Dari Warkop ke Coffee Shop: Gaya Hidup Ngopi Anak Banda Aceh di Era Kekinian

Qaishar Kamaruzzaman

Banda Aceh hari ini hidup dalam dua dunia: warkop yang menjaga tradisi dan coffee shop yang membawa modernitas. Qaishar merekam keduanya dalam esai ini.
Banda Aceh hari ini hidup dalam dua dunia: warkop yang menjaga tradisi dan coffee shop yang membawa modernitas. Qaishar merekam keduanya dalam esai ini.

Kalau di tulisan saya sebelumnya, Hidup Anak Banda Aceh dan Warkop: Cerita dari Seorang Siswa SMA, saya banyak bercerita tentang bagaimana warkop jadi tempat kumpul segala kalangan. Dari bapak-bapak yang nggak pernah bosan ngopi, sampai anak muda yang menghabiskan waktu bareng kawan. Warkop itu selalu hidup—rame, murah, dan apa adanya.

Tapi sekarang, saya ingin bercerita tentang sisi lain dari budaya ngopi di Banda Aceh: coffee shop.

Beberapa tahun terakhir, kafe-kafe ini muncul di mana-mana. Dari jalan-jalan besar sampai gang sempit, selalu aja ada coffee shop baru. Bedanya dengan warkop, coffee shop menawarkan vibes yang lebih modern. Interior estetik, menu kreatif, dan suasana cozy bikin anak muda betah duduk berjam-jam. Kalau warkop identik dengan kursi plastik dan obrolan santai, coffee shop lebih mirip ruang kerja, ruang belajar, sekaligus ruang gaya.

Coffee Shop: Gaya Hidup Baru Anak Banda Aceh

Salah satu favorit saya adalah Harus Coffee Shop. Di sini, kopi bukan cuma soal rasa, tapi soal experience. Dari Americano sampai Caramel Macchiato, semua disajikan dengan sentuhan modern. Bahkan sekadar duduk sambil buka laptop, rasanya udah beda. Interiornya instagramable, pencahayaannya hangat, dan musiknya pas—bikin siapa pun betah.

See also  Wajah Agama di Aceh: Dari Simbol Sejarah Menuju Tantangan Kontemporer

Kalau di warkop orang bisa ngobrol panjang tanpa peduli waktu, di coffee shop orang cenderung cari balance: nongkrong, tapi tetap produktif. Ada yang belajar bareng, ada yang kerja freelance, ada juga yang sibuk bikin konten untuk feed Instagram.

Dari Tradisi ke Lifestyle

Budaya ngopi di Aceh sebenarnya sudah tua. Dari dulu, warkop jadi pusat diskusi, tempat gosip, bahkan arena debat politik kecil-kecilan. Coffee shop tidak menggantikan warkop, tapi lebih ke menambahkan warna baru. Sejak kopi Gayo mendunia, coffee shop jadi cara lain mengenalkan kopi Aceh ke generasi sekarang.

Tapi ada hal menarik: menu di coffee shop sering pakai nama bahasa Inggris. Latte, Cappuccino, Vanilla Frappe. Padahal intinya tetap kopi. Dengan label internasional, nongkrong di coffee shop terasa lebih eksklusif. Ada gengsi tersendiri yang bikin beda dari nongkrong di warkop.

Dua Dunia, Satu Kota

Buat saya, Banda Aceh itu unik karena dua dunia ini bisa hidup bareng. Di satu sisi, warkop tetap jadi jantung sosial kota. Di sisi lain, coffee shop jadi simbol modernitas anak muda. Saya sendiri kadang masih nongkrong di warkop, apalagi kalau lagi pengen suasana rame dan obrolan tanpa batas. Tapi kalau butuh tenang, ngerjain tugas, atau sekadar mau suasana baru, coffee shop jadi pilihan.

See also  Pulot: Cita Rasa Tradisional Aceh yang Nggak Lekang oleh Waktu

Jadi, budaya ngopi di Banda Aceh hari ini bukan lagi soal “warkop vs coffee shop”. Keduanya sama-sama penting. Warkop menjaga tradisi, coffee shop membawa inovasi. Dua-duanya punya cerita, dua-duanya punya peran.

Penutup

Kalau di tulisan sebelumnya saya bilang warkop itu semacam rumah kedua bagi orang Aceh, maka coffee shop adalah ruang ekspresi generasi muda. Di sana kita bisa belajar, kerja, nongkrong, dan tetap jadi diri sendiri. Selama coffee shop tetap menjaga identitas kopi Aceh, saya percaya budaya ngopi di Banda Aceh akan terus punya pesona.

Karena pada akhirnya, baik warkop maupun coffee shop, sama-sama jadi tempat kita bertemu: dengan teman, dengan ide, dan dengan diri kita sendiri.

Join KBA13 Readers Club
Ingin ikut diskusi tentang budaya kekinian di Aceh?
Bergabunglah dengan komunitas pembaca KBA13.

👉 Klik di sini untuk join WhatsApp Group

Also Read

Bagikan:

Avatar photo

Qaishar Kamaruzzaman

Qaishar Kamaruzzaman adalah siswa kelas XII SMA Labschool Banda Aceh yang dikenal kritis, penuh rasa ingin tahu, dan suka mempertanyakan segala hal. Selain fokus belajar, ia pernah mondok di Ma’had Darut Tahfidh, pengalaman yang membentuk kedisiplinan serta spiritualitasnya. Di luar sekolah, Qaishar aktif berolahraga, mendalami dunia trading digital currency, serta menyalurkan pikirannya lewat tulisan reflektif. Bagi Qaishar, ngopi di warkop atau coffee shop bukan sekadar nongkrong, tapi juga ruang untuk mengamati hidup, berdiskusi, dan menantang cara pandang lama dengan perspektif baru.

Leave a Comment