
Dua Dekade yang Tidak Boleh Dingin
Dua dekade bukan waktu yang pendek. Tapi pertanyaannya bukan sekadar berapa lama kita sudah berdamai, melainkan sejauh mana damai itu hadir dalam kesadaran kita. Aceh hari ini memang tak lagi terdengar desing peluru atau deru kendaraan taktis, tapi apakah kita benar-benar hidup dalam damai? Atau hanya tidak lagi hidup dalam perang?
Inilah yang saya sampaikan dalam forum Bedah Buku “2 Dekade Damai Aceh” yang berlangsung di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 26 Juni 2025. Buku karya Iskandar Norman dan editor Teuku Murdani itu bukan hanya pengingat sejarah, tetapi penguji kesadaran kita hari ini.
Saya mengajak semua pihak—akademisi, mahasiswa, aktivis, dan generasi muda—untuk melihat bahwa damai bukanlah sekadar status politik atau hasil kesepakatan Helsinki 2005, tetapi proyek peradaban yang masih berjalan. Dan jika kita tak terus menerus memberinya makna, damai itu bisa dingin, kehilangan ruhnya.
Dari Data, Pengetahuan, Menuju Kesadaran
Ketika damai dirumuskan di meja perundingan, yang kita miliki hanyalah data: tentang jumlah korban, pemetaan wilayah konflik, hingga estimasi pembangunan pasca-konflik. Tapi apakah data cukup?
Tentu tidak. Data adalah permulaan. Lalu para peneliti mulai bekerja. Laporan-laporan disusun. Jurnal-jurnal ditulis. Konferensi digelar. Perlahan data itu naik level menjadi pengetahuan. Aceh masuk dalam literatur global tentang resolusi konflik dan pembangunan pascakonflik. Kita jadi contoh, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di Pattani (Thailand Selatan) dan Mindanao (Filipina Selatan).
Namun saya percaya, pengetahuan pun belum cukup. Apa artinya pengetahuan jika tidak mengubah perilaku sosial? Apa gunanya teori jika tidak menyentuh batin kolektif masyarakat?
Karena itu, saya mendorong lahirnya sebuah konsep baru: damai sebagai kesadaran. Bukan sekadar hasil kesepakatan politik, bukan sekadar studi akademik. Tetapi sebuah kondisi batin dan cara hidup yang dirasakan, diyakini, dan dijaga bersama.
Inilah yang saya sebut sebagai living knowledge: pengetahuan yang hidup, yang berdampak dalam cara masyarakat berinteraksi, menyelesaikan konflik kecil, hingga cara membangun struktur sosial dan hukum yang adil.
Siapa yang Memberi Makna pada Damai?
Dalam refleksi saya, ada dua kelompok dalam memahami damai:
- Pemberi makna (give meaning): mereka yang mengalami konflik, merasakan penderitaan, kehilangan keluarga, harta, dan keamanan. Damai bagi mereka adalah peristiwa eksistensial. Ia bukan konsep, tapi pengalaman. Orang-orang ini biasanya sangat berhati-hati jika melihat konflik sosial kembali muncul, sekecil apa pun itu.
- Penafsir (interpret): mereka yang tidak mengalami konflik secara langsung, terutama generasi pasca-2005. Mereka lahir dan besar dalam masa damai. Damai bagi mereka adalah kondisi normal. Mereka tidak tahu seperti apa Aceh di masa darurat militer atau ketika suara letusan menjadi bagian dari tidur malam.
Jarak ini—antara yang memberi makna dan yang sekadar menafsir—perlu dijembatani. Jika tidak, maka generasi muda hanya akan mewarisi tubuh damai tanpa jiwa damai.
Aceh sebagai Laboratorium Sosial
Suka tidak suka, Aceh telah menjadi laboratorium sosial untuk studi resolusi konflik di Asia Tenggara. Banyak lembaga internasional menjadikan Aceh sebagai contoh keberhasilan transisi dari kekerasan menuju stabilitas. Bahkan isu seperti Women, Peace, and Security (WPS) mulai dikaitkan dengan konteks Aceh.
Namun menjadi laboratorium juga berarti menjadi objek eksperimen. Banyak pihak datang meneliti, mengambil data, menulis laporan, lalu pergi. Yang tersisa bagi masyarakat lokal kadang hanya fragmen-fragmen memori dan pertanyaan: apakah kita sungguh sudah damai?
Inilah mengapa penting bagi kita—terutama lembaga pendidikan dan masyarakat sipil—untuk mengambil kembali narasi damai Aceh. Kita harus menjadi subjek dari kisah kita sendiri. Kita tidak bisa membiarkan damai hanya dikisahkan oleh orang luar, tanpa memahami luka yang masih tersisa di sini.
Luka yang Belum Hilang
Dalam setiap proses damai, selalu ada kelompok yang menikmati hasilnya, dan ada pula yang merasa tertinggal. Saya menyebut kondisi ini dengan istilah: “mereka yang berair mata dan mereka yang bermata air.”
Yang pertama adalah mereka yang kehilangan segalanya dalam konflik, tetapi tidak pernah mendapat posisi, pengakuan, atau manfaat dari situasi damai. Yang kedua adalah mereka yang datang setelah damai, dan langsung masuk dalam arus kekuasaan dan sumber daya.
Ini adalah realitas yang tidak bisa disembunyikan. Ketimpangan sosial dan ekonomi pascadamai adalah sumber laten dari konflik sosial baru. Kita harus jujur mengatakan bahwa damai yang adil belum sepenuhnya hadir.
Oleh karena itu, keadilan sosial harus menjadi pilar dari pembangunan pascadamai. Program-program pemberdayaan harus menyentuh akar rumput. Narasi damai harus menyentuh orang biasa, bukan hanya elit politik atau akademisi.
Pendidikan Damai: Urgensi dan Jalan ke Depan
Untuk menghidupkan kembali kesadaran damai, kita harus mengubah pendekatan pendidikan kita. Bukan hanya mengajarkan fakta sejarah atau isi MoU Helsinki, tetapi juga menghadirkan empati dan refleksi.
Pendidikan damai harus menjadi bagian dari kurikulum sekolah dan pesantren. Diskusi tentang pengalaman korban konflik, film dokumenter, kunjungan ke situs memori, hingga pelatihan resolusi konflik untuk remaja harus dihidupkan kembali.
Kita tidak bisa berharap generasi muda memahami damai jika mereka tidak diajak merasakan bagaimana rasanya kehilangan. Kita tidak bisa berharap mereka menjaga damai jika mereka tidak tahu betapa mahal harga yang telah dibayar untuk mencapainya.
Penutup: Damai sebagai Tanggung Jawab Lintas Generasi
Damai Aceh adalah warisan, tetapi juga amanah. Ia bukan sekadar keberhasilan masa lalu, tetapi juga tanggung jawab masa depan. Semua elemen—pemerintah, kampus, ulama, jurnalis, aktivis, dan generasi muda—harus terlibat dalam menjaga dan menghidupkan makna damai ini.
Sebagai seseorang yang telah meneliti, menulis, dan menyaksikan transformasi Aceh selama dua dekade ini, saya hanya ingin mengatakan:
“Semakin kita memberi makna pada damai, semakin ia hidup dalam jiwa masyarakat. Semakin ia hidup, semakin ia kuat menghadapi badai.”
Mari jaga damai ini. Bukan hanya dengan perjanjian politik, tapi dengan kesadaran kolektif yang terus dipelihara di hati kita.