Iris Murdoch dan Filsafat Moral Menurut Charles Taylor
Iris Murdoch adalah salah satu filsuf moral paling berpengaruh pada abad ke-20, sekaligus seorang novelis besar yang menggunakan sastra sebagai ruang untuk mengeksplorasi dilema etika manusia. Charles Taylor, dalam Dilemmas and Connections: Selected Essays, memberikan tafsir komprehensif terhadap pemikiran Murdoch dan menegaskan posisinya sebagai penantang serius terhadap reduksi filsafat moral Anglo-Saxon yang terlalu sempit. Murdoch menghadirkan sesuatu yang berbeda: moralitas bukanlah semata kewajiban, melainkan keterarahan pada kebaikan (the Good), cinta, perhatian, dan transendensi.
Murdoch di Mata Charles Taylor
Taylor memulai esainya dengan pengakuan bahwa tidak mungkin memberikan ringkasan menyeluruh atas kontribusi Murdoch. Ia menulis bahwa pemikiran Murdoch terlalu kaya, sehingga setiap upaya menjelaskan hanya bisa bersifat parsial dan idiosinkratik. Pandangan ini penting, sebab menandai Murdoch sebagai pemikir yang bukan hanya menawarkan doktrin baru, melainkan mengguncang batas-batas diskursus moral yang ada.
Bagi Taylor, dunia filsafat analitik di Inggris pada pertengahan abad ke-20 sangat dipengaruhi oleh tradisi logis yang cenderung mempersempit pertanyaan moral pada apa yang wajib dilakukan. Di titik inilah Murdoch tampil sebagai suara alternatif, mengingatkan bahwa moralitas tidak bisa dilepaskan dari horizon yang lebih luas: cinta, kebaikan, dan perhatian.
Dari Kewajiban Menuju Kebaikan
Salah satu kontribusi fundamental Murdoch adalah pergeseran fokus etika dari kewajiban (obligation) menuju kebaikan (the Good). Tradisi moral Anglo-Saxon, baik dalam bentuk utilitarianisme maupun kantianisme, cenderung menekankan tindakan benar atau salah berdasarkan kalkulasi manfaat atau konsistensi aturan. Murdoch menilai ini sebagai bentuk penyempitan yang berbahaya.
Bagi Murdoch, moralitas sejati tidak bisa direduksi pada kewajiban. Ia menulis dalam The Sovereignty of Good bahwa perhatian dan cinta jauh lebih mendasar dibandingkan sekadar kepatuhan terhadap kewajiban. Taylor mengutip pandangan ini dengan mengatakan bahwa kewajiban hanyalah bagian kecil dari moralitas, sementara inti sebenarnya ada pada kebaikan yang lebih dalam.
Murdoch dengan demikian mengembalikan horizon etika pada warisan Plato dan Aristoteles, di mana pertanyaan tentang hidup baik (eudaimonia) dan orientasi pada the Good menjadi pusat.
Perhatian dan Cinta sebagai Inti Moralitas
Konsep kunci dalam filsafat moral Murdoch adalah attention, atau perhatian. Dipengaruhi oleh Simone Weil, Murdoch melihat moralitas sebagai latihan batin untuk mengarahkan perhatian secara jernih kepada kenyataan, tanpa terdistorsi oleh egoisme. Perhatian semacam ini adalah bentuk cinta, yakni pengakuan bahwa ada realitas di luar diri yang harus dihargai.
Murdoch menulis: “Love is the extremely difficult realisation that something other than oneself is real.” (Cinta adalah kesadaran yang sangat sulit bahwa sesuatu selain diri kita sendiri adalah nyata). Dengan cinta, manusia melepaskan pusat ego dan membuka diri pada orang lain serta dunia.
Taylor menekankan bahwa cinta bukan sentimentalitas, melainkan disiplin spiritual yang menata cara kita melihat. Moralitas sejati, dengan demikian, bukan terutama persoalan memilih tindakan, tetapi mengubah cara pandang kita terhadap dunia.
Narasi dan Teladan Moral
Hal yang membuat Murdoch unik adalah keyakinannya pada pentingnya narasi dan teladan dalam moralitas. Sebagai novelis, ia menyadari bahwa kisah-kisah mampu membentuk imajinasi moral manusia. Novel bukan sekadar hiburan, melainkan sarana untuk melihat kehidupan orang lain dengan cara yang tidak bisa diberikan teori abstrak.
Taylor mengutip Murdoch untuk menegaskan bahwa pemahaman moral tidak hanya diartikulasikan dalam teori, melainkan diwujudkan dalam cerita dan kehidupan teladan. Figur-figur inspiratif, baik dari tradisi religius maupun sastra, memberikan daya transformatif yang jauh lebih kuat daripada prinsip abstrak.
Dalam tradisi Kristen, kehidupan Yesus menjadi teladan utama; dalam Buddhisme, kisah Sang Buddha menjadi inspirasi. Murdoch menghidupkan kembali tradisi teladan ini dalam konteks etika modern.
Kritik terhadap Primacy of Life
Taylor menyebut salah satu ciri khas modernitas adalah munculnya primacy of life, yaitu pandangan bahwa hidup itu sendiri adalah nilai tertinggi. Dalam kerangka ini, menjaga hidup, memperpanjang umur, dan meningkatkan kesejahteraan menjadi tujuan moral utama.
Murdoch menolak reduksi ini. Hidup memang penting, tetapi hidup itu sendiri bukan horizon terakhir. Taylor menulis: “Life itself is not enough; it must be oriented to the Good.” (Hidup itu sendiri tidak cukup; ia harus diarahkan kepada Kebaikan). Dengan kata lain, hidup hanya bermakna jika dituntun oleh kebaikan yang melampaui hidup itu sendiri.
Iklim Pascarevolusioner
Taylor menyebut keadaan modern ini sebagai post-revolutionary climate. Dalam iklim ini, iman pada horizon transendensi telah memudar, tetapi kerinduan terhadap transendensi tidak pernah hilang. Manusia modern tidak lagi percaya penuh pada agama tradisional, namun juga tidak puas dengan horizon sekular yang dangkal.
Murdoch hadir di tengah iklim ini dengan menawarkan jalan baru. Ia menghindari dogmatisme religius lama, tetapi juga menolak sekularisme reduktif. Murdoch mengingatkan bahwa kebutuhan akan kebaikan transenden tetap ada, bahkan jika bahasa tradisional untuk menyebutnya sudah melemah.
Tantangan Nietzsche dan Neo-Nietzscheans
Nietzsche menjadi tantangan besar bagi horizon moral modern. Ia menolak moralitas tradisional, menyerukan afirmasi hidup melampaui baik dan jahat, dan mengagungkan will to power. Murdoch memahami kekuatan kritik Nietzsche, tetapi menolak nihilisme yang ditimbulkannya.
Taylor menunjukkan bahwa para pewaris Nietzsche seperti Foucault, Derrida, dan Bataille semakin meradikalkan posisi ini dengan menolak setiap bentuk transendensi. Bagi mereka, rujukan pada kebaikan hanyalah bentuk dominasi baru. Murdoch menolak posisi ini dengan tegas: tanpa horizon kebaikan, moralitas akan kehilangan arah dan terjebak dalam relativisme.
Alternatif Murdoch
Di tengah kebingungan modernitas, Murdoch menawarkan alternatif yang segar. Ia menolak penyempitan moralitas pada kewajiban, menolak reduksi hidup sebagai nilai tertinggi, menolak nihilisme Nietzsche, sekaligus menolak humanisme dangkal. Sebaliknya, ia menegaskan kembali kebaikan sebagai horizon transenden yang memberi makna pada hidup.
Taylor menutup tafsirnya dengan menegaskan bahwa Murdoch adalah salah satu figur yang membuka jalan keluar dari kebuntuan etika modern. Ia menawarkan etika yang lebih manusiawi, eksistensial, dan transenden—sebuah etika yang menuntut perhatian penuh kasih, cinta, dan keterbukaan pada kebaikan.
Kesimpulan
Monograf Charles Taylor tentang Iris Murdoch menunjukkan bahwa pemikir Inggris ini adalah salah satu suara terpenting dalam mengoreksi etika modern. Dengan menolak reduksi kewajiban, mengembalikan cinta dan perhatian pada pusat moralitas, menegaskan pentingnya narasi dan teladan, serta mengingatkan bahwa hidup harus diarahkan pada kebaikan transenden, Murdoch menghadirkan horizon baru dalam filsafat moral.
Taylor membaca Murdoch bukan hanya sebagai filsuf, tetapi sebagai guru yang mengingatkan kita bahwa moralitas sejati adalah perjalanan batin menuju cara melihat yang lebih jernih. Dalam dunia yang sering kali terjebak pada prosedur, Murdoch mengajarkan bahwa moralitas adalah cinta, perhatian, dan keterbukaan pada kebaikan.
Esai ini hanya sebuah pengantar dari tafsir Charles Taylor terhadap pemikiran Iris Murdoch. Untuk kajian penuh, termasuk pembahasan detail dari setiap bagian dalam Dilemmas and Connections: Selected Essays, silakan baca monograf lengkap:
👉 Iris Murdoch dan Filsafat Moral Menurut Charles Taylor – KBA13 Insight Monograph Series
Monograf ini menyajikan uraian lebih mendalam dengan kutipan teks asli, terjemahan, serta analisis naratif sepanjang 23 halaman buku Taylor.