Sungai Singkel Sekarat

Kabar Buruk dari Sungai Singkel: Sawit, Rawa Gambut, dan Ekologi yang Runtuh di Aceh

Anda bisa berduka dan bersukacita pada saat yang sama dengan alasan berbeda-beda ketika melintasi salah satu sungai terpanjang di Aceh, sungai Singkel (Kabupaten Aceh Singkil-Kota Subulussalam).  Dibalik satwa liar dan alamnya, ada perubahan ekologi dari rawa Singkel yang dibantu alat berat, lonjakan emisi hidrogen karena pesatnya pembuatan drainase untuk lahan sawit illegal di tengah rawa dan peralihan masyakat Singkel dari ‘peasant’ ke ‘farmer’ tidak dapat dianggap remeh. Masyarakat Singkel tidak lagi memproduksi tanaman untuk dikonsumsi (as a peasant), melainkan tanaman yang mendatangkan uang tunai seperti sawit (to a farmer). Lahan pinggiran sungai dihabiskan untuk tanaman monokultur yang menyeret petani pada ketergantungan komoditas global yang harganya tidak dapat mereka prediksi sama sekali. Otonomi pangan tradisional dari umbi-umbian, pisang, sagu dan lain-lain diganti dengan keputusan yang beresiko ini. Apakah sepadan?

Sejarahwan Robert Elson dalam “The End of the Peasantry in Southeast Asia” (1997) merekam bagaimana komunitas masyarakat yang memiliki orientasi konsumsi sendiri (subsistence economy) beralih pada masyarakat yang terintegrasi dengan pasar global. Sistem pengelolaan tanah adat tradisional dan diversifikasi tanaman diubah menjadi bentuk petani komersial. Hal yang mungkin tidak kasat mata adalah peralihan ekologi dengan perubahan aliran air, modifikasi rawa tropikal Singkel, erosi/sedimentasi tanah pinggiran sungai dan keanekaragaman hayati yang menurun. Fungsi sungai tidak lagi menjadi ruang hidup, ruang ritual, regulator ekologi rawa-gambut, tapi kini berfungsi menjadi land resource yang dimodifikasi, dikontrol dan diekstrasi menjadi lahan industri kelapa sawit. Berlebihan? Tunggu sampai Anda melihat bagaimana rawa gambut Singkel dibentuk untuk kanal industri kebun sawit, ini menyebabkan sungai kehilangan penahan air dan banjir lebih sering dan lebih ganas daripada sebelumnya. Sungai dan rawa dipaksa menjadi mesin produksi negara. Tetapi negara, sebagaimana yang sering terjadi, bukanlah satu tubuh yang rasional, ada kumpulan meja yang menariknya kearah berbeda.

See also  Sofyan A. Djalil: Jejak Intelektual, Kepemimpinan, dan Karier Politik Seorang Teknokrat Aceh

Apa yang terjadi di Rawa?

703 hektare Trumon terbakar pada 28 Juli 2025 lalu, penyebabnya menurut Yayasan HAkA adalah pembangunan drainase di area konsesi PT ALIS yang mengarah ke lahan rawa gambut. 703 hektare bukan kecil, ia setara 16 kali Negara Vatikan. Sehingga, dengan kebakaran sedasyat itu api ini memiliki potensi menjalar ke Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Rawa Singkil memiliki penyakit yang sama, lahan yang dirambah dan dibangun parit di wilayah rawa gambut. Sejak Juni 2019 sampai Juni 2023 SM Rawa Singkil kehilangan 1.324 hektare dalam rangka alih fungsi lahan menjadi kebun sawit illegal. Lalu, muncullah gejala-gejala yang-dari-namanya saja sudah cukup mengerikan, yaitu: degradasi hidrologis dan fragmentasi ekosistem. Sebelum masuk ke istilah mengerikan lain, dampak yang bisa dipahami oleh orang awam di Singkel adalah musim kemarau yang lebih panjang dan kering namun musin hujan dengan curah hujan lebih ekstrim. Ini hanya perubahan iklim yang memperbesar resiko kebakaran hutan yang gila-gilaan di sepanjang sungai Singkel sekaligus menenggelamkan Singkel. Dari Trumon di Utara Rawa Singkel, Kuala Baru di sebelah Barat, Longkip-Rundeng sebelah Timur dan Singkohor-Suro Makmur sebelah Selatan akan dilahap api dengan potensi kebakaran mencari 3.000 hektare dengan cepat saat orang Singkel manari Dampeng di Pendopo Bupati dan Walikota.

Pada tahun 2005 tercatat 61,6% lahan gambut di Aceh beralih fungsi. Di Rawa Singkel proyek pembangunan drainase dan menghilangkan 8,77-44,99 ton karbon per hektare setiap tahun. Alhasil, gambut dari rawa yang membusuk dan kering ini melepaskan gas CO2. Maka, resiko kebakaran hutan akan meningkat, permukaan tanah turun 3,5 cm/pertahun. Potensi lain adalah banjir pasang, tanah pun akan semakin tidak produktif untuk ditanami, stok ikan endemik menurun, sungai Singkel menjadi semakin keruh dan dangkal. Binatang buas dari rawa masuk ke pemukiman warga. Banyak desa di Singkel akan tenggelam atau menjadi rawa yang rusak. Desa Kilangan dan sekitarnya telah terkena imbasnya, rumah warga lesek ke dalam tanah. Tapi kerusakannya bukan hanya ini saja, jika lahan rusak ada potensi konflik sosial yang mengintai. Neraka adalah proyek pembangunan industri yang paling konsisten dikerjakan di sepanjang sungai Singkel.

See also  Islam, Barat, dan Warisan 11 September: Pergeseran Studi, Wacana, dan Citra

Rawa Singkil seluas 82.000 hektare, yang sejak tahun 2016 sampai 2024 dalam amatan TheTreeMap dirambah seluas 2.577 hektare dengan 652 hektare kebun sawit ilegal dengan sebagian besar kebun yang siap produksi. Dengan “pembersihan” lahan rawa mengundang degradasi dan fragmentasi ekologi. Bahkan kampung yang relatif jauh dari sungai seperti Desa Ujung Bawang kini terendam banjir karena drainase yang dibuat industri kelapa sawit tanpa alur air akhir. Air mengendap, rawa yang bertugas sebagai spons raksasa tidak memiliki kesanggupan lagi dalam menghadapi fragmentasi gila-gilaan.

Uang Tunai dan Harga yang Harus Dibayar

‎Dalam kerangka Clifford Geertz pada bukunya “Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in Indonesia” (1963) , apa yang terjadi di Singkil hari ini menyerupai apa yang ia sebut sebagai kemunduran (involusi) agrikultur: sebuah proses ketika tekanan eksternal  kapitalisme ekstraktif memaksa masyarakat lokal terus-menerus “mengintensifkan” praktik hidup mereka tanpa memberi hasil yang lebih baik. Di Desa Ujung Bawang, Solok, Anjo-anjo, Rundeng dan kampung-kampung tepian rawa atau tepi sungai lainnya, masyarakat kini bukan hanya harus hidup di antara banjir yang semakin sering, tetapi juga terus menyesuaikan diri dengan ruang hidup yang mengecil, lahan basah yang terfragmentasi, dan siklus ekologis yang berubah. Mereka harus menambah tenaga, memperbanyak strategi survival, memperbanyak kerja sosial dan gotong royong, namun hasil akhirnya bukan peningkatan kesejahteraan  melainkan semakin sempitnya ruang aman untuk tinggal dan bertani. Inilah involusi versi Singkel, rawa semakin rusak, siklus air tidak menentu, tapi masyarakat justru “dipintal” ke dalam pusaran adaptasi yang tak pernah selesai. Ekologi runtuh, beban justru jatuh kepada mereka yang paling dekat dengan sungai dan rawa.

See also  Nikah Siri di Aceh: Eksploitasi, Qadhi Liar, dan Dampak Sosial

‎Ketergantungan terhadap sawit dan uang tunai menjauhkan petani tradisional dari tanah, sungai dan rawa. Hal ini membawa Singkel menjadi sangat rentan terhadap bencana alam, konflik agraria dan krisis sosial. Saat tulisan ini saya buat, beberapa titik desa tenggelam, transportasi, pasar dan hewan ternak mati, ekonomi lumpuh. Akhirul kalam, kita memang perlu percaya kepada Tuhan, tapi hanya mengharapkan bantuan Tuhan tanpa usaha untuk mengubahnya dengan tangan manusia dan tidak menyadari bahwa bencana ini juga hasil ulah tangan manusia sembari terus mengatakan bahwa ini ujian dari Tuhan adalah perbuatan yang merendahkan Tuhan itu sendiri.

About The Author