Iblis dan Google: Satire atas Kuasa Digital dan Moralitas Zaman

Ilustrasi vintage bergaya poster menampilkan simbol Google samar dan siluet artistik iblis dalam nuansa sepia dengan teks "KBA13 Insight".
Thumbnail artikel “Iblis dan Google” di KBA13 Insight – representasi satir hubungan antara kekuasaan digital dan kritik moral dalam masyarakat modern.

Pendahuluan

Google, sebagai salah satu ikon global dalam dunia digital, sering kali menjadi sasaran kritik tajam terkait isu privasi, etika, hingga dominasi korporasi dalam membentuk arah kehidupan manusia modern. Bagi sebagian orang, Google adalah “pintu gerbang pengetahuan,” tetapi bagi yang lain, ia adalah “mata-mata digital” yang merampas kebebasan individu. Di tengah polemik ini, muncul sosok yang tidak biasa: Iblis. Ia bukan hadir dalam arti teologis sebagai makhluk metafisik, melainkan sebagai metafora satir yang dipakai untuk menyoroti bagaimana Google mencerminkan kontradiksi dunia modern.

Dalam satire ini, Iblis berbicara tentang Google dengan gaya ironis—kadang memuji, kadang mengkritik, kadang menyamakan dirinya dengan perusahaan raksasa itu. Ia menyingkap paradoks yang hidup di balik Google: di satu sisi menjadi penolong umat manusia, di sisi lain memperlihatkan wajah tirani baru dalam bentuk kuasa digital. Tulisan ini mencoba menarasikan percakapan Iblis dengan Google dalam bentuk kritik filosofis dan kultural, dengan menyajikan bagaimana ia melihat Google sebagai cermin dari moralitas zaman.

Pandangan Iblis: Google Membuat Dunia Kita Lebih Baik

Bagi Iblis, salah satu pencapaian terbesar Google adalah kemampuan mesin pencarinya. Hanya dalam hitungan detik, manusia bisa menemukan apa pun—dari resep masakan, tafsir kitab suci, teori fisika kuantum, hingga gosip selebriti. Google seolah menjadi “ensiklopedia kosmik” yang hidup di genggaman manusia.

Iblis dengan nada satir menyatakan: “Google membuat dunia lebih baik.” Pernyataan ini tentu provokatif. Bagaimana mungkin sebuah perusahaan yang dituduh melanggar privasi dan memonopoli informasi disebut sebagai pembuat dunia lebih baik? Namun, jika dilihat dari sudut pandang praktis, argumen Iblis tidak sepenuhnya salah. Google telah menyingkat proses panjang pencarian informasi yang sebelumnya membutuhkan waktu berhari-hari di perpustakaan, kini hanya menjadi sepersekian detik.

See also  Transformasi Kapital Global: Analisis Mendalam Michael Saylor di Cantor Fitzgerald tentang Bitcoin sebagai Digital Capital

Namun di sinilah ironi bermula. Ketika manusia merasa semakin pintar karena akses informasi yang cepat, pada saat yang sama, ia juga semakin malas berpikir kritis. Google menghadirkan jawaban instan, tetapi sekaligus mengikis kedalaman berpikir. Inilah yang oleh Iblis dianggap sebagai “kebaikan yang beracun”—kebaikan yang justru menimbulkan degradasi nalar.

Pandangan Iblis: Google Memberi Kontribusi bagi Masyarakat

Iblis kemudian melanjutkan dengan nada menyindir: “Mengapa kalian khawatir tentang privasi, sementara dunia ini dilanda berbagai krisis besar? Bukankah ada isu perang, kemiskinan, dan perubahan iklim yang jauh lebih serius?”

Kalimat ini seolah ingin menggeser perhatian manusia. Menurut Iblis, kekhawatiran terhadap Google yang mengumpulkan data hanyalah bentuk kemewahan intelektual kelas menengah, sementara ada jutaan orang di dunia yang bahkan tidak tahu besok akan makan apa. Satire ini memaksa kita merefleksikan ulang skala prioritas. Apakah benar privasi digital lebih penting ketimbang krisis kemanusiaan global?

Tetapi argumen ini sekaligus problematis. Justru melalui privasi digital, hak asasi manusia seharusnya dijaga. Mengabaikan privasi berarti membiarkan otoritarianisme digital merajalela. Iblis sengaja mempermainkan logika ini, karena bagi dirinya, ketika manusia sibuk berdebat tentang etika digital, ia semakin leluasa menanamkan logika pragmatis: bahwa yang penting adalah bertahan hidup, bukan membela nilai.

Pandangan Iblis: Manusia Harus Bersyukur Google Ada

Iblis lalu mengeluarkan kalimat yang terdengar absurd: “Bersyukurlah kalian pada Google. Tanpa iklan-iklannya, bagaimana kalian bisa memberi makan keluarga?”

Pernyataan ini jelas satir. Iklan digital sering dianggap sebagai bentuk eksploitasi data pribadi, tetapi di sisi lain, ia juga menopang ekonomi kreatif global. YouTube, yang berada di bawah Google, telah melahirkan jutaan konten kreator yang hidup dari iklan. Gmail telah memudahkan komunikasi bisnis lintas negara. Google Ads memungkinkan UMKM menembus pasar global.

Namun, apakah semua itu harus dibayar dengan harga mahal berupa lenyapnya privasi individu? Bagi Iblis, jawabannya sederhana: ya. Dalam logika Iblis, privasi adalah komoditas yang bisa dipertukarkan dengan kenyamanan. Ia memaksa kita untuk mengakui bahwa hidup di era digital memang tidak pernah gratis; harga yang harus dibayar adalah data diri kita sendiri.

See also  Update Berita Aceh 1–9 Agustus 2025: Prestasi, Ekonomi, Bencana, dan Dinamika Sosial

Harapan Iblis kepada Google

Meski sering memuji Google dengan nada sinis, Iblis juga punya “doa-doa” tersendiri untuk perusahaan ini. Ia berharap Google tidak perlu sibuk mendengarkan kritik publik. “Lupakan masa lalumu, fokus pada masa depan,” katanya. Bagi Iblis, Google akan semakin kuat jika berhenti menjadi “penjilat moralitas publik” dan lebih memilih jalan yang egois.

Satire ini jelas ingin mengungkap paradoks lain: perusahaan yang begitu besar seperti Google memang tidak bisa menyenangkan semua orang. Namun jika hanya mementingkan kepentingan sendiri, ia akan semakin ditakuti, bukan dihormati. Di sinilah Iblis bermain dengan retorikanya, seolah ingin memberi tahu bahwa perusahaan besar hanya punya dua pilihan: dicintai atau ditakuti.

Persamaan antara Iblis dan Google

Bagian paling provokatif dari satire ini adalah ketika Iblis menyamakan dirinya dengan Google. Ia menyebut bahwa dirinya dan Google sama-sama “monster yang disalahpahami.”

Apa maksudnya? Iblis dalam tradisi agama selalu dipandang sebagai sumber keburukan. Google, dalam wacana publik modern, juga sering dipandang sebagai ancaman. Keduanya sama-sama berada di posisi ambigu: dibenci sekaligus dibutuhkan.

Lebih jauh, Iblis berkata bahwa ia dan Google sama-sama “berani mengambil risiko.” Risiko yang dimaksud adalah keberanian untuk melampaui batas norma. Google melampaui batas tradisi media, sementara Iblis melampaui batas moral. Keduanya hidup dalam ruang abu-abu, tempat manusia sekaligus mengagumi dan mencurigai.

Mengapa Iblis Harus Berterima Kasih kepada Google?

Satire mencapai puncaknya ketika Iblis berkata bahwa ia seharusnya berterima kasih kepada Google. Mengapa? Karena Google memberi ruang bagi pesan-pesan Iblis untuk tetap hidup.

Melalui internet, segala bentuk hasrat manusia—dari pengetahuan, hiburan, hingga keburukan—terarsipkan dan bisa diakses siapa saja. Google menyediakan panggung besar bagi Iblis untuk menari. Tanpa Google, manusia mungkin lebih sulit untuk menemukan jalan menuju keburukan yang terselubung.

Tetapi ironinya, yang dicari manusia lewat Google bukan hanya keburukan, tetapi juga kebaikan. Di sinilah paradoks paling mendalam: Google menjadi arena tempat malaikat dan iblis sama-sama hidup, tergantung siapa yang menggunakan.

Visi Iblis dalam Visi Google

Iblis memandang bahwa visi Google untuk “mengorganisasi informasi dunia” sejalan dengan visinya sendiri: menguasai imajinasi manusia. Informasi bukan lagi sekadar fakta, melainkan kekuatan untuk mengarahkan perilaku.

See also  Aceh, Nation-State, dan Komparasi Global: Bali, Yogyakarta, Brunei, Singapura, dan Israel dalam Dialektika Demokrasi dan Agama

Ketika Google mengatur algoritma pencarian, ia pada dasarnya sedang membentuk horizon pengetahuan umat manusia. Apa yang muncul di halaman pertama seolah menjadi kebenaran. Dan di sinilah Iblis merasa bersekutu: karena ia juga ingin menipu manusia dengan kebenaran semu.

Google dan Iblis akhirnya dipertemukan dalam satu arena: keduanya sama-sama mengklaim diri sebagai pemandu jalan. Namun, jalan yang ditawarkan sering kali penuh jebakan.

Bisakah Google dan Iblis Bekerja Sama?

Pertanyaan terakhir yang diajukan satire ini adalah: mungkinkah Google dan Iblis bekerja sama? Jawabannya: mereka sudah lama bekerja sama, bahkan tanpa disadari.

Setiap kali manusia mengklik iklan, setiap kali ia mengabaikan privasi demi kenyamanan, setiap kali ia membiarkan algoritma menggantikan nuraninya—di situlah Google dan Iblis bersalaman.

Namun, apakah ini berarti Google adalah “jahat”? Tidak sesederhana itu. Satire ini ingin menunjukkan bahwa Google hanyalah cermin. Ia memperlihatkan wajah manusia sendiri: rakus, malas berpikir, haus pengakuan, dan rela menjual privasi demi kenyamanan.

Jika demikian, maka pertanyaan yang lebih penting bukanlah apakah Google jahat atau tidak, melainkan: apakah manusia siap menghadapi dirinya sendiri yang kini terefleksi lewat Google?

Penutup

Satire Iblis tentang Google adalah kritik tajam terhadap zaman kita. Di balik candaan sinis, ada pesan serius: bahwa teknologi modern telah menyingkap paradoks moral manusia. Google memang membawa banyak kebaikan, tetapi ia juga membuka ruang bagi lahirnya tirani digital.

Iblis, dengan gaya khasnya, tidak sedang berbicara tentang Google semata, melainkan tentang kita—manusia yang membiarkan diri diperbudak oleh algoritma, sambil tetap merasa bebas.

Dengan demikian, satire ini bukan hanya kritik terhadap Google, melainkan cermin bagi umat manusia untuk merenung: apakah kita masih memegang kendali atas hidup kita, ataukah kita sudah menyerahkannya sepenuhnya pada “monster digital” yang kita sebut Google?

Also Read

Bagikan:

Avatar photo

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. Prof. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). Currently, he is Dean of Faculty and Shariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia.

Leave a Comment