Pendahuluan
Tahun 2025 menyaksikan terbitnya sejumlah buku penting di berbagai bidang ilmu sosial, alam, dan humaniora. Makalah ini merangkum buku-buku paling signifikan yang diterbitkan secara global pada tahun 2025 dalam bidang geopolitik, intelijen, kecerdasan buatan, media sosial, keamanan, studi kawasan, teori dan penemuan baru dalam sains (alam dan terapan), ilmu sosial, dan humaniora. Setiap buku dipaparkan dengan identitas dasar (judul, penulis, penerbit, tahun terbit), ringkasan isi, dan kontribusi pentingnya bagi bidang terkait. Ringkasan ini diharapkan memberikan wawasan tentang tren pemikiran dan temuan terkini di berbagai disiplin pada tahun 2025.
Geopolitik
- The Eurasian Century: Hot Wars, Cold Wars, and the Making of the Modern World – Hal Brands (W.W. Norton, 2025). Buku ini menawarkan perspektif geopolitik yang menekankan peran kawasan Eurasia dalam membentuk tatanan dunia modern, berlawanan dengan narasi yang terlalu berpusat pada AS. Brands berargumen bahwa sejak era modern, dinamika kekuatan global terutama digerakkan oleh peristiwa di Eurasia, bukan semata strategi AS[1]. Pendekatan ini menantang pembaca untuk melihat ulang tata dunia multi-polar yang kian nyata, di mana dominasi Barat menurun dan pusat gravitasi geopolitik bergeser ke Eurasia. Buku ini berkontribusi penting dengan memberikan kerangka sejarah luas (meliputi “perang panas” maupun “perang dingin”) guna memahami pergeseran kekuatan global masa kini[2]. (ISBN: 9781324093404)
- Waste Land: A World in Permanent Crisis – Robert Kaplan (Random House, 2025). Ditulis oleh pakar geopolitik terkemuka, buku ini menganalisis fenomena polycrisis global, yaitu tumpang-tindihnya berbagai krisis (teknologi, iklim, konflik, ekonomi, dsb.) yang menciptakan keadaan ketidakstabilan permanen di dunia[3]. Kaplan menggabungkan wawasan historis dan kultural untuk menjelaskan bagaimana keterkaitan krisis-krisis tersebut membentuk masa depan geopolitik. Gagasan dalam buku ini menjadi titik debat penting sepanjang tahun, karena Kaplan menantang para pembuat kebijakan untuk mengurai “simpul krisis” global secara lebih holistik[4]. Kontribusi utamanya adalah memperingatkan bahwa dunia kini berada dalam “tanah kosong” (waste land) krisis permanen, sehingga diperlukan paradigma baru dalam menyusun kebijakan luar negeri dan keamanan global. (ISBN: 9780525512301)
- The Once and Future World Order – Amitav Acharya (Hachette, 2025). Acharya, seorang sarjana hubungan internasional terkemuka, meninjau sejarah 5.000 tahun tata dunia untuk memberikan perspektif optimis terhadap melemahnya dominasi Barat di abad ke-21[5]. Buku ini menyoroti bahwa berakhirnya “tatanan dunia lama” berbasis hegemoni Barat tidak harus berarti kekacauan; sebaliknya, sejarah menawarkan petunjuk bagaimana berbagai peradaban berinteraksi dalam kerangka multi-polar. Acharya berpendapat bahwa memahami lintasan historis jangka panjang dapat membantu dunia menerima transisi menuju multi-polaritas secara lebih konstruktif[6]. Kontribusi buku ini terletak pada sudut pandangnya yang post-Western: ia menantang negara-negara dominan untuk beradaptasi dengan dunia pasca-dominasi Barat secara positif, alih-alih melihatnya sebagai kemunduran semata. (ISBN: 9780300268933)
Intelijen
- The Mission: The CIA in the 21st Century – Tim Weiner (Mariner/HarperCollins, 2025). Buku non-fiksi ini merupakan hasil laporan mendalam Weiner, pemenang Pulitzer, mengenai kiprah CIA pasca-Perang Dingin hingga era modern. Berdasarkan wawancara dengan enam mantan direktur CIA dan puluhan petugas intelijen, The Mission menghadirkan “masterpiece of reporting” yang mengungkap transformasi, tantangan, dan kontroversi CIA di abad ke-21[7]. Weiner menyajikan wawasan orang dalam tentang operasi rahasia, perubahan strategi intelijen pasca-9/11, perang melawan terorisme, hingga persaingan intelijen di era siber. Kontribusinya sangat penting bagi bidang intelijen: buku ini mendokumentasikan evolusi peran CIA di dunia yang kian kompleks, sekaligus mengkritisi akuntabilitas dan misi agensi tersebut dalam mempertahankan keamanan nasional AS dan sekutunya. (Penerbit: Mariner Books; ISBN: 9780063270183)[8]
- Operation Wrath of God: The Secret History of European Intelligence and Mossad’s Assassination Campaign – Aviva Guttmann (Cambridge University Press, 2025). Buku akademik ini membongkar peran rahasia dinas-dinas intelijen Eropa dalam membantu operasi balas dendam Mossad pasca-insiden Munich 1972 (dikenal sebagai Operasi “Wrath of God”). Berdasarkan riset arsip rahasia yang belum pernah dipublikasikan, Guttmann memberikan pandangan baru tentang kolaborasi intelijen internasional dalam kampanye pembunuhan terencana Mossad terhadap teroris Palestina di Eropa[9]. Buku ini menonjol karena menantang narasi resmi bahwa Mossad bertindak sendiri; Guttmann justru menunjukkan keterlibatan aktif Jerman Barat, Prancis, dan negara Eropa lain dalam memfasilitasi operasi rahasia tersebut[10]. Kontribusinya bagi studi intelijen adalah membuka diskursus tentang dinamika kerjasama dan moralitas operasi “targeted killing” lintas negara, serta dampaknya terhadap hukum internasional dan hubungan diplomatik pada masa Perang Dingin. (ISBN: 9781009503075, terbit Agustus 2025)[9][11]
Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence)
- Empire of AI: Dreams and Nightmares in Sam Altman’s OpenAI – Karen Hao (Penguin Press, 2025). Ditulis oleh jurnalis teknologi terkemuka, buku ini menyajikan kisah “dalaman” drama di perusahaan OpenAI, termasuk pemecatan dan pengangkatan kembali CEO Sam Altman pada 2023[12]. Hao mengungkap dinamika kekuasaan, konflik etika, dan ambisi di balik pengembangan AI generatif terdepan. Dengan riset mendalam dan wawancara orang dalam, Empire of AI menjelaskan apa yang “salah” di OpenAI dan mengapa perusahaan ini berada di pusat lanskap sosial-teknologi masa kini[13]. Buku ini penting bagi bidang AI karena mendokumentasikan momen kritis industri AI saat teknologi berkembang pesat namun tata kelolanya dipertanyakan. Hao menunjukkan bagaimana keputusan dan visi segelintir elit teknologi dapat memengaruhi masa depan masyarakat, sehingga bukunya menjadi peringatan agar publik memahami dampak sosial dan dinamika kekuasaan di balik revolusi AI (ISBN: 9780593657508)[14][15].
- The AI Con: How to Fight Big Tech’s Hype and Create the Future We Want – Emily M. Bender & Alex Hanna (Harper/Bodley Head, 2025). Buku ini merupakan kritik tajam terhadap “mitos” AI yang dihembuskan raksasa teknologi. Bender dan Hanna, pakar linguistik dan etika AI, membongkar kelebihan janji dan pemasaran menyesatkan seputar AI[16][17]. Mereka berpendapat bahwa istilah “AI” sering dipakai berlebihan sebagai kedok segelintir pemain besar untuk mengeruk keuntungan dari data publik dan karya kreatif orang banyak[18]. Contoh konkret yang diulas adalah model bahasa besar (large language models) seperti ChatGPT, yang disebut penulis sebagai “mesin ekstrusi teks sintetis” tanpa pemahaman atau niat di baliknya[17][19]. Buku ini berkontribusi signifikan dengan menyoroti bahaya “AI hype”: dari penyebaran informasi keliru, dampak negatif pada pekerja kreatif, hingga normalisasi keputusan algoritmik dalam masyarakat[20][21]. The AI Con menjadi seruan agar publik lebih kritis terhadap klaim AI dan menuntut akuntabilitas dalam penerapan teknologi tersebut (ISBN: 9780008562434).
- Superagency: What Could Possibly Go Right with Our AI Future – Reid Hoffman & Greg Beato (Authors Equity/Simon & Schuster, 2025). Berbeda dari nada peringatan di atas, buku ini menyajikan pandangan optimis tentang potensi AI untuk meningkatkan kehidupan manusia. Hoffman (pendiri LinkedIn, investor teknologi) dan Beato berargumen bahwa manusia memiliki kuasa untuk mengarahkan AI demi kemaslahatan bersama, asalkan kita mengambil sikap proaktif[22]. Superagency mendiskusikan skenario masa depan di mana AI memperkuat kemampuan manusia di berbagai bidang – dari bisnis, pendidikan, hingga kesehatan – dan menawarkan playbook bagi pemimpin dan inovator untuk meraih peluang tersebut secara etis. Buku ini penting karena menyeimbangkan diskusi AI dengan menggarisbawahi agenitas manusia (“super-agency”) dalam menentukan dampak AI: alih-alih takut berlebihan, kita diajak memanfaatkan AI secara bertanggung jawab untuk mendongkrak kreativitas, produktivitas, dan solusi masalah global[23]. Dengan pendekatan praktis dan optimis, buku ini memperkaya wacana AI dengan menunjukkan jalan agar teknologi canggih ini dapat “membantu membentuk masa depan yang lebih cerah” alih-alih merusaknya[24]. (ISBN: 9798893310108)
Media Sosial
- Superbloom: How Technologies of Connection Tear Us Apart – Nicholas Carr (W.W. Norton, 2025). Carr, penulis buku terkenal The Shallows, kembali dengan analisis kritis mengenai dampak negatif teknologi digital dan media sosial terhadap individu dan masyarakat. Superbloom menyoroti paradoks era informasi melimpah: alih-alih mendekatkan, “teknologi koneksi” justru dapat memecah belah dan mengikis kemanusiaan kita[25][26]. Carr menelusuri sejarah optimisme digital dan menunjukkan bahwa banjir informasi (superbloom) modern membawa konsekuensi serius, seperti menurunnya kemampuan atensi, terpolarisasinya masyarakat, dan well-being yang tergerus oleh arus konten tanpa henti[27]. Sikap pessimismenya yang beralasan menjadi nilai penting buku ini, karena di tengah gelombang utopianisme teknologi, Carr mengingatkan bahwa kita harus menyadari harga yang dibayar oleh kemanusiaan dalam era media sosial yang hiper-konektif[28]. Kontribusi Superbloom adalah menyediakan kerangka untuk “menarik garis batas antara inovasi dan disintegrasi sosial”, sehingga pembaca diajak memikirkan ulang batas sehat penggunaan media sosial demi kesejahteraan bersama[29].
- Owned: How Tech Billionaires on the Right Bought the Loudest Voices on the Left – Eoin Higgins (Bold Type Books, 2025). Buku ini mengungkap investigasi jurnistik mengenai kolusi antara para milyuner teknologi konservatif dengan beberapa tokoh media alternatif berhaluan kiri dalam menciptakan lanskap media baru yang bias[30]. Higgins menjabarkan bagaimana tokoh seperti Elon Musk, Peter Thiel, Marc Andreessen, dan David Sacks mulai menginvestasikan kekayaan mereka ke platform media dan jurnalis (misalnya Glenn Greenwald, Matt Taibbi) yang dulunya kritis terhadap establishment[31]. Aliansi baru ini, menurut buku Owned, bertujuan mengeksploitasi kelemahan jurnalisme tradisional dan melemahkan kebebasan pers demi kepentingan bisnis dan ideologi mereka[32][33]. Dampaknya adalah munculnya “media alternatif” berhaluan kanan yang dikemas dengan wajah mantan jurnalis progresif – suatu fenomena yang “mengaburkan” batas fakta dan propaganda. Kontribusi buku ini terletak pada penyingkapannya yang “mengerikan” terhadap pengambilalihan ruang informasi publik: Higgins memperingatkan bahwa landskap media-sosial dan berita abad ke-21 kian dikendalikan oligarki teknologi demi agenda antidemokratis[34]. Owned dengan demikian menjadi seruan agar publik dan pegiat media waspada terhadap erosi jurnalisme independen di era dominasi platform digital[35]. (ISBN: 9781645030461)
Keamanan
- The Technological Republic: Hard Power, Soft Belief, and the Future of the West – Alexander C. Karp & Nicholas W. Zamiska (Crown, 2025). Ditulis oleh CEO Palantir (perusahaan teknologi keamanan) bersama seorang penulis, buku ini berargumen bahwa negara-negara Barat harus “menyatukan kembali” dunia teknologi dengan kepentingan nasional mereka[36][37]. Karp menilai bahwa di era persaingan eksponensial teknologi (AI, big data, dsb.), aliansi pemerintah dengan perusahaan teknologi menjadi kunci pertarungan kepentingan global. Ia menyerukan agar AS dan sekutunya mempererat hubungan dengan sektor teknologi, menyadari bahwa “nasib mereka bersatu dan musuh yang dihadapi sama”[38]. The Technological Republic memberikan kontribusi penting bagi wacana keamanan nasional di era digital, dengan menjelaskan bagaimana integrasi hard power (militer, intelijen) dan soft power (nilai, inovasi teknologi) dapat memperkuat posisi Barat menghadapi Tiongkok, Rusia, dan aktor otoriter lainnya. Buku ini mendorong perdebatan tentang “fusi berkelanjutan antara raksasa teknologi dan pembuat kebijakan” demi melindungi kepentingan demokrasi[37]. Sebagai refleksi dari pelibatan para tech billionaire dalam politik (misalnya pemerintahan Trump), buku ini relevan terhadap pertanyaan: bagaimana demokrasi Barat bisa memanfaatkan keunggulan teknologi tanpa mengorbankan prinsip-prinsip etika dan kebebasan.
- The New Nuclear Age: At the Precipice of Armageddon – Ankit Panda (Polity Press, 2025). Panda, analis nuklir internasional, dalam buku ini memperingatkan munculnya “era nuklir baru” dengan lanskap ancaman yang belum pernah ada sebelumnya[39]. Ia membagi sejarah nuklir ke dalam tiga era: era pertama (bom atom hingga Perang Dingin Soviet-AS), era kedua (pasca-Perang Dingin dengan proliferasi di Asia Selatan dan Korea Utara, serta penurunan arsenal AS-Rusia), dan kini era ketiga atau new nuclear age. Ciri-ciri era baru ini antara lain: munculnya pemain nuklir baru (seperti Korea Utara), kemajuan teknologi persenjataan (misil hipersonik, senjata siber, AI), serta kembalinya kompetisi great powers (AS, Tiongkok, Rusia) di bidang nuklir[40][41]. Panda memaparkan konteks sejarah dan debat seputar risiko deterensi nuklir modern, seraya menyoroti insiden flashpoints terkini (contoh: krisis Ukraina, Taiwan) yang meningkatkan risiko salah perhitungan nuklir[41]. Buku ini berkontribusi signifikan dengan menyerukan kembali ke pengekangan dan pengendalian senjata: Panda menegaskan perlunya verifikasi yang efektif dan upaya multilateral baru untuk mencegah eskalasi nuklir di era kompleks ini[41][42]. Diskusinya tentang deterensi juga unik – ia mengakui deterensi mungkin mencegah perang nuklir, tetapi bersifat rapuh dan selalu berdampingan dengan ancaman koersif “teror” senjata nuklir itu sendiri[43]. Secara keseluruhan, The New Nuclear Age adalah tinjauan tepat waktu atas keamanan global, memperingatkan bahwa tanpa inovasi diplomatik dan kendali risiko, dunia berdiri di “tepi Armageddon” nuklir. (ISBN: 9781509557462)
Studi Kawasan (Area Studies)
- Breakneck: China’s Quest to Engineer the Future – Dan Wang (W.W. Norton / Allen Lane, 2025). Buku ini merupakan catatan komprehensif tentang kebangkitan teknologi dan industri Tiongkok yang ditulis oleh analis yang bermukim di Tiongkok selama enam tahun terakhir[44]. Dan Wang menawarkan kerangka baru memahami Tiongkok modern: ia menyebut Tiongkok sebagai “engineering state” yang agresif membangun megaproyek, sementara Amerika Serikat digambarkan sebagai “masyarakat legalistik” yang cenderung menghambat pembangunan dengan regulasi[45]. Pendekatan ini memberikan penjelasan mengapa pembangunan infrastruktur dan manufaktur “bangun besar-besaran” mendorong kemajuan ekonomi Tiongkok, namun di sisi lain “rekayasa sosial” di sana menimbulkan biaya sosial serius (misalnya trauma akibat kebijakan Zero-COVID dan satu-anak)[46]. Breakneck juga memadukan analisis politik-ekonomi dengan reportase di lapangan: Wang menggambarkan kilau metropolis dan kompleks pabrik Tiongkok, sembari mengulas ambisi Partai Komunis yang kian menggelap (otoriter) dan keresahan rakyatnya[47]. Kontribusinya terletak pada upayanya mengajarkan pembaca Barat bahwa Tiongkok telah belajar dari keberhasilan dan kegagalan Barat, dan sekarang giliran Barat yang perlu belajar dari Tiongkok – terutama dengan menganggap serius ambisi global Beijing[48]. Buku ini relevan dalam konteks “Perang Dingin Baru” AS-Tiongkok, karena Breakneck memperlihatkan kekuatan sekaligus kelemahan model Tiongkok, memberikan wawasan seimbang bagi pembuat kebijakan maupun akademisi tentang tantangan persaingan abad ke-21 antara dua raksasa tersebut[48]. (ISBN: 9781324106036)
- New Turkey and the Far Right: How Reactionary Nationalism Remade a Country – Selim Koru (I.B. Tauris/Bloomsbury, 2025). Buku ini mengeksplorasi transformasi politik Turki di bawah kepemimpinan Recep Tayyip Erdoğan melalui lensa ideologi nasionalis kanan-jauh. Koru berpendapat bahwa ambisi Erdoğan membentuk “Turki Baru” – yang lebih independen dari Barat dan membangun aliansi kekuatannya sendiri – bukanlah fenomena unik, melainkan bagian dari tren global bangkitnya nasionalisme sayap kanan serupa Trump di AS atau Modi di India[49]. Dengan kata lain, buku ini “menghilangkan keistimewaan” kasus Turki dan menempatkannya sejajar dengan gelombang populisme nasionalis yang dipicu ressentiment (kebencian mendalam) terhadap Barat, mirip dengan yang terjadi di Rusia[50]. Koru menelusuri akar historis sentimen anti-Barat di Turki serta menyajikan wawasan tentang perubahan kebijakan luar negeri Turki: termasuk hubungan hangatnya dengan sesama revisionist powers (Rusia dan Tiongkok), keterlibatannya dalam perang Suriah dan Ukraina, serta grand strategy Erdoğan untuk ekspansi pengaruh regional[51][52]. Berbasis wawancara dengan tokoh politik lintas spektrum di Turki dan pemahaman mendalam penulis tentang tradisi kanan-jauh dan Islamisme Turki, buku ini memperkaya kajian kawasan dengan menjelaskan ide-ide politik yang mendorong perubahan rezim dan orientasi internasional Turki. Kontribusi utamanya adalah membantu pembaca dan pembuat kebijakan memahami “aliansi-aliansi baru” yang dibentuk Turki (misal dengan Rusia, Tiongkok) di era ketika negara tersebut menantang tatanan dunia lama, serta implikasinya bagi NATO dan stabilitas kawasan. (ISBN: 9780755656462)[53][49]
Teori dan Penemuan Baru dalam Sains (Alam dan Terapan)
- Proof: The Art and Science of Certainty – Adam Kucharski (Basic Books, 2025). Dalam buku interdisipliner ini, Kucharski (seorang matematikawan dan epidemiolog) mengajak pembaca menyelami hakikat kepastian ilmiah dan matematika. Ia mengeksplorasi apa arti “membuktikan sesuatu” dan bagaimana kita bisa tahu sesuatu “dengan pasti” – mulai dari konsep bukti dalam logika dan matematika, metode ilmiah untuk menguji hipotesis, hingga aspek psikologis keyakinan[54]. Ditulis secara menarik dan mudah diakses[55], Proof menjembatani sains dan filsafat dengan menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana manusia membedakan pengetahuan dari keyakinan? Kucharski menyoroti contoh-contoh historis dan modern tentang pencarian kepastian (misalnya upaya membuktikan teorema matematis, memastikan keamanan vaksin, dsb.), sambil menjelaskan keterbatasan yang melekat dalam setiap proses pembuktian. Kontribusi buku ini terletak pada pencerahannya bahwa “kepastian” sering kali bersifat gradatif dan kontekstual. Di era banjir informasi dan misinformasi, Proof memberikan perangkat berpikir kritis bagi pembaca awam maupun ilmuwan untuk memahami apa yang dapat (dan tidak dapat) dijamin oleh data dan argumen. Hal ini sangat relevan untuk meningkatkan literasi publik tentang sains: di tengah perdebatan vaksin, perubahan iklim, atau AI, Proof mengajarkan apresiasi terhadap metode ilmiah sekaligus kerendahan hati bahwa ilmu pengetahuan selalu terbuka terhadap bukti baru (ISBN: 9781541606692)[56].
- Everything Is Tuberculosis: The History and Persistence of Our Deadliest Infection – John Green (Crash Course Books/Penguin, 2025). Penulis bestseller John Green beralih ke non-fiksi ilmiah dengan buku yang mengisahkan sejarah penyakit tuberkulosis (TB) dan alasannya tetap menjadi pembunuh terbesar di dunia hingga kini[57]. Berbeda dari pandangan awam bahwa TB adalah “penyakit masa lalu”, Green menunjukkan dengan data dan narasi personal bahwa TB masih merenggut nyawa lebih banyak daripada penyakit infeksi lain setiap tahunnya[58]. Buku ini membingkai TB bukan sekadar masalah medis, tetapi sebagai kegagalan pilihan manusia: Green berargumen bahwa di era modern, faktor sosial, politik, dan ekonomi lah yang membuat TB terus merajalela, padahal secara medis penyakit ini sudah dapat disembuhkan[57]. Ia mencontohkan bagaimana pilihan kebijakan dan komersial – misalnya mahalnya obat baru akibat monopoli perusahaan farmasi – menghambat upaya pemberantasan TB di negara miskin[59]. Buku ini ditulis secara menyentuh dengan mengisahkan “Henry”, seorang pasien muda TB yang ditemui Green di Sierra Leone, sebagai benang merah sejarah medis dan sosial TB[60]. Everything Is Tuberculosis memberikan kontribusi penting pada sains terapan dan kesehatan masyarakat dengan mengedukasi pembaca luas tentang kombinasi antara sains biomedis dan keadilan sosial: bahwa perang melawan penyakit tidak cukup dengan penemuan obat, tetapi juga menuntut perubahan kebijakan global dan kemauan politik[59]. Kesuksesan buku ini (menjadi New York Times #1 nonfiction) menunjukkan resonansinya, mengingatkan dunia bahwa di balik statistik epidemi tersembunyi isu moral tentang pilihan manusia untuk menyelamatkan nyawa (ISBN: 9780525426059)[57][61].
Ilmu Sosial
- Abundance – Ezra Klein & Derek Thompson (Simon & Schuster, 2025). Ditulis oleh dua jurnalis dan pemikir kebijakan populer, buku ini menawarkan paradigma baru untuk mengatasi apa yang mereka sebut “polycrisis” global dengan merangkul prinsip kelimpahan (abundance)[62]. Klein dan Thompson berpendapat bahwa banyak krisis saat ini – dari ekonomi tersendat, ketimpangan sosial, hingga perubahan iklim – bersumber dari mentalitas scarcity (kelangkaan) dan ketakutan, yang menghambat inovasi dan solusi berani. Mereka mempopulerkan “agenda kelimpahan” di mana masyarakat dan pemerintah fokus pada hasil akhir yang diinginkan alih-alih terjebak dalam ketakutan atau dogma metode tertentu[63]. Gagasan ini pertama kali dicetuskan Thompson dalam kolom The Atlantic tahun 2022, dan dalam buku Abundance keduanya mengembangkannya menjadi visi kebijakan komprehensif[64]. Contohnya, alih-alih membatasi pembangunan perumahan karena takut dampak, mengapa tidak memperbanyak perumahan sambil memastikan standar hijau terpenuhi? Buku ini mendorong optimisme pragmatis: mengajak lintas spektrum politik untuk berani berinvestasi besar-besaran pada infrastruktur, energi terbarukan, pendidikan, dan inovasi, sehingga “kelimpahan” hasilnya dapat dinikmati semua pihak. Kontribusi Abundance bagi ilmu sosial khususnya ekonomi politik adalah menggeser perdebatan dari pembagian kue yang terbatas menjadi membuat kue lebih besar untuk semua, tentu dengan tetap mempertimbangkan keberlanjutan dan keadilan. Buku ini memicu diskusi segar tentang kebijakan publik pro-pertumbuhan yang inklusif, melawan narasi pesimis yang menganggap stagnasi sebagai keniscayaan (ISBN: 9781982121602)[65].
- Erased: A History of International Thought Without Men – Patricia Owens (Princeton University Press, 2025). Dalam buku inovatif ini, Profesor Patricia Owens melakukan “arkeologi intelektual” terhadap bidang Hubungan Internasional (HI) dengan menyoroti para perempuan pemikir yang terpinggirkan dari sejarah resmi disiplin tersebut[66]. Owens berargumen bahwa sejak lahirnya (sekitar awal abad ke-20), ilmu HI sangat bias gender dan ras – didominasi oleh pria (kebanyakan kulit putih, dari kalangan elit) sehingga pandangan dan kontribusi perempuan serta sarjana non-Barat nyaris terhapus dari kanon[67]. Buku Erased menghadirkan penelitian sejarah yang cermat, memperkenalkan kembali tokoh-tokoh perempuan (misalnya pacifis, diplomat, akademisi) yang sebenarnya memiliki pemikiran mendalam tentang perang, perdamaian, kolonialisme, dsb., namun tidak diakui oleh establishment HI pada masanya. Owens menunjukkan bagaimana proyek penciptaan ilmu HI di awal abad 20 bersifat sangat “gendered” dan “racialised”, misalnya dengan mengasumsikan pengalaman perang dan diplomasi sebagai domain laki-laki Eropa saja[67]. Kontribusi buku ini sangat penting: Erased mengajak dilakukan kanon revisi atas teori hubungan internasional, dengan menyertakan perspektif plural yang selama ini dikesampingkan. Implikasi praktisnya, pemahaman kita tentang fenomena global – dari konflik hingga institusi dunia – bisa diperbarui dengan wawasan yang lebih beragam dan adil gender. Bagi ilmu sosial, khususnya ilmu politik/HI, buku ini menjadi langkah menuju “dekolonisasi dan degenderisasi” kurikulum, membuka jalan bagi renewal disiplin di tengah krisis kepercayaan terhadap lembaga global saat ini[68]. (ISBN: 9780691235362)
Humaniora
- The Nazi Mind: Twelve Warnings from History – Laurence Rees (PublicAffairs/Hachette, 2025). Rees, seorang sejarawan pemenang penghargaan, dalam buku ini menyelami psikologi dan ideologi di balik ekstremisme Nazi serta relevansinya sebagai peringatan bagi dunia masa kini[69]. Berbasis testimoni baru dari mantan Nazi dan warga Jerman masa itu, serta riset psikologi mutakhir, Rees menyajikan analisis yang “mencekam dan sungguh menakutkan” tentang bagaimana ide-ide Nazi tumbuh subur, merasuk ke masyarakat, dan memungkinkan orang-orang biasa terlibat dalam kejahatan luar biasa[69]. Buku ini disusun kronologis dari 1920-an (masa kemunculan Nazi) hingga kehancuran Reich Ketiga, menelaah faktor-faktor seperti propaganda yang canggih, kondisi ekonomi-politik, hingga rasionalisasi moral para pelaku Holocaust[70][71]. Yang membuat The Nazi Mind menonjol adalah upayanya menjawab pertanyaan “bagaimana mungkin?”: Bagaimana perwira SS bisa melakukan pembantaian massal? Mengapa warga biasa rela menoleransi penghilangan tetangga Yahudi mereka? Rees menunjukkan bahwa kejahatan Nazi bukan karya “monster” di ruang hampa, melainkan produk dari kemanusiaan yang dikenali – ambisi, ketakutan, konformitas, kebencian – yang dapat muncul kapan pun dan di mana pun kondisi serupa terulang[72][73]. Kontribusi buku ini bagi humaniora (khususnya sejarah dan etika) sangatlah relevan: Rees menggarisbawahi twelve warnings (dua belas peringatan) dari sejarah Nazi untuk masa kini, seperti bahaya normalisasi kebencian, kerentanan demokrasi terhadap manipulasi populis, dan ancaman “creeping extremism”. Sebagai kritik The Telegraph, buku ini sekaligus analisis yang “sangat menggugah dan menakutkan” atas kebangkitan ekstremisme dan seruan agar kita waspada melawan gerakan ekstremis yang kini mulai muncul di berbagai negara[69]. Dengan demikian, The Nazi Mind berfungsi ganda: sebagai studi sejarah Holocaust yang segar, dan cermin bagi dunia modern untuk mencegah kembalinya kengerian serupa di era sekarang[74]. (ISBN: 9781541702332)
- The Challenges of Democracy: And the Rule of Law – Jonathan Sumption (Profile Books, 2025). Buku karya Lord Sumption – sejarawan sekaligus mantan Hakim Agung Inggris – ini merupakan refleksi mendalam tentang krisis yang dihadapi demokrasi liberal modern dan penegakan supremasi hukum. Sumption membuka dengan pengamatan historis bahwa demokrasi merupakan pengecualian dalam sejarah – “default”-nya umat manusia justru adalah otokrasi, dan eksperimen demokrasi modern yang dimulai akhir abad 18 masih rapuh usianya[75]. Ia mencatat bahwa belakangan ini banyak demokrasi mengalami kemunduran tanpa perlu kudeta: “Dunia penuh dengan otokrasi yang tumbuh dari rahim demokrasi tanpa pelanggaran hukum apa pun”, tulis Sumption, dengan menjelaskan taktik para pemimpin terpilih yang secara legal memperkaya kroni, menguasai media, mengintimidasi oposisi, dan melemahkan konstitusi dari dalam[76]. Data yang ia kutip cukup mengkhawatirkan: menurut Indeks Demokrasi The Economist, tahun 2022 hanya 8% penduduk dunia hidup di “demokrasi penuh” (24 dari 167 negara), turun dibanding 2006[77]. Sumption memperingatkan tren “autocracy creep” – tekanan menuju model demokrasi yang lebih otoriter akan kian menguat di tahun-tahun mendatang, mengikis nilai-nilai liberal yang dahulu dianggap mapan[78]. Selain erosi internal, buku ini juga membahas tantangan eksternal seperti perubahan iklim: Sumption mempertanyakan bagaimana demokrasi akan mengambil keputusan sulit jangka panjang untuk iklim, siapa yang berwenang membuat keputusan itu (ia menegaskan harus tetap lewat mekanisme parlementer demokratis, bukan pakar atau aktivis semata)[79]. Tantangan lain yang diulas adalah polarisasi politik dan gagalnya kompromi: menurut Sumption, tugas utama demokrasi adalah mengakomodasi perbedaan tanpa kekerasan; namun ketika partai-partai gagal berdialog dan saling menolak legitimasi, demokrasi terancam lumpuh[80]. Buku The Challenges of Democracy memberikan kontribusi reflektif bagi humaniora (khususnya filsafat politik dan hukum) dengan memadukan perspektif sejarah, hukum, dan pengalaman praktisi. Sumption tidak hanya mendiagnosis masalah, tetapi juga mengingatkan pentingnya rule of law (supremasi hukum) sebagai fondasi – ia terkenal karena pandangannya bahwa hukum tidak boleh dikorbankan sekalipun dalam keadaan darurat (misalnya ia mengkritik pembatasan berlebihan saat pandemi sebagai erosif terhadap kebebasan sipil). Secara keseluruhan, buku ini memperkaya perdebatan tentang masa depan demokrasi di dunia: Sumption menyuarakan perlunya kewaspadaan dan pembaruan komitmen pada nilai demokratis dan hukum, agar eksperimen 250 tahun demokrasi tidak gugur di hadapan godaan otoritarianisme kontemporer[81]. (ISBN: 9781805222507)
Kesimpulan: Deretan buku di atas mencerminkan lanskap intelektual global tahun 2025 yang penuh tantangan transformatif. Di bidang geopolitik dan keamanan, penulis terkemuka mendorong pemahaman baru terhadap tatanan dunia multi-kutub dan ancaman kompleks (dari polycrisis hingga perlombaan senjata teknologi). Dalam ranah intelijen, refleksi historis dan pengungkapan arsip memperkaya pengetahuan tentang operasi rahasia dan peran intelijen di abad ke-21. Sementara itu, kemajuan kecerdasan buatan dan dominasi media sosial menimbulkan debat etis dan sosial yang tajam – ada yang memperingatkan bahaya “machine mentality” dan distorsi informasi, ada pula yang menawarkan optimisme terarah. Buku-buku sains menginspirasi kita untuk melihat ulang konsep kepastian ilmiah dan komitmen kemanusiaan dalam kesehatan global. Adapun di ilmu sosial dan humaniora, muncul upaya mendasar untuk merevisi kanon: apakah dengan mengusulkan agenda kebijakan baru berbasis kelimpahan, “menghidupkan kembali” pemikir yang terhapus dari sejarah, ataupun menjawab pertanyaan besar tentang kenapa demokrasi goyah. Dengan demikian, karya-karya ini tidak hanya mendokumentasikan fakta dan teori, tetapi juga memberikan peringatan, pelajaran, dan harapan bagi pembacanya dalam menavigasi dunia yang berubah cepat. Semoga ringkasan ini mendorong pembaca untuk menelusuri buku-buku tersebut lebih lanjut, memperkaya diskursus di Indonesia dengan wawasan global terkini.
Referensi:
- Brands, H. (2025). The Eurasian Century: Hot Wars, Cold Wars, and the Making of the Modern World. W.W. Norton & Co[1].
- Kaplan, R. (2025). Waste Land: A World in Permanent Crisis. Random House[3].
- Acharya, A. (2025). The Once and Future World Order. Hachette[5].
- Weiner, T. (2025). The Mission: The CIA in the 21st Century. Mariner/HarperCollins[7][8].
- Guttmann, A. (2025). Operation Wrath of God: The Secret History of European Intelligence and Mossad’s Assassination Campaign. Cambridge University Press[9].
- Hao, K. (2025). Empire of AI: Dreams and Nightmares in Sam Altman’s OpenAI. Penguin Press[12][14].
- Bender, E.M., & Hanna, A. (2025). The AI Con: How to Fight Big Tech’s Hype and Create the Future We Want. Harper/Bodley Head[17][20].
- Hoffman, R., & Beato, G. (2025). Superagency: What Could Possibly Go Right with Our AI Future. Authors Equity/Simon & Schuster[23].
- Carr, N. (2025). Superbloom: How Technologies of Connection Tear Us Apart. W.W. Norton & Co[29].
- Higgins, E. (2025). Owned: How Tech Billionaires on the Right Bought the Loudest Voices on the Left. Bold Type Books[31][33].
- Karp, A.C., & Zamiska, N.W. (2025). The Technological Republic: Hard Power, Soft Belief, and the Future of the West. Crown[38].
- Panda, A. (2025). The New Nuclear Age: At the Precipice of Armageddon. Polity Press[41][43].
- Wang, D. (2025). Breakneck: China’s Quest to Engineer the Future. W.W. Norton / Allen Lane[46][48].
- Koru, S. (2025). New Turkey and the Far Right: How Reactionary Nationalism Remade a Country. I.B. Tauris/Bloomsbury[50][82].
- Kucharski, A. (2025). Proof: The Art and Science of Certainty. Basic Books[54].
- Green, J. (2025). Everything Is Tuberculosis: The History and Persistence of Our Deadliest Infection. Crash Course Books/Penguin[57][59].
- Klein, E., & Thompson, D. (2025). Abundance. Simon & Schuster[65].
- Owens, P. (2025). Erased: A History of International Thought Without Men. Princeton University Press[67].
- Rees, L. (2025). The Nazi Mind: Twelve Warnings from History. PublicAffairs/Hachette[69][71].
- Sumption, J. (2025). The Challenges of Democracy: And the Rule of Law. Profile Books[76][81].
[1] [2] [3] [4] [5] [6] [12] [13] [25] [26] [27] [28] [36] [37] [38] [62] [63] [64] [65] [66] [67] [68] Books our editors look forward to reading in 2025
https://www.diplomaticourier.com/posts/books-our-editors-look-forward-to-reading-in-2025
[7] Tim Weiner’s new book is “The Mission: The CIA in the 21st Century” | WAMC
[8] The Mission (book) – Wikipedia
https://en.wikipedia.org/wiki/The_Mission_(book)
[9] Operation Wrath of God | Cambridge University Press & Assessment
https://www.cambridge.org/9781009503020
[10] Operation Wrath of God – Cambridge University Press
https://www.cambridge.org/core/books/operation-wrath-of-god/FE81AA26DBACD71A53C9F09BCB9B34CB
[11] Operation Wrath of God: The Secret… book by Aviva Guttmann
[14] [15] Empire of AI by Karen Hao: 9780593657508 | PenguinRandomHouse.com: Books
https://www.penguinrandomhouse.com/books/743569/empire-of-ai-by-karen-hao/
[16] [17] [18] [19] [20] [21] The AI Con by Emily M Bender and Alex Hanna review – debunking myths of the AI revolution | Books | The Guardian
[22] [23] [24] [29] [54] [55] The Best Science and Technology Books of 2025 (So Far) – B&N Reads
https://www.barnesandnoble.com/blog/the-best-science-and-technology-books-of-2025-so-far/
[30] [31] [32] [33] [34] [35] Owned: How Tech Billionaires on the Right Bought the Loudest Voices on the Left (Hardcover) | Unabridged Bookstore
https://www.unabridgedbookstore.com/book/9781645030461
[39] [40] [41] [42] [43] June 2025 Books of Note | Arms Control Association
https://www.armscontrol.org/act/2025-06/june-2025-books-note
[44] [45] [46] [47] [48] Breakneck
https://www.penguin.co.uk/books/465161/breakneck-by-wang-dan/9780241729175
[49] [50] [51] [52] [53] [82] New Turkey and the Far Right: How Reactionary Nationalism Remade a Country: Selim Koru: I.B. Tauris
https://www.bloomsbury.com/us/new-turkey-and-the-far-right-9780755656462/
[56] Proof: The Art and Science of Certainty | Books Inc.
https://booksinc.net/book/9781541606692
[57] [58] [59] [60] [61] Everything Is Tuberculosis – Wikipedia
https://en.wikipedia.org/wiki/Everything_Is_Tuberculosis
[69] [70] [71] [72] [73] [74] The Nazi Mind by Laurence Rees | Hachette Book Group
https://www.publicaffairsbooks.com/titles/laurence-rees/the-nazi-mind/9781541702332/
[75] [76] [77] [78] [79] [80] [81] The challenges of democracy and the rule of law – Stabroek News
https://www.stabroeknews.com/2025/03/19/features/the-challenges-of-democracy-and-the-rule-of-law/