Kita nggak harus hidup sesuai algoritma. Queen Zulaikha menulis refleksi tajam tentang tekanan sosial media dan pentingnya jadi diri sendiri di dunia digital yang serba viral.

Hidup Nggak Harus Sesuai Standar TikTok

Dunia yang Digerakkan oleh Algoritma

Sekarang, dunia seakan berputar di bawah kendali satu aplikasi: TikTok. Dari cara berpakaian, cara bicara, makanan, hingga cara bahagia — semua seperti punya “template” yang ditentukan oleh tren viral. Lucunya, kalau kita nggak ikut arus, langsung muncul rasa ketinggalan zaman. Tapi, siapa sebenarnya yang menetapkan standar itu?

Setiap hari, layar kita disuguhi potongan hidup orang lain: liburan yang indah, kamar yang aesthetic, tubuh ideal, hubungan romantis yang tampak sempurna. Lama-lama, semua itu menanam ilusi bahwa “itulah hidup normal”. Dan saat realitas kita berbeda, kita mulai merasa kurang — seolah gagal menjadi versi ideal manusia TikTok.

Padahal yang kita lihat hanyalah fragmen — potongan terbaik dari kehidupan seseorang yang disunting dengan cermat. Itu bukan kenyataan, melainkan presentasi kebahagiaan. Sebuah “filter eksistensi” yang membentuk persepsi palsu tentang hidup dan kesuksesan.

 Tekanan yang Tidak Terlihat: Saat Hidup Jadi Kompetisi Visual

Kita lelah — bukan karena dunia, tapi karena terus dibandingkan. Bahkan dengan orang yang tidak kita kenal. Kita memaksa diri untuk hidup dengan gaya “life aesthetic”, padahal di dalam, masih ada ruang yang belum berdamai. Kita kejar standar kebahagiaan orang lain, lalu kehilangan arah menuju kebahagiaan versi kita sendiri.

See also  Iblis dan Google: Satire atas Kuasa Digital dan Moralitas Zaman

Hal yang dulu sederhana — duduk di warung kopi sambil ketawa bersama teman — kini terasa tak cukup. Semua harus tampak “insta-worthy” dan “TikTokable”. Kehangatan berubah jadi konten, tawa berubah jadi cuplikan story, dan hidup berubah jadi materi postingan.

Kelelahan ini nyata. Tapi banyak yang pura-pura kuat, karena takut dianggap tidak relevan. Inilah paradoks generasi yang hidup di tengah layar: terkoneksi, tapi sering kesepian.

 Hidup Itu Bukan Trend

Yang viral hari ini bisa hilang besok. Tapi diri kita — yang sederhana, jujur, dan masih mencari arti — tidak bisa digantikan oleh algoritma apa pun.

Tidak semua orang harus hidup dengan standar TikTok. Ada yang menemukan bahagia dalam keheningan, ada yang merasa tenang saat menggambar, ada pula yang hanya ingin menikmati sore tanpa membaginya ke publik. Semua itu valid. Semua itu juga kehidupan.

Hidup bukan soal siapa yang paling menarik di layar, tapi siapa yang paling tulus dalam menjalani prosesnya. Yang viral akan hilang, tapi kejujuran dan ketenangan diri akan tetap tinggal.

 Tiga Langkah untuk Tetap Jadi Diri Sendiri

1️⃣ Stop Nyamain Proses

Setiap orang punya waktunya masing-masing. Jangan ukur perjalananmu dengan kecepatan orang lain. Kalau mereka sudah sampai, bukan berarti kamu gagal — mungkin kamu sedang belajar memahami langkahmu sendiri.

See also  Has China Won? Kishore Mahbubani on America’s Strategic Dilemma in the 21st Century

2️⃣ Konsumsi, Tapi Jangan Ketelan

Nikmati TikTok secukupnya. Tapi jangan biarkan algoritma menulis ulang hidupmu. Kamu yang seharusnya memegang kendali — bukan “For You Page”.

3️⃣ Nikmati Hidup yang Nggak Viral

Tidak semua momen harus dilihat orang lain. Kadang justru momen yang tidak terekam kamera yang paling jujur dan berarti. Kebahagiaan sejati tidak selalu butuh penonton.

 Penutup: Jadi Nyata di Dunia Digital

TikTok bisa jadi tempat hiburan, sumber inspirasi, bahkan ruang belajar. Tapi jangan biarkan ia mencuri hakmu untuk hidup secara autentik. Hidup ini bukan konten, melainkan perjalanan yang nyata — penuh kesalahan, pencarian, dan pertumbuhan.

Jangan lelah menjadi versi palsu hanya demi disebut keren. Karena pada akhirnya, yang bertahan bukan yang paling viral, tapi yang paling jujur pada dirinya sendiri.

“You don’t need to go viral to be valuable.”
Kamu berharga, bahkan tanpa algoritma yang mengenalimu.

About The Author