The New Digital Age – Eric Schmidt & Jared Cohen

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Pendahuluan

The New Digital Age dibuka dengan nada optimistis sekaligus penuh kewaspadaan. Eric Schmidt dan Jared Cohen memulai dengan satu premis mendasar: dunia sedang mengalami pergeseran besar yang digerakkan oleh kekuatan teknologi digital, dan perubahan ini akan bersifat mendasar, bukan sekadar tambahan. Mereka memposisikan teknologi bukan hanya sebagai alat bantu, melainkan sebagai faktor struktural yang akan menentukan arah perjalanan manusia dalam dekade-dekade ke depan.

Schmidt dan Cohen memperkenalkan gagasan bahwa internet, perangkat digital, dan konektivitas global akan menjadi tulang punggung kehidupan sosial, ekonomi, politik, bahkan keamanan. Mereka memandang masa depan ini melalui kacamata pengalaman mereka di Google, tetapi dengan perspektif yang jauh melampaui dunia bisnis teknologi. Dalam pandangan mereka, masa depan digital akan menyentuh semua lini: identitas pribadi, pemerintahan, hubungan antarnegara, ekonomi global, revolusi sosial, hingga cara berperang.

Pendahuluan buku ini berfungsi sebagai peta jalan. Penulis menegaskan bahwa perkembangan teknologi akan membawa dunia menuju keterhubungan yang belum pernah terjadi sebelumnya—lebih cepat, lebih luas, dan lebih kompleks. Namun, bersama peluang besar ini, akan lahir risiko-risiko baru: penyalahgunaan data, pengawasan berlebihan, ancaman keamanan siber, dan jurang digital antara mereka yang memiliki akses teknologi dan yang tidak. Sejak awal, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa teknologi bersifat netral, dan nasib masa depan akan sangat ditentukan oleh bagaimana kita memilih untuk menggunakannya.

 Masa Depan Identitas

Bab pertama membahas bagaimana teknologi akan mengubah konsep identitas. Schmidt dan Cohen mengemukakan bahwa setiap individu di masa depan akan memiliki dua bentuk identitas yang saling terkait: identitas offline dan identitas online. Identitas offline adalah diri fisik, status hukum, dan interaksi langsung dalam dunia nyata. Identitas online adalah representasi digital: jejak media sosial, riwayat pencarian, catatan transaksi elektronik, foto dan video yang dibagikan, serta data yang dikumpulkan secara otomatis oleh berbagai platform.

Mereka memaparkan bahwa integrasi kedua identitas ini akan semakin erat sehingga batasnya menjadi kabur. Dalam banyak kasus, reputasi seseorang di dunia nyata akan sangat dipengaruhi, bahkan ditentukan, oleh jejak digitalnya. Generasi muda yang lahir di era internet akan tumbuh dengan kesadaran bahwa seluruh kehidupannya—dari momen pribadi hingga aktivitas publik—akan terdokumentasi dan tersimpan secara permanen.

See also  Book Review: Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda by Denys Lombard

Penulis menguraikan bahwa identitas digital memberikan peluang bagi individu untuk membangun “merek pribadi” (personal brand), tetapi sekaligus membuka risiko privasi. Informasi pribadi yang terekam di dunia digital dapat dimanfaatkan pihak ketiga, diretas, atau digunakan untuk tujuan yang merugikan. Mereka juga menyinggung fenomena “profil ganda”, di mana seseorang memilih memisahkan identitas publik dan pribadinya untuk alasan keamanan atau strategi profesional.

Bab ini ditulis dengan fokus pada realitas bahwa di masa depan, data akan menjadi bagian tak terpisahkan dari diri manusia. Kesadaran akan konsekuensi dari setiap unggahan dan interaksi digital akan menjadi keterampilan hidup yang penting, dan masyarakat perlu menyesuaikan norma-norma sosialnya untuk mengelola risiko dan manfaat dari keterbukaan ini.

Masa Depan Negara

Pada bab kedua, Schmidt dan Cohen beralih ke pembahasan tentang negara. Mereka menganalisis bagaimana pemerintahan di seluruh dunia akan beradaptasi dengan era digital. Perubahan teknologi ini, menurut mereka, akan menguji kemampuan negara dalam menyeimbangkan keamanan, kebebasan, dan kontrol.

Negara-negara demokratis cenderung melihat teknologi sebagai sarana untuk meningkatkan transparansi, memperluas partisipasi warga, dan memperkuat akuntabilitas. Internet memungkinkan warga negara terhubung langsung dengan pemerintah, menyuarakan pendapat, dan mengakses informasi publik. Namun, negara demokratis juga menghadapi tantangan serius, seperti penyebaran informasi palsu, peretasan terhadap infrastruktur publik, dan kebutuhan untuk melindungi privasi warganya.

Sebaliknya, negara-negara otoriter memandang teknologi sebagai alat untuk memperluas pengawasan dan memperkuat kontrol atas masyarakat. Schmidt dan Cohen menguraikan strategi kontrol digital yang dilakukan melalui penyensoran internet, pengawasan komunikasi online, dan manipulasi informasi. Salah satu contoh paling jelas yang mereka bahas adalah “Great Firewall” Tiongkok—sebuah sistem kontrol informasi yang memungkinkan pemerintah memblokir konten tertentu dan membatasi akses warganya terhadap informasi global.

See also  Apakah Malaikat "Iri" pada Google? Memahami Pergeseran Otoritas Pengetahuan dari Wahyu ke Algoritma

Penulis juga membahas konflik yang akan muncul antara negara demokratis dan otoriter di ranah digital. Pertarungan ideologi ini tidak hanya berlangsung di ruang diplomatik, tetapi juga di medan perang informasi dan dunia maya. Negara-negara akan bersaing untuk menguasai infrastruktur teknologi, standar keamanan, dan arus informasi yang membentuk opini publik global.

 Masa Depan Revolusi

Bab ketiga mengupas bagaimana teknologi akan memengaruhi cara revolusi terjadi. Schmidt dan Cohen melihat bahwa media sosial, internet, dan perangkat seluler telah mengubah secara drastis dinamika gerakan sosial dan politik. Informasi dapat menyebar melintasi batas geografis dan melewati sensor dalam hitungan detik, memungkinkan koordinasi aksi protes secara cepat dan luas.

Penulis menggambarkan teknologi sebagai katalis yang dapat mempercepat penyebaran ide dan memperbesar efek mobilisasi massa. Mereka mengacu pada berbagai peristiwa di mana media sosial memainkan peran penting dalam mengorganisasi protes dan membentuk narasi publik. Platform digital memungkinkan orang untuk mengakses informasi dari sumber alternatif, memperkaya perspektif, dan mematahkan dominasi narasi resmi.

Namun, Schmidt dan Cohen juga mengingatkan bahwa teknologi bukan pengganti organisasi politik tradisional. Revolusi yang berhasil membutuhkan kepemimpinan, strategi, dan struktur yang mampu mempertahankan momentum setelah euforia awal. Tanpa itu, perubahan yang dihasilkan cenderung bersifat sementara atau bahkan menimbulkan kekacauan baru.

Bab ini memperlihatkan dua sisi teknologi dalam revolusi: sebagai alat pembebasan yang memfasilitasi kebebasan berekspresi, dan sebagai sarana yang juga dapat digunakan oleh pihak berkuasa untuk melacak, mengawasi, atau melemahkan gerakan.

Masa Depan Terorisme

Schmidt dan Cohen kemudian menelusuri bagaimana kelompok teroris memanfaatkan teknologi digital. Mereka menunjukkan bahwa internet telah memberi kelompok ini akses global untuk menyebarkan ideologi, merekrut anggota, menggalang dana, dan mengoordinasikan aksi. Media digital memungkinkan pesan mereka menjangkau audiens yang sangat spesifik melalui konten yang dirancang dengan cermat dan disebarkan melalui berbagai kanal.

Video propaganda, forum online, dan platform media sosial menjadi sarana utama untuk mempengaruhi pikiran calon simpatisan. Penulis juga membahas penggunaan teknologi enkripsi untuk mengamankan komunikasi internal, serta pemanfaatan mata uang digital untuk menghindari pelacakan keuangan.

See also  Humanoid Society: Antropologi Digital, Posthumanisme, dan Geopolitik Budaya Pop dalam Peradaban Masa Depan

Namun, perkembangan teknologi juga membuka peluang baru bagi aparat keamanan dan intelijen. Pemantauan lalu lintas data, analisis metadata, dan operasi siber dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengganggu jaringan terorisme. Schmidt dan Cohen menggambarkan pertarungan ini sebagai perlombaan teknologi yang terus berkembang: setiap kemajuan yang dicapai satu pihak mendorong pihak lain untuk menemukan cara baru dalam beradaptasi.

Masa Depan Konflik

Dalam bab ini, penulis memaparkan bentuk-bentuk konflik baru yang akan muncul di era digital. Mereka memperkenalkan konsep “perang siber”, yang mencakup serangan terhadap infrastruktur penting seperti jaringan listrik, sistem perbankan, atau fasilitas militer. Serangan semacam ini dapat melumpuhkan sebuah negara tanpa perlu melibatkan kekuatan militer konvensional.

Selain itu, mereka menguraikan “perang informasi”, di mana opini publik dimanipulasi melalui kampanye disinformasi, berita palsu, dan propaganda digital. Kontrol atas arus informasi menjadi senjata strategis yang sama pentingnya dengan penguasaan wilayah fisik.

Schmidt dan Cohen menekankan bahwa perbedaan antara masa damai dan masa perang akan semakin kabur. Serangan digital dapat dilancarkan kapan saja, tanpa peringatan, dan tanpa deklarasi resmi perang. Dunia akan memasuki fase di mana konflik bersifat terus-menerus, meskipun wujudnya tidak selalu terlihat secara kasat mata.

Kesimpulan: Menuju Masa Depan Digital

Buku ini ditutup dengan penegasan bahwa masa depan digital adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Schmidt dan Cohen menyatakan bahwa teknologi bersifat netral, dan dampaknya—baik atau buruk—sepenuhnya bergantung pada bagaimana ia digunakan. Mereka mengajak pembaca untuk memahami peluang dan risiko ini secara seimbang.

Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil menjadi kunci untuk memastikan bahwa teknologi digunakan untuk memperluas kebebasan, bukan membatasinya. Pendidikan digital, literasi teknologi, dan kesadaran akan etika penggunaan data menjadi fondasi penting dalam membentuk masa depan yang lebih aman dan inklusif.

Schmidt dan Cohen mengakhiri dengan nada optimistis yang realistis: dunia baru ini akan membawa tantangan besar, tetapi juga membuka kemungkinan yang belum pernah kita bayangkan. Masa depan akan dibentuk oleh keputusan-keputusan yang kita buat hari ini, dan setiap individu memiliki peran dalam menentukan arahnya.

Also Read

Bagikan:

Avatar photo

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. Prof. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). Currently, he is Dean of Faculty and Shariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia.

Leave a Comment