Charles Taylor – Moral Topography and Inwardness: Membaca ulang peta batin modern dalam sejarah filsafat identitas.

Charles Taylor dan Moral Topography: Membaca Inwardness Modern

Inwardness sebagai Struktur Kesadaran Modern

Charles Taylor, dalam bab Moral Topography dari Sources of the Self, memperlihatkan bagaimana konsep diri modern ditentukan oleh suatu bentuk lokalisasi moral yang khas: diri ditempatkan di dalam. Pikiran, gagasan, dan perasaan dipahami sebagai sesuatu yang berlokasi pada ruang interior. Distingsi “dalam” dan “luar” bukan sekadar metafora, melainkan kerangka mendasar yang membentuk cara modern memahami identitas.

Bagi manusia modern, pembedaan ini tampil sebagai fakta biologis. Sama seperti jantung atau paru-paru, batin diperlakukan sebagai organ identitas. Dari batin inilah muncul moralitas, pilihan, dan kesadaran. Karena itu, inwardness dianggap niscaya: sulit dibayangkan bahwa diri dapat hadir tanpa interioritas. Taylor menunjukkan bahwa di sinilah kekuatan sekaligus keterbatasan modernitas.

Inwardness memberikan otoritas moral pada individu. Kebenaran diri tidak lagi ditentukan oleh tatanan kosmos atau komunitas, melainkan oleh apa yang dirasakan sebagai suara batin. Namun, ketika pandangan ini dianggap universal, ia menutupi kemungkinan lain dalam sejarah manusia. Taylor menekankan bahwa cara kita memandang batin bukanlah kodrat, melainkan hasil konstruksi kultural yang lahir pada konteks tertentu.

Dengan demikian, moral topography modern tidak boleh dibaca sebagai kebenaran abadi. Ia harus dipahami sebagai produk sejarah yang kuat tetapi kontingen. Kesadaran ini membuka ruang untuk melihat perbedaan antara pengalaman modern dan cara kebudayaan lain memetakan diri.

Lokalitas dan Kontingensi Sejarah

Taylor menyebut proses penempatan diri di dalam sebagai localization. Localization ini begitu melekat dalam kesadaran modern sehingga dianggap tidak dapat diganggu gugat. Namun, klaim universal tersebut justru yang ingin dipatahkan. Dengan menelusuri sejarah, Taylor memperlihatkan bahwa localization adalah hasil perkembangan historis, bukan kondisi permanen.

Ketika manusia modern menilai batin sebagai ruang moral, mereka sebenarnya sedang mereproduksi sebuah struktur yang muncul dalam tradisi Barat pasca-Renaissance. Sebelum itu, sumber moralitas lebih sering ditempatkan pada tatanan eksternal: kosmos, komunitas, atau wahyu transenden. Inwardness, dengan demikian, adalah salah satu bentuk kontingensi sejarah yang kini dianggap natural.

Taylor menekankan bahwa menganggap inwardness sebagai kodrat berarti menutup kemungkinan pluralitas. Sejarah memperlihatkan bahwa konsep diri selalu berbeda-beda, tergantung pada kosmologi dan praktik sosial suatu masyarakat. Modernitas hanya salah satu episode dari perjalanan panjang itu.

See also  Apakah Malaikat “Iri” pada Google? Memahami Pergeseran Otoritas Pengetahuan dari Wahyu ke Algoritma

Dengan membongkar klaim naturalitas, Taylor memaksa pembaca untuk melihat diri modern sebagai konstruksi. Konstruksi ini memiliki daya historis yang luar biasa, tetapi tidak bisa dilepaskan dari konteks. Pemahaman ini penting agar filsafat tidak jatuh pada universalisme semu yang menafikan keberagaman pengalaman manusia.

Identitas dalam Tradisi Shamanistik

Untuk menunjukkan variasi localization, Taylor mengutip contoh dari tradisi shamanistik. Di sana, manusia dipahami memiliki lebih dari satu jiwa, bahkan ada jiwa yang dapat meninggalkan tubuh. Bagi kesadaran modern, pandangan ini terasa ganjil, karena bertentangan dengan ide bahwa identitas berpusat di batin.

Namun, bagi Taylor, keanehan ini justru membuktikan bahwa inwardness bukanlah syarat universal untuk memahami diri. Tradisi shamanistik tetap memiliki konsep identitas, tetapi dipetakan melalui kosmologi spiritual, bukan interioritas psikologis. Identitas tetap hadir, tetapi dengan struktur yang berbeda.

Taylor menguatkan argumen ini dengan contoh kehidupan paleolitik. Ketika sekelompok pemburu menghadapi mamut, rasa identitas muncul dalam pengalaman kolektif. Kalimat sederhana seperti “giliran saya” menunjukkan kesadaran diri, meski tidak dipahami melalui struktur batin modern. Identitas tidak lenyap hanya karena localization berbeda.

Dengan demikian, Taylor memperlihatkan bahwa pengalaman ke-aku-an tidak harus bergantung pada inwardness. Ia dapat hadir dalam bentuk lain yang ditopang oleh tradisi, ritual, atau kosmos. Pluralitas ini menjadi bukti bahwa moral topography selalu bersifat historis, dan tidak ada satu bentuk pun yang bisa mengklaim sebagai universal.

See also  The Search for Digital Anthropology: A Case of What Were Doing

Konsep Batin dan Lair dalam Kosmologi Jawa

Taylor kemudian merujuk pada Clifford Geertz yang meneliti masyarakat Jawa. Di sana terdapat distingsi antara batin dan lair. Batin merujuk pada arus perasaan subyektif yang samar, sedangkan lair menunjuk pada tindakan lahiriah yang terlihat. Distingsi ini memperlihatkan cara lain dalam memetakan diri.

Berbeda dengan modernitas Barat, batin dalam tradisi Jawa tidak identik dengan ruang privat individual. Ia terkait dengan kosmologi spiritual dan keseimbangan moral. Batin bukan sekadar interioritas psikologis, melainkan bagian dari keterhubungan dengan dunia luar. Sementara lair tidak dipandang inferior, melainkan sebagai manifestasi yang sah dari tatanan moral.

Dengan menyandingkan contoh ini, Taylor menunjukkan bahwa distingsi dalam–luar tidaklah tunggal. Masing-masing budaya mengisinya dengan makna yang berbeda. Barat modern menjadikannya fondasi identitas individual, sementara Jawa menempatkannya dalam kerangka kosmik dan kolektif.

Contoh ini memperlihatkan bahwa apa yang kita anggap sebagai peta moral universal hanyalah satu varian di antara banyak. Distingsi dalam–luar memang muncul di berbagai budaya, tetapi isi dan implikasinya sangat berbeda. Di sinilah terlihat keterbatasan klaim modernitas.

Keanehan Modernitas

Taylor menutup argumennya dengan menegaskan bahwa konsep inwardness yang dominan dalam modernitas sebenarnya aneh jika dilihat dalam perspektif lintas budaya. Modernitas menganggapnya natural, padahal sejarah menunjukkan bahwa ia lahir dalam konteks tertentu dan tidak memiliki preseden universal.

Keanehan ini justru yang jarang disadari, karena kita sudah terlalu terbiasa dengannya. Modernitas menginternalisasi inwardness sedemikian dalam sehingga sulit dibayangkan ada cara lain memahami diri. Tetapi begitu dibandingkan dengan tradisi lain, terlihat bahwa inwardness hanyalah satu dari sekian banyak bentuk localization.

Kesadaran akan keanehan ini penting agar filsafat tidak jatuh pada kesombongan epistemologis. Tanpa kritik, modernitas akan terus mengklaim bahwa moralitas bersumber dari batin individu, dan menafikan bentuk lain dari moralitas kolektif atau kosmik. Taylor mengingatkan bahwa sikap semacam ini tidak sesuai dengan keragaman sejarah manusia.

See also  Model Baru Kerukunan Desa: Enam Skenario Strategis dan Implementasi Berbasis Ketahanan Sosial

Dengan menyebutnya aneh, Taylor bukan hendak menolak inwardness, melainkan menempatkannya pada proporsi yang tepat: sebagai hasil sejarah, kuat tetapi terbatas, berpengaruh tetapi bukan satu-satunya. Ini adalah langkah penting untuk membaca pluralitas moral dalam dunia global.

Kesimpulan

Bab Moral Topography dalam Sources of the Self membongkar klaim naturalitas modern tentang diri. Konsep bahwa identitas berada di dalam adalah konstruksi historis, bukan kebenaran universal. Melalui perbandingan dengan tradisi shamanistik dan kosmologi Jawa, Taylor memperlihatkan pluralitas localization diri. Identitas dapat dipahami melalui batin, jiwa yang keluar, atau relasi kosmik, tanpa harus tunduk pada inwardness modern.

Esai ini menegaskan bahwa membaca Taylor berarti membaca keterbatasan modernitas. Inwardness memiliki kekuatan besar dalam membentuk moralitas, tetapi tidak bisa dijadikan ukuran tunggal. Filsafat, bila ingin relevan secara global, harus mengakui keanehan modernitas dan membuka diri pada pluralitas moral topography. Dengan cara itu, identitas tidak lagi dibelenggu oleh klaim universal semu, melainkan dilihat sebagai medan historis yang kaya, berlapis, dan penuh kemungkinan.

About The Author


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *