Revolusi Mental dalam Budaya Jawa: Membaca Ulang Jalan Peradaban dari Dalam Diri

Pendahuluan

Di tengah arus globalisasi yang menggilas perbatasan budaya, Indonesia berdiri sebagai bangsa yang sarat warisan nilai. Namun, dalam pusaran modernisasi dan kompetisi global, ada suara-suara yang mengeluh: mental bangsa ini sedang rapuh. Korupsi merajalela, perpecahan sosial tak kunjung reda, dan rasa kebersamaan tergerus oleh kepentingan pribadi. Suwardi Endraswara, seorang pakar budaya Jawa, mencoba memberikan diagnosis sekaligus resep penyembuhan melalui bukunya Revolusi Mental dalam Budaya Jawa.

Buku ini tidak sekadar mengurai konsep revolusi mental yang pernah digaungkan sebagai jargon politik, tetapi menempatkannya dalam akar-akar kebudayaan Jawa yang berabad-abad memahat cara berpikir, bersikap, dan bertindak masyarakatnya. Dengan gaya bahasa yang mengalir dan penuh metafora khas Jawa, Suwardi memandu pembaca untuk menelusuri berbagai โ€œmentalitasโ€ yang hidup di masyarakat โ€” baik yang konstruktif maupun destruktif โ€” lalu mengajak untuk melakukan transformasi menuju tatanan mental yang lebih luhur.

Menggali Akar: Dari Mental Kerikil hingga Mental Telur

Pada bab-bab awal, Suwardi mengajak pembaca menengok sikap mental orang Jawa dalam kesehariannya. Ia memaparkan istilah-istilah metaforis seperti mental mengalah untuk menang, mental kerikil menjadi batu dan air, atau mental ayam ke mental telur. Ungkapan-ungkapan ini bukan sekadar peribahasa, melainkan refleksi filosofis terhadap cara orang Jawa memandang hidup.

Misalnya, mental mengalah untuk menang mencerminkan strategi halus dalam menghadapi konflik: mundur sejenak bukan berarti kalah, melainkan menunggu momentum untuk meraih kemenangan yang lebih besar. Namun, mental ini bisa menjadi jebakan jika bertransformasi menjadi kepasrahan tanpa perlawanan. Di sini letak pentingnya revolusi mental โ€” bukan menghapus nilai lama, tetapi memurnikannya dari distorsi yang membuatnya tumpul.

See also  Book Review: Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda by Denys Lombard

Dari Hewaniah ke Kemanusiaan

Suwardi juga menyoroti sisi gelap mentalitas yang ia sebut โ€œhewaniahโ€. Dalam bab Revolusi Mental Hewaniah Jawa, ia mengurai kecenderungan manusia untuk bersikap seperti binatang: serakah, dengki, atau pemangsa yang tak pernah puas. Ia menggunakan metafora mental klenik ke mental klinik untuk menggambarkan pergeseran dari kepercayaan irasional menuju pemikiran yang lebih rasional dan ilmiah.

Transformasi ini, bagi Suwardi, bukan sekadar adopsi pengetahuan modern, tetapi penyadaran bahwa budaya Jawa memiliki kemampuan adaptif jika mau membuka diri. Budaya klenik, misalnya, bukan sepenuhnya harus ditinggalkan, tetapi dimaknai ulang agar selaras dengan akal sehat dan kemajuan zaman.

Mental yang Tertindas dan Tergadai

Salah satu bagian yang paling kritis adalah pembahasan tentang mental Jawa yang tertindas. Di sini Suwardi bicara lantang: ada warisan feodalisme yang membuat sebagian masyarakat Jawa terbiasa tunduk, patuh, dan enggan melawan ketidakadilan. Fenomena mental inlander yang ia soroti bukan sekadar peninggalan kolonialisme Belanda, tetapi juga akibat internalisasi struktur sosial yang memposisikan rakyat jelata sebagai pihak yang harus selalu manut.

Transformasi menuju mental milyarder dalam pengertian Suwardi bukanlah dorongan menjadi kaya secara material semata, melainkan kaya dalam martabat, percaya diri, dan kemandirian. Revolusi mental di sini berarti memutus rantai inferioritas yang membelenggu, menggantinya dengan etos kerja, kreativitas, dan daya saing.

Keteladanan sebagai Inti Revolusi

Revolusi mental, menurut Suwardi, tak akan pernah berhasil jika tidak dimulai dari keteladanan. Bab Revolusi Mental Keteladanan Jawa mengajak pembaca untuk menelaah figur-figur teladan dalam budaya Jawa โ€” dari tokoh pewayangan hingga pemimpin lokal โ€” yang mempraktikkan nilai luhur tanpa banyak bicara. Ia menggunakan metafora yang unik seperti mental tempe ke mental pace atau mental maling ke mental seruling, untuk menegaskan perlunya pergeseran dari kelemahan atau perilaku buruk menuju kebijaksanaan dan kejujuran.

See also  Franz Rosenthal tentang Ilmu dalam Islam

Keteladanan bukan sekadar tuntutan moral, melainkan strategi sosial. Dalam masyarakat Jawa, teladan yang konsisten akan lebih dihormati daripada seribu ceramah. Suwardi menekankan bahwa pemimpin yang ingin mengubah mental rakyatnya harus terlebih dahulu mengubah dirinya sendiri.

Menghadapi Penyakit Mental Kolektif

Bab Revolusi Penyakit Mental Jawa dan Revolusi Menuju Mental Jawa Emas adalah bagian di mana Suwardi berbicara dengan nada alarm. Ia menyinggung fenomena yang ia sebut sebagai โ€œtaek kucing dan taek luwakโ€ โ€” metafora vulgar namun efektif untuk menggambarkan kebiasaan buruk yang dianggap biasa. Penyakit mental seperti korupsi, kemalasan, atau saling menjatuhkan hanya bisa diobati jika masyarakat mau menumbuhkan mental gotong royong, kejujuran, dan rasa malu terhadap perilaku tercela.

Dalam visi mental Jawa emas, Suwardi membayangkan masyarakat yang memiliki mental gambuh (selaras), mental wisanggeni (berani membakar kezaliman), dan mental semar (rendah hati namun bijak). Cita-cita ini bukan utopia, melainkan peta jalan yang bisa dicapai jika revolusi mental dijalankan secara konsisten.

Estetika dan Kebanggaan Budaya

Menariknya, buku ini tidak melulu berbicara tentang moralitas atau etika sosial. Suwardi juga membahas Revolusi Mental Estetika Jawa, yang mengajak masyarakat untuk merevitalisasi rasa seni, sastra, dan keindahan. Ia menyoroti bagaimana mental realis harus bertransformasi menjadi mental surealis untuk membebaskan imajinasi, atau bagaimana mitologi tradisional perlu dibaca ulang secara kritis agar tetap relevan.

Estetika, bagi Suwardi, adalah bagian penting dari pembentukan mental. Masyarakat yang menghargai seni dan budaya akan lebih sulit digoyahkan oleh arus komersialisasi atau homogenisasi global.

Peringatan tentang Mental yang Rusak

Bab terakhir, Revolusi Mental Jawa yang Rusak, adalah semacam catatan hitam yang sekaligus menjadi peringatan. Di sini Suwardi membongkar fenomena mental bapakisme yang membuat bawahan hanya menjadi pengekor, atau mental amenangi zaman edan yang pasrah pada kegilaan zaman. Ia mendorong transformasi menuju mental demokratis, mental emas, dan mental produktif yang tidak hanya bertahan tetapi memimpin perubahan.

See also  Dialektika Aceh dan Jawa dalam Struktur Kultural Indonesia: Membaca Kuntowijoyo dan Charles Taylor

Pesan ini terasa relevan dengan situasi Indonesia saat ini. Dalam politik, kita sering melihat elit yang masih mempertahankan pola feodal, di mana loyalitas pribadi lebih penting daripada meritokrasi. Dalam masyarakat, pasrah terhadap keadaan sering menjadi alasan untuk tidak melawan ketidakadilan.

Revolusi Mental sebagai Kebijakan Publik

Buku ini tidak hanya bernilai bagi pembaca umum, tetapi juga dapat menjadi rujukan bagi pembuat kebijakan. Revolusi mental yang ditawarkan Suwardi berbasis budaya, yang berarti ia mengakar pada identitas dan kearifan lokal. Pendekatan ini jauh lebih efektif daripada sekadar menyalin model dari luar negeri yang seringkali gagal karena tidak sesuai dengan konteks lokal.

Jika diterapkan dalam kebijakan publik, gagasan ini dapat diwujudkan dalam bentuk pendidikan karakter berbasis budaya, pelatihan kepemimpinan yang menekankan keteladanan, serta kampanye publik yang menggunakan simbol dan narasi budaya Jawa untuk membangun kebanggaan kolektif.

Penutup: Dari Jawa untuk Indonesia

Revolusi Mental dalam Budaya Jawa adalah ajakan untuk kembali menengok ke dalam diri, menyelami akar budaya, lalu memurnikannya agar mampu menjawab tantangan zaman. Suwardi Endraswara berhasil meramu metafora-metafora tradisional menjadi konsep yang relevan bagi pembentukan karakter bangsa.

Buku ini bukan hanya milik orang Jawa. Pesan-pesan di dalamnya berlaku universal: bangsa yang ingin maju harus berani merevolusi mentalnya, mulai dari individu hingga sistem. Dan revolusi itu, seperti kata Suwardi, harus dimulai sekarang, dari diri sendiri.

 

About The Author


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *