Refleksi September Duka: Mengenang Prof. Safwan Idris & Prof. Dayan Dawood, serta perjuangan menjaga kebebasan akademik di Aceh. We can forgive, but we cannot forget.

Refleksi Penembakan Prof. Safwan Idris & Prof. Dayan Dawood: Suara Mahasiswa Aceh Melawan Lupa

Banda Aceh – Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry berkolaborasi dengan Nanggroe Institute menggelar diskusi publik bertajuk “September Duka, Kebebasan Akademik di Bawah Ancaman Kekerasan: Refleksi Atas Kasus Penembakan Prof. Safwan Idris dan Prof. Dayan Dawood” pada Jumat, 12 September 2025, di Ie Kupi Aceh, Rukoh (Darussalam, Banda Aceh).

Kegiatan ini bertujuan mengenang peristiwa kelam yang menimpa dua intelektual besar Aceh sekaligus menjadi refleksi kritis bagi generasi muda tentang pentingnya penegakan hukum, nilai kemanusiaan, serta keberanian intelektual di tengah dinamika sosial-politik.

Prof. Safwan Idris dan Prof. Dayan Dawood merupakan dua tokoh akademisi Aceh yang dikenal luas atas kontribusi keilmuan dan kepedulian mereka terhadap masyarakat. Prof. Safwan Idris adalah akademisi UIN Ar-Raniry yang berperan penting dalam pengembangan pemikiran Islam di Aceh, sedangkan Prof. Dayan Dawood adalah Rektor Universitas Syiah Kuala yang dihormati atas kepemimpinannya. Keduanya menjadi korban penembakan pada masa konflik Aceh, sebuah periode yang ditandai dengan represi dan pembungkaman terhadap suara-suara kritis.

Acara dibuka dengan pengantar oleh Ketua DEMA FSH, Razif Alfarisy, serta pemantik diskusi oleh Muhammad Zikri, S.IP., Founder Nanggroe Institute. Keduanya menegaskan bahwa refleksi ini bukan sekadar mengenang, tetapi juga menjadi sarana edukasi untuk memperkuat kesadaran sejarah, meneguhkan komitmen terhadap keadilan, serta mendorong penegakan hukum atas pelanggaran HAM.

See also  Alumni Friendly Dinner Bersama Konsul AS untuk Sumatra: Dialog Hangat tentang Aceh di Tengah Peringatan 20 Tahun Damai

Diskusi dipandu oleh Zikrayanti, M.LIS., sebagai moderator, dengan Nayla Deski sebagai pembawa acara. Rangkaian kegiatan turut diisi dengan pembacaan puisi berjudul “Cahaya Ilmu yang Hendak Dipadamkan” oleh Amalia. Sementara itu, Irgianda selaku ketua panitia memastikan jalannya kegiatan berlangsung khidmat dan bermakna.

Hadir sebagai narasumber utama, Prof. Dr. Yusni Saby, M.A. (Rektor UIN Ar-Raniry 2005–2009) dan Mashtur Yahya, S.H., M.Hum. (Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh). Keduanya membedah aspek historis, implikasi hukum, serta nilai reflektif dari peristiwa penembakan tersebut.

“Refleksi ini menjadi ruang bagi kita untuk tidak hanya mengenang jasa dan pengorbanan Prof. Safwan Idris dan Prof. Dayan Dawood, tetapi juga untuk terus menghidupkan kampus sebagai tempat menuntut dan mengamalkan ilmu,” ujar Mashtur Yahya.

Sementara itu, Prof. Yusni Saby menekankan bahwa korban konflik tidak hanya berasal dari pihak yang berseberangan, tetapi juga mereka yang menolak kekerasan dan berupaya menjadi penengah. Beliau juga memberikan motivasi bagi generasi muda untuk meneladani integritas dan perjuangan kedua tokoh tersebut dalam menuntut ilmu dan berjuang untuk umat.

Pada kesempatan ini, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, turut hadir dan menyampaikan apresiasi tinggi atas inisiatif mahasiswa yang berani mengangkat kembali isu sejarah yang sarat makna. “Kegiatan seperti ini sangat penting untuk membangun kesadaran kritis mahasiswa dan masyarakat Aceh. Kita bisa memaafkan, tetapi kita tidak bisa melupakan. We can forgive, but we cannot forget atas semua peristiwa kekerasan selama operasi militer di Aceh. Karena hanya dengan mengingat, kita bisa memastikan kekerasan serupa tidak lagi terulang di tanah kita,” ungkapnya.

See also  20 Tahun Damai RI–GAM: Refleksi dari Senjata ke UUPA

Prof. Kamaruzzaman juga menegaskan bahwa ruang akademik harus menjadi benteng kebebasan berpikir. Kampus, menurutnya, adalah tempat melahirkan gagasan dan refleksi, bukan ruang yang dibungkam oleh kekerasan. Kehadiran mahasiswa dalam kegiatan ini, tambahnya, adalah bukti bahwa generasi baru Aceh memiliki kesadaran sejarah yang kuat dan keberanian moral untuk menegakkan kebenaran.

Acara ini mendapat antusiasme luas dari mahasiswa, akademisi, aktivis, hingga pemerhati sosial-politik Aceh. Lebih dari 100 peserta hadir, menunjukkan besarnya perhatian publik terhadap peringatan 24 tahun penembakan Prof. Dayan Dawood dan 25 tahun penembakan Prof. Safwan Idris. Masyarakat berharap momentum ini menjadi pengingat bahwa penegakan hukum atas kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh harus dituntaskan, agar tidak menyisakan trauma dan dendam lintas generasi.

Refleksi ini juga menegaskan pentingnya komitmen semua pihak untuk terus merawat perdamaian yang telah dibangun di Aceh, sehingga masa lalu yang penuh kekerasan tidak kembali terulang dan ruang akademik tetap menjadi rumah kebebasan berpikir.

About The Author