Humanoid: Dari Mitologi hingga Imajiner Modern — Kisah Simbolisme dan Pencarian Manusia

Pendahuluan

Humanoid—istilah yang berarti “mirip manusia” atau “memiliki bentuk manusia”—seolah menjadi jembatan imajinasi antara kemanusiaan dan dunia yang asing. Dalam kosakata sehari‑hari, kata ini merujuk pada entitas bukan manusia yang berwujud atau berkarakter manusia[1]. Jika dilihat dari sejarah linguistik, kata ini berasal dari gabungan “human” dan suffiks “‑oid”, menunjukkan kemiripan[2]. Namun, kehadiran humanoid bukan sekadar rekayasa modern. Dalam sejarah panjang kebudayaan, kita menemukan berbagai makhluk yang separuh manusia, setengah dewa, atau separuh binatang. Mereka menghuni mitologi, teks keagamaan, legenda rakyat, hingga film dan permainan digital kontemporer.

Antropomorfisme dan kebutuhan manusia membentuk wujud lain dalam citra manusia

Kecenderungan manusia untuk memberi sifat dan rupa manusia kepada sesuatu yang bukan manusia dikenal sebagai antropomorfisme. Ensiklopedia Britannica menjelaskan antropomorfisme sebagai penafsiran benda atau peristiwa non‑manusia dalam bentuk sifat atau karakter manusia[3]. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani anthrōpos (manusia) dan morphē (bentuk)[3]. Para ahli antropologi menyebut fenomena ini tidak hanya terjadi dalam bidang agama tetapi juga meresapi kehidupan sehari‑hari, kesenian, sains, dan teknologi[3].

Studi antropologi menunjukan dua penjelasan utama mengapa manusia cenderung antropomorfis. Pertama, manusia menggunakan dirinya sendiri sebagai model untuk memahami dunia yang misterius; gambaran manusia dijadikan rujukan untuk menjelaskan fenomena yang belum dipahami[4]. Kedua, ada alasan emosional: memberi wujud manusia pada sesuatu membuat dunia yang asing terasa lebih akrab dan kurang menakutkan[5]. Penjelasan ketiga, seperti diulas oleh sejarawan seni Ernst Gombrich, berkaitan dengan ketidakpastian persepsi. Karena setiap sensasi memiliki berbagai kemungkinan sebab, manusia cenderung membuat taruhan kognitif: menafsirkan bentuk dan peristiwa sebagai manusia atau berhubungan dengan manusia[6]. Ketiga penjelasan ini memberi gambaran mengapa makhluk humanoid sangat meresap dalam mitologi dan budaya populer.

Humanoid dalam mitologi dan agama: percampuran manusia dan ilahi

Makna teologis dan mitologis

Dalam teks agama dan mitologi, entitas mirip manusia bukan hanya makhluk imajinatif, tetapi bagian dari sistem kosmologi. Artikel New World Encyclopedia mencatat bahwa antropomorfisme telah membentuk pemikiran keagamaan: banyak kepercayaan memvisualisasikan dewa atau roh dalam rupa manusia[7]. Tradisi politeistis menggambarkan dewa‑dewi memiliki sifat dan emosi manusia—seperti cinta, ambisi, kecemburuan, dan kemarahan[8]. Bahkan ketika dewa digambarkan dengan tubuh binatang, mereka diperlakukan layaknya manusia yang bisa mendengarkan doa atau memahami bahasa simbolis[9]. Di sisi lain, ajaran monoteistik seperti Yahudi dan Kristen sering memakai bahasa antropomorfis untuk menjelaskan Tuhan: misalnya, kitab Kejadian menggambarkan manusia diciptakan menurut citra Tuhan, yang menandakan hubungan kekerabatan antara sifat manusia dan sifat ilahi[10].

Perspektif “humanoid” dalam mitologi juga tercermin dalam narasi makhluk setengah manusia setengah binatang, contohnya centaur, minotaur, atau satir dalam mitologi Yunani. Artikel New World Encyclopedia menyebut bahwa dewa‑dewi dan makhluk spiritual sering digambarkan sebagai hibrid—memiliki bagian tubuh hewan seperti kepala singa atau sayap burung tetapi dengan raga dan kecerdasan manusia[11]. Figur seperti dryad (roh pohon) atau nereid (roh air) digambarkan berbentuk manusia karena mereka menjadi personifikasi alam[12].

See also  Iblis dan Google: Satire atas Kuasa Digital dan Moralitas Zaman

Xenophanes—filosof Yunani abad ke‑6 SM—mengkritik fenomena ini. Ia berkata bahwa manusia menciptakan dewa sesuai citra mereka: “Orang Etiopia menggambarkan dewa mereka berkulit hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang Trakia menyebut dewa mereka bermata biru dan berambut merah”[13]. Ungkapan ini menegaskan bahwa humanoid dalam mitologi seringkali cerminan identitas budaya. Masyarakat menggambarkan dewa sesuai dengan ciri fisik dan sosial yang familier, menghubungkan sifat manusia dengan kekuatan kosmis.

Fungsi sosial dan moral

Humanoid dalam mitologi berperan sebagai simbol moral dan sosial. Banyak legenda rakyat di Afrika menarasikan Jengu—makhluk air berbentuk wanita cantik yang memberi berkah kepada nelayan[14]. Cerita rakyat Inuit mengenal Adlet, makhluk setengah anjing setengah manusia, yang sering menjadi antagonis dalam kisah pembelajaran moral[15]. Sosok-sosok seperti ini dipakai untuk menakut‑nakuti anak‑anak agar patuh atau untuk menjelaskan fenomena alam yang sulit dipahami. Mereka mengisi ruang antara sains dan mitos, mengajarkan nilai‑nilai keberanian, kesetiaan, atau kehati‑hatian melalui kisah dramatis.

Humanoid dalam budaya populer: pergeseran dari sakral ke hiburan

Penggunaan humanoid dalam kisah modern menandai pergeseran dari fungsi religius ke narasi hiburan dan refleksi sosial. Dalam film, televisi, komik, dan permainan video, makhluk humanoid menyimbolkan hal lain: fantasi, spekulasi ilmiah, atau kritik sosial.

Sains fiksi dan spekulasi ilmiah

Bagian dari artikel Wikipedia tentang humanoid menyoroti bahwa dalam fiksi ilmiah, humanoid sering digunakan untuk menggambarkan alien yang mirip manusia[16]. Dua alasan utama dikemukakan. Pertama, penulis fiksi ilmiah hanya memiliki satu contoh kehidupan cerdas yang mereka kenal—yaitu manusia—sehingga mereka menggunakan bentuk manusia sebagai model untuk kehidupan di planet lain[17]. Kedua, alasan teknis: dalam film dan televisi, lebih mudah memerankan alien dengan aktor manusia daripada menciptakan makhluk yang sepenuhnya berbeda[18]. Namun, beberapa ilmuwan menilai bahwa bentuk humanoid mungkin masuk akal secara evolusi. Studi tentang evolusi konvergen menunjukkan bahwa makhluk dengan otak besar, bipedal, dan tangan yang bisa memegang mungkin akan muncul kembali karena tekanan seleksi serupa di planet lain[19].

Sains fiksi juga sering menanyakan: apa yang terjadi jika teknologi memunculkan humanoid buatan? Robot humanoid seperti ASIMO dibangun untuk meniru gerakan manusia[20]. Teknologi kecerdasan buatan berkembang menuju robot yang dapat berinteraksi dengan manusia layaknya aktor sosial. Diskusi mengenai android—robot yang dibuat menyerupai manusia sedekat mungkin—menantang batas antara manusia dan mesin. Pertanyaan etik muncul: apakah makhluk ini punya status moral? Apakah perasaan dan kesadaran mereka dapat dianggap nyata? Di sini, tema antropomorfisme kembali muncul; manusia cenderung memperlakukan robot yang mirip manusia dengan kasih sayang, memberi nama, atau merasa bersalah saat “mematikannya.”

Fantasi dan peran simbolis

Genre fantasi menggunakan humanoid untuk mengeksplorasi identitas, perbedaan, dan keragaman. Wikipedia menyebut bahwa dalam fiksi fantasi, humanoid dapat berupa elf, orc, kurcaci, gnome, goblin, dan sebagainya[21]. Mereka sering mewakili sifat manusia yang diperbesar: orc mewakili brutalitas, elf mengekspresikan keanggunan dan keabadian, sementara kurcaci menggambarkan keuletan dan keterampilan kerajinan tangan. Cerita-cerita ini memungkinkan pembaca merenungkan keutamaan dan kelemahan manusia melalui karakter non‑manusia.

Salah satu contoh menarik adalah kisah “Avatar: The Last Airbender” di mana suku-suku manusia hidup berdampingan dengan hewan dan roh antropomorfik. Serial ini menunjukkan bahwa manusia perlu membangun relasi harmoni dengan alam, dan humanoid menjadi personifikasi dari elemen‑elemen alam tersebut. Ini sejalan dengan tradisi animisme, di mana roh pohon (dryad) atau roh sungai (nereid) digambarkan dalam bentuk manusia untuk menunjukkan keharmonisan antara manusia dan alam[12]. Secara tidak langsung, budaya pop kontemporer sedang menghidupkan kembali metafora animistik yang telah lama ada dalam mitologi.

See also  Dunia Tanpa Google, Facebook, Instagram, dan Twitter: Bayangan Peradaban yang Terputus

Media digital dan game

Kehadiran humanoid di game video seperti The Sims, Mass Effect, atau Final Fantasy memberikan ruang bagi pemain untuk mengeksplorasi identitas dan hubungan. Game seperti Detroit: Become Human menempatkan pemain pada posisi android yang ingin memperoleh kebebasan. Pemain dihadapkan pada pilihan moral: apakah membela robot sebagai makhluk sadar atau memperlakukan mereka sebagai barang? Interaksi ini menunjukkan bahwa humanoid digital memicu empati dan perenungan etika di antara pengguna—suatu fenomena yang sejalan dengan temuan psikologis bahwa manusia sering memproyeksikan emosi kepada objek yang tampak manusiawi[9].

Di dunia maya, avatar dan virtual influencer juga berbentuk humanoid. Mereka dirancang sedemikian rupa untuk mendekati penampilan manusia, bahkan di media sosial. Fenomena ini menimbulkan diskusi tentang identitas digital: apakah kepribadian virtual merupakan bentuk perpanjangan diri atau entitas lain? Kategori “notes from virtual life” di situs ini tepat untuk menyoroti isu tersebut, mengingat humanoid digital menjadi bagian dari realitas sehari-hari generasi internet.

Hubungan dengan ramalan kiamat dan perubahan budaya

Sejumlah narasi populer dan legenda urban mengaitkan kemunculan humanoid dengan pertanda kiamat. Cerita tentang Nephilim dalam tradisi Yahudi-Kristen sering diinterpretasikan sebagai bukti bahwa makhluk setengah dewa dan setengah manusia muncul sebelum bencana besar[7]. Dalam banyak kultur, kehadiran makhluk setengah manusia—misalnya “orang sawan” dalam mitologi Nusantara—dianggap pertanda malapetaka. Namun, pandangan ini lebih merupakan refleksi ketakutan manusia terhadap perubahan ketimbang prediksi faktual. Seperti dijelaskan dalam artikel Britannica, antropomorfisme sering kali muncul karena ketidakpastian dan keinginan untuk menafsirkan dunia yang ambigu[22]. Ketika teknologi atau keadaan sosial berubah drastis, masyarakat menciptakan simbol—termasuk humanoid—sebagai cara untuk menangani ketidakpastian itu.

Sebaliknya, kemunculan humanoid dalam teknologi dan seni kontemporer bisa dilihat sebagai tanda kemajuan dan transformasi budaya. Kemunculan robot humanoid, kecerdasan buatan, dan avatar virtual menandai transisi ke era di mana batas antara fisik dan digital semakin kabur. Simbol humanoid tidak lagi menakutkan; ia menjadi metafora harapan, ketakjuban, dan sekaligus peringatan etis. Pikiran ini selaras dengan penjelasan dalam New World Encyclopedia yang menyebut bahwa fenomena antropomorfisme juga berkaitan dengan “teomorfisme”—yakni anggapan bahwa manusia diciptakan serupa dengan dewa[23]. Apabila manusia melihat dirinya sebagai citra ilahi, maka penciptaan humanoid bisa dipahami sebagai usaha manusia untuk menciptakan “citra” baru yang merefleksikan dirinya sendiri di era teknologi.

Ketakutan dan kecemasan terhadap humanoid

Walaupun humanoid sering kali dipandang menghibur atau menakjubkan, ada ketakutan mendalam yang muncul di kalangan masyarakat. Film fiksi ilmiah seperti The Terminator atau Ex Machina menggambarkan android yang memberontak, menimbulkan ketakutan bahwa humanoid akan menggantikan manusia atau bahkan menghancurkannya. Fenomena ketakutan ini berakar dari konsep “uncanny valley”—yakni rasa tidak nyaman ketika melihat sesuatu yang hampir, tetapi tidak sepenuhnya, menyerupai manusia. Semakin mirip sebuah robot atau avatar dengan manusia, semakin kuat reaksi emosional yang muncul.

Di sisi lain, cerita rakyat sering memanfaatkan humanoid sebagai peringatan moral. Kisah Ogbanje dalam tradisi Igbo menggambarkan roh anak yang berulang kali lahir dan meninggal demi menghukum keluarga[24]. Cerita ini tidak hanya menakutkan tetapi juga menyampaikan pesan tentang pentingnya ritual, adaptasi, dan penghargaan terhadap kehidupan. Penggunaan humanoid sebagai ancaman atau monster menunjukkan bahwa mereka mewakili sisi gelap keingintahuan manusia: rasa takut terhadap yang tidak diketahui dan keinginan untuk mengendalikan kekuatan yang lebih besar dari diri sendiri.

See also  Fenomena Horror YouTube di Indonesia: Antara Alam Ghaib, Sensasi Digital, dan Kapitalisasi Budaya

Masa depan humanoid: dari mitos ke teknologi

Melihat perkembangan teknologi dan kebudayaan, humanoid kemungkinan akan tetap menjadi fenomena penting. Seiring kemajuan robotika dan kecerdasan buatan, humanoid tidak lagi semata tokoh fiksi. Robot humanoid seperti ASIMO tidak memiliki wajah manusia tetapi sudah mampu berjalan dengan dua kaki, meniru gerakan manusia[20]. Eksperimen lain menciptakan android dengan kulit sintetis, ekspresi wajah, dan kemampuan percakapan yang semakin halus. Di Jepang, robot seperti Otonaroid dan Kodomoroid bahkan bekerja sebagai pemandu museum.

Filsuf teknologi memandang perkembangan ini sebagai peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, humanoid dapat membantu dalam perawatan lansia, pendidikan, atau eksplorasi ruang angkasa. Di sisi lain, mereka menimbulkan pertanyaan moral mengenai hak, kewajiban, dan definisi “kehidupan.” Debat tentang apakah robot layak mendapatkan hak pekerja atau perlindungan hukum mulai muncul. Antropomorfisme, dalam konteks ini, berperan ganda: membantu manusia berempati dengan mesin, tetapi juga berpotensi mengaburkan garis antara entitas hidup dan tidak hidup.

Konteks lokal: Narasi gaib Nusantara dan refleksi dalam “Notes from Virtual Life”

Dalam konteks Aceh dan Nusantara, kita mungkin jarang menemukan istilah “humanoid” dalam perbendaharaan tradisional. Namun, analoginya hadir dalam konsep jin, makhluk gaib yang kerap digambarkan memiliki tubuh manusia tetapi dengan kekuatan luar biasa. Cerita rakyat Melayu seperti “Hantu Penanggal” (kepala terbang dengan isi perut) dan “Orang Bunian” (manusia halus) menunjukan bagaimana masyarakat lokal mempersonifikasi fenomena spiritual ke dalam wujud manusia. Fenomena ini memberikan kerangka untuk memahami bagaimana manusia di berbagai tempat dan zaman memvisualisasikan entitas asing dalam bentuk humanoid.

Ketika pembaca situs kba13.com melihat artikel ini di kategori Notes from Virtual Life, mereka diajak untuk merenungkan bagaimana kisah-kisah tentang humanoid menggambarkan pergulatan antara tradisi dan modernitas, alam nyata dan maya. Dunia digital melahirkan “humanoid virtual,” seperti avatar media sosial, influencer AI, atau karakter dalam metaverse. Mereka mungkin tidak punya tubuh fisik, tetapi mempengaruhi emosi, perilaku, dan pola konsumsi masyarakat. Persinggungan antara mitos lama dan realitas baru ini menjadi bahan refleksi penting.

Kesimpulan: Humanoid sebagai cermin evolusi kultural

Humanoid bukan sekadar sensasi pop atau simbol apokaliptik. Mereka adalah cerminan pencarian identitas manusia—dari upaya memahami alam semesta dalam mitologi kuno, hingga spekulasi tentang teknologi masa depan. Studi antropomorfisme menunjukkan bahwa manusia membangun makna dengan mengubah dunia asing menjadi sesuatu yang akrab[25]. Makhluk setengah manusia dalam mitologi mengajarkan moral dan menggambarkan hubungan manusia dengan alam dan dewa-dewa[12]. Di zaman modern, humanoid dalam film, novel, dan game menantang kita untuk memikirkan batasan etika, identitas, dan empati.

Kecemasan dan daya tarik terhadap humanoid menggambarkan paradoks fundamental: kita ingin menemukan makhluk serupa diri kita di luar sana, namun kita juga takut kehilangan tempat unik kita di alam semesta. Dengan memaknai humanoid secara historis dan kultural, kita dapat melihat bahwa mereka bukan tanda kehancuran dunia, tetapi simbol perubahan zaman dan peluang untuk refleksi mendalam mengenai apa artinya menjadi manusia.

[1] [2] [12] [13] [16] [17] [18] [19] [20] [21] Humanoid – Wikipedia

https://en.wikipedia.org/wiki/Humanoid

[3] [4] [5] [6] [9] [22] [25] Anthropomorphism | Definition, Examples & History | Britannica

https://www.britannica.com/topic/anthropomorphism

[7] [8] [10] [11] [23] Anthropomorphism – New World Encyclopedia

https://www.newworldencyclopedia.org/entry/Anthropomorphism

[14] [15] [24] Mythic humanoids – Wikipedia

https://en.wikipedia.org/wiki/Mythic_humanoids

About The Author


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *