
Pendahuluan
Studi ini merupakan upaya untuk melihat kembali konsep Fikih dalam studi Islam yang selama ini lebih banyak dikaitkan dengan persoalan hukum, bukan merupakan ilmu untuk memahami masyarakat Muslim. Akan tetapi, ketika mengikuti Short Course dengan Institute Integrated Knowledge, salah seorang staf pengajar yakni Prof. Alparslan Acikgenc dari Turki, mengatakan bahwa jika menggunakan worldview (cara pandang) secara komprehensif, maka sebenarnya fikih adalah ilmu sosial Islam (Islamic Social Sciences).[1] Ungkapan ini tentu bukan hanya menyentak Saya, sebagai seorang peneliti, yang awalnya menekuni Perbandingan Mazhab dan Hukum, kemudian beralih ke kajian Sosial Antropologi, menjadi bertanya-tanya: Bagaimana menjelaskan ungkapan ini ke wilayah publik. Sebab, selama ini, istilah fikih cenderung dipahami sebagai kajian Hukum Islam (Islamic Law).[2]
Ketika membuka karya yang ditulis oleh Istanbul Circle dari Ibn Haldun University di Turki, Comparative Theories and Methods: Between Uniplexity and Multiplexity, dituliskan sebagai berikut:
In other words, the worldview of each society determines its scientific tradition so that the society produces its own societal science. The societal science serves society to explain and order its social life. In Islam, this function is served by fiqh and its related disciplines. In Western Civilization, it is served by the category of disciplines called social sciences. Fiqh and social sciences functionally correspond to each other in explaining and regulating social phenomena, but are differentiated through their respective ontologies, epistemologies, and methodologies. Simply put, they serve the same purposes through their own different ways.[3]
Karena ungkapan di atas, maka saya kembali membuka berbagai literatur kajian Fikih. Pertanyaannya adalah: Apakah pandangan bahwa Fikih adalah Ilmu Sosial Islam ini dapat disajikan secara filosofis? Bagaimana menjelaskan konsep Ilmu Sosial Islam dalam kontek Ilmu Sosial dan Ilmu FIkih? Apakah kajian seperti ini, akan menjadi kajian Fikih tereduksi dari sekian pemahaman selama ini, tentang Fikih yang mengatur peribadatan atau ritual kehidupan ummat Islam? Masih banyak lagi pertanyaan dan pernyataan yang dapat diajukan, untuk menempatkan kesejajaran antara Ilmu Sosial di Barat dengan Ilmu Sosial dalam Islam. Saya masih ingin mengatakan bahwa terlalu dini untuk mengatakan Fikih adalah Ilmu Sosial Islam, akan tetap fakta-fakta keilmuan dalam Sejarah Fikih tentu tidak dapat diabaikan sama sekali. Hal ini disebabkan, kajian ini memang seperti hendak mengatur segala sendi kehidupan ummat Islam. Seperti yang terlihat juga dalam Ilmu Sosial, dimana tidak hanya hendak memahami fakta sosial, akan tetapi juga mengatur, dengan berbagai aturan yang disepakati.
Pemenuhan kajian Fikih sebagai Ilmu Sosial Islam akan menjadi tema penting dalam studi ini. Saya berusaha untuk menyajikan sesederhana mungkin dalam melihat aspek kefalsafahan dari ilmu ini, menurut cara pandang keislaman (Islamic Worldview). Harus diakui bahwa kajian kefilsafatan dalam hukum Islam lebih banyak dikaji dalam Usul Fikih. Dalam konteks ini, literatur tentang teori-teori keilmuan yang cukup mendasar adalah studi Usul Fikih pun tidak dapat dikesampingkan. Dengan demikian, buku ini akan meletakkan berbagai literatur yang ada sebagai bahan studi yang berarah pada pemosisian sebagai Ilmu Sosial (al-‘Ulûm al-Ijtimâ‘iyyah). Dalam studi Ilmu Sosial di Barat, nama Ibn Khaldûn, juga telah menjadi rujukan yang tidak dapat dikesampingkan, sebagai peletak dasar ilmu sosial di kawasan tersebut.[4] Tidak hanya itu, Malek Bennabi juga dipandang sebagai seorang sosiolog terkemuka dalam studi Sosiologi.[5] Sampai sekarang, kajian Ilmu Sosial memang lebih banyak menempatkan para ilmuwan dari Barat, ketimbang dari kawasan Muslim.
Adapun persoalan yang paling sering dilakukan adalah meminjam metode atau pendekatan Ilmu Sosial dalam Studi Fikih. Para sarjana yang mengkaji Fikih cenderung menjadikan acuan metode pengkajian mereka dari Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora. Seolah-olah, kajian Fikih baru “berbunyi” atau “ilmiah” kalau sudah memakai metode atau pendekatan dari Ilmu-Ilmu Sosial.[6] Di Indonesia, pola-pola perkenalan Ilmu Sosial dalam studi Fikih telah dimulai sejak tahun 1990-an, ketika beberapa sarjana Muslim Indonesia yang kembali dari kampus-kampus di Amerika Utara dan Eropa.[7] Sampai di sini, Fikih lebih cenderung dijelaskan dalam perspektif Ilmu Sosial, ketimbang menjelaskan Fikih itu sebagai Ilmu sosial Islam. Dengan kata lain, pendekatan Ilmu Sosial dari Barat cenderung digunakan untuk menjelaskan aspek praktik dan ritual praktik Fikih yang dilakukan oleh ummat Islam dalam beribadah. Pengaruh para orientalis dalam bidang hukum Islam tentu saja tidak dapat diabaikan dalam memperkenalkan pendekatan-pendekatan tersebut dalam studi Fikih.
Dapat dikatakan bahwa, selama ini Studi Fikih hanya dipahami dan dijelaskan sebagai bagian dari penalaran hukum dalam Islam dan terkadang dijelaskan dalam perspektif Ilmu Sosial Barat. Akibatnya, Fikih menjadi kegiatan yang dipahami sebagai hukum yang selalu dikaitkan dengan istilah syariah. Pemahaman ini sebenarnya tidak keliru, mengingat wilayah syariah adalah wilayah kegiatan peribadatan ummat Islam kepada Allah. Dalam makna yang lebih luas, kegiatan manusia di muka bumi, sebagai khalifah Allah bertujuan untuk beribadat kepada Allah, untuk mencapai gelar Muttaqîn. Karena ini tujuan kehidupan manusia di muka bumi, maka dapat dikatakan bahwa sebagai ‘antropos’, sejatinya dapat dijelaskan dalam kategori tugas kemanusiaan. Dengan kata lain, kegiatan Fikih pada hakikatnya adalah pekerjaan kemanusiaan dalam berbagai bentuk dan kapasitas, yang diniatkan untuk menghambakan diri kepada Allah – yang kemudian sering digunakan istilah islâm.
Untuk itu, studi ini berusaha untuk melakukan investigasi awal dalam rangka menemukan pokok-pokok atau dasar-dasar keilmuan untuk membangun argument bagaimana ketika Fikih dinyatakan sebagai Ilmu Sosial Islam (Islamic Social Science). Para sarjana telah memulai untuk mengupas konsep Ilmu Sosial Islam ini, melalui kajian perbandingan dengan Ilmu SOsial di Barat, terkait dengan konsep, teori, dan metodologi.[8] Namun demikian, mengkaji dua hal ini tentu akan sangat berbeda tujuannya, sebab Ilmu Sosial Barat adalah berdasarkan ‘kawasan.’ Sementara itu, Ilmu Sosial Islam berdasarkan ‘agama.’ Ilmu Sosial Barat dilahirkan dalam satu kurun dan ruang di kawasan Eropa. Sementara Ilmu Sosial Islam dilahirkan dalam satu kawasan yang memiliki keyakinan kepada Allah (Mukmin). Jika dianggap bahwa Islam itu identik dengan Timur Tengah (Middle East), maka itu menjadi Ilmu Sosial Timur Tengah (Middle Eastern Social Science). Demikian pula, kajian Ilmu Sosial Barat dapat dimaknai kemudian sebagai Ilmu Sosial Eropa (European Social Science).[9] Demikian pula, jika Ilmu Sosial dilekatkan pada satu suku bangsa dalam sejarah Muslim, maka akan beralih menjadi Ilmu Sosial Arab (Arabic Social Science).[10] Pada kategori tertentu, muncul juga Ilmu Sosial Amerika (American Social Science).[11] Karena itu, penjelasan tentang Ilmu Sosial Islam ini pada gilirannya mencoba melihat dari aspek sumber dan praktik yang berdasarkan keyakinan kepada Allah, untuk melakukan fungsi kekhalifahannya di muka bumi ini. Karena itu, Ilmu Sosial Islam melampaui kawasan dan etnisitas, yang menjadi inti dari semangat keislaman itu sendiri yaitu Islâm Rahmatan Lil ‘Alamîn.
Kegelisahan Rumpun Ilmu Kesyariahan dan Hukum
Baru-baru ini, Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum PTKIN mengadakan pertemuan untuk membahas bagaimana rumpun ilmu bagi fakultas ini, yang akan dipraktikkan untuk seluruh Indonesia.[12] Pada saat yang sama, pihak Kementerian juga memberlakukan aturan baru untuk memetakan Analisa Jabatan (Anjab), supaya terdapat pemetaan keilmuan dengan dukungan sumber daya manusia, yang akan memperoleh jenjang akademik mulai dari Asisten Ahli ke Guru Besar. Pada saat yang sama pula, kampus diminta untuk menyusun Body of Knowledge (BOK), untuk menunjukkan identitas keilmuan di masing-masing fakultas, yang kemudian dapat diteruskan dengan legitimasi otoritas keilmuan bagi Dosen Tetap Program Studi (DTPS). Ketiga hal ini, memang menjadi sangat dilematis, sebab keilmuan sudah ditarik pada persoalan administratif, yang lebih melihat aspek ketersediaan Sumber Daya Manusia, dibandingkan dengan persoalan pengembangan keilmuan (the development of knowledge) di setiap perguruan tinggi.
Carut marut pengklasifikasian keilmuan ini tentu belum lagi dengan melihat pemetaan Daftar Rumpun Ilmu, Pohon, dan Cabang Ilmu dari Kementerian Ristek Dikti.[13] Dari Kementerian ini, jika ditelusuri secara acak, maka penempatan keilmuan yang menjadi inti keilmuan di PTKIN, menjadi tidak jelas secara filosofis. Misalnya, Hukum Syariah, yang muncul dalam tabel Rumpun Ilmu tersebut, diletakkan pada posisi keilmuan terapan dan profesi dalam bidang ilmu Hukum. Sementara itu, ketika kajian yang menggunakan kata ‘Islam’, yang berhubungan dengan Ilmu Ekonomi, diletakkan pada Ilmu Sosial yang diturunkan pada Ilmu Ekonomi. Misalnya, Ekonomi Syariah diletakkan pada posisi Ilmu Sosial dibawah pohon ilmu Ekonomi. Sementara itu, Ilmu Keagamaan diletakkan pada posisi Studi Agama (Religious Studies).
Penggunaan istilah-istilah dalam Daftar Rumpun Ilmu di atas juga agak membingunkan, jika ditelusuri dalam Studi Islam (Islamic Studies). Dalam rumpun di atas, juga tidak ditemukan kajian Studi Islam (Islamic Studies), dimana lebih digunakan istilah Studi Agama (Religious Studies). Dalam Studi Islam, kerap digunakan istilah Studi Hukum Islam (Islamic Law Studies atau Islamic Legal Studies). Kalau Hukum Syariah objek studi keilmuannya adalah Hukum Islam (Islamic Law) atau Fikih (Islamic Jurisprudence), maka sejatinya kajian Hukum Syariah dalam makna Studi Agama, bukan Studi Hukum sebagai Ilmu Terapan (Applied Sciences). Sementara itu, dalam kajian Applied Sciences juga tidak ditemukan kajian Hukum sebagai turunannya.
Namun demikian, jika Ilmu itu sudah dapat diterapkan, maka hampir semua bidang keilmuan, mulai dari Rumpun hingga Rantingnya, dapat dikategorikan sebagai Ilmu Terapan, dimana tidak hanya teknologi semata, tetapi juga pada persoalan kefilsafatan. Karena sesungguhnya gagasan atau ide keilmuannya, harus dapat diterapkan dalam kehidupan manusia.[14] Namun demikian, pada salah satu kampus yang mengembangkan Ilmu Terapan, menyebutkan bahwa ilmu itu adalah:
Applied Science typically covers areas related to Biology, Chemistry, and other scientific disciplines. That might be subjects like biomedical sciences, forensic science, food, and nutritional sciences but can reach topics like engineering, healthcare, and technology. Put simply, Applied Science courses focus on the practical side of science, rather than the theoretical side.[15]
Jadi, untuk memetakan Rumpun Keilmuan di PTKIN, khususnya bagi Fakultas Syariah dan Hukum, tentu bukan perkara mudah. Sebab, nama fakultas, yakni Syariah dan Hukum, juga telah mengindikasikan untuk mengamini istilah yang ada dalam Rumpun Ilmu di Kementerian Riset Dikti tersebut. Dengan kata lain, semua keilmuan yang dihasilkan dalam fakultas ini, mengarahkan apa yang telah dipikirkan oleh perancang Rumpun Ilmu dari Kementerian tersebut.
Dilema Ilmu Kesyariahan ini adalah sudah ditetapkan sebagai Ilmu Terapan. Kendati dia juga merupakan Rumpun Ilmu dalam Studi Agama. Dengan kata lain, Ilmu Syariah, jika tidak dilekatkan kata ‘Hukum’, maka dia akan masuk pada Ilmu Agama. Seterusnya, jika Ilmu Syariah diletakan kata ‘Hukum’, maka dia adalah Ilmu Terapan (Applied Science) versi Ristek Dikti. Jika masuk pada kategori, Ilmu Terapan, maka studi Ilmu Syariah, layaknya seperti Studi Hukum di PTU (Perguruan Tinggi Umum). Kendati, kemudian konteks keilmuan Syariah juga akan bertemu dengan Rumpun Ilmu Sosial dan Humaniora. Dalam konteks ini pula, maka Studi Syariah dan Hukum dapat didekatimelalui monodisiplin, mutidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin keilmuan. Jika hal ini disepakati, maka tawaran Rumpun Ilmu Kesyariahan dan Hukum di Fakultas Syariah dan Hukum, sejatinya dapat ditawarkan dalam kategori yang lebih fleksibel, bukan hanya diarahkan pada Ilmu Terapan semata.
Membuka Tabir Rumpun Ilmu Kesyariahan
Sebelum dikupas tentang Ilmu Kesyariahan, ada baiknya disajikan pemosisian kajian ini dalam pembagian keilmuan dalam Islam. Al-Farabi meletakkan keilmuan Syariah, jika dimaknai turunannya adalah Fikih, berada dalam kajian Societal Sciences (al-‘Ulûm al-Madani).[16] Di situ bersama-sama duduk dengan Ilmu-Ilmu Filosofikal (Philosophical Sciences), yaitu: Ethics, Politics, Economics).[17] Ilmu ini kemudian ditawarkan di beberapa kampus di luar negeri dengan istilah PPE (Philosophy, Politics, and Economics).[18] Artinya, pandangan sebagai al-‘Ulûm al-Madani, sampai hari ini, masih dipraktikkan di beberapa kampus yang sangat kuat dengan kurikulum Liberal Arts. Kembali ke keilmuan Islam (Islamic Sciences). Dapat dikatakan bahwa kajian Ilmu Kesyariahan berada dalam koridor ilmu kemasyarakatan.
Sementara itu, menurut Ibn Khaldun, kajian ilmu Kesyariahan berada dalam keilmuan ‘Ulûm Naqliyyah atau Wad’iyyah.[19] Disini ilmu ini bersama dengan ilmu-ilmu Alquran, Hadits, Sirah, Tauhid, Bahasa Arab, Metafisika Islam, Perbandingan Agama, Budaya Muslim, dan Tasawuf. Dapat dikatakan bahwa menurut Ibn Khaldun, Ilmu Kesyariahan adalah ilmu yang berdasarkan pada naqliyyah suatu pengetahuan yang berdasarkan pada kewahyuan. Dengan kata lain, Ilmu Kesyariahan merupakan Revealed Knowledge. Adapun menurut Imam Al-Ghazzali, meletakkan Keilmuan Syariah pada level kajian keagamaan dan intelektual (Religious and Intellectual).[20] Masing-masing pembagian keilmuan ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh cara pandang dari para sarjana Muslim, ketika membagi ilmu pengetahuan dalam Islam.[21]
Paling tidak ada dua penting dalam peletakkan Ilmu Kesyariahan, yaitu bagaimana mendapatkan ilmu daripada wahyu dari Allah dan berusaha mengatur kehidupan manusia di muka bumi ini. Karena itu, ada sarjana yang mengatakan bahwa Ilmu Fikih itu sebenarnya adalah Ilmu Sosial Islam (Islamic Social Sciences).[22] Rumpun Ilmu Sosial Islam belum diletakkan dalam pembagian keilmuan di PTKIN. Akibatnya, pembagian keilmuan dalam Islam di PTKIN, cenderung mencantolkan rumpun dan pohon keilmuannya pada keilmuan sosial, humaniora, dan kealaman. Ditambah lagi peletakkan ilmu ini pada Ilmu Terapan (Applied Science). Seolah-olah pembagian keilmuan Kesyariahan dimasukkan dalam kategori yang serba Eropa-Sentris.[23]
Karena itu, untuk membangun rumpun keilmuan di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, ada beberapa persoalan mendasar yang perlu digarisbawahi. Pertama, rumpun ilmu yang dibangun adalah yang bersifat mengakomodasi Rumpun Ilmu yang sudah ditetapkan oleh Ristek Dikti, dimana keilmuan Syariah dan Hukum dikategorikan sebagai Rumpun Ilmu Terapan. Kedua, dalam kajian keilmuan Syariah, tampak dalam Rumpun Ilmu Ristek Dikti juga terdapat keilmuan ini dalam bidang Ilmu Sosial (Social Science) dan Studi Agama (Religious Studies). Ketiga, karena orientasi pada kurikulum OBE yang berbasiskan pada student centered, maka Keilmuan Syariah harus memakai pendekatan lintas rumpun ilmu (Ilmu Terapan, Ilmu Sosial, dan Ilmu Agama). Keempat, keilmuan Syariah, pada dasarnya, adalah keilmuan yang berasal dari tradisi keilmuan Islam, dimana memiliki akar filosofis tersendiri, yang pada gilirannya, pohon, cabang, dan ranting keilmuannya tidak dapat diabaikan sama sekali. Atas pertimbangan tersebut memungkinkan tawaran Keilmuan Syariah dan Hukum memakai pendekatan cross-disciplinary approach.
Adapun maksud daripada pendekatan Lintas Rumpun Ilmu di atas adalah tawaran Rumpun Ilmu yang disajikan kepada mahasiswa pada sisi sistem pembelajaran memungkinkan untuk mengadopsi berbagai bidang atau pohon keilmuan yang sudah ditetapkan oleh Ristek Dikti. Akan tetapi, persoalan yang paling krusial adalah di Fakultas Syariah dan Hukum, keilmuannya sudah dipetakan dalam bidang program studi. Hingga kini, ada 6 program studi di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, yaitu: Ilmu Hukum, Hukum Tata Negara, Hukum Pidana Islam, Hukum Ekonomi Syariah, Hukum Keluarga, dan Perbandingan Madzhab dan Hukum. Selain Ilmu Hukum, hampir semua prodi yang ada merupakan program studi yang mengikuti bidang keilmuan kesyariahan, yang kemudian dipahami dengan Studi Fikih (Islamic Jurisprudence). Hampir semua program studi tersebut berasal dari bahasa Arab, yaitu Fiqh al-Mu‘âmalat, Ahwâl al-Syakhsyiyyah, Siyâsah Syar‘iyyah, Jinâyah, dan Muqâranah al-Madzhab fi al-Fiqh. Keilmuan ini tentu saja mengikuti pembagian keilmuan yang terdapat dalam Studi Islam di Timur Tengah, khususnya di Universitas Al-Azhar. Di kampus ini, terdapat Fakultas Syariah wa al-Qanun, dimana hanya dua program studi saja yaitu: Syariah Islamiyyah dan Syariah wa al-Qanun. Jadi, di kampus ini, Ilmu Kesyariahan diarahkan pada penguasan keilmuan Syariah dan Perundang-Undangan.
Ketika proses tranformasi keilmuan di Indonesia, mulai dari diperkenalkan pendekatan Ilmu Sosial dan Humaniora dalam Studi Hukum Islam, hingga beralih dari keilmuan yang bersifat Institut ke universitas, maka secara peralahan-lahan, telah diupayakan proses Indonesiasisasi program keilmuan. Dalam arti, program studi yang berbasiskan keilmuan seperti yang dilakukan di kampus-kampus Timur Tengah, diubah menyesuaikan dengan sistem pembelajaran di Perguruan Tinggi Keagamaan di Indonesia. Hal lain yang terjadi adalah upaya untuk memperkenalkan Studi Ilmu Hukum ke dalam keilmuan Syariah, untuk orientasi lapangan kerja, mulai dari ilmu-ilmu turunan dari Studi Hukum dan perubahan Gelar alumni yang memakai Sarjana Hukum. Tentu perubahan karena orientasi pasar tersebut, telah mengubah sistem keilmuan yang menjadi akar dari pembelajaran Ilmu Kesyariahan di Indonesia. Jadi, pemetaan Rumpun Keilmuan di Fakultas Syariah dan Hukum saat ini akan mengalami berbagai upaya penyesuaian dengan konteks keindonesiaan, yaitu mahasiswa tetap menguasai keilmuan Syariah, tetapi mereka juga belajar keilmuan Hukum, untuk mendapatkan Gelar Sarjana Hukum.
Dimensi Sosial dalam Kajian Fikih
Harus diakui bahwa Fikih merupakan ilmu pengetahuan, bukan awalnya tentang pembahasan hukum, sebagaimana dipahami dewasa ini. Fikih, dengan kata lain, sejajar dengan ‘ilm. Belakangan digandengkan menjadi Ilmu Fikih (Science of Islamic Jurisprudence). Istilah awal ini merujuk pada cara mengambil pengetahuan yang cukup mendalam yang dikenal sebagai al-fahm. Adapun cara mendapatkan pengetahuan ini adalah melalui jiwa manusia yang dibimbing oleh wahyu. Aspek keghaiban yang sangat metafisika diwujudkan perintahnya melalui ayat-ayat Alquran menjadi semacam acuan yang kemudian dikenal sebagai istilah pemahaman yang mendalam (depth understanding). Setelah manusia mampu melakukan proses ini, maka dia akan mampu memvisualisasikan pemahamannya pada aktifitas kemanusiaan, baik hubungannya dengan Allah, maupun dengan sesama makhluk di muka bumi.
Turunan pengaturan aktifitas kemanusiaan sebagai khalifah Allah, lantas diturunkan semacam aturan-aturan syari‘at yang merupakan aktifitas dari Fikih itu sendiri. Dikarenakan semua aktifitas kekhalifahan manusia merupakan bagian dari aktifitas yang memakai cara pandang keislaman (Islamic worldview), maka struktur kehidupan manusia, tidak bisa dilepaskan dari proses penghambaan dirinya sebagai Hamba Allah. Proses ini kemudian menjadikan semua aktifitas pemahaman yang menuju pada proses penghambaan melahirkan manifestasi dari proses tersebut di dalam kehidupan nyata manusia. Aktifitas penemuan kegiatan Fikih ini dapat dikatakan sebagai Multiplex Ontology, yang terdiri penghubungan lahût, ‘alam al-ghayb, dan ‘alam al-syahadah. Dalam kategori hubungan inilah proses Fikih dikembangkan sebagai aktifitas kemanusiaan yang kemudian wujud dalam ‘alam al-syahadah yang berimpak pada relasi kausalitas (Causal Relations).
Dalam konteks hubungan Fikih dengan Realitas Sosial (Social Realities), Sentürk menulis sebagai berikut: “Both fiqh and social sciences study human action. However, positivists social scientists focus on its observable side, idealist as its non-observable side, and multiplex fiqh scholars on both. The external dimension of human action is studied by fiqh al-Zâhir, also called Furû’ al-Fiqh, and the internal dimension is studied by Fiqh al-Bâtin, also called ‘tasawwuf.’[24] Dari ungkapan ini tampak bahwa aspek realitas sosial dari Fikih adalah Furû’ al-Fiqh, yang merupakan pencabangan keilmuan dalam Studi Fikih. Dalam konteks ini, definisikan sebagai Fikih Praktikal (Furû’ al-Fiqh) yang bermakna “ilmu sosial dan normatif yang membahas aspek-aspek perilaku yang eksternal, dapat diamati, dan objektif.”[25]
Jadi, Fikih merupakan sistem pengaturan kehidupan sosial masyarakat Muslim. Apapun ibadah yang dilakukan kerap memiliki dimensi sosial. Dengan kata lain, Fikih merupakan bagian penting dalam Ilmu Rekayasa Sosial Islam (the Science of Islamic Social Engineering). Pola pengaturan dari dalam diri manusia menuju keluar diri manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam Ilmu Sosial. Dari dalam diri manusia mencakup, misalnya, pemikiran dan kesadaran, kemudian divisualisasikan dalam aktifitas manusia yang dikenal sebagai tingkah laku atau perilaku. Apa yang muncul kemudian adalah ra’yu atau teori yang kemudian menjadi landasan dalam berpendapat dalam Fikih. Karena itu, Fikih pada gilirannya adalah studi tentang perilaku manusia yang berkaitan dengan hak dan tanggung jawab sebagai Hamba Allah.
Dengan begitu, Fikih menjadi bagian terpenting dalam tradisi keilmuan Islam. Karena menyangkut aktifitas keilmuan yang memerlukan pemahaman yang mendalam, supaya dapat dihasilkan suatu pendapat (ra’yu) untuk menjadi acuan dalam perilaku umat Islam. Oleh sebab itu, Fikih merupakan suatu pemikiran yang adaptif terhadap kondisi sosial masyarakat. Proses teoritisasi ini kemudian memperhadapkan Studi Fikih dengan Usul Fikih yang bertujuan memberikan landasan metodologis terhadap suatu pemahaman yang dihasilkan oleh seorang Fukaha. Adapun Fukaha merupakan komunitas ilmuwan Islam yang pada awalnya memiliki struktur dalam membangun cara pandang mereka mereka dalam berpendapat. Di sini ada struktur kehidupan, keduniaan, ilmu pengetahuan, nilai dan kemanusiaan yang melingkupi komunitas ilmuwan Islam tersebut.[26]
Dengan kata lain, seorang Fukaha memiliki struktur kehidupan yang dilewati dan dipegang menjadi bangunan pemikirannya di dalam menyampaikan pendapat (ra’yu) yang dilewati melalui metode-metode keilmuan Islam yang mendasar (Usul Fikih). Struktur ini dapat disebut sebagai Struktur Islami (Islamic Structure) yang membentuk cara pandang (Worldwiew) Fukaha tersebut. Dapat dipahami bahwa seseorang yang memiliki pendapat tentang Fikih, kalau dia tidak melewati semua Struktur Islami tersebut, maka dengan sendirinya, pendapatnya tidak dapat digunakan dalam Studi Fikih. Seorang ahli dalam Studi Fikih yang dikenal sebagai Orientalis dalam Studi Hukum Islam, tidak dapat dijadikan pedoman dalam Fikih, karena tidak tidak melampaui semua Struktur Islami di atas.
Adapun Struktur Islami dalam Studi Fikih sebagai Ilmu Sosial Islam dapat dijelaskan sebagai berikut. Seorang cendekiawan atau Fukaha yang memiliki kekuatan berpikir yang cukup mendalam, maka dia akan memiliki struktur kehidupan yang mendasarkan pada cara padang Islami (Islamic Worldview). Maksudnya adalah terdapat konstruksi mental dan cara berpikir di dalam ilmu pengetahuan yang bersumber dari Islam. Struktur kehidupannya ditopang oleh doktrin-doktrin yang tertanam dalam tradisi, keluarga, nilai, identitas, dan budaya yang Islami. Karena itu, ketika dipelajari biografi para fukaha, tampak mereka memang memiliki Struktur Kehidupan yang berasal dari tradisi Islam yang sangat kokoh.
Adapun berikutnya adalah Struktur Dunia (World Structure) berkaitan dengan persepsi keduniaan dari cara pandang Islam, yaitu untuk menuju akhirat, berkenaan dengan ketauhidan, dan menjadikan Rasul sebagai model utama. Ketiga hal tersebut menjadi tujuan utama dari World Structure dalam cara pandang Islam. Hal-hal tersebut menopang pemahaman tujuan hidup di dunia dengan melihat asal-usul, makna keberadaan di dunia, dan tujuan akhir daripada kehidupan manusia. Struktur Kehidupan dan Struktur Dunia ini kemudian menciptakan Struktur Pengetahuan (Knowledge Structure) yang membahas tentang tradisi pembelajaran dan ilmu pengetahuan dalam komunitas umat Islam sepanjang abad. Struktur Pengetahuan tersebut merupakan hal yang penting dalam pencirian Islamic Worldview yang melahirkan pemahaman tentang dunia, kehidupan, dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh para ulama dalam sejarah Ilmu Pengetahuan Islam.
Begitu World Structure berdasarkan Islam direalisasikan dalam tradisi ilmu pengetahuan, maka tahapan berikutnya adalah Struktur Nilai (Values Structure) yang melandaskan pada etika tingkah laku daripada para ulama atau Fukaha.Struktur Nilai tersebut muncul sebelum berbagai bentuk hasil ilmu pengetahuan dihasilkan oleh Komunitas Cendekiawan Muslim. Ini menjadi doktrin yang tidak dapat diganggu gugat, karena sudah tertancap pada pola-pola bangunan struktur yang berasal dari Islam. Akhirnya, Struktur Kemanusiaan (Human Structure) menjadi bagian penting dalam doktrin keberadaan manusia di dunia ini yang termaktub dalam sistem kemasyarakatan, politik, dan ekonomi. Disinilah kemudian membeku dan mengkristalkan menjadi bangunan Fikih sebagai Ilmu Sosial Islam yang berlandaskan pada cara pandang Islam (Islamic Worldview). Begitulah daur ulang kehidupan manusia dalam tradisi pengetahuan Islam.
Uraian di atas menunjukkan bahwa struktur-struktur yang terbangun ini membangun komunitas intelektual Muslim atau yang dikenal sebagai ‘ulama. Dengan begitu, studi pemikiran Fikih (Islamic Legal Thought) tidak pernah lepas dari kondisi struktur yang melingkupi kehidupan para Fukaha. Adapun pemikiran yang dihasilkan dari Fukaha tersebut juga mengatur bagaimana individu membangun struktur kehidupan, sebagaimana dilewati oleh para Fukaha tersebut. Daur ulang ini mencipatkan pandagan bahwa Fikih selain membentuk individu yang teratur di dalam membangun kehambaannya dengan Allah, juga membentuk bagaimana struktur sosial Islami (Islamic Social Structure) dalam masyarakat Muslim atau dikenal sebagai ummah.
Restropeksi Diri
Dalam kesempatan ini, izinkan meluahkan memori kehidupan Saya dalam menempuh Jabatan Akademik tertinggi ini. Sebagai anak kampung dari Krueng Mane kemudian menempuh kehidupan di beberapa tempat, mulai di Aceh Timur, Banda Aceh, Yogyakarta, Kuala Lumpur, Nakhron Shri Thammarat, hingga ke Melbourne, dalam pengembaraan intelektual. Tentu sangat banyak individu yang memberikan pengaruh pada kehidupan saya. Di Krueng Mane, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Orang Tua saya (Alm. H. Bustamam dan Hj. Jasmani. Sebagai anak Pedagang Kaki Lima, saya menyadari betul bagaimana semangat orang tua dalam menyekolahkan 7 putera-puteri mereka, selain saya juga terdapat Abang (alm.) Syamsul Akmal, Fitriah Hanum, Nofalliata, Fakhrul Rizal, Fitri Ulfa, Uswatul Afna. Guru-guru saya di MIN Krueng Mane. Mereka yang membuka kunci-kunci pengetahuan melalui pola pembelajaran “satu lidi, dua lidi…”
Di Aceh Timur, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh guru saya di Madrasah Ulumul Qur’an, Bustanul Ulum Langsa. Kendati 3 tahun berada di Dayah ini, pengalaman akademik dan interaksi intelektual dengan para Guru Kami tidak dapat dinafikan. Beberapa di antara mereka sudah ada yang berpulang dan ada pula yang masih menyaksikan bagaimana kehidupan kami saat ini. Ketika pindah ke MAPK di Banda Aceh, horizon intelektual saya semakin bertambah, ketika para ustaz yang terpilih menjadi guru kami, baik yang berasal dari MAN 1 Banda Aceh maupun dari UIN Ar-Raniry. Saya harus menyebutkan beberapa guru saya yang telah membuka mata intelektual saya: Drs. Mutharir Asy’ari, Drs. Azhari Idris, Drs. Zakaria Adamy, Drs. Razali Umar, Drs. Noor Ismail, Drs. Usman Hussein, Dr. Tarmidzi Jakfar. Kepala MAN I saat itu yakni Drs. Madjid Ibrahim bersama seluruh guru MAN saat kami belajar di MAPK. Demikian pula kepada seluru alumni MAPK 1996, dimana sebagiannya menjadi kolega kami saat ini di Banda Aceh. Gelar akademik ini membuktikan bahwa pembelajaran di MAPK tahun 1990-an merupakan sebuah loncatan besar bagi anak kampung seperti yang membuka horizon intelektual.
Ketika pindah ke Yogyakarta, horizon intelektual kami pun semakin terasah. Di sini Saya sangat beruntung dapat berguru kepada Begawan Ilmu yang sangat terkenal, yaitu Prof. Nourouzzaman Shiddiqi. Anak daripada Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy ini yang memberikan semangat kepada saya untuk meniru jejak Ayahanda beliau. Saat itu, beliau bercanda bahwa nama saya dengan Prof. Nourouzzaman hampir mirip, yaitu karena memiliki kata ‘zaman.’ Adapun Begawan ilmu yang sangat disegani di Yogyakarta adalah Drs. Ismail Thaib yang telah menjadi guru bagi para Guru Besar di Yogyakarta, tepatnya di IAIN Sunan Kalijaga. Adapun guru-guru saya di kampus ini adalah Prof. Akh. Minhaji, Prof. Atho Mudzhar, Prof. Amin Abdullah, Prof. Ratno Lukito, Dr. Fuad Zein, Prof. Dr. Kamsi, Prof. Drs. Saad Abdul Wahid. Prof. Drs. Asjmuni Abdurrahman, Drs. Thoha Abdurrahman, dan masih banyak lagi yang menjadi wasilah keilmuan bagi saya di dalam menuntut ilmu di Yogyakarta. Wabil khusus, Prof. Akh. Minhaji yang telah memberikan kesempatan saya untuk menimba ilmu secara khusus kepada beliau, saat Saya menjadi asisten beliau di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga.
Ketika pindah ke Kuala Lumpur, menuntut ilmu di Universiti Malaya, para guru saya pun semakin bertambah. Disini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. M. Zaidi Abdur Rahman, Dr. Baharuddin Che Pa, Prof. Joni Tamkin, Prof. Rahimin Affandi, Prof. Dr. M. Zulkifli, Prof. Dr. Sharifah Hayati dan masih banyak lagi nama yang tidak sempat saya sebutkan di sini. Pengalaman di UM tentu sangat berkesan, karena kami juga dipertemukan dengan beberapa ilmuwan dan tokoh Aceh yang kemudian menjadi karib kami saat berbakti di UIN Ar-Raniry. Mereka adalah alumni Asrama Tarsa Petaling Jaya, yang kemudian dari generasi kami, tidak sedikit dari mereka yang menjadi ilmuwan saat ini di Aceh.
Bergeser ke Nakhorn Shri Thammarat, dimana saya menjadi Staf Pengajar di Walailak University. Saya sangat beruntung bekerja di bawah Dekan Dr. Uthai Dulyakassem, seorang pimpinan yang memberikan keleluasaan bagi kami untuk mengembangkan keilmuan di Thailand Selatan. Selain dia, saya juga beruntung bekerja bersama Dr. Patrick Jory, yang kemudian menjadi mentor saya sampai hari ini. Saat ini, Dr. Patrick Jory sudah menjadi pengajar di Queensland University. Sejawat kami di Program Studi Kawasan, yang sekarang masih bertahan di Walailak University dan juga sudah pindah ke kampus di Bangkok. Di Thailand juga terdapat mentor saya yaitu Dr. Abdus Sabur, salah seorang Pendiri AMAN Internasional, yang sejak tahun 2004 telah bersedia menjadi penasihat akademik, hingga tahun lalu, oleh lembaga ini, kami dinobatkan sebagai Presiden AMAN Internasional.
Setelah menjadi staf pengajar di Walailak University, saya mendapatkan kesempatan menjadi Musafir Ilmu di La Trobe University untuk belajar ilmu Antropologi dari seorang Begawan Antropolog terkemuka untuk kajian Dunia Melayu yaitu Prof. Joel S. Kahn. Dia yang telah membuka tabir keilmuwan kajian Antropologi bersama Dr. Wendy Mee. Di La Trobe saya juga beruntung dapat bertemu dengan Prof. Dr. Albert Gomez yang banyak memberikan insight bagi saya dalam mendalami Studi Asia Tenggara.
Kembali ke Indonesia menjadi Dosen di UIN Ar-Raniry mengingatkan saya pada beberapa sosok yang telah menjadi mentor saya selama hampir 20 tahun terakhir, yaitu Prof. Dr. Azyumardi Azra, Prof. Drs. Yusny Saby Ph.D., dan Prof. M. Hasbi Amiruddin. Ketiga Begawan ini telah menjadikan semangat saya untuk bertahan di Aceh dengan segala “drama akademik.” Karena itu, saya ingin juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Farid Wajdi Ibrahim, seorang motivator ulung dalam memberikan semangat bagi siapapun yang mendengar nasihatnya. Semua para akademisi UIN Ar-Raniry telah menjadi syedara kami dalam berproses mencapai gelar akademik ini. Terima kasih juga kepada Prof. Dr. Mujiburrahman yang telah memberikan kesempatan unik kami yang belum pernah berpengalaman di dalam mengelola administrasi akademik di Aceh. Tidak lupa juga kepada seluruh Keluarga Besar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry yang telah menerima kami sebagai bagian dari keluarga sejak tahun 2009.
Di Banda Aceh terdapat kolega yang sudah menjadi syedara kami selama belasan tahun yaitu: Dr. M. Adli Abdullah yang mengajari saya bagaimana tetap menjadi “Kopral di kampus, kendati Jenderal di luar kampus!” Tidak terkecuali kepada Dr. Mukhlisuddin Ilyas bersama Banda Publishing yang telah menerbitkan hampir semua buku saya dalam satu dekade terakhi. Dr. Sulaiman Tripa dan Dr. T. Muttaqien Mansur. Interaksi dengan mereka telah menyadarkan saya bahwa kesetiaan kawan dalam berbagai kesulitan akan memberikan semangat berarti bagi kami sebagai Perantau di Banda Aceh.
Akhirnya, kepada mereka yang selalu berada di samping saya di rumah. Tidak kata untuk menggambarkan bagaimana mereka menjadi saksi duka dan nestapa menyaksikan Abah mereka mereka berjuang dalam rimba akademik di Aceh. Istri saya, Fitri Zulfidar yang terus memberikan semangat bagi saya, baik dalam suka maupun duka dan nestapa di Darussalam. Anak-anak saya, Qatrin Shabra Shatilla, Qaishar, Queen Zulaikha, Qyara Manahil, dan Qinar Rania yang telah menemani kami sampai ke titik perjuangan di dalam memperoleh gelar akademik. Kalian Luar Biasa!
Daftar Pustaka
Açikgenç, Alparslan. Islamic Scientific Tradition in History. Kuala Lumpur: Penerbit IKIM, 2014.
———. Scientific Thought and Its Burdens: A Study on the History and Philosophy of Science. Istanbul: Ibn Haldun University, 2000.
Ahmad, Zaid. The Epistemology of Ibn Khaldun. London: Routledge, 2003. https://doi.org/10.4324/9780203633892.
Alatas, Syed Farid. “Ibn Khaldun.” SSRN Scholarly Paper. Rochester, NY, 2013. https://papers.ssrn.com/abstract=2650471.
———. “Reflections on the Idea of Islamic Social Science.” SSRN Scholarly Paper. Rochester, NY, 1987. https://doi.org/10.2139/ssrn.2650608.
Ashimi, Tijani Ahmad. “The Classification of Knowledge in Islam by Imam Al-Ghazali and Al-Farabi: A Comparative Study.” International Journal of Advanced Research in Islamic and Humanities 4, no. 3 (1 November 2022): 77–84.
“Bachelor of Politics, Philosophy and Economics – ANU.” Diakses 4 Agustus 2024. https://programsandcourses.anu.edu.au/program/bppe.
Bennabi, Malik, dan Asma Rashid. “Islam in History and Society.” Islamic Studies 18, no. 4 (1979): 281–97.
Bunge, Mario. “Technology as Applied Science.” Technology and Culture 7, no. 3 (1966): 329–47.
“Daftar Rumpun, Pohon, dan Cabang Ilmu.” Diakses 4 Agustus 2024. https://pusatinformasi.sister.kemdikbud.go.id/hc/id/article_attachments/33375144874905.
Feener, R. Michael. Shari’a and Social Engineering: The Implementation of Islamic Law in Contemporary Aceh, Indonesia. Oxford: OUP Oxford, 2013.
———. “Social Engineering through Sharī’a: Islamic Law and State-Directed Da’wa in Contemporary Aceh.” Islamic Law and Society 19, no. 3 (1 Januari 2012): 275–311. https://doi.org/10.1163/156851911X612581.
“Forum Dekan FSH PTKIN se-Indonesia Sepakati Peta Rumpun Ilmu Syariah | Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.” Diakses 4 Agustus 2024. https://www.fsh.uinjkt.ac.id/id/forum-dekan-fsh-ptkin-se-indonesia-sepakati-peta-rumpun-ilmu-syariah.
Fox, Nick J., dan Pam Aldred. “Applied Research, Diffractive Methodology, and the Research-Assemblage: Challenges and Opportunities.” Sociological Research Online 28, no. 1 (2023): 93–109.
Fromherz, Allen James. Ibn Khaldun. Edinburgh University Press, 2011.
Heck, Paul L. “The Hierarchy of Knowledge in Islamic Civilization.” Arabica 49, no. 1 (2002): 27–54.
Ishaq, Usep Mohamad, dan Wan Mohd Nor Wan Daud. “Ibn Al-Haytham’s Classification of Knowledge.” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 55, no. 1 (26 Juni 2017): 189–210. https://doi.org/10.14421/ajis.2017.551.189-210.
Karčić, Fikret. “How Islamic Law is Studied Today: An Overview.” Journal of Muslim Minority Affairs 39, no. 1 (2 Januari 2019): 129–34. https://doi.org/10.1080/13602004.2019.1587955.
Khan, Hafiz A. Ghaffar. “Shāh Walī Allāh: On the Nature, Origin, Definition, and Classification of Knowledge.” Journal of Islamic Studies 3, no. 2 (1992): 203–13.
Khir, Bustami M. S. “Islamic Studies within Islam: definition, approaches and challenges of modernity.” Journal of Beliefs & Values 28, no. 3 (1 Desember 2007): 257–66. https://doi.org/10.1080/13617670701712430.
Minhaji, Akh. “Ahmad Hassan and Islamic legal reform in Indonesia (1887-1958).” McGill University. Diakses 18 Juli 2024. https://escholarship.mcgill.ca/concern/theses/dr26xz91v.
———. “Masa Depan Perguruan Tinggi Islam Di Indonesia (Perspektif Sejarah-Sosial).” TADRIS: Jurnal Pendidikan Islam 2, no. 2 (31 Desember 2014). https://doi.org/10.19105/tjpi.v2i2.218.
———. “Modern Trends in Islamic Law: Notes on J.N.D. Anderson Life and Thought.” Al Jamiah Vol.39, no. No.2 (1 Juni 2001): 1–33.
———. “Reorientasi Kajian Ushul Fiqh.” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 37, no. 63 (1999): 12–28. https://doi.org/10.14421/ajis.2022.3763.12-28.
Motzki, Harald. The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools. Diterjemahkan oleh Marion H. Katz. Leiden: Brill, 2002.
Mudzhar, M. Atho. Pendekatan Studi Islam : Dalam Teori Dan Praktek. Pustaka Pelajar, 2015.
———. “Social History Approach To Islamic Law.” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 36, no. 61 (1998): 78–88. https://doi.org/10.14421/ajis.1998.3661.78-88.
Nasr, Seyyed Hossein. Science and Civilization in Islam. Chicago: ABC International Group, 2001.
“Philosophy, Politics and Economics | University of Oxford.” Diakses 4 Agustus 2024. https://www.ox.ac.uk/admissions/undergraduate/courses/course-listing/philosophy-politics-and-economics.
Ross, Dorothy. The Origins of American Social Science. Cambridge University Press, 1991.
Ruse, Michael, dan Edward O. Wilson. “Moral Philosophy as Applied Science.” Philosophy 61, no. 236 (April 1986): 173–92. https://doi.org/10.1017/S0031819100021057.
Safi, Louay M. “Islamic Law and Society | American Journal of Islam and Society.” American Journal of Islam and Society 7, no. 2 (1990): 177–91.
Seidman, Steven. Liberalism and the Origins of European Social Theory. California: University of California Press, 1983.
Şentürk, Recep. Comparative Theories and Methods: Between Uniplexity and Multiplexity. Istanbul: Ibn Haldun University, 2019.
Shehata, Ahmed Maher Khafaga. “Exploring the Scholarly Communication Styles of Arab Social Science and Humanities Scholars.” Learned Publishing 32, no. 4 (2019): 304–11. https://doi.org/10.1002/leap.1253.
Waardenburg, Jacques. “Humanities, Social Sciences and Islamic Studies.” Islam and Christian–Muslim Relations 1, no. 1 (1 Januari 1990): 66–88. https://doi.org/10.1080/09596419008720925.
“Why Study Applied Sciences? | Guides | Northumbria University,” 31 Juli 2024. https://www.northumbria.ac.uk/study-at-northumbria/subject-and-study-guides/guides-articles/why-study-applied-sciences/.
[1]Alparslan Açikgenç, Islamic Scientific Tradition in History (Kuala Lumpur: Penerbit IKIM, 2014). Alparslan Açikgenç, Scientific Thought and Its Burdens: A Study on the History and Philosophy of Science (Istanbul: Ibn Haldun University, 2000).
[2]Lihat misalnya, Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools, trans. oleh Marion H. Katz (Leiden: Brill, 2002).
[3]Recep Şentürk, Comparative Theories and Methods: Between Uniplexity and Multiplexity (Istanbul: Ibn Haldun University, 2019), 117.
[4]Syed Farid Alatas, “Ibn Khaldun,” SSRN Scholarly Paper (Rochester, NY, 2013), https://papers.ssrn.com/abstract=2650471. Zaid Ahmad, The Epistemology of Ibn Khaldun (London: Routledge, 2003), https://doi.org/10.4324/9780203633892; Allen James Fromherz, Ibn Khaldun (Edinburgh University Press, 2011). Şentürk, Comparative Theories and Methods: Between Uniplexity and Multiplexity, 314–46.
[5]Malik Bennabi dan Asma Rashid, “Islam in History and Society,” Islamic Studies 18, no. 4 (1979): 281–97.
[6] Fikret Karčić, “How Islamic Law is Studied Today: An Overview,” Journal of Muslim Minority Affairs 39, no. 1 (2 Januari 2019): 129–34, https://doi.org/10.1080/13602004.2019.1587955. Louay M. Safi, “Islamic Law and Society | American Journal of Islam and Society,” American Journal of Islam and Society 7, no. 2 (1990): 177–91. Jacques Waardenburg, “Humanities, Social Sciences and Islamic Studies,” Islam and Christian–Muslim Relations 1, no. 1 (1 Januari 1990): 66–88, https://doi.org/10.1080/09596419008720925.
[7] Akh. Minhaji, “Ahmad Hassan and Islamic legal reform in Indonesia (1887-1958)” (McGill University), diakses 18 Juli 2024, https://escholarship.mcgill.ca/concern/theses/dr26xz91v. Akh. Minhaji, “Masa Depan Perguruan Tinggi Islam Di Indonesia (Perspektif Sejarah-Sosial),” TADRIS: Jurnal Pendidikan Islam 2, no. 2 (31 Desember 2014), https://doi.org/10.19105/tjpi.v2i2.218. Akh. Minhaji, “Modern Trends in Islamic Law: Notes on J.N.D. Anderson Life and Thought,” Al Jamiah Vol.39, no. No.2 (1 Juni 2001): 1–33. Akh. Minhaji, “Reorientasi Kajian Ushul Fiqh,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 37, no. 63 (1999): 12–28, https://doi.org/10.14421/ajis.2022.3763.12-28. M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam : Dalam Teori Dan Praktek (Pustaka Pelajar, 2015). M. Atho Mudzhar, “Social History Approach To Islamic Law,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 36, no. 61 (1998): 78–88, https://doi.org/10.14421/ajis.1998.3661.78-88.
[8]Syed Farid Alatas, “Reflections on the Idea of Islamic Social Science,” SSRN Scholarly Paper (Rochester, NY, 1987), 70, https://doi.org/10.2139/ssrn.2650608.
[9] Steven Seidman, Liberalism and the Origins of European Social Theory (California: University of California Press, 1983).
[10]Ahmed Maher Khafaga Shehata, “Exploring the Scholarly Communication Styles of Arab Social Science and Humanities Scholars,” Learned Publishing 32, no. 4 (2019): 304–11, https://doi.org/10.1002/leap.1253.
[11] Dorothy Ross, The Origins of American Social Science (Cambridge University Press, 1991).
[12] “Forum Dekan FSH PTKIN se-Indonesia Sepakati Peta Rumpun Ilmu Syariah | Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,” diakses 4 Agustus 2024, https://www.fsh.uinjkt.ac.id/id/forum-dekan-fsh-ptkin-se-indonesia-sepakati-peta-rumpun-ilmu-syariah.
[13]“Daftar Rumpun, Pohon, dan Cabang Ilmu,” diakses 4 Agustus 2024, https://pusatinformasi.sister.kemdikbud.go.id/hc/id/article_attachments/33375144874905.
[14] Nick J. Fox dan Pam Aldred, “Applied Research, Diffractive Methodology, and the Research-Assemblage: Challenges and Opportunities,” Sociological Research Online 28, no. 1 (2023): 93–109. Michael Ruse dan Edward O. Wilson, “Moral Philosophy as Applied Science,” Philosophy 61, no. 236 (April 1986): 173–92, https://doi.org/10.1017/S0031819100021057. Mario Bunge, “Technology as Applied Science,” Technology and Culture 7, no. 3 (1966): 329–47.
[15] “Why Study Applied Sciences? | Guides | Northumbria University,” 31 Juli 2024, https://www.northumbria.ac.uk/study-at-northumbria/subject-and-study-guides/guides-articles/why-study-applied-sciences/.
[16]Şentürk, Comparative Theories and Methods: Between Uniplexity and Multiplexity, 19.
[17] Tijani Ahmad Ashimi, “The Classification of Knowledge in Islam by Imam Al-Ghazali and Al-Farabi: A Comparative Study,” International Journal of Advanced Research in Islamic and Humanities 4, no. 3 (1 November 2022): 82–83. Usep Mohamad Ishaq dan Wan Mohd Nor Wan Daud, “Ibn Al-Haytham’s Classification of Knowledge,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 55, no. 1 (26 Juni 2017): 198, https://doi.org/10.14421/ajis.2017.551.189-210.
[18]“Philosophy, Politics and Economics | University of Oxford,” diakses 4 Agustus 2024, https://www.ox.ac.uk/admissions/undergraduate/courses/course-listing/philosophy-politics-and-economics. “Bachelor of Politics, Philosophy and Economics – ANU,” diakses 4 Agustus 2024, https://programsandcourses.anu.edu.au/program/bppe.
[19]Şentürk, Comparative Theories and Methods: Between Uniplexity and Multiplexity, 20.
[20] Ashimi, “The Classification of Knowledge in Islam by Imam Al-Ghazali and Al-Farabi,” 81.
[21]Hafiz A. Ghaffar Khan, “Shāh Walī Allāh: On the Nature, Origin, Definition, and Classification of Knowledge,” Journal of Islamic Studies 3, no. 2 (1992): 203–13. Paul L. Heck, “The Hierarchy of Knowledge in Islamic Civilization,” Arabica 49, no. 1 (2002): 27–54.
[22] R. Michael Feener, Shari’a and Social Engineering: The Implementation of Islamic Law in Contemporary Aceh, Indonesia (Oxford: OUP Oxford, 2013); Açikgenç, Islamic Scientific Tradition in History. R. Michael Feener, “Social Engineering through Sharī’a: Islamic Law and State-Directed Da’wa in Contemporary Aceh,” Islamic Law and Society 19, no. 3 (1 Januari 2012): 275–311, https://doi.org/10.1163/156851911X612581.
[23] Bustami M. S. Khir, “Islamic Studies within Islam: definition, approaches and challenges of modernity,” Journal of Beliefs & Values 28, no. 3 (1 Desember 2007): 257–66, https://doi.org/10.1080/13617670701712430.
[24] Şentürk, Comparative Theories and Methods: Between Uniplexity and Multiplexity, 51. Lihat juga misalnya Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Chicago: ABC International Group, 2001).
[25] Şentürk, Comparative Theories and Methods: Between Uniplexity and Multiplexity, 52.
[26] Açikgenç, Islamic Scientific Tradition in History, 49–57.
Tulisan yang Bermanfaat dan Mencerahkan. Selamat Atas gelar Guru Besarnya Prof. Ucapan dr Saya, salah satu Mahasiswa Bapak, dan pernah menimba ilmu langsung dari ruang kuliah Bapak.
Terima kasih atas atensinya. Semoga kita berada dalam keberkahan.
Terima Kasih. Semoga Abang sehat selalu.