Pernah nggak sih, lagi duduk santai di kelas, terus ada temen yang masuk dengan sepatu baru, HP paling canggih, atau cerita liburan ke Bali sambil nunjukin foto-fotonya? Yup, fenomena kayak gini udah jadi semacam bumbu wajib di kehidupan anak SMA. Kita biasa nyebutnya: flexing alias pamer.
Flexing ini bisa muncul dalam banyak bentuk. Ada yang pamer barang branded, ada yang pamer gadget terbaru, ada juga yang pamer gaya hidup. Bahkan ada versi positifnya: flexing prestasi. Buat sebagian anak, flexing itu kayak tiket eksistensi—biar keliatan keren, gaul, atau minimal nggak ketinggalan zaman. Tapi pertanyaan besarnya: flexing ini sekadar gaya, gengsi, atau memang kebutuhan sosial anak muda SMA? 👀
Bentuk-Bentuk Flexing di SMA
Flexing di sekolah itu warna-warni. Kadang malah jadi drama kecil sehari-hari. Bentuknya bisa macam-macam:
Barang branded. Sneakers edisi terbatas, jam tangan mahal, atau tas dengan logo gede yang dibawa ke kelas. Rasanya kayak kode keras: “Lihat dong, gue up-to-date.”
Gadget baru. HP terbaru langsung dibawa ke sekolah, terus story Instagram penuh caption, “Finally upgrade 😎.” Kadang sengaja nunjukin fitur kamera baru pas foto bareng temen.
Gaya hidup. Check-in di café hits, nongkrong tiap weekend, atau liburan ke luar kota. Semua harus masuk feed Instagram, lengkap dengan filter estetik.
Prestasi. Nah, ini jenis flexing yang beda vibe. Ada anak yang suka nunjukin piala, sertifikat lomba, atau ranking kelas. Bedanya, flexing prestasi sering dianggap lebih positif, karena ada effort nyata di baliknya.
Kenapa Anak SMA Suka Flexing?
Sebenarnya, kalau ditanya kenapa anak SMA suka flexing, jawabannya nggak jauh-jauh dari soal eksistensi.
-
Cari pengakuan. Masa SMA itu fase di mana kita butuh diakui dan diterima sama lingkungan. Flexing jadi cara cepat buat dapet perhatian.
-
Ikut tren. Kalau lihat temen lain pamer, otomatis muncul dorongan buat ikutan. Kalau nggak, takut dibilang “ketinggalan zaman.”
-
Kebanggaan diri. Kadang flexing juga lahir dari rasa bangga. Entah karena usaha sendiri—misalnya prestasi lomba—atau hadiah dari orang tua yang pengin ditunjukin.
Flexing jadi bahasa sosial anak SMA. Kita nunjukin sesuatu, bukan sekadar karena barangnya keren, tapi karena pengin diakui.
Sisi Positif dan Negatif Flexing
Flexing itu ibarat dua sisi mata uang. Ada positif, ada negatif.
Positifnya:
-
Bisa jadi motivasi. Misalnya lihat temen pamer piala, kita jadi pengin ikut lomba juga.
-
Jadi sarana berbagi kebahagiaan. Kadang flexing itu bukan sekadar pamer, tapi cara nunjukin rasa syukur.
Negatifnya:
-
Bisa bikin orang lain minder atau insecure.
-
Memicu iri hati, gengsi-gengsian, bahkan kompetisi nggak sehat.
-
Kalau berlebihan, bisa bikin orang lain cap kita sombong atau haus perhatian.
Jadi, flexing itu bukan sekadar lucu-lucuan, tapi bisa ngaruh ke suasana kelas dan hubungan antar teman.
Jadi, Flexing Itu Salah Nggak?
Jawabannya: nggak selalu salah. Semua tergantung niat dan cara. Kalau flexing dipakai buat merendahkan orang lain atau nunjukin “gue lebih keren dari lo”, jelas itu toxic. Tapi kalau flexingnya sehat—misalnya nunjukin prestasi, berbagi kabar bahagia, atau sekadar update hidup—ya nggak masalah.
Yang penting, kita sadar batasnya. Karena pada akhirnya, flexing cuma bisa bikin kesan sementara. Nilai diri yang sesungguhnya ditentukan dari sikap, prestasi nyata, dan gimana kita memperlakukan orang lain.
Penutup: Flexing atau Hidup Nyata?
Flexing di SMA emang udah jadi bagian dari kehidupan anak muda. Mau pamer sepatu baru, prestasi lomba, atau nongkrong di café hits, itu hak tiap orang. Tapi jangan lupa: masa SMA itu masa emas. Isilah dengan kenangan yang berharga, bukan sekadar story Instagram yang cepat basi.
Boleh flexing, tapi jangan sampai hidupmu cuma soal gengsi. Karena yang bikin kita keren bukanlah barang branded atau jumlah likes, tapi siapa diri kita sebenarnya.