Charles Taylor dan Etika Autentisitas: Mengurai Relativisme dan Debat Inartikulatif

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Charles Taylor menyingkap dilema besar modernitas: ketika relativisme mereduksi autentisitas menjadi slogan dangkal, filsafat harus hadir untuk mengartikulasikan kembali moral ideal. Sebuah bacaan wajib bagi pencinta filsafat dan kritik budaya.
Charles Taylor menyingkap dilema besar modernitas: ketika relativisme mereduksi autentisitas menjadi slogan dangkal, filsafat harus hadir untuk mengartikulasikan kembali moral ideal. Sebuah bacaan wajib bagi pencinta filsafat dan kritik budaya.

Pengantar Debat Inartikulatif

Charles Taylor membuka bab “The Inarticulate Debate” dengan membahas resonansi besar yang muncul setelah terbitnya buku Allan Bloom, The Closing of the American Mind. Buku ini menggemparkan Amerika Serikat pada akhir 1980-an dengan kritik pedas terhadap generasi muda yang dianggap terlalu mudah menerima relativisme nilai. Menurut Bloom, mahasiswa saat itu terbiasa berpikir bahwa setiap orang memiliki “values” sendiri, dan tidak ada alasan untuk memperdebatkan kebenarannya. Taylor melihat bahwa fenomena ini bukan sekadar fenomena sosial, melainkan gejala mendalam dari kebingungan moral yang melanda masyarakat modern.

Kekuatan buku Bloom bukan hanya terletak pada argumentasi, tetapi pada keberhasilannya menyentuh sesuatu yang memang sedang mengakar di dalam kesadaran kolektif. Ia mengangkat keresahan yang dirasakan banyak pihak: bahwa ada yang salah dengan cara generasi muda memandang nilai, kebenaran, dan kehidupan yang baik. Taylor mengakui bahwa Bloom menyentuh persoalan penting, tetapi ia juga menilai bahwa Bloom gagal membaca nuansa moral yang terkandung di balik fenomena tersebut. Inilah titik awal bagi Taylor untuk masuk lebih dalam ke apa yang ia sebut sebagai “debat inartikulatif.”

Debat yang tidak terartikulasikan ini terjadi karena para pengkritik dan para pendukung budaya modern berbicara dalam bahasa yang tidak saling bersinggungan. Para pengkritik, seperti Bloom, menyoroti bahaya relativisme dan kehilangan standar bersama. Sebaliknya, para pendukung menekankan bahwa kebebasan individu adalah nilai tertinggi yang tidak boleh dilanggar. Akibatnya, tidak ada pertukaran argumen yang sejati. Yang terjadi hanyalah dua monolog yang berjalan sejajar tanpa titik temu.

Fenomena relativisme sendiri lahir dari tradisi liberal yang menekankan penghormatan terhadap kebebasan memilih. Pada awalnya, prinsip ini mendorong toleransi dan saling menghormati. Namun, seiring perkembangan budaya modern, ia meluas menjadi pandangan bahwa semua gaya hidup memiliki kedudukan yang sama, tanpa bisa diperdebatkan. Taylor melihat bahwa inilah salah satu bentuk degradasi dari ideal autentisitas yang lebih mendalam.

Debat menjadi tidak terartikulasikan karena kekurangan kosakata filosofis untuk membedakan antara bentuk autentisitas yang sejati dan bentuknya yang dangkal. Relativisme yang lahir dari individualisme seringkali diperlakukan seolah-olah ia adalah perwujudan penuh dari kebebasan. Padahal, ada ideal moral yang lebih serius yang menopang gagasan tentang kebebasan individu. Kegagalan untuk mengartikulasikan hal ini membuat perdebatan publik terperangkap dalam dikotomi palsu antara sinisme total dan penerimaan tanpa kritik.

Taylor menekankan bahwa perdebatan tentang kehidupan yang baik tetap berlangsung, meskipun terselubung. Generasi muda tetap mencari makna, tetapi pencarian itu sering kali dibatasi oleh cara pandang relativis. Mereka merumuskan gaya hidup sendiri, namun enggan menilai atau mempertanyakan apakah pilihan itu benar-benar mewujudkan sesuatu yang lebih tinggi. Dengan kata lain, pencarian makna berlangsung dalam kerangka yang miskin orientasi normatif.

Masalah ini semakin mendesak karena ia menyentuh inti kehidupan sosial modern. Tanpa adanya standar bersama tentang kehidupan yang baik, masyarakat kehilangan arah. Nilai kebebasan memang penting, tetapi tanpa pengertian yang lebih kaya tentang autentisitas, kebebasan bisa berubah menjadi pembenaran untuk setiap pilihan, betapapun dangkal atau merusaknya. Inilah dilema yang coba diurai Taylor.

Dengan mengangkat kembali diskusi yang ditimbulkan Bloom, Taylor tidak ingin jatuh pada posisi sinis atau apologia. Ia ingin menunjukkan bahwa di balik relativisme terdapat sebuah moral ideal yang patut diperhatikan. Tugas filsafat, menurutnya, adalah mengembalikan artikulasi yang hilang itu, sehingga debat tentang kehidupan yang baik tidak lagi terjebak dalam jalan buntu.

Taylor pun mengingatkan bahwa tantangan utama bukan hanya isi kritik, melainkan cara mengartikulasikan ideal autentisitas. Kritik tanpa visi hanya akan memperdalam sinisme. Pujian tanpa batas hanya akan mempercepat degradasi. Jalan tengah yang ia tawarkan adalah merehabilitasi autentisitas sebagai moral ideal dengan mengakui kedalaman etis yang sebenarnya terkandung di dalamnya.

Dengan demikian, pengantar debat inartikulatif ini menjadi panggung awal untuk diskusi lebih luas. Taylor menyiapkan pembaca untuk melihat bagaimana relativisme, individualisme, dan self-fulfilment berkelindan dalam budaya modern, serta bagaimana kita bisa menemukan kembali artikulasi filosofis yang hilang.

Relativisme, Individualisme, dan Self-Fulfilment

Relativisme yang dikritik Bloom dan dibedah Taylor tidak dapat dilepaskan dari akar individualisme modern. Prinsip dasarnya adalah bahwa setiap orang memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Dalam bahasa sederhana, setiap orang berhak mengembangkan gaya hidup sesuai dengan dirinya, tanpa ada pihak lain yang boleh mengintervensi. Relativisme muncul sebagai konsekuensi dari prinsip ini, karena jika semua orang memiliki hak yang sama, maka tidak ada cara untuk menilai pilihan hidup seseorang sebagai lebih baik daripada yang lain.

Taylor menegaskan bahwa relativisme ini sebenarnya berakar pada ideal moral yang lebih dalam, yaitu gagasan tentang self-fulfilment. Dalam bentuk paling positif, self-fulfilment berarti setiap individu harus setia pada dirinya sendiri, menemukan jalannya sendiri, dan mengejar kebahagiaan sesuai dengan kebenaran dirinya. Namun, dalam bentuk paling dangkal, ia berubah menjadi justifikasi untuk setiap bentuk keinginan pribadi, betapapun superfisialnya.

Karya-karya pemikir lain seperti Daniel Bell, Christopher Lasch, dan Gilles Lipovetsky menunjukkan bagaimana self-fulfilment sering kali mengalami trivialisasi. Ia berubah menjadi narsisisme, konsumerisme, atau hedonisme. Generasi modern, alih-alih mencari makna yang lebih dalam, justru terjebak dalam pencarian kepuasan instan. Kritik-kritik ini menggambarkan bagaimana individualisme bisa melahirkan bentuk-bentuk budaya yang menyingkirkan kepedulian terhadap isu-isu besar seperti keadilan, sejarah, atau agama.

Taylor setuju dengan kritik tersebut, tetapi ia tidak mau berhenti di situ. Ia melihat bahwa meskipun banyak bentuk self-fulfilment yang dangkal, ada sebuah moral ideal yang sejati di baliknya. Ide tentang setia pada diri sendiri bukanlah sekadar ekspresi egoisme, melainkan sebuah upaya untuk menemukan kehidupan yang lebih otentik. Karena itu, kritik terhadap budaya kontemporer harus membedakan antara bentuk penyimpangan dan moral ideal yang mendasarinya.

Dengan kata lain, relativisme bukanlah titik akhir, melainkan gejala dari sesuatu yang lebih dalam. Ia adalah ekspresi yang cacat dari ideal autentisitas. Menyalahkan relativisme tanpa memahami akar moralnya sama saja dengan membuang bayi bersama air mandinya. Di sinilah Taylor mengajak kita untuk melakukan pembacaan ulang atas budaya modern.

Relativisme juga tidak bisa dilepaskan dari prinsip mutual respect. Banyak orang menerima relativisme karena mereka ingin menghormati pilihan hidup orang lain. Dalam kerangka ini, relativisme adalah ekspresi dari sikap toleransi. Namun, Taylor menekankan bahwa toleransi tidak harus berarti meniadakan standar. Kita bisa menghormati pilihan orang lain sambil tetap mengakui bahwa ada cara hidup yang lebih bernilai daripada yang lain.

Self-fulfilment dalam bentuk yang lebih serius menuntut setiap orang untuk setia pada dirinya, tetapi kesetiaan itu tidak berarti menutup diri dari nilai yang lebih tinggi. Justru sebaliknya, autentisitas sejati menuntut keterbukaan terhadap nilai-nilai yang memberi arah pada kehidupan. Inilah yang membedakannya dari relativisme dangkal.

See also  The Future of Digital Culture: What's Next?

Dengan membaca ulang self-fulfilment melalui lensa autentisitas, Taylor ingin menunjukkan bahwa kebudayaan modern tidak sepenuhnya nihil. Ada moral ideal yang masih hidup, meskipun sering tertutup oleh bentuk-bentuk penyimpangan. Tugas filsafat adalah membantu mengartikulasikan kembali moral ideal itu, agar ia bisa menjadi pedoman yang lebih jernih.

Perdebatan tentang relativisme dan individualisme ini, bagi Taylor, merupakan pintu masuk untuk memahami bagaimana budaya modern mengalami krisis artikulasi. Kita tidak kehilangan moral ideal, tetapi kita kehilangan bahasa untuk membicarakannya dengan jelas. Itulah sebabnya debat menjadi inarticulate: yang diperdebatkan bukan tidak ada, melainkan tidak dapat dinyatakan dengan tepat.

Dengan cara ini, Taylor menempatkan dirinya di antara kritik dan pembela budaya modern. Ia menolak sinisme total, tetapi juga tidak menerima begitu saja relativisme. Ia ingin membuka jalan bagi pembacaan yang lebih dalam terhadap autentisitas sebagai moral ideal yang dapat mengatasi krisis artikulasi ini.

Kritik Terhadap Budaya Autentisitas

Kritik terhadap budaya autentisitas modern banyak datang dari arah yang berbeda-beda. Sebagian menganggapnya sebagai bentuk narsisisme kolektif, di mana individu hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Sebagian lain melihatnya sebagai hedonisme, sebuah budaya yang hanya mengejar kesenangan sesaat tanpa peduli pada tujuan moral yang lebih tinggi. Semua kritik ini, menurut Taylor, punya dasar yang kuat, tetapi sering kali jatuh pada generalisasi yang menutup kemungkinan membaca sisi positif autentisitas.

Taylor menekankan bahwa kritik paling keras sering disertai nada sinis. Bloom, misalnya, menggambarkan budaya relativisme dengan nada penghinaan, seolah-olah generasi muda sudah kehilangan arah sepenuhnya. Nada ini mencerminkan rasa frustrasi, tetapi juga menimbulkan kesan bahwa tidak ada lagi sesuatu yang bisa diselamatkan dari budaya modern. Taylor menolak sikap seperti ini. Menurutnya, ada sesuatu yang masih berharga dan tidak bisa diabaikan begitu saja.

Autentisitas sejati, bagi Taylor, adalah ideal moral yang menuntut kesetiaan pada diri sendiri. Namun, dalam praktiknya, banyak bentuk autentisitas yang dangkal. Orang merasa setia pada dirinya sendiri hanya karena mengikuti dorongan instan atau tren populer. Akibatnya, autentisitas kehilangan kedalaman dan berubah menjadi topeng bagi egoisme. Kritik terhadap hal ini sah, tetapi tidak boleh menutupi nilai moral yang sesungguhnya terkandung dalam gagasan autentisitas.

Taylor mengingatkan bahwa budaya modern sering kali melahirkan bentuk-bentuk penyimpangan dari autentisitas. Contohnya adalah munculnya berbagai “guru” atau “pakar” yang menawarkan jalan pintas menuju pemenuhan diri. Sebagian mengklaim berbasis ilmu pengetahuan, sebagian lain mengusung spiritualitas eksotis. Semua ini, menurut Taylor, adalah tanda bahwa pencarian autentisitas tetap hidup, meskipun sering tersesat pada jalur yang menyesatkan.

Kritik lain yang sering muncul adalah bahwa budaya self-fulfilment membuat orang melupakan tanggung jawab sosial. Orang menjadi sibuk dengan dirinya sendiri, sementara urusan bersama seperti politik, solidaritas, atau keadilan diabaikan. Taylor mengakui bahaya ini, tetapi ia juga menegaskan bahwa autentisitas sejati justru menuntut keterlibatan dengan dunia. Menjadi setia pada diri sendiri tidak berarti menutup mata terhadap orang lain, melainkan menemukan panggilan hidup yang membawa kita berhubungan dengan realitas yang lebih luas.

Nada sinis dalam kritik budaya sering kali mengaburkan fakta bahwa orang-orang modern tetap mencari makna. Mereka tidak sekadar hedonis, tetapi berusaha menemukan kehidupan yang lebih otentik. Jika pencarian ini sering gagal, itu bukan karena ideal autentisitas salah, melainkan karena ia tidak terartikulasikan dengan baik. Itulah sebabnya tugas filsafat adalah membantu memberi bahasa yang tepat bagi pencarian ini.

Taylor berusaha menghindari jebakan dua ekstrem: glorifikasi dan demonisasi. Glorifikasi membuat kita menutup mata terhadap penyimpangan yang nyata. Demonisasi membuat kita buta terhadap moral ideal yang masih hidup. Jalan yang ia tawarkan adalah membedakan antara bentuk penyimpangan dan inti moral autentisitas. Dengan cara itu, kita bisa melakukan kritik yang adil tanpa kehilangan arah.

Budaya modern memang rentan terhadap trivialisasi. Namun, trivialisasi bukanlah alasan untuk menolak keseluruhan ideal. Sebaliknya, ia adalah panggilan untuk mengartikulasikan ulang ideal itu dengan cara yang lebih jernih. Taylor percaya bahwa dengan cara ini, kita bisa merehabilitasi autentisitas sebagai sumber moral yang relevan bagi zaman kita.

Kritik yang benar-benar berguna bukanlah yang sekadar mengungkap penyimpangan, melainkan yang membantu memperjelas perbedaan antara penyimpangan dan autentisitas sejati. Kritik semacam ini tidak hanya menolak, tetapi juga menawarkan jalan untuk memperbaiki. Itulah jenis kritik yang coba dilakukan Taylor dalam karya ini.

Dengan pendekatan ini, Taylor mengajak kita melihat budaya modern bukan hanya sebagai krisis, tetapi juga sebagai peluang. Di balik kebingungan dan relativisme, ada potensi untuk menemukan kembali moral ideal yang bisa membimbing kita ke arah kehidupan yang lebih bermakna.

Autentisitas sebagai Moral Ideal

Taylor menegaskan bahwa autentisitas adalah moral ideal yang sahih dan penting. Autentisitas bukan sekadar pilihan gaya hidup, tetapi sebuah visi tentang kehidupan yang lebih tinggi. Ia menuntut manusia untuk setia pada dirinya sendiri, bukan dalam arti mengikuti keinginan sesaat, tetapi dalam arti menemukan panggilan yang benar-benar mencerminkan jati diri terdalam.

Lionel Trilling pernah mendefinisikan autentisitas sebagai perkembangan modern dari ideal “sincerity.” Jika sincerity berarti kesesuaian antara kata dan perbuatan, maka autentisitas berarti kesetiaan pada diri sejati, bahkan ketika itu menuntut kita melawan tekanan sosial atau ekspektasi orang lain. Inilah yang membuat autentisitas menjadi moral ideal, bukan sekadar pilihan subjektif.

Taylor menolak pandangan yang menyamakan autentisitas dengan hedonisme atau narsisisme. Autentisitas sejati justru menuntut keseriusan, refleksi, dan keterbukaan terhadap nilai yang lebih tinggi. Orang yang benar-benar setia pada dirinya akan mencari apa yang benar-benar penting, bukan sekadar apa yang menyenangkan. Karena itu, autentisitas tidak bisa direduksi menjadi self-indulgence.

Masalahnya, dalam budaya modern, autentisitas sering dipersempit menjadi retorika pembenaran diri. Orang merasa “otentik” hanya karena ia menolak tradisi atau karena ia memilih jalannya sendiri, tanpa mempertimbangkan apakah jalan itu sungguh-sungguh bernilai. Akibatnya, autentisitas kehilangan bobot moralnya dan berubah menjadi slogan kosong.

Taylor ingin mengembalikan autentisitas pada kedalaman moralnya. Ia menegaskan bahwa autentisitas sejati tidak dapat dilepaskan dari keterhubungan dengan orang lain dan dunia. Kesetiaan pada diri sendiri bukan berarti menutup diri, tetapi menemukan jalan yang membuat hidup kita bermakna dalam konteks yang lebih luas. Inilah yang membedakan autentisitas dari relativisme dangkal.

Autentisitas, dengan demikian, adalah sebuah standar yang menuntut. Ia tidak bisa dipenuhi hanya dengan mengikuti dorongan instan atau menolak otoritas eksternal. Ia memerlukan refleksi mendalam tentang siapa diri kita, apa yang kita anggap penting, dan bagaimana kita bisa hidup sesuai dengan panggilan itu. Dengan kata lain, autentisitas menuntut keterlibatan dengan nilai yang lebih tinggi.

Taylor juga mengingatkan bahwa autentisitas memiliki fungsi kritis terhadap budaya modern. Ia bisa menjadi ukuran untuk menilai apakah bentuk-bentuk budaya self-fulfilment benar-benar otentik atau hanya tiruan. Dengan demikian, autentisitas bukan hanya ideal individu, tetapi juga alat untuk menganalisis kondisi sosial.

Dengan merehabilitasi autentisitas, Taylor ingin menunjukkan bahwa kita tidak harus memilih antara relativisme dan otoritarianisme. Ada jalan ketiga: sebuah moral ideal yang mengakui kebebasan individu tetapi juga menuntut keterhubungan dengan nilai yang lebih tinggi. Inilah yang ia sebut sebagai etika autentisitas.

See also  Barus dan Gerbang Spiritualitas Nusantara: Agama, Tubuh, dan Tradisi di Tanah Kapur

Etika ini penting bukan hanya bagi filsafat, tetapi juga bagi kehidupan sehari-hari. Ia memberi dasar bagi kita untuk menilai pilihan hidup, membedakan antara bentuk penyimpangan dan bentuk sejati, serta menemukan arah di tengah pluralitas modern. Tanpa etika autentisitas, kita akan terus terjebak dalam debat inartikulatif.

Dengan menegaskan autentisitas sebagai moral ideal, Taylor menyiapkan dasar untuk kritik lebih lanjut terhadap hambatan-hambatan yang membuat ideal ini sulit diartikulasikan dalam budaya modern. Hambatan itu mencakup subjektivisme moral, cara pandang ilmu sosial, dan dominasi reason instrumental.

Hambatan Artikulasi: Subjektivisme dan Ilmu Sosial Modern

Salah satu hambatan terbesar bagi artikulasi autentisitas adalah dominasi subjektivisme moral. Banyak orang percaya bahwa klaim moral hanyalah preferensi pribadi yang tidak bisa diperdebatkan secara rasional. Dengan pandangan ini, perdebatan tentang kehidupan yang baik menjadi mustahil, karena semua posisi dianggap sama sahnya. Inilah yang membuat debat tentang autentisitas menjadi inarticulate.

Subjektivisme muncul dari keyakinan bahwa tidak ada dasar obyektif bagi klaim moral. Nilai hanya lahir dari pilihan individu. Pandangan ini mungkin memberi rasa kebebasan, tetapi ia juga menghilangkan kemampuan kita untuk berbicara tentang nilai yang lebih tinggi. Akibatnya, diskursus publik kehilangan arah.

Taylor menilai bahwa subjektivisme melemahkan kapasitas kita untuk mengartikulasikan autentisitas. Autentisitas sejati menuntut refleksi dan keterhubungan dengan nilai yang lebih tinggi, tetapi subjektivisme menolak kemungkinan adanya nilai yang lebih tinggi. Akibatnya, autentisitas direduksi menjadi slogan kosong yang tidak bisa diperdebatkan.

Selain subjektivisme, hambatan lain datang dari cara pandang ilmu sosial modern. Banyak teori sosial menjelaskan fenomena budaya semata-mata sebagai hasil dari faktor material seperti industrialisasi, urbanisasi, atau mobilitas sosial. Fenomena moral ideal seperti autentisitas diperlakukan hanya sebagai efek samping dari perubahan sosial.

Taylor mengakui bahwa ada hubungan erat antara perubahan sosial dan perubahan budaya. Namun, ia menolak pandangan yang mereduksi semua fenomena moral ke dalam faktor material. Menurutnya, autentisitas sebagai moral ideal memiliki daya normatif yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan industrialisasi atau urbanisasi. Jika autentisitas hanya dipahami sebagai efek samping, maka kedalaman moralnya akan hilang, dan kita tidak akan pernah bisa mengartikulasikannya dengan jelas.

Ilmu sosial modern, terutama yang dipengaruhi positivisme, cenderung menghindari bahasa normatif. Penjelasan moral dianggap kurang ilmiah karena tidak dapat diverifikasi secara empiris. Akibatnya, pembahasan tentang autentisitas sering terpinggirkan atau direduksi menjadi perilaku sosial tanpa makna etis. Taylor melihat hal ini sebagai hambatan serius, karena tanpa bahasa normatif kita tidak bisa membedakan antara autentisitas sejati dan bentuk-bentuk penyimpangannya.

Masalahnya semakin kompleks karena subjektivisme moral dan reduksionisme ilmu sosial saling memperkuat. Subjektivisme membuat orang percaya bahwa tidak ada standar obyektif, sementara ilmu sosial memberikan justifikasi akademik untuk menyingkirkan bahasa moral. Kombinasi ini membuat debat tentang autentisitas semakin sulit diartikulasikan.

Taylor menekankan bahwa autentisitas tidak bisa direduksi menjadi preferensi subjektif atau fenomena sosial. Ia adalah sebuah moral ideal yang memiliki daya normatif. Untuk mengartikulasikannya, kita perlu berani berbicara dalam bahasa normatif, meskipun itu tidak sesuai dengan kebiasaan positivis ilmu sosial. Filosofi moral harus hadir kembali untuk mengisi kekosongan ini.

Kebuntuan artikulasi ini menciptakan kondisi di mana budaya modern penuh dengan pencarian autentisitas, tetapi pencarian itu tidak memiliki bahasa yang jelas. Orang terus mencari makna dalam hidup mereka, tetapi mereka tidak memiliki kategori normatif untuk menilai apakah pencarian itu berhasil atau gagal. Itulah yang membuat perdebatan publik terasa dangkal dan terjebak dalam relativisme.

Dalam kondisi seperti ini, kritik terhadap budaya modern pun menjadi terbatas. Banyak kritik hanya mengungkap gejala penyimpangan, tetapi tidak mampu menjelaskan mengapa gejala itu menyimpang dari moral ideal. Kritik semacam ini tidak cukup membantu, karena ia gagal membedakan antara bentuk penyimpangan dan autentisitas sejati.

Taylor mengusulkan agar filsafat moral kembali memainkan perannya. Kita perlu berbicara tentang autentisitas sebagai moral ideal, bukan hanya sebagai fenomena sosial. Dengan cara itu, kita bisa membedakan antara penyimpangan dan inti moral. Tanpa keberanian untuk berbicara normatif, kita akan terus terjebak dalam debat inartikulatif.

Hambatan yang datang dari subjektivisme dan ilmu sosial ini menunjukkan betapa sulitnya membicarakan kehidupan yang baik dalam budaya modern. Namun, Taylor tidak menyerah. Ia percaya bahwa ada jalan untuk merehabilitasi autentisitas, meskipun itu menuntut kerja keras intelektual.

Pekerjaan filsafat, menurut Taylor, bukan hanya mengkritik atau menjelaskan, tetapi juga membantu mengartikulasikan kembali moral ideal. Dengan begitu, autentisitas bisa kembali menjadi pedoman yang jelas, bukan sekadar slogan kosong. Filosofi moral dapat membuka jalan bagi masyarakat untuk melihat perbedaan antara relativisme dangkal dan autentisitas sejati.

Dengan mengatasi hambatan-hambatan ini, Taylor percaya kita bisa mengembalikan kedalaman etis dalam debat publik. Autentisitas akan kembali dipahami bukan hanya sebagai preferensi pribadi, tetapi sebagai moral ideal yang sahih dan menuntut.

 

Keterjeratan Modernitas dan Instrumental Reason

Selain subjektivisme dan reduksionisme, Taylor juga menyoroti bahaya lain yang menghalangi artikulasi autentisitas, yaitu dominasi instrumental reason. Modernitas membawa perkembangan besar dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mendorong cara berpikir kalkulatif: bagaimana mencapai tujuan tertentu dengan cara paling efisien. Pola pikir ini sangat berguna, tetapi jika mendominasi semua aspek kehidupan, ia dapat menggerus kedalaman moral.

Instrumental reason membuat segala sesuatu dinilai berdasarkan kegunaan praktis. Pertanyaan tentang kebenaran atau kebaikan digantikan oleh pertanyaan tentang efektivitas. Dalam kerangka ini, kehidupan yang baik pun direduksi menjadi persoalan manajemen sumber daya atau strategi mencapai kepuasan. Autentisitas sebagai moral ideal kehilangan tempatnya, karena ia tidak bisa diukur dengan kalkulasi efisiensi.

Taylor menilai bahwa dominasi instrumental reason memperparah krisis artikulasi. Orang modern terbiasa berpikir dalam kerangka utilitarian, sehingga sulit untuk berbicara tentang nilai intrinsik. Akibatnya, autentisitas sering diperlakukan hanya sebagai cara lain untuk meningkatkan kesejahteraan atau kebahagiaan, bukan sebagai moral ideal yang menuntut kesetiaan pada diri sejati.

Bahaya lain dari instrumental reason adalah bahwa ia mendorong proses dehumanisasi. Hubungan manusia dengan orang lain, dengan alam, bahkan dengan dirinya sendiri, direduksi menjadi fungsi utilitas. Orang tidak lagi dipandang sebagai pribadi dengan martabat, tetapi sebagai sarana untuk tujuan tertentu. Dalam kondisi ini, autentisitas yang menuntut keterhubungan dengan nilai lebih tinggi menjadi semakin sulit diartikulasikan.

Taylor menekankan bahwa meskipun instrumental reason tidak bisa dihindari, kita perlu menempatkannya dalam konteks yang tepat. Ia berguna dalam banyak hal, tetapi tidak boleh menjadi paradigma tunggal. Kita memerlukan ruang untuk berbicara tentang nilai intrinsik, tentang kehidupan yang bermakna, dan tentang autentisitas sejati. Tanpa ruang ini, debat moral akan terus dangkal.

Modernitas sering kali memuja efisiensi dan produktivitas. Namun, jika semua nilai direduksi menjadi produktivitas, maka manusia akan kehilangan orientasi eksistensial. Autentisitas sebagai moral ideal adalah cara untuk mengingatkan bahwa hidup bukan hanya tentang mencapai hasil, tetapi juga tentang menjadi setia pada diri sendiri dan menemukan makna.

Instrumental reason juga memengaruhi politik dan ekonomi. Kebijakan publik sering dibenarkan atas dasar efisiensi atau pertumbuhan, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral yang lebih tinggi. Dalam kondisi ini, suara autentisitas semakin terpinggirkan. Masyarakat modern membutuhkan artikulasi baru agar autentisitas bisa kembali hadir dalam ranah publik.

See also  Sejarah, Tata Kelola, dan Digitalisasi Penyelenggaraan Haji Indonesia: Dari Syaikh hingga Era Syarikah 2025

Taylor melihat bahwa jalan keluar bukanlah menolak modernitas, tetapi menyeimbangkannya. Kita perlu mengakui manfaat instrumental reason, tetapi juga berani menegaskan bahwa ada nilai yang lebih tinggi. Autentisitas adalah salah satunya. Dengan cara ini, kita bisa membebaskan debat moral dari dominasi kalkulasi utilitarian.

Dengan demikian, tantangan modernitas bukan hanya relativisme, tetapi juga instrumentalisme. Keduanya membuat autentisitas sulit diartikulasikan. Namun, justru karena itu, tugas filsafat menjadi semakin penting: memberi bahasa yang memungkinkan kita berbicara kembali tentang nilai yang lebih tinggi.

 

Menuju Jalan Tengah: Kritik dan Rehabilitasi

Taylor mengajak pembaca untuk tidak terjebak dalam dua ekstrem: menjadi booster atau knocker. Booster adalah mereka yang menerima budaya modern tanpa kritik, menganggap relativisme sebagai kebebasan murni. Knocker adalah mereka yang menolak total budaya modern, melihatnya sebagai tanda dekadensi. Kedua posisi ini, menurut Taylor, sama-sama gagal karena tidak mampu membedakan antara bentuk penyimpangan dan moral ideal.

Jalan tengah yang ditawarkan Taylor adalah rehabilitasi autentisitas. Ia mengakui bahwa banyak bentuk budaya modern yang dangkal atau menyesatkan. Namun, ia juga menegaskan bahwa di balik semua itu, ada moral ideal yang sahih. Tugas kita adalah mengartikulasikan ideal itu dengan lebih jernih, sehingga kita bisa membedakan mana yang sejati dan mana yang palsu.

Rehabilitasi autentisitas berarti mengembalikan kedalaman moral pada gagasan setia pada diri sendiri. Kesetiaan ini tidak bisa dipenuhi dengan sekadar mengikuti keinginan instan. Ia menuntut refleksi, keterbukaan, dan keterhubungan dengan nilai lebih tinggi. Autentisitas sejati tidak menolak tradisi begitu saja, tetapi juga tidak tunduk membabi buta. Ia mencari jalan yang sesuai dengan panggilan terdalam manusia.

Taylor menegaskan bahwa kita bisa mengkritik penyimpangan tanpa menolak ideal. Kritik yang sejati adalah yang membantu memperjelas perbedaan antara penyimpangan dan inti moral. Dengan cara itu, kritik tidak hanya menolak, tetapi juga memberi arah. Inilah kritik yang konstruktif, yang membangun artikulasi baru bagi debat publik.

Rehabilitasi autentisitas juga berarti menolak sinisme. Sinisme membuat kita buta terhadap potensi positif yang masih ada dalam budaya modern. Jika kita hanya melihat sisi buruk, kita akan kehilangan harapan. Taylor ingin menunjukkan bahwa meskipun ada banyak bentuk penyimpangan, ada juga pencarian yang tulus akan kehidupan yang lebih otentik. Pencarian itu harus kita hargai dan kita bantu dengan artikulasi filosofis yang tepat.

Jalan tengah ini bukan kompromi setengah hati, tetapi strategi intelektual yang serius. Ia menuntut kita untuk melakukan kritik yang adil, tanpa jatuh pada glorifikasi atau demonisasi. Dengan cara ini, kita bisa menghindari jebakan ekstrem dan membangun pemahaman yang lebih seimbang.

Taylor percaya bahwa dengan rehabilitasi autentisitas, kita bisa mengatasi krisis artikulasi. Kita bisa membedakan antara relativisme dangkal dan autentisitas sejati. Kita bisa melihat bahwa budaya modern bukan hanya krisis, tetapi juga peluang. Dengan artikulasi yang tepat, autentisitas bisa menjadi sumber moral yang membimbing kita ke arah kehidupan yang lebih bermakna.

Jalan tengah ini menuntut keberanian intelektual. Kita harus berani melawan sinisme, tetapi juga berani mengkritik penyimpangan. Kita harus berani berbicara tentang nilai lebih tinggi, meskipun itu tidak populer dalam budaya relativis. Hanya dengan cara itu, autentisitas bisa kembali menjadi moral ideal yang relevan.

Dengan demikian, rehabilitasi autentisitas bukan hanya proyek akademik, tetapi juga proyek kultural. Ia bertujuan untuk mengembalikan artikulasi moral dalam masyarakat, agar debat publik tidak lagi dangkal. Ini adalah tugas filsafat sekaligus tugas sosial, karena autentisitas menyentuh inti kehidupan bersama.

Kesimpulan: Relevansi Autentisitas di Dunia Kontemporer

Bab “The Inarticulate Debate” dalam The Ethics of Authenticity adalah upaya Charles Taylor untuk mengurai kebuntuan dalam debat budaya modern. Ia menunjukkan bahwa relativisme dan individualisme memang menimbulkan masalah serius, tetapi mereka juga berakar pada moral ideal yang sahih. Masalah utama bukan pada ideal itu sendiri, melainkan pada kegagalan kita mengartikulasikannya dengan benar.

Autentisitas, sebagai moral ideal, tetap relevan. Ia menuntut kita untuk setia pada diri sendiri, menemukan panggilan terdalam, dan hidup sesuai dengan nilai yang lebih tinggi. Ia bukan sekadar slogan, tetapi visi tentang kehidupan yang bermakna. Tantangannya adalah bagaimana mengartikulasikannya di tengah budaya yang didominasi relativisme, subjektivisme, dan instrumental reason.

Taylor menawarkan jalan tengah: menolak sinisme total sekaligus menolak penerimaan tanpa kritik. Ia mengajak kita untuk membedakan antara penyimpangan dan inti moral, antara bentuk dangkal dan autentisitas sejati. Dengan cara itu, kita bisa merehabilitasi autentisitas sebagai pedoman moral yang sahih.

Relevansi gagasan Taylor semakin jelas dalam konteks dunia kontemporer. Kita hidup di era di mana kebebasan individu sangat dijunjung, tetapi juga di era di mana relativisme dan instrumentalisme sering mengaburkan nilai yang lebih tinggi. Autentisitas bisa menjadi kompas moral yang membantu kita menavigasi kompleksitas ini.

Autentisitas juga penting dalam kehidupan sosial dan politik. Ia mendorong kita untuk terlibat secara tulus dengan orang lain, bukan hanya mengikuti arus. Ia mengingatkan bahwa kehidupan bersama memerlukan lebih dari sekadar toleransi pasif; ia membutuhkan keterhubungan yang otentik. Dengan cara itu, autentisitas bisa menjadi dasar bagi solidaritas baru dalam masyarakat plural.

Bagi Taylor, tugas filsafat adalah membantu mengartikulasikan ideal ini. Filsafat harus berani berbicara tentang nilai lebih tinggi, meskipun itu menantang budaya relativis. Dengan keberanian itu, filsafat bisa membantu masyarakat menemukan kembali arah moral yang lebih jernih.

Kesimpulannya, The Ethics of Authenticity bukan hanya kritik terhadap budaya modern, tetapi juga ajakan untuk menemukan kembali moral ideal di baliknya. Autentisitas bukanlah ilusi atau slogan kosong, tetapi sumber etis yang sahih. Kita hanya perlu mengartikulasikannya dengan lebih baik, agar ia bisa membimbing kita di tengah kompleksitas modernitas.

Dengan membaca Taylor, kita diajak untuk tidak menyerah pada sinisme atau relativisme. Kita diajak untuk berani berbicara tentang kehidupan yang baik, tentang nilai yang lebih tinggi, dan tentang kesetiaan pada diri sejati. Inilah arti sejati dari etika autentisitas: sebuah ajakan untuk hidup secara penuh, jujur, dan bermakna di tengah zaman yang sering kehilangan artikulasi moralnya.

 

Daftar Pustaka

Bell, D. (1976). The cultural contradictions of capitalism. New York: Basic Books.

Bloom, A. (1987). The closing of the American mind. New York: Simon & Schuster.

Lasch, C. (1979). The Culture of Narcissism: American life in an age of diminishing expectations. New York: W. W. Norton.

Lipovetsky, G. (1983). L’ère du vide: Essais sur l’individualisme contemporain. Paris: Gallimard.

Taylor, C. (1991). The ethics of authenticity. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Trilling, L. (1972). Sincerity and authenticity. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Also Read

Bagikan:

Avatar photo

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. Prof. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). Currently, he is Dean of Faculty and Shariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia.

Leave a Comment