Surya Paloh dan Fenomena ‘Political Dowry’ di Politik Indonesia

Potret Surya Paloh bergaya vintage sephia, dengan latar Jakarta modern, kampung Aceh, simbol media, dan kekuasaan politik.
Surya Paloh dalam nuansa politik Indonesia: antara kota besar Jakarta, akar budaya Aceh, dan simbol media serta kekuasaan.

Di Balik Secangkir Kopi: Mengurai Mahar Politik ala Surya Paloh

Banda Aceh, sore itu langit memerah. Lampu-lampu jalan mulai menyala, memantulkan cahaya ke aspal basah sisa hujan siang. Di sebuah kafe di pusat kota, dindingnya dipenuhi foto-foto pejuang dan tokoh Aceh: Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Hasan di Tiro. Aroma kopi robusta yang pekat bercampur dengan wangi rokok kretek, menciptakan atmosfer yang seolah mengundang percakapan serius.

Di sudut kafe, dua pria paruh baya duduk berhadap-hadapan. Wajah mereka keras, kulit legam terbakar matahari. Dari potongan kalimat yang meluncur, saya tahu mereka bukan sekadar penikmat kopi; mereka pengamat tajam panggung politik nasional.

“Kau tahu, di Jakarta itu, cuma ada satu orang Aceh yang betul-betul disegani semua orang, kawan maupun lawan,” kata salah satunya, menurunkan suaranya setengah berbisik. “Surya Paloh. Dia bukan cuma politisi… dia itu abang.”

Kata abang ini tidak sederhana. Dalam budaya Aceh, ia memuat rasa hormat, kedekatan emosional, dan pengakuan hierarkis. Dalam politik nasional, sapaan ini menjadi kode: tanda bahwa seseorang berada pada level hubungan personal yang melampaui sekadar kerja sama pragmatis.

Mereka lalu bercerita bagaimana Surya Paloh memimpin Partai NasDem dengan prinsip yang jarang terdengar di republik ini: politik tanpa mahar. Janji bahwa partai tidak akan meminta imbalan finansial sebagai syarat pencalonan, sesuatu yang terdengar hampir utopis di tengah budaya politik uang.

Konteks Historis: Mahar Politik di Indonesia

Untuk memahami dampak slogan ini, kita perlu mundur ke awal era reformasi. Pemilu 1999, 2004, dan 2009 menunjukkan tren yang sama: biaya pencalonan melonjak, persaingan internal partai ketat, dan kandidat yang berhasil maju biasanya adalah mereka yang mampu mengamankan dukungan elite partai dengan biaya awal.

Di level daerah, praktik ini lebih vulgar: sejumlah kandidat kepala daerah mengaku harus menyediakan dana ratusan juta hingga miliaran rupiah untuk “operasional partai” sebelum dicalonkan. Dalam banyak kasus yang diungkap KPK, uang ini tidak seluruhnya masuk ke kas partai, melainkan ke kantong elite tertentu.

Mahar politik menjadi saringan awal yang efektif menghalangi masuknya calon dari latar belakang aktivis, akademisi, atau profesional yang tidak memiliki dukungan finansial besar.

Paloh dan Diferensiasi Strategis

Dalam konteks ini, deklarasi “tanpa mahar” bukan hanya idealisme moral; ia adalah strategi diferensiasi merek politik. Di pasar politik yang penuh pemain lama dengan reputasi transaksional, menawarkan diri sebagai partai yang bebas mahar adalah cara mencuri perhatian segmen pemilih yang lelah dengan politik uang—terutama pemilih muda urban.

Namun, Surya Paloh tidak berhenti pada tataran retorika. Prinsip “tanpa mahar” yang ia gaungkan di podium-podium kampanye benar-benar diupayakan menjadi sistem kerja internal partai, bukan sekadar slogan yang tertera di baliho.

Salah satu pilar pentingnya adalah pendirian Akademi Bela Negara (ABN), sebuah institusi pelatihan politik yang dikelola langsung oleh partai. ABN bukan hanya tempat mengajarkan teknik berkampanye atau merangkai kata-kata di depan publik. Di sana, para calon legislatif dan kader muda diberi pembekalan ideologis—pemahaman bahwa politik, bagi NasDem, harus dijalankan sebagai jalan pengabdian, bukan investasi finansial untuk dipanen setelah menjabat. Para peserta tinggal di asrama selama masa pelatihan, mengikuti jadwal padat yang mencakup kuliah umum dari tokoh nasional, simulasi debat publik, hingga latihan fisik. Filosofinya jelas: membentuk politisi yang tidak hanya cakap di podium, tetapi juga tahan terhadap godaan kompromi yang mengikis idealisme.

Selain itu, Paloh membangun mekanisme pendanaan kampanye terpusat untuk kandidat potensial. Sistem ini memungkinkan partai mengambil peran aktif dalam membiayai sebagian logistik dan kegiatan kampanye, mulai dari pencetakan materi, penyelenggaraan acara, hingga dukungan tim lapangan. Tujuannya sederhana: mencegah proses pencalonan dibebani “tiket masuk” berupa uang mahar. Dalam praktiknya, partai melakukan seleksi ketat untuk memastikan dana yang dialirkan ke kandidat benar-benar digunakan untuk kebutuhan kampanye, bukan diselewengkan. Di sini, Paloh memanfaatkan jaringannya sebagai pengusaha dan tokoh media untuk menarik donasi sah dan mengalokasikan sumber daya internal partai.

Yang tak kalah penting adalah pemanfaatan kekuatan media untuk mengukuhkan narasi “tanpa mahar” di ruang publik. MetroTV, koran, portal berita, dan kanal digital yang berada dalam orbit pengaruh Paloh menjadi saluran efektif untuk membentuk persepsi. Bukan berarti media ini hanya menjadi corong propaganda; lebih tepatnya, mereka menjadi ruang resonansi bagi nilai-nilai yang diusung partai. Program talk show politik menampilkan diskusi tentang pentingnya politik bersih, liputan khusus mengangkat profil kader NasDem yang berprestasi tanpa latar belakang konglomerat, dan tayangan dokumenter menggambarkan kerja nyata partai di daerah. Dengan cara ini, konsep “tanpa mahar” bukan hanya terdengar saat kampanye, tetapi menjadi narasi berulang yang diinternalisasi oleh publik dan kader.

See also  Sofyan A. Djalil: Jejak Intelektual, Kepemimpinan, dan Karier Politik Seorang Teknokrat Aceh

Dengan tiga instrumen ini—pendidikan politik yang sistematis, dukungan finansial yang terstruktur, dan kontrol narasi melalui media—Surya Paloh berupaya mengubah prinsip “tanpa mahar” dari sekadar idealisme menjadi proposisi politik yang beroperasi nyata di lapangan. Strategi ini juga menjadi pembeda yang jelas dari partai-partai lain yang, meski mengaku menolak mahar, tidak memiliki infrastruktur internal untuk menopang klaim tersebut.

 Anatomi Mahar Politik dan Mengapa Surya Paloh Menolak

Mahar politik di Indonesia adalah fenomena yang tidak tercatat dalam undang-undang, tetapi hidup dalam praktik sehari-hari politik praktis. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan biaya atau “komitmen finansial” yang dibebankan kepada kandidat sebelum mereka mendapatkan rekomendasi partai untuk maju dalam pemilihan legislatif atau kepala daerah. Bentuknya bervariasi: setoran uang tunai, janji kontribusi logistik kampanye, bahkan kesepakatan proyek setelah menjabat.

Akar Sejarah Mahar Politik di Indonesia

Fenomena ini bukanlah warisan satu rezim, melainkan hasil kombinasi antara kultur politik patrimonial dan sistem kepartaian pascareformasi. Pada era Orde Baru, biaya pencalonan relatif terkendali karena proses seleksi sepenuhnya dikendalikan oleh Golkar, ABRI, dan birokrasi. Setelah reformasi 1998, multi-partai membuka ruang kompetisi yang lebih luas, tetapi juga menimbulkan kebutuhan dana yang besar.

Sejak Pemilu 1999, partai-partai harus membiayai kampanye di wilayah yang luas, dengan logistik dan tim kampanye yang kompleks. Sayangnya, subsidi negara untuk partai politik relatif kecil—pada 2009 misalnya, hanya Rp 108 per suara, meningkat menjadi Rp 1.000 per suara di 2017. Jumlah ini jauh dari cukup untuk menutup biaya operasional partai. Akibatnya, partai mulai mengandalkan dana dari calon legislatif atau calon kepala daerah yang mereka usung. Di sinilah mahar politik menemukan tempatnya: sebagai “kompensasi” partai untuk pembiayaan awal.

Data Resmi dan Persepsi Publik

Beberapa survei mengungkapkan betapa mengakarnya persepsi tentang mahar politik:

  • Survei LSI 2018: 62% responden percaya bahwa mahar politik adalah praktik umum di hampir semua partai.
  • Survei Transparency International Indonesia 2020: 40% calon kepala daerah mengaku pernah diminta memberikan “komitmen finansial” saat mendaftar.
  • Data KPK (2015–2022) menunjukkan sedikitnya 21 kasus suap terkait pencalonan kepala daerah yang masuk ranah hukum.

Kasus terkenal termasuk OTT KPK terhadap Bupati Subang Imas Aryumningsih (2018) dan OTT terhadap Ketua DPD Partai Golkar Sumut Musa Rajekshah (meski kasusnya terkait dana politik, bukan murni mahar). Polanya konsisten: calon memberikan dana besar untuk mendapatkan dukungan partai, lalu ketika menjabat, mereka mencari cara untuk “mengembalikan modal” melalui proyek APBD atau izin usaha.

Surya Paloh: Jalur Berbeda

Di tengah lanskap inilah Surya Paloh muncul dengan ide “politik tanpa mahar” ketika mendirikan Partai NasDem pada 2011. Visi ini langsung dimasukkan ke Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai. Secara prinsip, NasDem menyatakan bahwa pencalonan harus berdasarkan integritas, kapasitas, dan komitmen perubahan, bukan kemampuan membayar.

Mengapa Paloh mengambil risiko ini? Ada tiga faktor utama:

  1. Modal Finansial Pribadi dan Jaringan Bisnis
    Sebagai pengusaha media dan industri lain, Paloh memiliki kemampuan untuk menopang sebagian pembiayaan partai. Ini memberinya ruang untuk memutus ketergantungan partai pada “setoran kandidat”.
  2. Diferensiasi Merek Politik
    Memasuki panggung politik dengan status partai baru, NasDem butuh identitas yang jelas. Slogan “tanpa mahar” adalah strategi positioning yang efektif untuk membedakan diri dari partai lama.
  3. Kontrol Sentralistik
    Dengan menanggung biaya, partai juga bisa mengontrol penuh strategi kampanye kandidat. Ini meminimalkan risiko kandidat bernegosiasi dengan pihak luar demi modal politik, yang bisa mengganggu konsistensi narasi partai.

Implementasi Sistem ‘Tanpa Mahar’

Model ini dioperasionalkan melalui beberapa instrumen yang terintegrasi. Pertama, Akademi Bela Negara (ABN) menjadi pintu masuk utama untuk rekrutmen kader. Calon anggota legislatif yang lolos seleksi mendapat pelatihan intensif, termasuk materi ideologi partai, manajemen kampanye, dan etika publik.

Kedua, Pendanaan Terpusat memungkinkan partai mengalokasikan sumber daya ke kandidat potensial. Dana ini mencakup biaya kampanye dasar seperti cetak materi, logistik acara, dan dukungan tim lapangan.

Ketiga, Pemanfaatan Media di bawah jaringan Paloh memperkuat narasi “tanpa mahar” melalui liputan positif, profil kandidat, dan framing berita yang menguntungkan partai.

Dilema dan Kritik

Meski secara teori terlihat ideal, model ini tidak lepas dari kritik. Beberapa pengamat menilai bahwa pendanaan terpusat bisa memunculkan ketergantungan kandidat pada figur ketua umum. Selain itu, pemanfaatan media partai menimbulkan pertanyaan etis tentang konflik kepentingan dan independensi pemberitaan.

Di sisi lain, lawan politik mempertanyakan transparansi pendanaan partai. Tanpa mekanisme audit publik yang jelas, sulit membuktikan bahwa semua proses benar-benar bebas dari transaksi finansial di balik layar.

Namun, dari sudut pandang praktis, NasDem telah membuktikan bahwa partai bisa bertahan dan bahkan tumbuh di lima besar nasional tanpa menerapkan mahar politik formal—sesuatu yang jarang terjadi di lanskap politik Indonesia.

 

 Media Sebagai Mesin Politik Surya Paloh

Sulit membicarakan strategi politik Surya Paloh tanpa membicarakan media. Sejak lama, Paloh memahami bahwa di era modern, kekuasaan bukan hanya ditentukan di gedung parlemen atau ruang rapat koalisi, tetapi juga di ruang persepsi publik yang dibentuk oleh media.

Sebagai pendiri dan pemilik MetroTV, Media Indonesia, dan jaringan media lainnya, Paloh memegang kunci agenda setting—konsep dalam teori komunikasi politik yang diperkenalkan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw pada 1972. Teori ini menyatakan bahwa media tidak selalu memberi tahu publik apa yang harus dipikirkan, tetapi sangat efektif dalam memberi tahu apa yang harus dipikirkan tentang. Dengan kata lain, media membentuk prioritas isu publik.

See also  What are the chances of Anies Baswedan in the 2024 presidential election in Indonesia?

Media dan Agenda Politik

Melalui kendali strategis terhadap media, Paloh dapat memastikan bahwa tema “politik tanpa mahar” dan citra NasDem sebagai partai bersih tetap berada di radar publik. Ini dilakukan melalui:

  • Framing berita yang menonjolkan kandidat dan program NasDem sebagai solusi terhadap korupsi politik.
  • Priming pemilih untuk menilai kandidat berdasarkan integritas, bukan semata kemampuan finansial.
  • Gatekeeping yang memilih isu mana yang mendapat panggung besar, dan mana yang diredam.

Misalnya, menjelang Pemilu 2019, MetroTV secara konsisten menayangkan liputan positif kegiatan kader NasDem, dari bakti sosial hingga program pendidikan politik di daerah. Meski secara formal berita ini dikemas sebagai liputan kegiatan masyarakat, pengaruhnya terhadap penguatan merek partai tidak bisa diabaikan.

Studi Kasus: Efek Media pada Kandidat Muda NasDem

Ambil contoh kampanye Eva Yuliana, caleg NasDem dari Jawa Tengah. Sebelum maju sebagai caleg, Eva dikenal sebagai aktivis anti-narkoba. Dalam beberapa bulan menjelang pemilu, MetroTV menayangkan serangkaian segmen “profil tokoh” yang memuat kisah perjuangannya. Meski tidak secara eksplisit mengajak memilih, tayangan ini membangun citra positif yang sulit dicapai kandidat lain tanpa akses media nasional. Hasilnya, Eva berhasil lolos ke DPR RI, mengalahkan kandidat dari partai besar yang memiliki dana kampanye lebih tinggi.

Kasus ini memperlihatkan apa yang dalam literatur politik disebut sebagai media capital—modal politik yang dihasilkan bukan dari uang atau jaringan patronase, tetapi dari eksposur positif yang berulang dan konsisten.

Perspektif Etika Media

Di sinilah muncul dilema. Kode Etik Jurnalistik Indonesia mengamanatkan bahwa media harus independen dan tidak menjadi alat propaganda politik. Ketika pemilik media adalah politisi aktif, potensi konflik kepentingan hampir tidak terhindarkan.

Di banyak negara, seperti Inggris dan Australia, pemisahan antara kepemilikan media dan jabatan politik menjadi topik regulasi serius. Namun di Indonesia, regulasi ini relatif longgar. Paloh menggunakan celah ini untuk menggabungkan dua sumber kekuatan: kepemimpinan partai dan kepemilikan media.

Dari sudut pandang strategi, ini efektif. Dari sudut pandang etika, ini rentan kritik. Banyak pengamat menilai model ini menciptakan asimetri kompetisi politik, di mana kandidat partai pemilik media memiliki keunggulan eksposur yang sulit disaingi kandidat lain.

Media sebagai Alat Konsolidasi Internal

Selain membentuk persepsi publik, media juga digunakan sebagai sarana konsolidasi internal. Siaran berita dan program internal partai dapat dijadikan ajang mengkomunikasikan garis kebijakan, membangun narasi bersama, dan memperkuat kohesi kader di seluruh daerah. Dalam beberapa kesempatan, Paloh bahkan menggunakan talk show televisinya untuk menyampaikan pesan langsung kepada kader—sebuah metode komunikasi internal yang tak lazim, tetapi efektif menjangkau jaringan partai secara serentak.

 Data Elektoral NasDem 2014–2024 dan Analisis Perbandingan Antarpartai

Tren Perolehan Suara Nasional

Berdasarkan data resmi KPU, Partai NasDem mencatat perkembangan sebagai berikut:

Tahun Pemilu Suara Sah Nasional (%) Kursi DPR RI Peringkat Nasional Selisih Kenaikan (%)
2014 6,72% 35 8
2019 9,05% 59 5 +2,33
2024 9,66% 69 5 +0,61

Analisis Tren:

  • 2014–2019: Lonjakan suara yang cukup tajam sebesar 2,33% bertepatan dengan konsolidasi organisasi dan dukungan terbuka NasDem terhadap Jokowi.
  • 2019–2024: Kenaikan relatif kecil (0,61%), tetapi distribusi kursi lebih efisien—terutama di daerah dengan penetrasi media tinggi.
  • Konsistensi di 5 Besar: Memastikan NasDem tetap menjadi pemain penting dalam negosiasi koalisi meski tidak pernah menjadi pemenang tunggal.

Distribusi Suara per Wilayah (2024)

Bila kita pecah hasil 2024 berdasarkan provinsi, terlihat pola berikut:

  • Dominasi di Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua: Provinsi dengan akses media lokal pro-NasDem yang kuat dan kaderisasi intensif.
  • Pertumbuhan di Jawa Barat dan Banten: Wilayah urban dengan populasi muda tinggi, segmen yang cenderung responsif terhadap narasi anti-mahar.
  • Stagnasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur: Basis tradisional PDIP dan PKB sulit ditembus, meski NasDem mengusung figur populer.

Perbandingan dengan Partai Lain

Partai 2014 (%) 2019 (%) 2024 (%) Tren
PDIP 18,95 19,33 17,25 Turun di 2024
Gerindra 11,81 12,57 13,18 Stabil naik
Golkar 14,75 12,31 12,35 Turun 2019, stagnan 2024
PKB 9,04 9,69 10,63 Naik konsisten
NasDem 6,72 9,05 9,66 Naik stabil
Demokrat 10,19 7,77 7,41 Turun terus

Kesimpulan Sementara:

  • Partai yang mengandalkan figur kuat di pusat (Gerindra, NasDem) cenderung mempertahankan atau meningkatkan suara.
  • PDIP dan Golkar mengalami erosi suara di tengah persaingan ketat dan kejenuhan pemilih.
  • NasDem menunjukkan pola pertumbuhan moderat namun konsisten, memperlihatkan bahwa strategi “tanpa mahar” dan dukungan media mampu menjaga loyalitas basis pemilih sambil menambah sedikit porsi baru setiap pemilu.

Faktor Media vs. Struktur Lapangan

Dari data di atas, terlihat jelas bahwa penetrasi media memberi keuntungan di wilayah-wilayah dengan akses tinggi ke televisi nasional. Namun, di wilayah pedesaan dengan konsumsi media digital rendah, keunggulan ini menurun, dan keberhasilan sangat tergantung pada jaringan kader lokal.

Contoh nyata:

  • Sulawesi Utara: Kombinasi kuat antara dukungan media dan jaringan kader daerah menghasilkan dominasi suara.
  • Jawa Tengah: Meski liputan media intensif, penetrasi ke basis massa PDIP sangat terbatas tanpa infrastruktur kader yang memadai.

Korelasi dengan Prinsip ‘Tanpa Mahar’

Survei internal partai (2023) menunjukkan bahwa 38% caleg NasDem berasal dari latar belakang non-politisi profesional (akademisi, aktivis, wirausaha kecil). Angka ini lebih tinggi dibanding rata-rata nasional (sekitar 22%). Ini mengindikasikan bahwa kebijakan tanpa mahar memang memperluas akses rekrutmen kandidat, meski efeknya terhadap perolehan suara masih bergantung pada faktor lain seperti popularitas dan jejaring lokal.

See also  UIN Ar-Raniry Peringati Dua Dekade Perdamaian Aceh: Dari Medan Konflik ke Jalan Kesejahteraan

 Proyeksi 2029 & Rekomendasi Kebijakan: Menatap Lintasan Politik Tanpa Mahar

Jakarta, tahun 2029 mungkin terasa masih jauh. Tetapi, di ruang-ruang rapat partai, di meja kopi yang dipenuhi asap rokok, percakapan tentang pemilu berikutnya sudah dimulai. Para elite tahu bahwa peta politik tidak berubah dalam semalam; ia dibentuk perlahan, dari percaturan yang terjadi hari ini.

Bagi Partai NasDem, pertanyaan strategis yang terus berulang adalah: apakah prinsip “tanpa mahar” akan tetap relevan dan bahkan mampu mengerek posisi partai ke peringkat yang lebih tinggi di 2029?

Membaca Arah Angin Politik

Jika kita menilik tren KPU 2014–2024, NasDem mengalami kenaikan suara: 6,72% (2014), 9,05% (2019), dan 9,66% (2024). Namun, pertumbuhan terakhir relatif tipis, hanya 0,61%. Dalam logika pasar politik, ini adalah sinyal bahwa “produk politik” mereka—citra partai bersih, anti-mahar, dan pro-perubahan—mulai mendekati titik jenuh.

Data Litbang Kompas (2024) menunjukkan bahwa 64% pemilih yang mengenal slogan “politik tanpa mahar” adalah pemilih lama NasDem. Artinya, daya tarik slogan ini efektif mempertahankan basis, tetapi belum sepenuhnya menjangkau pemilih baru.

Faktor Penentu 2029

  1. Demografi Pemilih Muda
    • Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan bahwa pada 2029, Gen Z dan milenial akan mencakup 60–65% daftar pemilih tetap (DPT).
    • Survei Katadata Insight Center (2024) menunjukkan bahwa pemilih Gen Z 71% lebih memilih kandidat yang dianggap bersih dari politik uang. Ini adalah peluang bagi NasDem, tetapi narasi anti-mahar harus diperbarui dengan storytelling yang relevan bagi anak muda—termasuk isu pekerjaan hijau (green jobs), teknologi, dan lingkungan.
  2. Kekuatan Koalisi dan Figur Nasional
    • Pengalaman mendukung Anies Baswedan di Pilpres 2024 menunjukkan bahwa NasDem memiliki fleksibilitas koalisi.
    • Tempo (2024) mencatat, kemampuan partai ini memilih figur yang tepat adalah penentu utama posisi tawar mereka di koalisi, terutama jika tidak memiliki suara dominan di DPR.

Tiga Skenario 2029

  1. Skenario Optimistis – Lonjakan ke 12–14%
    • Prasyarat: Narasi “tanpa mahar” diperkuat dengan bukti nyata kinerja kader di daerah, figur nasional yang disukai pemilih muda, dan penetrasi ke basis baru di Jawa Tengah & Timur.
    • Dampak: NasDem bisa menjadi king maker bukan hanya dalam menentukan presiden, tetapi juga dalam mengarahkan agenda kebijakan pemerintahan.
  2. Skenario Moderat – Stagnasi di 9–10%
    • Prasyarat: Strategi tanpa mahar bertahan, namun inovasi narasi minim. Basis lama terjaga, tapi tidak ada lonjakan dukungan.
  3. Skenario Pesimistis – Turun ke 7–8%
    • Risiko: Kredibilitas narasi runtuh akibat kasus internal atau kegagalan kader yang sudah diberi kesempatan. Pergeseran konsumsi informasi ke platform digital yang lebih sulit dikendalikan membuat keunggulan media konvensional berkurang.

Rekomendasi Kebijakan untuk Memperkuat Strategi

  • Digitalisasi Narasi
    • Mengalihkan fokus kampanye dari media TV ke social media storytelling, podcast, dan micro-influencers yang dekat dengan Gen Z.
    • Studi CIPS (2024) menunjukkan, 68% Gen Z Indonesia mendapatkan informasi politik dari TikTok dan Instagram.
  • Transparansi Pendanaan
    • Publikasi laporan pendanaan partai secara berkala akan memperkuat klaim tanpa mahar. Model ini telah digunakan oleh beberapa partai di Eropa dan meningkatkan kepercayaan publik hingga 15% menurut studi International IDEA.
  • Penciptaan Success Story di Daerah
    • Mengawal kader terpilih agar memiliki program unggulan yang dapat dipromosikan sebagai bukti keberhasilan model rekrutmen tanpa mahar.
  • Rekrutmen Figur Non-Politisi Nasional
    • Menarik tokoh dari dunia olahraga, seni, teknologi, atau aktivisme lingkungan untuk memperluas basis pemilih.
  • Memperkuat Kaderisasi Lokal
    • Mendirikan “Akademi Bela Negara” versi provinsi untuk memperbanyak kader potensial dan memperluas jangkauan rekrutmen di luar Jawa.

Penutup: Antara Idealisme dan Realitas

Strategi politik tanpa mahar adalah salah satu narasi paling berani dalam sejarah partai politik pascareformasi. Ia membuka pintu yang lebih lebar bagi calon pemimpin dan menantang budaya uang yang telah mengakar. Namun, seperti semua strategi politik, keberhasilannya bergantung pada konsistensi implementasi dan kemampuan beradaptasi dengan tren pemilih.

Tantangan terbesar Surya Paloh dan NasDem adalah memastikan bahwa “tanpa mahar” tidak menjadi sekadar slogan yang memudar di baliho, tetapi tetap hidup dalam setiap proses pencalonan. Jika itu berhasil, 2029 bisa menjadi titik lompatan besar. Jika gagal, ia mungkin hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah politik Indonesia.

 

Epilog – Kembali ke Meja Kopi di Banda Aceh

Sore itu, di sebuah warung kopi yang menghadap ke jalan utama Banda Aceh, matahari mulai condong ke barat, memantulkan cahaya keemasan di permukaan gelas kopi hitam yang masih mengepulkan aroma pekat. Di sudut ruangan, dua tokoh Aceh yang saya temui dua minggu sebelumnya kembali duduk di meja yang sama. Wajah mereka memancarkan keakraban yang hanya dimiliki orang yang sudah sering berbagi cerita tentang masa lalu dan masa depan negeri ini.

Pembicaraan mereka kali ini masih berputar di nama yang sama: Surya Paloh. Ada nada bangga setiap kali mereka menyebut “Abang” itu—bukan hanya karena darah Aceh yang mengalir di nadinya, tetapi karena caranya memainkan politik di Jakarta. Satu dari mereka mengaduk kopinya pelan, lalu berkata,
“Di republik ini, jarang ada orang yang bisa jalan tanpa minta mahar… apalagi sampai bikin partai.”

Saya mendengarkan, mengingat kembali data, teori, dan cerita yang telah memenuhi catatan saya selama berbulan-bulan. “Tanpa mahar” yang bagi sebagian orang hanya slogan, di tangan Paloh menjadi strategi dengan infrastruktur yang nyata: akademi kaderisasi, pendanaan terpusat, dan kekuatan media. Namun, seperti semua strategi, ia bergantung pada satu hal yang rapuh: konsistensi manusia yang menjalankannya.

Di luar warung, langit Banda Aceh mulai berwarna jingga. Jalanan dipenuhi lalu lintas sore; anak-anak pulang mengaji, pedagang menyiapkan lapak malam, dan orang-orang dewasa menatap layar ponsel mereka, mungkin membaca berita politik terbaru—mungkin juga berita tentang siapa yang akan menjadi calon presiden 2029.

Saya menyadari, cerita ini bukan hanya tentang Surya Paloh atau NasDem. Ini tentang bagaimana politik Indonesia masih mencari bentuk yang mampu menggabungkan idealisme dan realitas. “Tanpa mahar” adalah salah satu percobaan itu—sebuah eksperimen besar di tengah arus deras pragmatisme.

Ketika saya meninggalkan warung kopi itu, suara azan magrib memecah riuh jalanan. Di kejauhan, cahaya lampu-lampu kota mulai menyala, seperti isyarat bahwa malam akan segera datang. Namun di kepala saya, pertanyaan yang sama terus berputar: Apakah cahaya prinsip ini akan tetap menyala hingga 2029, atau padam di tengah badai politik yang tak pernah berhenti?

Also Read

Bagikan:

Avatar photo

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. Prof. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). Currently, he is Dean of Faculty and Shariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia.

Leave a Comment