Banda Aceh – Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh menjadi pusat perhatian pada Kamis, 14 Agustus 2025, ketika menggelar peringatan dua dekade perdamaian Aceh pasca-penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki tahun 2005. Acara ini tidak sekadar mengenang sejarah, tetapi juga menjadi forum refleksi untuk memastikan bahwa spirit perdamaian tetap hidup dan menjadi pendorong kesejahteraan rakyat Aceh di masa depan.
Berlokasi di Gedung Teater Museum UIN Ar-Raniry, peringatan ini dihadiri oleh tokoh nasional dan daerah yang menjadi pelaku langsung proses damai, di antaranya Dr. (H.C.) Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla—Wakil Presiden RI 2004–2009 yang berperan sebagai mediator utama perundingan Helsinki. Selain itu, UIN Ar-Raniry juga menganugerahkan Ar-Raniry Award kepada para tokoh perdamaian yang telah memberikan kontribusi nyata bagi berakhirnya konflik bersenjata di Aceh.
Spirit Logos dan Etos Perdamaian
Rektor UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Mujiburrahman, M.Ag, dalam pidatonya menegaskan bahwa peringatan ini dilakukan “dalam konteks logos dan etos spirit perdamaian di Aceh.” Menurutnya, sudah saatnya masyarakat Aceh tidak hanya mengingat masa lalu, tetapi juga menatap masa depan dengan semangat membangun.
“UIN Ar-Raniry berkomitmen untuk mendirikan Pusat Kajian Perdamaian sekaligus Museum Perdamaian Aceh. Kami ingin menjadikan kampus sebagai rumah bagi pengembangan pemikiran, dokumentasi sejarah, dan pusat pembelajaran agar generasi muda memahami makna damai yang sejati,” ujarnya.
Rektor menekankan, peringatan damai ini bukan sekadar seremoni, melainkan langkah strategis untuk merawat warisan sejarah sekaligus mengawal implementasi isi MoU Helsinki dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh.
Geneologi Konflik Aceh: Kaya Sumber Daya, Miskin Kesejahteraan
Sejarah panjang konflik Aceh memiliki akar yang dalam. Geneologi konflik ini dapat dirunut pada dua faktor utama: ideologi dan ketidakadilan struktural. Aceh dianugerahi kekayaan alam luar biasa—gas alam, minyak bumi, hasil laut, dan hutan tropis—namun ironisnya rakyatnya tetap berada dalam jurang kemiskinan.
Kebijakan bagi hasil yang timpang antara Jakarta dan Aceh menjadi sumber ketegangan berkepanjangan. Sentralisasi kekuasaan memicu rasa ketidakadilan yang meluas. Konflik yang awalnya dibicarakan melalui forum dialog berujung pada operasi militer yang berlangsung selama puluhan tahun, memakan banyak korban jiwa dan kerugian material yang besar.
Dari Medan Tempur ke Meja Perundingan
Perdamaian Aceh bukanlah hadiah, melainkan hasil dari proses panjang dan kompleks yang memerlukan waktu dua tahun perundingan intensif. Tahap-tahap penting yang dilalui antara lain:
-
COHA – Jenewa (Cessation of Hostilities Agreement): Upaya awal untuk menghentikan tembak-menembak.
-
Tokyo Meeting: Forum diplomasi yang membuka jalur komunikasi lanjutan.
-
MoU Helsinki: Kesepakatan final yang mengakhiri perang bersenjata dan memulai babak baru politik Aceh.
Bencana Tsunami 2004 menjadi katalis penting yang mempercepat proses perdamaian. Tragedi kemanusiaan berskala global ini mendorong semua pihak untuk memprioritaskan penyelamatan nyawa dan rekonstruksi, menggeser fokus dari konflik ke solidaritas kemanusiaan. Negara ketiga pun masuk sebagai fasilitator, menjadikan Helsinki, Finlandia, sebagai tempat bersejarah perundingan final.
Para Tokoh Perdamaian
Peringatan ini menjadi ajang penghormatan kepada tokoh-tokoh yang terlibat langsung dalam proses damai, baik di meja perundingan maupun di lapangan. Di antara mereka adalah:
-
Hamid Awaluddin – Ketua tim perunding pemerintah RI di Helsinki.
-
Dr. Zaini Abdullah – Tokoh GAM yang kemudian menjadi Gubernur Aceh.
-
Sofyan Djalil – Negosiator ulung yang menjembatani komunikasi diplomatik.
-
Irwandi Yusuf – Mantan kombatan GAM yang menjadi gubernur pasca-perdamaian.
-
Zakaria Saman – Komandan GAM yang berperan dalam transformasi politik.
-
Muzakir Manaf – Panglima GAM yang beralih menjadi aktor politik.
-
Juha Christensen – Fasilitator internasional yang menjembatani perbedaan posisi.
-
Nur Djuli, Bahtiar Abdullah, Shadia Marhaba, Nashruddin bin Ahmed, Teuku Kamaruzzaman, dan Soleman – deretan nama yang melengkapi mosaik proses perdamaian.
Penghargaan Ar-Raniry Award yang diberikan kepada mereka menjadi simbol pengakuan atas dedikasi dan keberanian mereka membawa Aceh keluar dari pusaran perang.
Transformasi dari Perang Bersenjata ke Politik
Salah satu implikasi penting dari MoU Helsinki adalah transformasi Gerakan Aceh Merdeka dari organisasi militer menjadi kekuatan politik. Dalam kurun dua dekade terakhir, tiga gubernur Aceh berasal dari eks-GAM. Para mantan kombatan kini memegang jabatan strategis di pemerintahan, membawa visi baru namun juga menghadapi tantangan besar.
Meskipun Aceh kini memiliki kewenangan khusus dan dana otonomi khusus (otsus) yang besar, provinsi ini masih tercatat sebagai provinsi termiskin di Sumatera. Kondisi ini menunjukkan bahwa perdamaian politik belum sepenuhnya berbanding lurus dengan kesejahteraan ekonomi.
Peran Strategis UIN Ar-Raniry
UIN Ar-Raniry mengambil peran sentral dalam menjaga spirit perdamaian. Sebagai pusat pendidikan tinggi Islam terbesar di Aceh, kampus ini memiliki mandat moral dan intelektual untuk:
-
Mengarsipkan sejarah perdamaian melalui Museum Perdamaian Aceh.
-
Mengembangkan kajian akademik melalui Pusat Kajian Perdamaian.
-
Mendorong keterlibatan generasi muda dalam menjaga dan mengembangkan perdamaian.
-
Menjadi mitra strategis pemerintah dalam mengawal implementasi MoU Helsinki.
Menurut Rektor, kampus bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi juga ruang strategis untuk membentuk kesadaran kritis mahasiswa agar mereka menjadi agen perubahan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Tujuan Perdamaian: Dari Dokumen ke Realitas
Rektor Mujiburrahman menegaskan bahwa tujuan akhir dari perdamaian adalah kesejahteraan rakyat Aceh. MoU Helsinki harus diterjemahkan menjadi kebijakan konkret yang berdampak pada:
-
Peningkatan kualitas pendidikan.
-
Pengembangan infrastruktur.
-
Penyediaan lapangan kerja.
-
Pemerataan akses ekonomi.
“Kita tidak boleh puas hanya dengan menghentikan perang. Perdamaian yang sejati adalah ketika rakyat merasakan perubahan nyata dalam kehidupan sehari-hari mereka,” tambahnya.
Dukungan dan Apresiasi Nasional
Selain tokoh lokal, peringatan ini juga mendapat perhatian dari berbagai kalangan nasional. Jusuf Kalla, dalam sambutannya, mengingatkan bahwa Aceh adalah contoh sukses resolusi konflik yang bisa menjadi model bagi daerah lain di Indonesia yang memiliki potensi konflik serupa.
“Kunci dari perdamaian Aceh adalah kemauan kedua belah pihak untuk duduk bersama, mengesampingkan ego, dan memikirkan masa depan rakyat,” ujar JK.
Penutup: Damai yang Harus Dijaga
Dua dekade perdamaian Aceh adalah capaian berharga yang lahir dari pengorbanan, diplomasi cerdas, dan momentum sejarah yang tak terulang. Namun, sejarah juga mengajarkan bahwa perdamaian adalah sesuatu yang rapuh jika tidak dijaga.
UIN Ar-Raniry, melalui inisiatif pendirian Pusat Kajian dan Museum Perdamaian, menegaskan perannya sebagai garda intelektual yang akan terus mengawal dan menghidupkan spirit damai, memastikan bahwa Aceh tidak hanya dikenang sebagai daerah konflik, tetapi juga sebagai model keberhasilan transisi dari perang menuju pembangunan berkelanjutan.