Eli Zaretsky: Genealogi Intelektual, Karya Lengkap, dan “Secrets of the Soul” — Sebuah Riset Mendalam

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Secrets of the Soul karya Eli Zaretsky bukan sekadar kisah tentang psikoanalisis, melainkan sebuah perjalanan intelektual yang menyingkap bagaimana ilmu jiwa ini membentuk budaya modern. Dengan jeli, Zaretsky menelusuri jejak Freud, pergulatan ideologi, hingga dampak psikoanalisis dalam politik, seni, dan kehidupan sehari-hari.
Secrets of the Soul karya Eli Zaretsky bukan sekadar kisah tentang psikoanalisis, melainkan sebuah perjalanan intelektual yang menyingkap bagaimana ilmu jiwa ini membentuk budaya modern. Dengan jeli, Zaretsky menelusuri jejak Freud, pergulatan ideologi, hingga dampak psikoanalisis dalam politik, seni, dan kehidupan sehari-hari.

Latar Belakang dan Pendidikan Eli Zaretsky

Eli Zaretsky adalah seorang sejarawan budaya dan pemikir Marxis terkemuka yang dikenal karena kajiannya tentang hubungan antara kapitalisme, keluarga, dan psikoanalisis dalam sejarah modern. Ia lahir pada tahun 1940 di Brooklyn, New York[1]. Zaretsky menempuh pendidikan sarjana di University of Michigan dan meraih gelar Ph.D. dalam bidang sejarah dari University of Maryland pada tahun 1978[1][2]. Latar belakang pendidikan ini memberikan fondasi kuat bagi perspektif historis dan teoritisnya. Sejak 1999, Zaretsky bergabung sebagai dosen sejarah di The New School for Social Research (NSSR), New York, di mana ia kemudian menjadi profesor emeritus[3][4]. Keahliannya mencakup sejarah budaya abad ke-20, teori dan sejarah kapitalisme (terutama dalam dimensi sosial-budayanya), serta sejarah keluarga[3].

Selama masa pendidikannya, Zaretsky sudah terpapar pada gagasan-gagasan kritis zamannya. Di Universitas Michigan pada awal 1960-an — periode tumbuhnya Gerakan New Left di kampus-kampus — ia mulai tertarik pada analisis radikal masyarakat Amerika. Namun, Zaretsky mengakui bahwa hingga pertengahan 1960-an ia sendiri “tidak sadar” akan Marxisme atau politik kiri pada tingkat yang mendalam[5].

Kesadaran politiknya berubah sekitar tahun 1965–1966 ketika seorang sejarawan kiri bernama Martin Sklar (editor jurnal Studies on the Left) memperkenalkan perspektif anti-imperialis tentang Krisis Terusan Panama[5]. Sklar, seorang mentor intelektual awal, menyatakan bahwa Terusan Panama “sebenarnya milik mereka [Panama], bukan milik kita,” sebuah pandangan anti-kolonial yang menggugah Zaretsky muda[5]. Pengalaman tersebut membuka matanya terhadap kritik Marxis dan membawa dirinya masuk ke lingkungan pemikir New Left.

Karier Awal dan Pengaruh Intelektual

Memasuki akhir 1960-an, Eli Zaretsky semakin aktif dalam dunia intelektual kiri. Ia bergaul dengan para cendekiawan New Left berpengaruh seperti Christopher Lasch, Eugene Genovese, dan James (Jimmy) Weinstein, yang kala itu terlibat dalam perdebatan tentang perlu tidaknya agenda sosialisme dalam historiografi Amerika[6]. Jimmy Weinstein, seorang sejarawan Partai Sosialis Amerika era Eugene Debs, menjadi mentor pribadi Zaretsky[7]. Weinstein dikenal sebagai pendiri jurnal kiri Socialist Revolution di San Francisco dan kemudian pendiri majalah In These Times.

Atas ajakan Weinstein, Zaretsky pada tahun 1970 meninggalkan posisinya sebagai akademisi muda dan pindah ke San Francisco untuk ikut mengedit jurnal Socialist Revolution[8][7]. Melalui pengalaman ini, Zaretsky terjun langsung dalam wacana Marxisme baru yang berkembang di Amerika, berpolemik tentang bagaimana teori sosialis dapat diterapkan dalam konteks masyarakat modern pasca-Perang Dunia II[6][7].

Pengaruh Weinstein sangat besar dalam membentuk visi Zaretsky. Weinstein berpendapat bahwa kaum kiri harus menjelaskan gagasan sosialisme secara terang-terangan kepada publik luas, bukan sekadar menyusup dalam gerakan tuntutan kesejahteraan sehari-hari[7][9]. Pendekatan ini—mirip dengan model Bernie Sanders yang berbicara lugas soal ketimpangan—memberikan keyakinan kepada Zaretsky akan pentingnya kesadaran teori dalam gerakan sosial[7][10].

Meskipun Zaretsky tidak sepenuhnya sependapat (ia merasa Weinstein terlalu rasionalistik dalam mengandaikan massa akan menerima sosialisme secara langsung[11]), visi Weinstein tentang perlunya kesadaran dan teori di tengah gerakan massa tetap membekas kuat padanya[12].

Selain Weinstein, lingkungan intelektual Zaretsky turut dibentuk oleh tradisi historiografi radikal Eropa. Ia mengagumi sejarawan Marxis terkemuka seperti Eric Hobsbawm, E. P. Thompson, dan Immanuel Wallerstein, yang menurutnya telah “memberikan kita gambaran baru yang dramatis” tentang sejarah Amerika dengan menekankan peran fundamental perbudakan, rasisme, dan kapitalisme dalam pembentukan masyarakat[13].

Karya-karya besar dari para sejarawan ini—misalnya The Age of Capital karya Hobsbawm dan The Making of the English Working Class karya Thompson—memberi kerangka global dan klas pada pemikiran Zaretsky. Dari mereka, Zaretsky mewarisi pandangan bahwa sejarah Amerika harus dilihat dalam perspektif luas, lintas bangsa, dan tidak bisa dilepaskan dari dinamika kapitalisme dunia[14].

Secara akademis, perjalanan Zaretsky juga dipengaruhi oleh konteks zamannya. Di akhir 1960-an dan awal 1970-an, kajian sejarah sosial keluarga dan psikologi populer mulai marak. Zaretsky termasuk generasi yang terinspirasi oleh karya Philippe Ariès (tentang sejarah keluarga) dan ilmuwan sosial kritis lainnya, yang menjadikan privatisasi dan individualisasi kehidupan personal sebagai tema besar kajian sejarah[15].

Dengan latar aktivisme New Left serta ketertarikan pada teori psikoanalisis Sigmund Freud, Zaretsky berada di posisi unik untuk menjembatani dua ranah pemikiran yang jarang terhubung: Marxisme dan psikoanalisis.

Karya-Karya Utama Eli Zaretsky

Sejak awal karier akademiknya hingga sekarang, Eli Zaretsky telah menghasilkan sejumlah karya ilmiah penting berupa monograf (buku) yang berpengaruh dalam disiplin sejarah, sosiologi, dan kajian budaya. Berikut adalah karya-karya utama Zaretsky beserta tema sentralnya:

Capitalism, the Family, and Personal Life (1976)

Karya pertama yang melambungkan nama Zaretsky adalah Capitalism, the Family, and Personal Life, terbit tahun 1976. Buku ini berasal dari esai panjang dua bagian yang sebelumnya dimuat dalam jurnal Socialist Revolution tahun 1973[16]. Di dalamnya, Zaretsky mengeksplorasi dampak kapitalisme industri terhadap kehidupan keluarga modern.

Ia berargumen bahwa munculnya kapitalisme pada abad ke-19 memisahkan unit keluarga dari produksi ekonomi, namun justru menciptakan ranah baru bagi kehidupan personal di kalangan massa[17]. Dengan kata lain, keluarga di era kapitalisme menjadi semacam “ruang privat” yang otonom, di mana individu dihargai “untuk dirinya sendiri” terlepas dari peran ekonomi[17].

Pandangan Zaretsky ini memperkaya perdebatan tentang keluarga dalam Marxisme dan feminisme. Ia mengkritik sebagian pemikiran feminis radikal yang pada 1970-an cenderung melihat keluarga semata-mata sebagai institusi penindas patriarkal[18]. Zaretsky mengakui bahwa keluarga modern memang berfungsi ideologis mendukung kapitalisme (misalnya dengan menjadikan rumah tangga sebagai “pelarian” emosional bagi pekerja, yang secara tak langsung menyokong produktivitas sistem kapitalis).

Namun, Zaretsky juga menekankan sisi paradoksal: keluarga menyediakan ruang bagi pembentukan identitas personal dan kasih sayang, sesuatu yang justru tidak diberikan oleh pasar kapitalis[17]. Ia menunjukkan bahwa “naiknya kapitalisme mengisolasi keluarga dari produksi sosial, sekaligus menciptakan ruang kehidupan personal yang historis baru” di mana nilai-nilai non-ekonomi tumbuh[17]. Dengan pendekatan semacam ini, Zaretsky menawarkan sintesis antara kritik feminis terhadap keluarga dan kritik sosialis terhadap ekonomi rumah tangga tradisional[19].

Buku Capitalism, the Family, and Personal Life berpengaruh luas dan diterjemahkan ke dalam 14 bahasa[1]. Karya ini menjadi rujukan penting dalam sosiologi keluarga dan sejarah kehidupan privat, karena berhasil menjembatani analisis ekonomi-politik dengan dinamika kehidupan rumah tangga.

Melalui buku ini pula, Zaretsky dikenal sebagai pionir yang menyoroti bagaimana “ranah privat” keluarga bukanlah alamiah, melainkan produk sejarah perkembangan kapitalisme modern[17].

The Polish Peasant in Europe and America (edisi baru, 1918/1979)

Selain menulis buku asli, Zaretsky juga berkontribusi sebagai editor dalam penerbitan ulang karya klasik sosiologi keluarga. Ia tercatat sebagai editor edisi modern buku The Polish Peasant in Europe and America[20]. The Polish Peasant adalah studi monumental oleh William I. Thomas dan Florian Znaniecki (terbit asli 1918–1920) mengenai surat-surat imigran Polandia di Amerika, yang menelurkan konsep definisi situasi dan analisis kehidupan keluarga imigran.

Peran Zaretsky sebagai editor menunjukkan minatnya dalam genealogi pemikiran tentang keluarga: ia membantu mengenalkan kembali karya klasik ini ke pembaca kontemporer, kemungkinan dengan pengantar atau penjelasan baru. Keterlibatan tersebut sejalan dengan fokus Zaretsky pada sejarah keluarga dan budaya imigran, meskipun bukan karya orisinalnya sendiri.

Secrets of the Soul: A Social and Cultural History of Psychoanalysis (2004)

Buku Secrets of the Soul (Knopf, 2004) merupakan salah satu magnum opus Eli Zaretsky yang memperluas cakupan studinya dari ranah keluarga ke ranah psikoanalisis. Jika buku pertama Zaretsky menyoroti peran keluarga dalam kapitalisme, Secrets of the Soul menyoroti peran psikoanalisis dalam kebudayaan modern. Subjudulnya, A Social and Cultural History of Psychoanalysis, mencerminkan pendekatan Zaretsky: ia menulis sejarah psikoanalisis bukan dari sudut pandang klinis semata, tetapi sebagai gerakan sosial, aliran intelektual, dan fenomena budaya modern[21].

Secara garis besar, Secrets of the Soul menelusuri perkembangan psikoanalisis mulai dari Sigmund Freud di akhir abad ke-19 hingga era akhir abad ke-20 ketika terapi psikofarmakologi mulai mendominasi[22][23]. Zaretsky menunjukkan bagaimana psikoanalisis mengubah pandangan dunia modern dengan insight barunya tentang perilaku dan motivasi manusia, sehingga pada awal abad ke-20 psikoanalisis menjadi semacam penanda modernitas[22].

Ia membagi sejarah psikoanalisis ke dalam beberapa fase, menguraikan beragam aliran dalam komunitas psikoanalitik dan bagaimana masing-masing berkembang, seringkali sebagai respons terhadap tekanan sosial-budaya[23]. Misalnya, Zaretsky memetakan pergeseran wacana psikoanalisis dari era Freud yang patriarkis (kental bias seksisme) menuju era berikutnya yang lebih peka terhadap feminisme dan keragaman[23]. Ia juga membahas transformasi sikap psikoanalisis terhadap isu-isu seperti homoseksualitas (dari homofobia awal ke penerimaan) dan perubahan tujuan terapi (dari alat kontrol sosial menjadi potensi emansipasi personal)[23].

Keistimewaan Secrets of the Soul terletak pada sintesis sejarah intelektual dengan sejarah sosial. Zaretsky tidak hanya menceritakan tokoh-tokoh psikoanalisis atau ide-idenya, tetapi juga bagaimana psikoanalisis berkelindan dengan konteks sosial seperti perang, politik, dan budaya pop. Sebagai contoh, ia membahas bagaimana psikoanalisis menjadi bagian “semangat zaman” abad ke-20, mendampingi munculnya kapitalisme konsumsi massa yang menuntut etika baru berbasis ekspresi diri dan kejujuran terhadap hasrat (berlawanan dengan etos viktorian yang repressif)[24].

Menurut Zaretsky, kapitalisme konsumen Amerika sejak 1920-an memerlukan hermeneutika kultural baru yang melegitimasi kenikmatan dan otentisitas diri, dan Freudianisme menyediakan etika baru itu hingga dekade 1970-an[24]. Setelah 1970-an, ia berpendapat pengaruh psikoanalisis memudar karena nilai-nilai Freud telah di-generalisasi ke masyarakat luas, membuat psikoanalisis kehilangan peran kepeloporannya[25].

Buku ini mendapat apresiasi luas di kalangan sejarawan, kritikus, hingga psikoanalis. Banyak ulasan positif bermunculan di media terkemuka. The Boston Globe menyebut Secrets of the Soul sebagai “panduan yang berharga melalui labirin” warisan psikoanalisis[26]. The Washington Post Book World memuji buku ini sebagai karya yang “luas dan berwibawa” dalam memetakan berbagai perubahan pemikiran Freud selama hidupnya[27]. Di The New York Times, buku ini dianggap “sangat ambisius” dan menunjukkan kedalaman riset penulisnya[28].

Newsday menyoroti kepiawaian Zaretsky menenun narasi yang mencakup konflik, kontradiksi, dan ironi yang melandasi fondasi psikoanalisis—bidang yang oleh jurnalis Janet Malcolm pernah disebut “profesi yang mustahil”[29]. Celia Brickman, dalam ulasannya di The Chicago Tribune, secara khusus memuji keahlian Zaretsky menghubungkan lika-liku teori psikoanalisis dengan perubahan sosial-ekonomi yang melatarbelakanginya; ia menulis bahwa Zaretsky “paling cemerlang ketika mengaitkan tikungan teori psikoanalisis dengan perubahan sosial dan ekonomi yang teori-teori itu refleksikan dan bentuk”[30].

Tidak hanya media umum, kalangan akademik pun mengakui kontribusi Secrets of the Soul. Judith Butler, filsuf dan teoris gender terkenal, menyebut karya ini berhasil menghadirkan model baru tentang otonomi dan refleksi diri manusia, seraya memuji Zaretsky karena mengajarkan cara berpikir yang lapang dan mendalam[31]. Juliet Mitchell, psikolog feminis pionir, menyatakan bahwa buku ini menempatkan psikoanalisis dalam konteks sosial-historisnya dan “itulah yang selama ini kita tunggu-tunggu”[32].

Bahkan Peter Gay, sejarawan biografi Freud, mengapresiasi Secrets of the Soul sebagai upaya cerdas memasukkan psikoanalisis ke dalam kebudayaannya — “usaha berwawasan sejarah yang sangat dibutuhkan oleh psikoanalisis”[33]. Singkatnya, Secrets of the Soul dianggap sebagai pencapaian virtuoso Zaretsky dalam menyajikan sejarah psikoanalisis yang komprehensif, kritis, namun tetap mudah diakses[34].

Why America Needs a Left: An Historical Argument (2012)

Setelah menjelajahi sejarah psikoanalisis, Zaretsky kembali menulis tentang ranah politik Amerika dalam buku Why America Needs a Left (Polity Press, 2012). Karya ini merupakan esai sejarah yang berargumen bahwa Amerika Serikat memerlukan kehadiran kuat gerakan kiri demi kemajuan sosial-politik.

See also  The New Digital Age – Eric Schmidt & Jared Cohen

Dengan latar belakang pengalamannya dalam Gerakan New Left, Zaretsky meninjau kembali sejarah Amerika dari perspektif kekuatan dan kelemahan tradisi kiri di Amerika. Dia memposisikan buku ini sebagai tanggapan terhadap kondisi politik kontemporer (terbit tepat setelah krisis finansial 2008 dan terpilihnya Barack Obama).

Dalam Why America Needs a Left, Zaretsky menguraikan kontribusi gerakan kiri sepanjang sejarah AS—mulai dari sosialis awal abad 20, gerakan buruh, hingga New Left 1960-an—dan menunjukkan bahwa banyak kemajuan demokratis (hak-hak sipil, keadilan sosial, kebebasan berekspresi) tidak lepas dari dorongan kaum kiri[35][36]. Buku ini juga lahir dari refleksi pribadi Zaretsky: dalam wawancara dengan Platypus Review, ia mengungkapkan bahwa dua hal mendorong penulisan buku tersebut.

Pertama, pengalaman dan pelajaran dari pergerakan New Left yang pernah ia alami langsung; kedua, kekecewaan terhadap terbatasnya visi perubahan pada masa presiden Obama, di mana kesempatan bersejarah pasca-Bush 2008 untuk mendorong agenda progresif tampak tidak dimanfaatkan sepenuhnya[35][36]. Bagi Zaretsky, sejarah kiri Amerika menawarkan pelajaran penting dan visi alternatif di tengah kemandekan politik arus utama. Buku ini diterbitkan oleh Polity Press dan juga tersedia dalam terjemahan bahasa Prancis (oleh Seuil, 2012)[37], menandakan resonansi gagasannya di luar Amerika.

Political Freud: A History (2015)

Karya monograf terbaru Zaretsky adalah Political Freud: A History (Columbia University Press, 2015). Buku ini melanjutkan minat Zaretsky pada persinggungan psikoanalisis dan politik, dengan lebih fokus pada bagaimana ide-ide Freudian digunakan untuk memahami dan mengubah masyarakat. Political Freud sebenarnya terdiri dari lima esai yang sebelumnya pernah terbit, namun disusun menjadi argumen historis utuh[38].

Inti gagasannya adalah konsep “Freud Politik”: bahwa psikoanalisis bukan sekadar praktik klinis, melainkan juga instrumen kritis untuk menganalisis kekuasaan dan pembebasan. Zaretsky membela tradisi Freudian progresif melawan kritik-kritik yang menuduh Freud reaksioner; ia menunjukkan bahwa dalam momen-momen tertentu, gagasan Freud justru menjadi senjata bagi kelompok tertindas untuk memahami penindasan dan memperjuangkan kebebasan[38].

Dalam Political Freud, Zaretsky mengulas beberapa contoh historis di mana psikoanalisis bersifat “politis”. Ia menyebut gerakan kaum Afrika-Amerika sebagai salah satu arena penting Freud politik. Misalnya, pemikir kulit hitam seperti W.E.B. Du Bois, Richard Wright, Ralph Ellison hingga psikiater anti-kolonial Frantz Fanon memanfaatkan konsep-konsep psikoanalisis (seperti trauma, unconscious bias, “resistensi”) untuk memahami dampak psikologis rasisme dan pengalaman penindasan terhadap masyarakat kulit hitam[39][40].

Zaretsky menekankan bahwa sejarah pengalaman Afrika-Amerika, dengan warisan perbudakan dan segregasi, melahirkan “kedalaman kesedihan” dalam memori kolektif mereka yang berbeda dari arus utama budaya Amerika[41]. Untuk melampaui sekadar “Blues” (metafora bagi pasrah dan penerimaan dalam budaya Afrika-Amerika), intelektual kulit hitam harus mengungkap trauma tak tertanggungkan yang dialami komunitasnya – di sinilah psikoanalisis menjadi penting sebagai cara menembus resistensi psikologis dan mengartikulasikan penderitaan yang tak terlihat[42].

Dengan demikian, Political Freud menunjukkan bahwa psikoanalisis pernah berperan sentral dalam wacana pembebasan – misalnya, pada 1930-an ketika Harlem Renaissance menghadapi batasan, atau pada 1940-an ketika intelektual kulit hitam menggugat limit Marxisme tradisional dan menghubungkan fasisme dengan rasisme[40].

Selain isu ras, Zaretsky juga membahas keterkaitan psikoanalisis dengan perang dan trauma. Ia menganalisis bagaimana dua perang dunia dan peristiwa 9/11 mengubah Freudianisme politik. Menurutnya, gagasan dasar Freud tentang kerentanan manusia – bahwa lamanya masa bayi dan ketergantungan manusia membentuk psikologi rentan – menjadi lensa untuk memahami dampak perang[43].

Zaretsky mengidentifikasi tiga momen sejarah di mana psikoanalisis memberikan perspektif anti-perang yang kuat: (1) teori ego Freud yang lahir dari riset shell shock (trauma perang) pasca Perang Dunia I; (2) teori anak rentan dari Melanie Klein pada era Perang Dunia II, yang memengaruhi konsep tanggung jawab kolektif dan negara kesejahteraan di Inggris; (3) analisis kerentanan pasca-9/11 oleh Judith Butler, yang melihat reaksi Amerika yang narsis terluka dan kemudian agresif[43][44].

Rangkaian contoh ini menunjukkan pergeseran orientasi psikoanalisis: dari fokus Freud pada ego otonom menuju fokus era pasca-modern pada self yang terbentuk lewat relasi (objek-relations)[45]. Zaretsky berargumen bahwa meskipun pergeseran ke teori self membawa kemajuan (lebih menghargai hubungan dan bahasa), ada yang hilang bila konsep ego rasional Freud sepenuhnya ditinggalkan[46].

Ia menilai kita masih memerlukan konsep ego yang tidak tereduksi menjadi self relasional semata, terutama demi kemampuan reality-testing dan pemikiran rasional-kritis individu dalam menghadapi tantangan masyarakat[46]. Ini mencerminkan posisi intelektual Zaretsky yang menghargai warisan pencerahan Freud (rasionalitas ego) sekaligus terbuka pada kritik baru tentang kerentanan dan interdependensi manusia.

Secara keseluruhan, Political Freud menegaskan benang merah pemikiran Zaretsky: keyakinan bahwa psikoanalisis memiliki tiga wajah – sebagai metode terapi, teori tentang diri manusia, dan tool analisis sosial – yang semuanya relevan untuk memahami sejarah[47].

Ia menunjukkan apa yang hilang ketika “Freud politik” ditinggalkan dalam budaya kontemporer, dan mendorong kembalinya pemahaman kritis tentang ego dan ketidaksadaran untuk politik masa kini[48]. Buku ini melengkapi kontribusi Zaretsky sebelumnya dengan mengawinkan sejarah intelektual Freud dengan sejarah gerakan sosial, menjadikannya salah satu sejarawan terdepan dalam tradisi Freudo-Marxis abad ke-21.

Karakter Pemikiran dan Gagasan Besar Zaretsky

Dari berbagai karya di atas, tampak jelas bahwa Eli Zaretsky memiliki karakter pemikiran yang konsisten: ia selalu tertarik pada persimpangan antara ranah personal dengan ranah sosial-struktural. Gagasan-gagasan besarnya dapat dipetakan secara tematik sebagai berikut:

  • Integrasi Marxisme dan Psikoanalisis: Zaretsky adalah salah satu pemikir kontemporer yang menonjol dalam mengintegrasikan analisis Marxis dengan psikoanalisis Freud. Ia meneruskan tradisi Freudo-Marxisme yang pernah dirintis oleh tokoh-tokoh seperti Wilhelm Reich, Erich Fromm, Herbert Marcuse, dan para pemikir Frankfurt School. Sebagaimana para pendahulunya, Zaretsky melihat bahwa teori Freud tentang hasrat, keluarga, dan ketidaksadaran dapat dipadukan dengan kritik Marxis tentang ekonomi politik untuk menjelaskan dinamika masyarakat modern.
  • Misalnya, dalam esainya “Eros and the Impossible: the problem of Freudo-Marxism” (2013), Zaretsky mengeksplorasi hubungan kompleks antara pembebasan seksual (Freudian) dan emansipasi sosial (Marxis)[49]. Di berbagai karyanya, ia menegaskan bahwa subyektivitas individu (psikis) dan struktur kapitalisme (sosial) saling mempengaruhi: pembentukan kepribadian modern tidak terlepas dari konteks ekonomi dan budaya kapitalis, sementara stabilitas kapitalisme juga ditopang oleh mekanisme psikologis dalam keluarga dan budaya.
  • Kapitalisme dan Kehidupan Keluarga: Salah satu sumbangan orisinal Zaretsky adalah analisisnya tentang keluarga sebagai institusi dialektis di bawah kapitalisme. Dalam pandangan Zaretsky, kapitalisme industri memecah belah kehidupan menjadi dua ranah: publik (kerja, produksi, pasar) dan privat (keluarga, rumah, perasaan pribadi). Pembelahan ini bersifat paradoksal: di satu sisi, kapitalisme mengeksploitasi tenaga kerja di ranah publik; di sisi lain, ia “menghibur” dan mereproduksi tenaga kerja melalui ranah privat keluarga yang dikonsep sebagai tempat cinta, istirahat, dan pembentukan identitas[17].
  • Keluarga modern menjadi semacam “pelarian” bagi individu dari kerasnya dunia pasar – sebuah tempat di mana pekerja merasa “diakui” sebagai pribadi utuh, bukan sekadar roda ekonomi. Namun, Zaretsky juga menunjukkan bahwa fungsi pelarian ini justru mendukung kelanggengan kapitalisme: keluarga membantu mengatasi ketegangan sosial dengan memindahkan beban emosional ke ruang privat.
  • Dengan demikian, gagasan besar Zaretsky di sini adalah bahwa keluarga borjuis modern bersifat dua muka (Janus-faced): ia sekaligus membebaskan individu secara personal dan mengikat individu ke dalam logika kapitalisme[17]. Pemikiran ini berpengaruh dalam studi keluarga karena menantang pandangan yang terlalu menyederhanakan (baik pandangan keluarga sebagai “surga yang harmonis” maupun pandangan keluarga sebagai “penjara patriarkal” semata). Zaretsky memberikan pemahaman yang lebih dialektis tentang peran keluarga.
  • Psikoanalisis sebagai Fenomena Sosial: Zaretsky memandang psikoanalisis bukan hanya sebagai teori atau praktik medis, tetapi sebagai fenomena sosial-budaya modern yang mengalami pasang surut. Gagasan besarnya adalah bahwa psikoanalisis memiliki peran historis penting dalam membentuk budaya abad ke-20, terutama dalam hal cara orang memahami diri dan masyarakat. Dalam Secrets of the Soul, ia menunjukkan bagaimana ide-ide Freud (seperti alam bawah sadar, trauma masa kanak-kanak, represi seksual) meresap ke berbagai bidang: seni, sastra, film, pendidikan, hingga politik massa[23].
  • Zaretsky menyebut psikoanalisis sebagai “ilmu paling intim” dari semua ilmu[23], karena menyentuh inti motivasi dan emosi manusia, dan karena itu ia cepat menjadi semacam tolok ukur kemodernan di awal abad ke-20. Gagasan ini mendudukkan psikoanalisis sejajar dengan arus modernitas lain seperti gerakan seni modernis dan ideologi politik baru. Zaretsky juga menyoroti perubahan internal psikoanalisis (misalnya, bagaimana komunitas psikoanalitik merespons isu gender dan seksualitas seiring waktu, dari yang bias hingga yang lebih terbuka) sebagai cermin perubahan sosial[23].
  • “Freud Politik” – Psikoanalisis dan Pembebasan: Gagasan tematik lain yang khas pada Zaretsky adalah konsep “Political Freud”, yakni bagaimana teori Freud digunakan dalam wacana politik pembebasan. Ini tampak jelas dalam buku Political Freud. Zaretsky berpendapat bahwa psikoanalisis mengandung potensi emansipatoris: dengan mengungkap mekanisme penindasan dalam batin (misalnya penyangkalan, rasionalisasi, agresi terpendam), psikoanalisis dapat membantu gerakan sosial memahami mengapa penindasan direproduksi bahkan oleh korban sendiri.
  • Contoh yang diangkat Zaretsky adalah para intelektual Afro-Amerika yang menggunakan psikoanalisis untuk menggali dampak psikologis rasisme dan merumuskan visi pembebasan yang lebih radikal[39][40]. Begitu pula, feminis dan aktivis gerakan lain dapat memakai lensa Freudian untuk memahami dinamika kekuasaan dalam keluarga dan relasi gender. Zaretsky di sini berdiri di tradisi Freudo-Marxis yang melihat “pembebasan diri” secara psikologis sebagai prasyarat (atau setidaknya elemen penting) bagi pembebasan sosial.
  • Ia kerap menyebut bahwa abad ke-20 adalah abad Freudian hingga 1970-an[50]: artinya, spirit budaya abad lalu sangat dipengaruhi oleh cara berpikir psikoanalitik, misalnya keyakinan bahwa kebebasan pribadi dan pengungkapan jujur emosi adalah hal penting. Maka, ketika psikoanalisis terserap ke budaya pop dan kehilangan aura subversifnya pasca-1970an, Zaretsky justru mengajak kita mengingat kembali dimensi kritis psikoanalisis untuk menghadapi masalah abad ke-21[48].
  • Kritik Kapitalisme Lanjut: Meskipun fokusnya meluas ke psikoanalisis, kerangka pandang Zaretsky tetap bersumber pada kritik kapitalisme. Ia terus mempertanyakan bagaimana kapitalisme lanjut (late capitalism) membentuk subjektivitas manusia. Misalnya, ia memperhatikan munculnya etika konsumerisme yang merombak nilai-nilai keluarga dan agama tradisional, dan bagaimana Freudianisme pernah menyediakan justifikasi budaya bagi etika baru itu[51].
  • Dalam hal ini, Zaretsky sejalan dengan para pemikir Kiri Baru yang mengkaji fenomena 1960-an seperti gerakan counterculture, feminisme baru, dan seksual revolusi: Zaretsky melihat fenomena-fenomena tersebut sebagai hasil dialektika antara pencarian otonomi personal melawan kontrol sosial kapitalistik. Ia mengakui bahwa banyak kebebasan pribadi yang dinikmati masyarakat modern (misalnya kebebasan seksual, gaya hidup, ungkapan diri) merupakan “utang budaya” terhadap Freud dan modernisme[52].
  • Namun ia juga waspada bahwa kebebasan tersebut kerap diseleksi dan dikemas ulang menjadi komoditas oleh kapitalisme. Kritik semacam ini menempatkannya di garis pemikiran Kiri Kultural, memperluas kritik ekonomi Marx ke wilayah budaya dan psikologi.
See also  Temanku, Teroris? – Kisah Persahabatan, Radikalisme, dan Jalan Kembali Menuju Perdamaian

Dalam hal gaya intelektual, Zaretsky dikenal eclectic namun terstruktur. Ia mampu menggabungkan riset sejarah empiris (contoh: studi arsip gerakan sosial, statistik keluarga, dokumen intelektual) dengan teori tingkat tinggi (Marxis, Freudian, feminist, critical theory) secara lancar. Tulisan-tulisannya bernada naratif analitis – ia bercerita tentang sejarah tetapi dengan tujuan membongkar suatu teori atau ide besar.

Hal ini membuat karyanya menarik bagi berbagai kalangan: sejarawan akademis, sosiolog keluarga, psikolog, hingga pembaca awam yang tertarik sejarah ide. Sebuah ulasan menyebut buku sejarah psikoanalisis Zaretsky sebagai “sejarah kultural yang memukau dan merintis… ditulis dengan gaya jelas, mudah diakses”[34], menandakan kelebihan Zaretsky dalam menyajikan materi kompleks dengan bahasa relatif terang.

Genealogi Pemikiran Eli Zaretsky

Untuk memahami Zaretsky secara utuh, kita perlu melihat genealogi pemikirannya – yakni alur pengaruh dari para guru, tradisi intelektual, dan konteks historis yang membentuk ide-idenya:

  • Pengaruh Guru dan Mentor: Secara langsung, Zaretsky banyak dipandu oleh figur mentor seperti Martin J. Sklar dan James “Jimmy” Weinstein pada fase formatifnya. Sklar, seorang sejarawan ekonomi-politik, membuka cakrawala Zaretsky pada analisis sosialis mengenai imperialisme AS[5]. Sementara Weinstein, sebagai mantan aktivis Partai Komunis yang beralih ke sosialisme demokrat, mengajarkan padanya pentingnya teori sadar dalam gerakan politik[7]. Weinstein juga memperkenalkan Zaretsky ke jaringan intelektual kiri era 1960-an (seperti Lasch dan Genovese) serta melibatkan Zaretsky dalam proyek penerbitan jurnal radikal[8].
  • Bisa dikatakan Weinstein adalah guru ideologis Zaretsky dalam hal tradisi politik kiri Amerika. Selain itu, meskipun tidak disebut sebagai “guru” secara formal, Zaretsky jelas dipengaruhi pemikiran Christopher Lasch (sejarawan budaya yang kritis terhadap keluarga dan psikologi pop) dan Eugene Genovese (sejarawan Marxis terkemuka). Keduanya pernah terlibat bersama Zaretsky di Studies on the Left dan mewakili integritas intelektual sayap kiri yang mengkritik liberalisme arus utama[6].
  • Tradisi Akademik dan Teoritis: Zaretsky berakar pada tradisi Sejarah Sosial dan Sejarah Kultural yang berkembang pasca-1960. Tradisi ini berusaha “membebaskan sejarah” dari dominasi narasi politik elit, menuju sejarah yang memperhatikan kehidupan keluarga, seksualitas, mentalitas, dan budaya sehari-hari. Sejumlah tokoh kunci tradisi ini – seperti E.P. Thompson (dengan sejarah kelas pekerja dari bawah), Eric Hobsbawm (dengan analisis “panjang abad ke-19” kapitalisme), dan Immanuel Wallerstein (dengan perspektif sistem-dunia) – secara eksplisit disebut Zaretsky sebagai inspirator[53].
  • Dari Thompson, Zaretsky kemungkinan menyerap metode “mengembalikan agen ke orang biasa” dalam sejarah keluarga. Dari Hobsbawm dan Wallerstein, ia mengambil kesadaran perspektif global dan long durée (rentang panjang) dalam melihat transformasi sosial (misal, bagaimana kapitalisme global membentuk struktur keluarga di berbagai belahan dunia).
  • Selain itu, karya Philippe Ariès tentang sejarah keluarga dan anak-anak, serta Michel Foucault tentang seksualitas, mungkin turut membentuk kerangka analisis Zaretsky mengenai privat vs publik, meski Zaretsky sendiri menulis dalam kerangka yang lebih Marxian daripada Foucauldian.
  • Pengaruh Freud dan Freudian Kiri: Secara tematis, jelas bahwa Sigmund Freud adalah tokoh intelektual sentral dalam benak Zaretsky, namun selalu dilihat melalui kacamata kritis kiri. Zaretsky menghormati warisan Freud sebagai penemu insight besar tentang sifat manusia (misalnya pentingnya alam bawah sadar, impuls seksual-agresif, masa kanak-kanak, dll.), tetapi ia tidak membaca Freud secara apolitis.
  • Sebaliknya, ia tertarik pada tradisi Freudian kiri (atau Freudo-Marxis) yang mencoba menggunakan teori Freud untuk kritik masyarakat. Tokoh seperti Wilhelm Reich (yang menghubungkan represi seksual dengan otoritarianisme, misalnya dalam analisis fasisme), Erich Fromm (yang menafsirkan Freud dalam konteks kebutuhan akan kebebasan dan cinta di masyarakat kapitalis), dan Herbert Marcuse (dengan buku Eros and Civilization yang membayangkan rekonsiliasi antara hasrat manusia dan rasionalitas sosial) kemungkinan besar menjadi rujukan genealogis bagi Zaretsky.
  • Memang, banyak tema Zaretsky—seperti ide bahwa kapitalisme konsumeris memerlukan etika baru pembebasan hasrat[51]—menggemakan gagasan Marcuse bahwa masyarakat industri maju menekan Eros lalu memanipulasinya demi produktivitas. Zaretsky juga kerap mengutip Juliet Mitchell (tokoh psikoanalis feminis) dan Peter Gay (sejarawan Freud) dalam Secrets of the Soul, menunjukkan dialognya dengan para penafsir Freud lintas spektrum.
  • Ia berada dalam genealogi pemikiran yang mengakui dua wajah Freud: Freud sebagai pengukuh tatanan (melalui konsep superego dan penyaluran agresi) tetapi juga Freud sebagai pembebas potensi kritis (melalui pengakuan jujur atas konflik batin dan penderitaan psikis akibat represi sosial).
  • Lingkungan Politik dan Sosial: Tentu, pengalaman hidup Zaretsky dalam era 1960-an dan 1970-an adalah konteks penting. Ia menyaksikan langsung protes anti-Perang Vietnam, gerakan hak-hak sipil, feminisme gelombang kedua, dan revolusi budaya 1960-an. Era tersebut menantang status quo dalam bidang keluarga (komune, gerakan pembebasan wanita), dalam psikologi (ledakan therapeutic culture), maupun politik (radikalisme New Left). Semua ini menjadi “laboratorium” pemikiran bagi Zaretsky.
  • Misalnya, ketika banyak aktivis 60-an mengkritik Freud sebagai seksis atau reaksioner, Zaretsky justru tertarik menggali dimensi progresif Freud untuk gerakan (ini tercermin dalam esai-esainya soal “Freud Politik”).
  • Demikian pula, ketika teori Marxis klasik dianggap kurang mampu menjelaskan isu personal (seperti alienasi keluarga, pencarian identitas), Zaretsky menawarkan sintesis Marxis-Freudian sebagai jawaban. Jadi genealoginya adalah anak zaman 60-an yang kemudian merefleksikan pengalaman era itu ke dalam tulisan sejarah.
  • Jaringan Akademik dan Keluarga: Dalam genealoginya, tak bisa diabaikan pula bahwa pemikiran Zaretsky mendapat umpan balik dari jaringan kolaborator dan bahkan keluarga. Ia berkolaborasi dalam beberapa volume edited, misalnya bersama Virginia Yans-McLaughlin untuk edisi Polish Peasant. Istrinya (atau kerabatnya) Linda Gordon adalah sejarawan feminis ternama; meski Linda Gordon lebih fokus pada sejarah perempuan dan kebijakan sosial, kesamaan minat mereka pada sejarah keluarga dan kesejahteraan mungkin saling memengaruhi.
  • Putrinya, Natasha Zaretsky, menjadi sejarawan generasi baru yang menulis No Direction Home: The American Family and National Decline (2007). Menariknya, Eli Zaretsky sendiri menyebut buku Natasha tersebut “menempati tempat khusus di hatinya”[54], mengisyaratkan kebanggaan bahwa tema yang ia geluti (keluarga dan identitas nasional) diteruskan secara kritis oleh generasi berikutnya.
  • Meskipun Natasha menempuh jalur antropologi dan sejarah yang berbeda (Ph.D. dari Princeton dalam antropologi[55]), ada kesinambungan motif intelektual dalam keluarga Zaretsky mengenai nasib keluarga dalam budaya Amerika yang berubah. Dengan demikian, “murid” pemikiran Zaretsky bisa dilihat bukan hanya mahasiswa bimbingannya, tetapi juga generasi peneliti yang terinspirasi olehnya, termasuk keluarganya sendiri.
See also  The Craft of Intelligence: Membaca Dunia Intelijen dari Kacamata Allen W. Dulles

Secara ringkas, genealogi pemikiran Eli Zaretsky berakar pada radikalisme intelektual 1960-an, menyerap nutrisi dari Marxisme humanistik Eropa dan psikoanalisis budaya, tumbuh mekar melalui keterlibatannya dalam gerakan sosial, dan menghasilkan buah berupa sintesis kritis yang khas. Kombinasi latar New Left Amerika, tradisi historiografi Eropa, teori Freud, serta pengalaman personal sebagai sejarawan keluarga – semuanya membentuk pohon pemikiran Zaretsky yang rimbun.

Tanggapan dan Pengaruh Karya-Karya Zaretsky

Karya-karya Eli Zaretsky telah mendapatkan tanggapan luas, baik dalam bentuk ulasan kritis di media maupun pengaruh jangka panjang di dunia akademik. Sejumlah kritikus dan cendekiawan terkemuka telah mereview atau mengomentari karyanya:

  • Ulasan Media dan Jurnal: Seperti telah disebut, Secrets of the Soul (2004) menuai ulasan di berbagai koran nasional: Boston Globe, Washington Post, New York Times, Newsday, Chicago Tribune, hingga St. Louis Post-Dispatch, serta di jurnal akademik seperti American Imago dan The American Historical Review. Konsensus umum dari ulasan-ulasan ini adalah pujian atas keluasan wawasan dan kedalaman riset Zaretsky dalam menghubungkan psikoanalisis dengan konteks sosialnya.
  • Chicago Tribune menyebut buku tersebut “ambisius” dan memuji kemampuan Zaretsky mengaitkan teori dengan perubahan sosial[56]. The Village Voice melalui Jenny Davidson menyebut Secrets of the Soul sebagai bacaan “penting dan pionir” untuk memahami pasang surut pemikiran psikoanalisis di abad 20[57]. Kalangan psikoanalis pun memberikan penghargaan: Robert S. Wallerstein, mantan presiden Asosiasi Psikoanalitik Internasional, mengakui bahwa “tak satu pun sejarah lain yang pernah saya baca berhasil meletakkan psikoanalisis dalam konteks zamannya sebagaimana dilakukan Zaretsky”[58].
  • Publisher’s Weekly memberi ulasan berbintang, menyebut buku ini “menyihir” dan “ditulis dalam gaya yang jelas dan mudah diakses, namun menyatukan kontradiksi-kontradiksi secara argumentatif kuat”[34].
  • Pengakuan Intelektual: Banyak intelektual lintas disiplin mengakui pengaruh karya Zaretsky. Secrets of the Soul berhasil mengesankan akademisi dari sejarah hingga teori kritis: Judith Butler memujinya sebagai karya yang mengajarkan cara berpikir luas tentang makna kemanusiaan[31]; Elisabeth Young-Bruehl (sejarawan psikoanalisis, biografer Anna Freud) menyebutnya “buku yang penting dan pionir”[59]; Ellen Willis (penulis Dissent) menilainya memperlihatkan hutang besar modernitas terhadap Freud[52].
  • Bahkan Paul Robinson, sejarawan budaya di Stanford, menyebut Secrets sebagai “pencapaian luar biasa… buku terbaik tentang psikoanalisis dan dampak historisnya”[60], kalimat yang menggarisbawahi posisi buku ini sebagai referensi wajib. Sementara itu, Capitalism, the Family, and Personal Life (1976) meski lebih ringkas dan lama terbitnya, tetap dikutip luas dalam literatur sosiologi keluarga dan sejarah.
  • Pemikir feminis socialist sering merujuk karya ini ketika membahas bagaimana ekonomi kapitalis memanfaatkan kerja reproduktif domestik. Louise A. Tilly, dalam Review Article tahun 1977, mendiskusikan buku ini bersama karya Edward Shorter, dan menilai Zaretsky menawarkan tinjauan seimbang atas aspek positif dan negatif privatisasi keluarga[61].
  • Zaretsky diakui kritis baik terhadap pandangan feminis yang terlalu simplistis maupun pandangan Marxis ortodoks, sehingga posisinya memperkaya teori keluarga (Tilly mencatat Zaretsky “menimbang aspek positif dan negatif privatisasi” secara berimbang dibanding Shorter)[62].
  • Pengaruh Akademik: Dalam jangka panjang, ide-ide Zaretsky telah meresap ke berbagai bidang. Di sosiologi keluarga dan studi gender, konsep tentang keluarga sebagai “penyangga psikologis sekaligus unit ideologis kapitalisme” menjadi salah satu pijakan diskusi, berkat karya Zaretsky. Banyak buku teks sosiologi memperkenalkan pandangan Marxian tentang keluarga dengan menyebut analisis Zaretsky sebagai contoh klasik pandangan tersebut[63].
  • Dalam historiografi psikoanalisis, Secrets of the Soul menempati posisi penting berdampingan dengan karya sejarawan seperti Peter Gay (Freud: A Life for Our Time) dan George Makari (Revolution in Mind). Zaretsky menawarkan perspektif berbeda: jika Peter Gay cenderung menulis sejarah internal ide-ide Freud, dan Makari menulis evolusi intelektual psikoanalisis, maka Zaretsky menulis sejarah eksternal-sosial psikoanalisis.
  • Pendekatan ini memengaruhi generasi peneliti yang melihat psikoanalisis dalam konteks budaya (contohnya kajian tentang psikoanalisis di Amerika Latin, Eropa Timur, dsb., sering mengutip kerangka Zaretsky tentang psikoanalisis dan modernitas).
  • Perdebatan dan Kritik: Tentu, karya Zaretsky juga mendapat beberapa kritik. Sebagian sejarawan mungkin berargumen bahwa Secrets of the Soul terlalu berfokus pada dunia Barat dan kurang membahas perkembangan psikoanalisis di konteks non-Barat. Ada juga yang mungkin mengatakan pendekatan Zaretsky sangat luas sehingga kadang kurang mendalam pada detail tertentu (misal, detail biografi tokoh-tokoh psikoanalisis dibanding analisis tematik yang ia utamakan).
  • Namun kritik-kritik ini umumnya minor dibanding apresiasi. Beberapa pengulas di media konservatif seperti The New York Sun sekadar menyebut buku Zaretsky “komprehensif dan berguna” tanpa pujian berlebihan[64], yang bisa dibaca sebagai pengakuan hangat tapi mungkin kurang antusias terhadap pendekatan kulturalnya.
  • Meskipun demikian, narasi besar Zaretsky tentang “abad Freud” dan kaitan kapitalisme-psikologi telah menjadi bagian dari wacana. Istilah “Freudian Century” atau “Freud’s legacy in modern culture” sering muncul mengacu pada kerangka yang juga dipopulerkan oleh Zaretsky[65].

Secara personal, Zaretsky juga diakui di lingkungan kampus: ia menerima penghargaan seperti Robert J. Stoller Memorial Award (1995) untuk esainya tentang biseksualitas dalam warisan psikoanalisis[66]. Ia pernah menjadi Visiting Fellow di Australian National University (2005) dan peneliti tamu di Institut Vienna (IWM, 1995)[67], menandakan reputasi internasionalnya sebagai sarjana.

Dengan kata lain, pengaruh Zaretsky melintas disiplin: ilmu sejarah (terutama sejarah Amerika dan Eropa modern), sosiologi (keluarga dan budaya), kajian psikoanalisis, hingga pemikiran politik kiri. Ia telah membantu memperluas cakrawala analisis Marxis melampaui ekonomi ke wilayah keluarga dan jiwa, sekaligus mengingatkan komunitas psikoanalisis akan konteks sosial-politik dari teori mereka.

Kesimpulan

Eli Zaretsky muncul sebagai sosok pemikir lintas disiplin yang unik. Sejak awal kariernya hingga kini, ia konsisten menelusuri “rahasia jiwa” masyarakat modern – entah itu di ruang keluarga atau di ranah alam bawah sadar – dengan menggunakan lensa sejarah kritis. Genealogi intelektualnya berpijak pada tradisi Marxis humanis dan Freudian progresif, yang keduanya ia gabungkan secara kreatif.

Dari kapitalisme dan keluarga hingga psikoanalisis dan politik, benang merah pemikiran Zaretsky adalah keyakinan bahwa kehidupan personal sangat dipengaruhi oleh struktur sosial, namun sekaligus di dalam yang personal itu terdapat kunci untuk memahami (dan mengubah) struktur yang lebih luas.

Buku Secrets of the Soul yang diulas di atas merupakan salah satu contoh terbaik dari pendekatan khas Zaretsky. Melalui narasi sejarah psikoanalisis yang luas dan mendalam, Zaretsky menunjukkan bagaimana sebuah ilmu tentang jiwa dapat tumbuh, berjaya, lalu terpinggirkan seiring perubahan zaman.

Ia membawa pembaca menelusuri labirin pemikiran Freud dan para penerusnya, sambil selalu mengaitkannya dengan fenomena nyata: perang dunia, gerakan emansipasi, revolusi seksual, hingga budaya obat penenang abad ke-21. Narasi intelektual seperti ini jarang ditemui – “panduan melalui labirin” warisan psikoanalisis, kata Boston Globe[26] – dan Zaretsky berhasil menyajikannya dengan otoritatif.

Lebih luas lagi, semua karya monograf Zaretsky sejak 1970-an hingga 2010-an dapat dibaca sebagai kronik evolusi pemikiran kritis kiri dari era pasca-Perang Dunia II ke abad ke-21. Ia mulai dengan analisis keluarga dalam kapitalisme industri (Capitalism, the Family, and Personal Life), lalu merambah ke analisis budaya psikologis abad 20 (Secrets of the Soul), kemudian merefleksikan arah politik kiri kontemporer (Why America Needs a Left), dan akhirnya mensintesiskan semuanya dalam sejarah psiko-politik (Political Freud). Melalui lintasan ini, Zaretsky turut merekam jiwa zaman (Zeitgeist) generasinya: dari optimisme New Left, melalui krisis identitas akhir abad ke-20, hingga pencarian makna di awal milenium baru.

Sebagai penutup, sosok Eli Zaretsky mengajarkan kita pentingnya pendekatan interdisipliner dan historis dalam memahami masalah-masalah sosial. Ia tidak segan menggabungkan teori dari ranah berbeda untuk menjelaskan fenomena kompleks. Karier dan karya-karyanya menunjukkan bahwa untuk memahami masyarakat modern – dari ruang keluarga sampai ruang konsultasi terapis – dibutuhkan keberanian intelektual untuk menembus batas disiplin.

Melalui narasi terbaik yang bisa kita rangkum di atas, kiranya jelas mengapa tokoh ini begitu menarik: Zaretsky membantu kita melihat bahwa rahasia tentang jiwa manusia seringkali tersembunyi dalam sejarah – sejarah keluarga, sejarah gagasan, dan sejarah perjuangan kolektif. Dan dengan membongkar sejarah itulah, ia mengungkap “secrets of the soul” masyarakat kita sendiri.

[1] Eli Zaretsky – Penguin Books Australia

https://www.penguin.com.au/authors/eli-zaretsky

[2] [3] [4] [20] [37] [49] [66] [67]  Eli Zaretsky | The New School for Social Research

https://www.newschool.edu/nssr/faculty/eli-zaretsky/

[5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [35] [36] The Platypus Affiliated Society – The Left has transformed the world: An interview with Eli Zaretsky

https://platypus1917.org/2023/04/02/the-left-has-transformed-the-world-an-interview-with-eli-zaretsky/

[13] [14] [53] [54] Desert Island Histories: Eli Zaretsky | History Workshop

https://www.historyworkshop.org.uk/education/desert-island-histories-eli-zaretsky/

[15] [16] [17] [18] [19] [61] [62] The family and change

https://deepblue.lib.umich.edu/bitstream/handle/2027.42/43657/11186_2005_Article_BF01701853.pdf

[21] Secrets of the Soul: A Social and Cultural History of Psychoanalysis …

https://www.researchgate.net/publication/236814238_Secrets_of_the_Soul_A_Social_and_Cultural_History_of_Psychoanalysis_review

[22] [23] [26] [27] [28] [29] [30] [31] [32] [33] [34] [52] [56] [57] [58] [59] [60] [64] [65] Secrets of the Soul by Eli Zaretsky: 9781400079230 | PenguinRandomHouse.com: Books

https://www.penguinrandomhouse.com/books/195580/secrets-of-the-soul-by-eli-zaretsky/

[24] [25] [39] [40] [41] [42] [43] [44] [45] [46] [50] [51] Political Freud: an interview with Eli Zaretsky | History Workshop

https://www.historyworkshop.org.uk/ideas/political-freud-eli-zaretsky/

[38] Eli Zaretsky, Political Freud: A History. New York – Logos Journal

https://logosjournal.com/article/eli-zaretsky-political-freud-a-history-new-york-columbia-university-press-2015/

[47] [PDF] Political Freud: A History – dokumen.pub

https://dokumen.pub/download/political-freud-a-history-9780231540148.html

[48] Political Freud: A History. By Eli Zaretsky. New York

https://www.cambridge.org/core/journals/perspectives-on-politics/article/political-freud-a-history-by-eli-zaretsky-new-york-columbia-university-press-2015-248p-3500/2CDEE8BD2C48861ABEB11C062938A7F3

[55] About – Natasha Zaretsky

https://www.natashazaretsky.com/about

[63] [PDF] Eli Zaretsky “Capitalism, the Family & Personal Life” 1976

https://www.wealdofkent.kent.sch.uk/attachments/download.asp?file=2395&type=pdf

 

Also Read

Bagikan:

Avatar photo

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. Prof. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). Currently, he is Dean of Faculty and Shariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia.

Leave a Comment