan otoritas, kekuasaan, dan kharisma. Misalnya, tubuh berotot dalam kehidupan premanisme adalah hal yang lazim. Kemudian, kalau dihiasi dengan tato, maka akan sedikit menambah kesangaran. Kesangaran sangat terkait dengan ketakutan.
Di samping itu, kemunculan kumis tebal dalam kategori tertentu, akan mempertegas status kesangaran dan juga wibawa seseorang. Tidak sedikit kemudian, mereka yang memelihara kumis untuk menambah wibawa orang tersebut, dalam kehidupan di lanskap sosial budaya.
Selain itu, tubuh juga dipersepsikan dengan ‘ketampanan’ dan ‘kecantikan’ yang berakibat pada kemunculan ‘harga’ dari setiap bagian dari tubuh manusia tersebut. Tidak hanya itu, tubuh juga dikaitkan dengan kesehatan, dimana kemudian orang berlomba untuk melakukan apapun agar terlihat ‘sehat’ dan bahkan ‘bugar.’
Lebih lanjut, persepsi tubuh juga dapat dikaitkan dengan ‘hak otonom’ dimana seseorang memiliki determinasi yang kuat akan hak-hak apa saja yang ada terhadap tubuhnya. Misalnya, demi untuk menjaga tubuhnya, maka seseorang menganggap keinginan untuk ‘memiliki keturunan’ adalah bagian dari hak atas tubuhnya.
Karena itu, keinginan untuk melakukan child free adalah dipandang hak atas tubuh seseorang untuk tidak mampu tubuhnya lahir manusia lain, yang kemudian memberikan beban ke atas dirinya, mulai dari persoalan fisik sampai ke beban kehidupan.
Tidak sedikit kemudian, ada kalangan yang mempersepsikan bahwa tubuh yang ‘cantik’ manakala dianya menjadi ‘putih’ dan ‘bening,’ karena persepsi diri atas tubuh yang cantik adalah memiliki kulit yang putih dan glowing.
Selanjutnya, mereka yang menganut pemahaman ini lantas memandang bahwa untuk mencapai ‘putik’ dan ‘bersinar’ maka skincare adalah jawaban atas semua hasrat dari dirinya, supaya tubuhnya menjadi ‘cantik’ dan ‘bersinar.’
Konstruksi makna ‘cantik’ dan ‘bersinar’ lantas di dapatkan dari pemahaman orang lain yang memiliki keterkaitan akan definisi berjamaah tentang ‘keindahan tubuh’ yang ‘putih’ adan ‘bersinar’ adalah seseorang yang memiliki ‘kecantikan.’ Al-hasilnya, maka tidak sedikit mereka yang mengoles berbagai alat kimia untuk mendapatkan definisi ‘cantik’ dari produk-produk kecantikan.
Pada saat yang lain, seseorang juga dapat mengandaikan bahwa ‘bagian terdalam’ dalam tubuhnya adalah sesuatu yang ‘berharga’ dan memiliki kemampuan untuk dijadikan aset. Karena itu, ‘bagian terdalam’ tersebut kemudian dianggap memiliki kemampuan untuk menaikkan pemahamannya untuk dijadikan sebagai bagian penting dalam komoditas. Lantas, mereka mencoba meletakkan pemahaman bahwa ‘bagian terdalam’ tersebut dapat dianggap sebagai barang dalam etalase tokoh dari seluruh tubuhnya.
Proses integrasi konsep dan pemahaman akan ‘ketampanan,’ ‘kecantikan,’ ‘kesangaran,’glowing’, ‘putih’, yang dikaitkan dengan tubuh manusia menyebabkan hal penting dalam ‘industri asusila.’ Tubuh dapat dijadikan sebagai aset. Semakin besar modal untuk mencapai konsep-konsep dari pemahaman tersebut, semakin memudahkan untuk memasuki industri ini. Akibatnya, dalam konteks sosiologi tubuh, pemahaman manusia dalam memahami tubuh dan menempatkan dalam berbagai fungsi kehidupannya menjadi begitu signifikan.
Dalam masyarakat yang tidak memandang hal di atas sebagai komoditas atau ‘aset,’ mereka terkadang menganggap tubuh mereka bagian dari pengejewantahan nilai pemahaman akan budaya mereka sendiri. Di suku-suku terasing, pemahaman akan tubuh menjadi berbeda dalam konteks masyarakat modern atau bahkan post-modern. Kecantikan bukan dipandang dari warna kulit atau perhiasan yang melekat pada tubuh.
Sebaliknya, mereka membangun pemahamannya dari konstruksi kebudayaan yang memuat cara berpikir, penafsiran pada simbol, dan pemaknaan dari semua tindakan yang mereka bangun dalam konteks kehidupan mereka bertahun-tahun. Kontruksi bahwa ‘kulit putih’ adalah lebih ‘beradab’ dan ‘berkemajuan’ adalah bentuk dari tindakan pemahaman kalangan ilmuwan kolonial dalam membentuk study of others. Mereka menganggap bahwa ‘yang lain’ adalah tidak sesuai dengan standar mereka di Eropa.
Namun, dalam konteks kekinian, misalnya di Aceh, kemunculan hasrat untuk tampil bening-cum-glowing adalah respon dari dinamika pemahaman akan kecantikan dari berbagai budaya, misalnya K-Pop. Orang kemudian pun dibentuk pemahaman akan kecantikan yang putih dan memiliki bentuk tubuh yang dipandang ‘lebih menarik.’ Sebagai akibatnya, mereka lalu melakukan berbagai operasi untuk mendapatkan definisi ‘lebih menarik’ dari apa yang sudah didapatkan sejak lahir ke bumi ini.
Narasi di atas memperlihatkan bahwa, jika bukan salah kaprah, keinginan untuk memperbaiki pemahaman akan tubuh dan menjadikannya sebagai ‘aset’ proses kemenujuan manusia dalam mengejar ‘imajinasi sosial’ yang tidak berujung (un-finished social imagination). Korelasi Sociology of Body dengan un-finished social imagination merupakan dari dari produksi menjadi modern (becoming modern) atau lebih kekinian (kontemporer).
Karena itu, dalam industri asusila, terlepas dari pemahaman akan masalah sosial ekonomi dan sosial budaya, masih sangat terkait dengan pemahaman sosiologi tubuh ini. Pemahaman bahwa tubuh dapat ‘bernilai’ dan ‘berharga’ menjadi sangat penting untuk diluruskan, ketika dikaitkan dengan realitas sosial budaya kekinian. Konstruksi pemahaman bahwa tubuh dapat menjadi ‘barang’, dalam kontek supply and demand, menjadi studi lanjutan bagi siapapun yang ingin membedah idustri asusila ini.
Misalnya, seorang tante yang mengincar brondong, tentu akan memikirkan modal tubuhnya agar dapat bersesuai dengan target lawan jenisnya yang masih muda. Mereka mengincar tubuh yang muda, yang sudah terimajinasikan dalam kontruksi nafsu dan syahwat. Perilaku menjajakan dan memberikan tarif pada ‘bagian terdalam’ tubuh manusia pun tidak luput akan pemahaman bahwa korelasi harga berkaitan erat dengan nafsu dan syahwat, yang juga terdapat dalam diri manusia itu sendiri.
Seorang manusia yang memiliki uang yang berlimpah, tentu akan sangat bergantung pada kontruksi manajemen tubuh dan dirinya sendiri dalam membangun fantasi dan imajinasi atas pemuasan nafsu dan syahwat. Manajemen tubuhnya sangat bergantung pada aspek kemanusiaan dalam jiwanya, ketika memandang bahwa tubuhnya perlu menghubungkan dengan ekspresi tubuh yang tidak terikat (baca: kebebasan). Karena itu, imajinasi dan syahwat berkelindan erat dengan ketidakterbatasan ekspresi tubuhnya dalam mencari korelasi transformasi hasrat pada tubuh lain yang memberikan dampak kepuasan pada tubuhnya sendiri.
Akhirnya, dalam konteks sosiologi tubuh, industri asusila dapat dipahami bahwa pemahaman akan diri dan tubuh manusia menjadi begitu penting. Sayang memang, kajian ini masih belum begitu membumi di Aceh. Sehingga narasi sosial, budaya, dan agama menjadi begitu sering ditampilkan untuk menjawab penyakit sosial yang bernama industri asusila.
Â
Â