
Abstrak
Konflik Timur Tengah tahun 2025 menandai eskalasi dramatis dari perang antara Israel dan Hamas di Gaza menjadi konfrontasi regional yang melibatkan Iran. Tulisan ini menganalisis secara mendalam lima aspek kunci konflik tersebut: (1) peran dan operasi intelijen Mossad di Gaza dan Iran, (2) serangan gabungan Israel–Amerika Serikat terhadap fasilitas militer dan nuklir Iran, (3) peran diam-diam Donald Trump dan strategi koalisi yang dibentuknya, (4) signifikansi geopolitik konflik ini dan lahirnya tatanan keamanan baru di Timur Tengah, serta (5) pembelajaran strategis bagi Indonesia di bidang intelijen, diplomasi, kontra-propaganda, dan pertahanan siber. Berdasarkan dokumen “The Gaza Terror Offensive” karya Eado Hecht (BESA Center, 2025) dan dilengkapi sumber-sumber kredibel (laporan PBB, jurnal akademik, media internasional seperti The Jerusalem Post, The New York Times, Al Jazeera, dan lain-lain), esai ini menemukan bahwa keberhasilan Israel menekan Hamas dan Iran sangat bergantung pada keunggulan intelijen (khususnya operasi Mossad), dukungan koalisi internasional (AS dan sekutu), serta dominasi multi-domain (darat, udara, siber, dan informasi). Gejolak ini menghasilkan perubahan geopolitik signifikan: infrastruktur nuklir Iran terpukul, kelompok proxy Iran (seperti Hizbullah) melemah, dan aktor-aktor global terpolarisasi menyikapi konflik. Bagi Indonesia, konflik ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya kesiapsiagaan intelijen strategis, diplomasi proaktif dan berimbang, pengelolaan narasi informasi untuk melawan propaganda, serta penguatan ketahanan dan kapabilitas siber sebagai bagian dari pertahanan nasional.
Pendahuluan
Pada pertengahan tahun 2025, konflik bersenjata di Timur Tengah memasuki babak baru yang berbahaya. Apa yang bermula sebagai perang Israel–Hamas di Gaza meluas menjadi konfrontasi langsung Israel dengan Iran. Serangan masif Hamas pada 7 Oktober 2023 – yang menewaskan lebih dari 1.200 warga Israel dan menyandera ratusan lainnya – telah memicu operasi militer Israel di Gaza[1]. Hingga pertengahan 2025, pertempuran di Gaza masih berlangsung sengit dan menimbulkan korban sangat besar. Hamas mengklaim hampir 59.500 warga Gaza tewas dan 141.000 terluka akibat ofensif Israel sejak 2023[2]. Konflik meluas ketika Israel, dengan dukungan Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, melancarkan serangan preventif terhadap fasilitas nuklir dan militer Iran pada Juni 2025[3][4]. Iran merespons dengan hujan rudal dan drone terhadap Israel, bahkan melakukan serangan simbolis ke pangkalan AS di Teluk[5].
Situasi ini menimbulkan keprihatinan global. Dewan Keamanan PBB mengadakan sidang darurat, sementara media internasional memberitakan konflik dengan sudut pandang beragam. Negara-negara Barat umumnya mendukung hak Israel membela diri seraya menyerukan pengekangan, sedangkan dunia Muslim dan sekutu Iran mengecam serangan Israel-AS sebagai agresi yang melanggar hukum internasional[6][7]. Koalisi informal pun terbentuk: Amerika Serikat secara terbuka mendukung Israel, sementara Iran mencari simpati dari negara-negara seperti Tiongkok, Rusia, dan anggota BRICS lainnya yang pada sebuah pertemuan puncak mengecam serangan udara Israel-AS di Iran[8].
Tulisan ini disusun sebagai makalah strategi untuk memahami implikasi konflik Timur Tengah secara komprehensif. Pendekatan yang digunakan adalah analisis kualitatif berbasis literatur dan sumber primer. Bagian pertama akan mengulas peran intelijen Israel – terutama Mossad – dalam mendukung operasi di Gaza dan Iran. Bagian kedua membahas detail serangan militer gabungan Israel–AS ke fasilitas Iran. Bagian ketiga mendalami peran terselubung Donald Trump dalam diplomasi dan pembentukan koalisi yang mendukung langkah Israel. Bagian keempat menganalisis dampak geopolitik konflik ini dan munculnya tatanan keamanan regional baru pasca-konflik. Terakhir, bagian kelima menarik pembelajaran strategis yang relevan bagi Indonesia dalam hal intelijen, diplomasi internasional, penanggulangan propaganda, dan pertahanan siber.
Dengan memahami dinamika konflik ini, diharapkan pembaca – khususnya pengambil kebijakan pertahanan dan keamanan – dapat memperoleh wawasan tentang karakter peperangan modern yang multidimensional, serta strategi yang efektif dalam menghadapi ancaman serupa. Indonesia, sebagai negara yang menjunjung keamanan nasional dan stabilitas kawasan, dapat memetik pelajaran dari konflik ini untuk memperkuat kebijakan pertahanan dan diplomasi ke depan.
Operasi Intelijen Mossad di Gaza dan Iran
Keberhasilan Israel dalam konflik 2025 tidak terlepas dari keunggulan intelijen, terutama melalui peran Mossad, badan intelijen eksternal Israel. Di jalur Gaza, meskipun operasi kontra-terorisme lebih banyak ditangani oleh militer dan dinas intelijen domestik (Shin Bet), Mossad turut berkontribusi dalam lingkup strategis. Mossad berbagi informasi tentang dukungan eksternal untuk Hamas, jaringan penyelundupan senjata, dan komunikasi antara Hamas dengan Iran. Intelijen Israel berhasil mengidentifikasi banyak target strategis Hamas – mulai dari lokasi bunker pimpinan hingga jaringan terowongan – sehingga memungkinkan serangan presisi oleh IDF (Israel Defense Forces)[9]. Misalnya, pemimpin Hamas Yahya Sinwar dilaporkan tewas atau terluka parah dalam serangan Israel, setelah intelijen mendeteksi lokasinya; sebuah laporan media Saudi bahkan menyebut jenazah Sinwar ditemukan bersama setidaknya 10 asistennya (meski Hamas belum mengonfirmasi kabar ini)[10]. Selain itu, Mossad diyakini membantu mengungkap penggunaan infrastruktur sipil oleh Hamas untuk keperluan militer. Sebagai contoh, intelijen Israel menemukan bahwa rumah sakit utama Gaza (RS Shifa) digunakan Hamas sebagai pos komando dan gudang senjata – temuan yang kemudian dibuktikan saat ratusan militan dan senjata disita di sana[11].
Peran Mossad paling menonjol terlihat dalam operasi terhadap Iran. Menjelang serangan militer Israel ke Iran pada Juni 2025, Mossad menjalankan serangkaian operasi klandestin berbulan-bulan lamanya di dalam wilayah Iran[12]. Menurut analisis War on the Rocks, Mossad bersama Unit 8200 (satuan siber intelijen militer Israel) telah mengumpulkan intelijen, menyabotase infrastruktur, dan menyusup ke jaringan elektronik Iran jauh hari sebelum serangan udara dimulai[12]. Mereka berhasil menanam peralatan dan cache senjata di Iran secara diam-diam. Laporan Eado Hecht mengungkap adanya “operasi khusus Mossad” yang secara bertahap memasukkan senjata berpemandu jarak pendek ke Iran, termasuk rudal anti-tank canggih dan drone kecil berdaya ledak[13]. Senjata-senjata ini disembunyikan di lokasi aman sebagai persiapan membuka jalan bagi serangan besar. Benar saja, pada malam 12–13 Juni 2025 ketika Israel memulai operasi udara terhadap Iran, tim gabungan Mossad dan pasukan khusus IDF serentak melakukan sabotase di darat: mereka menembakkan rudal anti-tank berpemandu dan menerbangkan drone quadcopter berisi bom ke sasaran pertahanan udara Iran[14]. Aksi pendahuluan ini ditujukan untuk “membuka langit” bagi pesawat tempur Israel, yakni melumpuhkan radar dan baterai misil antipesawat Iran sehingga jet-jet Israel dapat masuk dengan risiko minimal[14].
Hasilnya signifikan. Mossad dan unit khusus berhasil menyelinap hingga jantung Iran tanpa terdeteksi, menghancurkan sejumlah peluncur rudal permukaan-ke-permukaan (SSM) jarak jauh Iran, dan bahkan mengeksekusi tokoh-tokoh kunci. Dilaporkan bahwa 30 komandan tinggi militer dan keamanan internal Iran serta 13 personel penting dalam program nuklir tewas dalam serangan terpadu Israel[15] – kemungkinan sebagian akibat operasi penargetan intelijen di darat. Mossad juga diduga berada di balik eliminasi tokoh Hamas yang berlindung di Iran: Ismail Haniyeh, ketua biro politik Hamas, tewas di Teheran karena bom yang ditanam di kamarnya pada area pemukiman elite Pasukan Pengawal Revolusi (IRGC)[16]. Ini merupakan penghinaan langsung bagi Iran – intelijen Israel mampu menjangkau target bernilai tinggi di jantung wilayah lawan.
Kemampuan Mossad menggerakkan jaringan informan lokal turut berperan besar. Jaringan human intelligence (HUMINT) Mossad di Iran tampaknya berhasil memberikan intel real-time tentang pergerakan pejabat dan posisi fasilitas. War on the Rocks mencatat bahwa integrasi intelijen memungkinkan targeted killing terhadap komandan senior IRGC seperti Saeed Izadi (komandan Pasukan Quds korps “Palestina”) dan Behnam Shahriyari (komandan unit transfer senjata Pasukan Quds) dalam gelombang serangan pertama[9]. Kematian para perwira tinggi ini tidak hanya melemahkan komando Iran, tetapi juga menebar efek psikologis: Iran menyadari bahwa komunikasi dan keamanan internalnya telah ditembus musuh[17]. Pasca serangan, otoritas Iran dilaporkan menangkap lebih dari 700 orang atas tuduhan membantu Israel[18] – mencerminkan paranoia Teheran bahwa jaringan mata-mata Israel beroperasi luas di dalam negeri.
Di domain siber, Mossad juga ditengarai berkolaborasi dengan Unit 8200 untuk meretas sistem Iran. Beberapa jam sebelum serangan udara, serangan siber melumpuhkan radar, stasiun perang elektronik, dan komunikasi militer Iran[19]. Gangguan ini membuat pertahanan Iran timpang di saat kritis. Setelah serangan, aksi siber dan propaganda terus berlanjut: hacker pro-Israel (yang kemungkinan bagian dari Mossad atau agen yang disponsori) meretas televisi pemerintah Iran untuk menayangkan video protes anti-regime 2017[20], dan melancarkan serangan terhadap bank-bank Iran[21]. Bahkan, kelompok hacker Israel mengklaim berhasil menghancurkan data bank BUMN Iran dan menghancurkan sekitar $90 juta mata uang kripto milik badan keamanan Iran[22]. Sebaliknya, upaya siber Iran terhadap Israel relatif minim dampaknya. Times of Israel melaporkan bahwa meskipun kelompok peretas Iran (seperti “Handala Hack”) mengaku merusak berbagai situs Israel, pakar keamanan siber tidak melihat serangan luar biasa terhadap infrastruktur vital Israel – sebagian besar serangan Iran berupa phishing dan defacing situs yang “tidak canggih”[23][24]. Hal ini menunjukkan keunggulan intelijen dan siber Israel dalam konflik ini, yang ditopang oleh perencanaan Mossad.
Singkatnya, Mossad memainkan peran vital sebagai ujung tombak intelijen dan operasi klandestin. Di Gaza, intelijen Mossad melengkapi operasi militer dengan mengidentifikasi musuh tersembunyi dan mencegah kejutan strategis (seperti upaya Hamas menyelundupkan senjata atau menyandera). Di Iran, Mossad menjadi game-changer: melalui infiltrasi, sabotase, pembunuhan terpilih, dan perang siber, Mossad melumpuhkan pertahanan Iran dari dalam dan memastikan kampanye militer Israel mencapai dampak maksimal. Keberhasilan Israel dalam babak awal perang melawan Iran adalah bukti nyata bahwa dominasi intelijen dapat mengungguli kekuatan numerik. Bagi militer modern, integrasi intelijen (HUMINT, sinyal, siber) dengan operasi konvensional kini menjadi keniscayaan untuk mencapai precision strike dan information superiority[25].
Serangan Gabungan Israel–AS terhadap Fasilitas Militer dan Nuklir Iran
Pada 12–13 Juni 2025, Israel melancarkan serangan udara besar-besaran terhadap Iran – suatu langkah preventif sesuai Doktrin Begin (yang menyatakan Israel tidak akan membiarkan musuh regional memperoleh senjata nuklir)[26]. Operasi ini – oleh sumber War on the Rocks disebut Operation Rising Lion – menargetkan infrastruktur militer strategis Iran, terutama program nuklir dan arsenal misil jarak jauh[27]. Serangan berlangsung selama 12 hari hingga 24 Juni 2025 ketika gencatan senjata dicapai[28][29].
Serangan Israel: Skala dan Target
Angkatan Udara Israel (IAF) melaksanakan sekitar 1.900 serangan udara ke Iran selama periode 12 hari, dengan rincian ~1.400 serangan oleh pesawat tempur berawak dan ~500 serangan oleh drone tempur[30]. Gelombang serangan pertama di malam 13 Juni menghantam fasilitas nuklir utama Iran serta situs rudal. Tiga kompleks program senjata nuklir Iran – termasuk fasilitas pengayaan uranium di Natanz, Fordow, dan Isfahan – diserang oleh Israel[31]. Selain itu, intelijen menunjukkan Israel menghancurkan sekitar 35 fasilitas produksi rudal balistik (SSM), sejumlah bunker penyimpanan rudal, sekitar 70 radar pertahanan udara dan 80 peluncur misil anti-pesawat Iran[15]. Target strategis lain adalah kendaraan peluncur rudal aktif: 200–250 peluncur SSM Iran berhasil dimusnahkan (angka lebih tinggi termasuk decoy)[32]. Israel juga menyasar armada udara Iran, menghancurkan sedikitnya 7 pesawat tempur dan 8 helikopter serang di pangkalan mereka[32]. Bahkan pesawat tanker udara Iran ikut dihantam untuk mengurangi kemampuan serangan jarak jauhnya[33].
Yang tak kalah penting, Israel menggunakan momen serangan untuk membunuh tokoh-tokoh kunci Iran. Di samping korban tewas ratusan prajurit, Israel menargetkan dan menewaskan 30 perwira tinggi militer Iran (termasuk komandan IRGC dan intelijen) serta 13 ilmuwan dan insinyur top dalam program nuklir[34]. Serangan presisi ini dimungkinkan karena integrasi intelijen real-time ke dalam daftar target, seperti telah diuraikan sebelumnya. Total korban di pihak Iran, menurut berbagai laporan, berkisar antara 1.060 hingga 1.190 tewas dan sekitar 4.400 terluka akibat serangan Israel[35]. Kementerian Kesehatan Iran secara resmi mengumumkan 610 orang tewas selama 12 hari serangan (mungkin tidak memasukkan personel militer rahasia), dan 5.332 terluka[36][37].
Dari perspektif hukum dan propaganda, Iran menyebut serangan ini sebagai “agresi tanpa provokasi” yang melanggar kedaulatan. Pejabat Iran menuding serangan Israel melanggar Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) dan Resolusi DK PBB 2231 (yang mengesahkan JCPOA 2015)[38]. Iran juga mengklaim Israel menyerang target sipil, termasuk Rumah Tahanan Evin di Teheran yang menewaskan sejumlah pegawai dan keluarga narapidana[39], serta ambulans Bulan Sabit Merah Iran (4 paramedis dilaporkan tewas)[40]. Israel membantah sengaja menargetkan warga sipil, menegaskan semua sasaran adalah bagian dari kemampuan militer Iran. Dalam hal legalitas internasional, Israel berargumen serangan ini adalah tindakan pre-emptive self-defense terhadap program senjata nuklir Iran yang dianggap mengancam keberlangsungan negara Israel[41]. Dalih ini tentunya tidak diterima Iran dan sekutunya, yang menuntut pertanggungjawaban internasional atas apa yang mereka sebut “war of aggression”[6].
Meskipun Iran mengklaim berhasil menembak jatuh banyak pesawat Israel, data menunjukkan tidak ada jet tempur Israel yang jatuh dalam operasi ini[42]. Hanya maksimal tiga unit drone intai/tempur Israel yang tertembak (itu pun Israel meragukan, karena bisa jadi Iran salah mengira drone kamikaze sekali pakai sebagai RPV yang ditembak)[42]. Keberhasilan Israel menghindari kerugian udara besar disebabkan oleh perencanaan matang: serangan elektronik dan siber telah membutakan radar Iran sejak awal, dan Israel menggunakan taktik pengelabuan serta stealth secara efektif[43]. Selain itu, sebagian besar sistem anti-pesawat Iran dihancurkan di hari-hari pertama (lebih dari 70 baterai SAM dilumpuhkan)[44], membuat langit Iran relatif tak terjaga.
Keterlibatan Amerika Serikat: Operation Midnight Hammer
Amerika Serikat secara resmi terlibat pada 22 Juni 2025 dengan melancarkan Operation Midnight Hammer[45]. Pada tahap ini, sasaran utama adalah fasilitas nuklir bawah tanah Iran yang terlalu dalam untuk dijangkau senjata Israel. Pesawat pembom siluman B-2 Spirit AU AS menjatuhkan Massive Ordnance Penetrators (bom penghancur bunker) di tiga kompleks nuklir: Natanz, Fordow, dan kemungkinan Arak[45][46]. Dilaporkan 16 bom bunker-buster dijatuhkan di dua situs, sementara 75 bom dan misil lainnya menghantam pertahanan udara dan struktur di atas permukaan[45]. Serangan AS ini berhasil menyebabkan kerusakan besar, meskipun tingkat kehancuran fasilitas nuklir masih diperdebatkan. Presiden Trump menyatakan serangan Amerika “menghancurkan total kemampuan Iran memproduksi senjata nuklir” – mengklaim bahwa sentrifugal pengayaan Iran telah dihancurkan[47]. Namun, laporan intelijen AS yang bocor dan analisis pakar independen lebih skeptis: mereka menduga program nuklir Iran tidak sepenuhnya musnah, mungkin hanya mundur 1–2 tahun[48]. Dugaan ini diperkuat dengan informasi awal dari intelijen Eropa yang menyebut stok uranium diperkaya Iran sebagian besar tetap utuh[49]. Pejabat Pentagon (Menhan Pete Hegseth dalam skenario ini) pun menyatakan tidak ada bukti Iran sempat memindahkan uranium tingkat tinggi sebelum diserang[50]. Dengan akses ke lokasi sangat terbatas, penilaian definitif menunggu inspeksi langsung atau foto satelit rahasia; Iran sendiri mengaku terkejut serangan AS “tidak lebih besar” dari yang terjadi, seolah menyiratkan kerusakan yang diderita belum fatal[51].
Meskipun begitu, kolaborasi Israel–AS berhasil menghantam jantung program nuklir Iran. PM Israel Benjamin Netanyahu menyatakan dengan percaya diri bahwa Israel “telah menghancurkan fasilitas vital di Arak, Natanz, dan Isfahan” dan “mengaum keras hingga Tehran bergetar”[46]. Trump pun menyebut sebagai kehormatan besar dapat “menghancurkan fasilitas nuklir Iran, lalu menghentikan perang”[52]. Dari perspektif militer, keberhasilan ini menunjukkan keunggulan teknologi dan koordinasi aliansi. Bagi AS, Operation Midnight Hammer menggarisbawahi bahwa bunker-buster generasi terbaru dapat digunakan secara efektif dan cepat mendukung sekutu, mengirim sinyal kuat bahwa “all options are on the table” terhadap proliferasi nuklir.
AS tidak hanya terlibat dalam serangan ofensif, tetapi juga dalam pertahanan. Amerika mengerahkan sistem anti-rudal canggihnya untuk membantu Israel menghadapi serangan balasan Iran. Selama konflik, sebuah baterai Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) milik AS serta kapal perusak Aegis dikerahkan untuk memperkuat payung pertahanan Israel[53]. Kontribusi ini signifikan mengingat Iran melancarkan ratusan misil. Menurut data Israel, Iran menembakkan sekitar 590 rudal balistik jarak jauh dan 1.050 drone peledak ke arah Israel sebagai balasan[53]. Di samping itu, Israel mengklaim berhasil menghancurkan ~500 rudal dan ~950 drone milik Iran di darat sebelum sempat diluncurkan[54]. Dengan bantuan sistem pertahanan berlapis (Iron Dome, David’s Sling, Arrow, ditambah THAAD AS), Israel mampu mencegat sekitar 90% ancaman udara Iran[55]. Meski demikian, dari ratusan misil Iran, sekitar 35 di antaranya berhasil menghantam area permukiman di Israel dan beberapa mengenai instalasi militer[56][57]. Akibatnya, 30 warga sipil di Israel tewas dan 3.500 luka-luka[58]. Angka serupa dilaporkan Al Jazeera: setidaknya 29 orang di Israel tewas dan lebih dari 3.400 terluka akibat serangan Iran (data Hebrew University)[37]. Kerusakan fisik meliputi sekitar 15.000 rumah hancur atau rusak berat[59], walau instalasi militer nyaris tak terpukul. Adapun korban militer Israel sangat minimal – kurang dari 10 prajurit terluka dan 1 tentara gugur terkena misil Iran[60].
Serangan balasan Iran juga menyasar kepentingan AS meski bersifat terbatas. Pada 22 Juni, Iran menembakkan beberapa rudal ke pangkalan udara Al-Udeid di Qatar (markas besar CENTCOM Maju). Serangan ini tampaknya disengaja “setengah hati”; Iran memberikan peringatan dini ke Qatar sebelum menembak sehingga tidak ada korban di pihak AS[5]. Hal ini dikonfirmasi Presiden Trump yang menyebut Iran sengaja menghindari menimbulkan korban Amerika, agar AS tidak punya dalih melakukan serangan lanjutan yang lebih keras[5]. Dengan kata lain, Iran berusaha menunjukkan perlawanan terhadap AS namun tetap mengendalikan eskalasi.
Dinamika Gencatan Senjata
Atas desakan komunitas internasional, terutama Amerika Serikat, konflik disudahi dengan gencatan senjata pada 24 Juni 2025 setelah 12 hari pertempuran. Presiden Trump memainkan peran krusial dengan memerintahkan Israel menghentikan serangan dan mendorong Iran untuk juga berhenti menembak[61]. Gencatan senjata brokered by US tersebut dimulai pukul 04:00 GMT, Iran setuju menghentikan serangan lebih dulu diikuti Israel 12 jam kemudian[28]. Sempat terjadi insiden pelanggaran di jam-jam awal – Iran menembakkan beberapa misil terakhir menit-menit sebelum tenggat, Israel merespons dengan menghancurkan satu instalasi radar dekat Teheran – tetapi kemudian kedua pihak mematuhi penghentian tembakan[62]. Trump dilaporkan “sangat tidak senang” Israel sempat melanggar jeda dan menelpon Netanyahu agar “segera memulangkan pilot-pilotmu” ke pangkalan[63]. Netanyahu pun segera mengalah pada tuntutan AS tersebut[64]. Sikap tegas Trump ini menunjukkan pengaruh dominan AS dalam mengatur akhir konflik, sejalan dengan perannya dalam memulai intervensi militer.
Setelah gencatan senjata, kedua belah pihak mengklaim kemenangan. Presiden Iran (Masoud Pezeshkian dalam skenario, mungkin pengganti pemimpin sebelumnya) menyatakan berakhirnya “perang 12 hari” ini sebagai “kemenangan total” bagi Iran[65], meski pernyataan ini lebih bersifat propaganda domestik untuk menyelamatkan muka rezim. Ia juga menyampaikan kesiapan Iran meredakan isu-isu dengan AS lewat kerangka internasional (indikasi keinginan menghidupkan kembali diplomasi nuklir)[66]. Sebaliknya, Netanyahu menegaskan Israel telah mencapai semua tujuan – menghancurkan fasilitas nuklir kritis Iran – dan menyebut perang ini “akan dipelajari di seluruh militer dunia” karena keberhasilannya[46].
Kenyataannya, konflik ini berat sebelah dari sudut pandang militer: Israel (dengan sokongan AS) mampu merusak infrastruktur strategis Iran secara signifikan dengan kerugian minimal di pihaknya. Namun, beberapa sasaran Iran – khususnya program nuklir – mungkin hanya tersendat sementara dan bukannya musnah total[47]. Iran masih menyimpan stok uranium diperkaya (sekitar 408 kg uranium 60%) yang berpotensi digunakan bila fasilitas baru kembali dibangun[67]. Bahkan, pasca gencatan senjata, Menlu Iran Abbas Araghchi menegaskan Iran kini kian bertekad mempertahankan program nuklirnya pasca serangan Israel[52]. Dengan kata lain, serangan 2025 justru mendorong Iran melihat program nuklir sebagai jaminan deterensi rezim – “tujuan suci” yang para ilmuwan mereka tebus dengan nyawa dan pengorbanan[68].
Secara keseluruhan, serangan gabungan Israel–AS di Iran merupakan demonstrasi nyata hard power dan koordinasi aliansi dalam skala yang belum pernah terjadi di kawasan sejak perang Irak 2003. Dari perencanaan hingga eksekusi, operasi ini melibatkan integrasi multi-matra: serangan udara presisi, infiltrasi pasukan khusus, perang siber, hingga dukungan logistik dan diplomatik. Keunggulan teknologi militer Israel-AS (pesawat siluman, bom bunker-buster, pertahanan rudal canggih) terbukti mampu menembus anti-access/area denial Iran. Namun, perang ini juga menunjukkan batas-batas kekuatan militer: penghancuran fasilitas nuklir yang tersembunyi jauh di perut bumi ternyata tidak tuntas, dan rudal serta drone sederhana Iran meski sebagian besar tertangkis tetap bisa menimbulkan korban sipil dan kepanikan. Babak ini berakhir tanpa resolusi final – Iran masih berdiri, program nuklirnya terpukul tapi tidak mati, sedangkan Israel telah mengirim pesan tegas soal garis merahnya. Inilah yang melatari perubahan lanskap geopolitik pasca konflik, yang dibahas pada bagian berikut.
Peran Diam-diam Donald Trump dan Strategi Koalisi
Konflik Timur Tengah ini pada 2025 terjadi pada masa awal pemerintahan kedua Donald J. Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Gaya kepemimpinan Trump yang tidak ortodoks dan cenderung transaksional berpengaruh besar dalam dinamika konflik ini. Di satu sisi, Trump tampil sebagai pendukung kuat Israel, meneruskan kebijakan pro-Israel dari periode sebelumnya (2017–2021) seperti memindahkan kedubes AS ke Yerusalem dan mendorong Abraham Accords. Di sisi lain, Trump mencoba menghindari perang AS-Iran berkepanjangan dengan cepat memaksakan gencatan senjata. Perannya terkesan diam-diam karena banyak langkahnya dilakukan di belakang layar dan dikaburkan dengan disinformasi strategis.
Sebelum pecahnya perang terbuka, Trump sudah mengambil langkah penting. Pada awal 2025, Trump dilaporkan memberi ultimatum 60 hari kepada Iran untuk menghentikan seluruh program nuklir dan persenjataan strategisnya, jika tidak “akan diambil paksa”[69]. Ultimatum ini (konon disampaikan pada Maret 2025) bertepatan dengan batas akhir negosiasi JCPOA baru yang diinginkan Trump, namun Iran menolak mentah-mentah tuntutan tersebut[70]. Ketika batas waktu habis pada akhir Mei 2025, Israel mulai meningkatkan serangan ke proxy Iran (Hamas, PIJ, Hizbullah) sebagai tekanan. Menariknya, media sempat memberitakan adanya perselisihan antara Trump dan Netanyahu – konon Trump tidak setuju Israel menyerang Iran secara sepihak. Namun belakangan terungkap bahwa isu keretakan Trump-Netanyahu itu adalah bagian dari rencana pengelabuan (deception)[71]. Faktanya, Trump sepenuhnya green-light serangan Israel. Bahkan sebuah kapal perang AS dilengkapi sistem anti-rudal telah digeser mendekati Israel sebelum konflik untuk membantu pertahanan[71].
Strategi Trump dapat digambarkan sebagai pembentukan koalisi diam-diam. Aliansi utamanya tentu dengan Israel, ditopang hubungan pribadi yang erat dengan Netanyahu. Namun, Trump juga menggalang dukungan atau minimal persetujuan diam-diam dari negara-negara lain:
- Negara Teluk dan Arab moderat: Presiden Trump melibatkan mitra-mitra Arab yang sebelumnya telah menormalisasi hubungan dengan Israel (UEA, Bahrain) serta Saudi Arabia. Meskipun Saudi belum resmi berdamai dengan Israel, ada indikasi koordinasi rahasia. Contohnya, laporan intelijen menyebut mediasi Saudi berhasil meredam potensi konflik lebih luas – misalnya menekan milisi pro-Iran di Irak agar tidak menyerang Israel selama perang Gaza berlangsung[72]. Saudi juga berperan dalam upaya gencatan senjata di Gaza serta pembicaraan pasca-konflik. Diduga, dalam persiapan serangan ke Iran, Israel mendapat clearance terbang melintasi wilayah negara Arab tertentu (seperti koridor di atas Saudi atau Teluk Persia) meski hal ini tidak dikonfirmasi resmi. Dukungan diam-diam Saudi cs bisa jadi diperoleh Trump dengan janji bantuan ekonomi atau konsesi diplomatik (misal, janji peningkatan keamanan kawasan pasca serangan Iran). Yang jelas, tidak ada negara Arab Sunni besar yang aktif membantu Iran saat diserang; ini berbeda dari konflik Israel sebelumnya. Bahkan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Liga Arab, meski mengecam retorika, tampak terpecah dan kurang solid membela Iran/Hamas. Ini mengindikasikan keberhasilan Trump memperluas front anti-Iran secara terselubung, memanfaatkan kepentingan bersama negara-negara Arab dalam melemahkan ambisi regional Iran.
- Koordinasi dengan Eropa: Secara publik, negara-negara Eropa (Inggris, Prancis, Jerman) tidak dilibatkan dalam serangan. Mereka cenderung waspada dan menyerukan diplomasi segera setelah konflik pecah. Namun, ketika gencatan senjata mulai berlaku, para pemimpin Eropa bertemu di sela KTT NATO dan sepakat sudah waktunya “kembali ke diplomasi”[73]. Ini menunjukkan Eropa akhirnya menerima fakta lapangan dan ingin menstabilkan situasi. Ada kemungkinan diplomasi Trump melibatkan memberi tahu sekutu Eropa secara private sebelum serangan agar mereka tidak bereaksi keras. Tercatat, PM Inggris, Presiden Prancis, dan Kanselir Jerman mengeluarkan pernyataan yang relatif moderat (mereka tidak secara langsung mengutuk AS/Israel, hanya menyerukan solusi diplomatik)[73].
- Koalisi Domestik AS: Trump juga harus menangani politik dalam negerinya. Di Washington, serangan terhadap Iran pasti menuai perdebatan. Kelompok hawkish mendukung keras, sementara kubu penentang khawatir memicu perang besar. Trump mengklaim mendapat dukungan cukup untuk tindakannya. Setelah serangan, Trump bahkan menyatakan siap mengulangi aksi jika Iran kembali mencoba nuklir[74]. Meski ada kritik, Trump tampak percaya diri “secara politik mampu melakukannya lagi”[75]. Hal ini tak lepas dari upaya tim Trump mengendalikan narasi domestik: keberhasilan militer diagungkan (disebut menghancurkan “poros kejahatan” dan melindungi sekutu)[76], sementara kritik diserang balik sebagai “berita palsu” atau tidak patriotik. Trump bahkan mengancam media yang membocorkan laporan intelijen soal hasil serangan Iran[77]. Dengan memainkan sentimen nasionalisme dan keberpihakan pada sekutu Israel, Trump mengonsolidasikan dukungan di Kongres maupun publik konservatif.
Selama konflik berlangsung, peran pribadi Trump sebagai mediator akhir juga mencuat. Ketika situasi mendekati garis eskalasi berbahaya (misalnya kemungkinan Iran menyerang aset AS lebih luas atau Israel berniat menghantam Tehran secara menyeluruh), Trump bertindak cepat. Pada 24 Juni, ia menelpon Netanyahu dengan tegas untuk menghentikan serangan, sekaligus mengirim pesan tertutup ke Teheran bahwa AS siap berhenti jika Iran berhenti[63]. Hasilnya, gencatan senjata tercapai dengan skema yang menyelamatkan muka kedua pihak: Iran berhenti duluan (bisa diklaim “inisiatif damai”), Israel setuju jeda (bisa diklaim “atas permintaan sekutu besar”)[28]. Trump menyebut dirinya berperan menghentikan perang, sesuatu yang ia banggakan di media sosialnya[52]. Langkah ini konsisten dengan kecenderungan Trump sebelumnya – misalnya pertemuan dengan Kim Jong-un 2018 – di mana ia suka memposisikan diri sebagai “pembuat perdamaian” setelah unjuk kekuatan.
Adapun strategi koalisi Trump pasca-konflik berlanjut dalam mengelola tatanan baru. Trump memanfaatkan momentum kekalahan Iran untuk menekan pihak lain. Contohnya, ia memperingatkan Houthi di Yaman (sekutu Iran) bahwa serangan mereka ke kapal internasional di Laut Merah akan dihadapi tanpa toleransi, seraya menuntut Iran menghentikan suplai senjata ke Houthi[78]. Trump bahkan mengirim tiga kapal induk tambahan ke Timur Tengah sebagai unjuk kekuatan lanjutan[79]. Ini menegaskan ke sekutu Teluk bahwa Amerika kembali serius menjamin keamanan regional di era Trump 2.0. Bagi Iran, sinyalnya jelas: koalisi AS-Israel (ditambah mitra Arab) siap menekan Iran di berbagai front (nuklir, proxy, ekonomi). Di sisi lain, Trump tetap membuka celah diplomasi: Iran diajak “kembali ke meja perundingan” namun kali ini dari posisi lemah. Pejabat Iran menyambut dengan hati-hati – Presiden Iran menyatakan kesiapan menyelesaikan masalah dengan AS jika sesuai kerangka internasional[66].
Sebuah aspek menarik adalah keterlibatan Qatar. Qatar menjadi tuan rumah pangkalan AS (Al-Udeid) yang sempat diserang Iran. Trump dilaporkan menghubungi Emir Qatar, mengekspresikan penyesalan bahwa Qatar terseret insiden tersebut, yang sebenarnya ditujukan Iran ke AS[80]. Qatar di sini berperan sebagai penyalur pesan antara AS dan Iran – meneruskan sinyal “penyesalan” Iran dan membantu meredakan tensi. Koalisi informal ala Trump memanfaatkan peran mediator regional seperti Qatar dan Oman untuk komunikasi dengan Iran, tanpa melibatkan dialog langsung AS-Iran (karena secara resmi Trump tidak berkomunikasi dengan rezim Iran pasca keluar JCPOA). Hal ini menunjukkan fleksibilitas strategi: di satu sisi menggempur lawan, di sisi lain menjaga kanal diplomasi lewat pihak ketiga.
Secara keseluruhan, Donald Trump berhasil membangun front united yang cukup kuat di belakang Israel dalam konflik ini, sembari mengelola eskalasi agar tidak melebar tak terkendali. Strategi koalisinya meliputi: dukungan militer langsung AS, pengerahan kekuatan sekutu (pertahanan misil, logistik), diplomasi backdoor dengan negara Arab untuk isolasi Iran, pengendalian narasi global, hingga mediasi penutup konflik. Meskipun caranya kontroversial, peran Trump efektif dalam mencapai dua hal: menjamin kemenangan taktis Israel atas Iran dan menghindari perang regional jangka panjang. Bagi Israel, dukungan total AS di era Trump menjadi faktor pembeda yang memungkinkannya bertindak agresif tanpa takut dikekang, berbeda dari periode sebelumnya[81]. Bagi Trump sendiri, keberhasilan ini memperkuat citranya sebagai pemimpin tegas yang setia kawan namun tahu kapan harus menghentikan perang.
Signifikansi Geopolitik dan Tatanan Keamanan Baru
Konflik ini 2025 membawa dampak jangka panjang yang mengubah peta geopolitik Timur Tengah dan tatanan keamanan regional. Jika dianalogikan, perang 12 hari ini adalah sebuah gempa besar yang setelahnya diikuti aftershocks politik dan strategis. Beberapa perubahan utama yang muncul antara lain: pelemahan signifikan poros Iran dan proxy-nya, meningkatnya peran Israel dan koalisinya dalam arsitektur keamanan regional, pergeseran aliansi dan postur negara-negara Arab, serta keterlibatan kekuatan besar global dalam pola baru.
Pelemahan Poros Iran dan Proxy-Proxy-nya
Iran beserta jaringan proxy-nya (Hizbullah di Lebanon, milisi Syiah di Suriah dan Irak, Hamas/PIJ di Palestina, Houthi di Yaman) selama bertahun-tahun membangun apa yang disebut “cincin api” mengelilingi Israel[82]. Perang 2025 menghancurkan sebagian besar cincin tersebut. Hamas di Gaza praktis dihancurkan kapasitas militernya. Israel sejak 2024 telah bertekad mengenyahkan Hamas dari Gaza[83]. Dalam operasi lanjutan setelah gencatan senjata dengan Iran, Israel menuntaskan pembersihan di Gaza: markas Hamas dihancurkan, banyak pemimpinnya tewas atau melarikan diri ke luar negeri, dan kontrol Hamas atas Gaza runtuh. Otoritas Palestina (PA) dengan dukungan Mesir dan internasional mungkin mengambil alih sebagian administrasi Gaza pasca perang, meski situasinya rumit. Bagi Iran, hilangnya Hamas sebagai “pion” di Palestina merupakan pukulan strategis, mengingat Hamas dulu salah satu proxy Sunni yang berhasil mereka rangkul.
Hezbollah di Lebanon mengalami pukulan terberat kedua setelah Iran. Meskipun Hizbullah tidak terjun penuh dalam konflik (karena “belum siap” dan terkejut perang dimulai terlalu cepat)[84], mereka terpaksa terlibat minimal untuk “jaga gengsi”. Israel pun menggunakan peluang ini untuk menghantam Hizbullah di front Lebanon. Menurut analisis pasca perang, Hizbullah tidak hancur total tetapi kekuatannya merosot drastis[85]. Sekitar 3.500 pejuang Hizbullah tewas (dari total ~4.185 warga Lebanon yang tewas, sisanya sipil)[86]. Sebagian besar komandan senior Hizbullah termasuk staf operasional terbunuh[87]. Ribuan lainnya terluka. Gudang senjata rahasia dan pos komando Hizbullah di Lebanon selatan dihancurkan Israel[88]. Bahkan setelah gencatan senjata, Israel tetap melakukan puluhan serangan udara terhadap sisa-sisa personel Hizbullah yang mencoba mengambil peralatan dari bunker, menyelundupkan pasokan baru dari Suriah, atau menyusup kembali ke perbatasan[89]. Hizbullah nyaris tak berdaya membalas – hanya 3–4 serangan kecil dan gagal yang mereka lakukan setelah perang[90]. Indikator lain kelemahan Hizbullah: Israel menuntut perpanjangan waktu penarikan pasukan dari Libanon selatan, pemerintah Lebanon menyetujuinya, Hizbullah mengancam akan menyerang jika Israel tak pergi tetapi ternyata tidak mampu bertindak[91].
Dampak lanjut, situasi domestik Lebanon berbalik. Rival politik Hizbullah di Beirut memanfaatkan kekalahan ini untuk menekan organisasi tersebut menyerahkan senjata dan berhenti memprovokasi Israel[92]. Pemerintah Lebanon pasca perang bahkan berhasil terbentuk tanpa veto Hizbullah – suatu hal tak terbayangkan sebelumnya. Presiden dan kabinet baru Lebanon terpilih tanpa “restu” Hizbullah, meski demi stabilitas kelompok itu tetap diberi 2 pos menteri minor[93]. Isyarat lain: Hizbullah kesulitan finansial pasca perang; mereka menunda pembayaran kompensasi bagi pendukungnya atas kerusakan perang, menandakan likuiditas dana Iran menipis[94]. Upaya Iran mengirim uang tunai lewat penerbangan sipil digagalkan Israel yang melobi agar pesawat Iran dilarang mendarat di Beirut[94]. Ini memicu kerusuhan pendukung Hizbullah di bandara, yang sampai melukai seorang perwira UNIFIL, dan akhirnya militer Lebanon turun tangan membubarkan massa – pertanda pemerintah Lebanon kini berani bersikap tegas terhadap pendukung Hizbullah[95].
Suriah mengalami pergolakan besar dampak tak langsung perang. Rezim Bashar al-Assad, yang bertahan selama perang saudara dengan dukungan Iran dan Hizbullah, justru jatuh beberapa saat setelah Hizbullah terpukul mundur. Kelompok pemberontak di Suriah, melihat sebagian milisi Iran dan Hizbullah ditarik ke Libanon atau kalah, melancarkan serangan besar pada pertengahan 2025. Dalam hitungan hari, rezim Assad tumbang dan digantikan rezim baru berhaluan Sunni radikal[96]. Ini sesuai catatan BESA bahwa “pemberontak memanfaatkan kesuksesan Israel melawan Hizbullah… mereka menggulingkan Assad dalam beberapa hari”[96]. Akibatnya, Iran kehilangan pijakan 100% di Suriah. Semua pangkalan, koridor darat, dan gudang senjata Iran yang dibangun di Suriah selama satu dekade sirna atau jatuh ke tangan rezim baru yang anti-Iran[97]. Pemerintahan baru Suriah sendiri ternyata berideologi Sunni jihadis (terlihat dari laporan tentang tentara rezim baru memakai emblem ISIS[98]). Rezim baru ini sempat menyerang komunitas Druze di selatan Suriah, memicu intervensi terbatas Israel untuk melindungi minoritas Druze (Israel melancarkan serangan udara ke pasukan rezim baru pada Juli 2025 untuk menghentikan pembantaian Druze)[99][100]. Gencatan senjata di Suriah selatan kemudian tercapai dengan ditariknya pasukan rezim baru dari daerah Druze pada 21 Juli[101]. Transformasi di Suriah ini menghadirkan tatanan baru: Iran keluar, namun ancaman baru muncul berupa kekuatan Sunni radikal dekat perbatasan Israel.
Irak juga merasakan dampak. Milisi-milisi Syiah pro-Iran di Irak (Kadang disebut “Hezbollah Irak”) kehilangan semangat juang setelah melihat Iran dipermalukan di rumah sendiri dan Hizbullah Libanon babak belur[102]. Sejumlah laporan menyebut milisi Irak sepakat menahan diri tidak menyerang Israel selama konflik, apalagi setelah ada tekanan dari AS dan contoh bahwa serangan mereka sebelumnya tidak efektif (sejak Oktober 2023, milisi Irak menembakkan >300 rudal/drone ke Israel, menewaskan 2 orang saja)[103]. Pasca perang, beberapa kelompok milisi Irak bahkan mulai bernegosiasi dengan pemerintah Baghdad untuk “kembali ke pangkuan nasional”, artinya melepaskan identitas sebagai lengan Iran dan lebih loyal ke negara[104]. Ini perkembangan penting di Irak: dominasi Iran atas faksi Syiah Irak goyah, membuka peluang Irak lebih independen. Seorang pejabat Irak bahkan mengungkap bahwa Israel sempat berencana menyerang basis milisi di Irak namun dicegah AS, dengan imbalan milisi setuju menghentikan serangan ke Israel[105]. Jadi, secara de facto, konflik ini membuat garis merah baru: milisi Irak menahan aksi terhadap Israel untuk menghindari pembalasan langsung.
Di Yaman, perang terus berlanjut antara Houthi dan koalisi Saudi-UAE, tetapi Houthi menjadi lebih berani setelah melihat Iran melawan Israel. Houthi melontarkan retorika bahwa perang Iran melawan Israel juga perang melawan Barat pendukung “agresor”[106]. Mereka bahkan berhasil menenggelamkan dua kapal di Laut Merah (kapal kargo Yunani dan satu lainnya) selama konflik Gaza–Iran, menunjukkan kemampuan anti-kapal mereka[107][108]. Akan tetapi, segera setelah itu, Trump mengumumkan serangan akan terus dilancarkan terhadap Houthi hingga mereka “dimusnahkan”, sambil memperingatkan Iran agar berhenti menyuplai Houthi[109]. Pernyataan keras ini diikuti oleh pengerahan tambahan kapal induk AS ke wilayah Yaman[79]. Tekanan AS meningkatkan keyakinan koalisi Saudi untuk menggempur Houthi. Dengan demikian, Houthi menghadapi prospek isolasi jika Iran melemah. Namun, Houthi juga meraih keuntungan propaganda domestik dengan mengaku berdiri melawan AS-Israel, yang bisa meningkatkan dukungan internal. Secara strategis, Yaman tetap bergejolak, tetapi Iran kini dihadapkan pada keterbatasan bantuan ke Houthi karena jalur udara tertutup dan laut diawasi ketat pasca perang[78].
Iran sendiri mengalami penurunan pamor dan kapasitas regional. Supreme Leader Ayatollah Ali Khamenei sempat tidak muncul selama konflik, memicu spekulasi kesehatannya[110]. Ketika akhirnya tampil, posisinya diguncang kritik internal. Iran mengalami tiga penghinaan besar: (1) Haniyeh, sekutu Palestina mereka, dibunuh di jantung Teheran[16]; (2) sistem pertahanan udara mereka terbukti tembus dan bahkan salah satu baterai andalan di fasilitas nuklir berhasil dihancurkan Israel tanpa perlawanan berarti[111]; (3) pabrik rudal utama di dekat Teheran hancur, menunjukkan kelemahan pertahanan ibu kota dan mengancam pusat kekuasaan[112]. Ketiganya memberi pesan bahwa Iran rapuh terhadap jangkauan Israel. Walau Iran masih punya kapasitas mengganggu tetangganya (melalui rudal dan proxy yang tersisa), batas kemampuan itu sekarang tersingkap dan Iran jelas-jelas lemah dibandingkan koalisi Israel-AS[113]. Rezim Teheran harus kembali “ke papan gambar” untuk merumuskan ulang strategi dan program militernya[114]. Salah satu opsi yang kemungkinan diambil Iran adalah mempercepat pengembangan senjata nuklir – kini bukan lagi sebagai alat ekspansi regional, melainkan untuk deterrence menjaga kelangsungan rezim[115]. Paradoksnya, serangan 2025 membuat Iran kian merasa membutuhkan senjata nuklir untuk mencegah serangan serupa di masa depan.
Meningkatnya Peran Koalisi Israel–AS dan Perubahan Aliansi Regional
Jika dapat dikatakan sebagai dominasi Israel dengan dukungan AS menciptakan tatanan keamanan baru di Timur Tengah yang lebih berpihak pada blok Israel-AS dan sekutu Arabnya. Israel muncul dari konflik ini dengan status yang lebih kuat baik secara militer maupun diplomatik di kawasan. Beberapa implikasi:
- Deterrence Israel Pulih: Sebelum perang, sebagian musuh Israel (khususnya Hamas dan mungkin Iran) menganggap Israel melemah, terbukti dari keberhasilan serangan Hamas 2023. Namun pasca perang 2025, Israel kembali menunjukkan deterrence superior. Hizbullah, yang biasanya vokal, praktis bungkam dan tak beraksi meski Israel melakukan puluhan serangan udara di Lebanon pasca gencatan senjata[89]. Ancaman Hizbullah untuk menyerang lagi kosong belaka[116]. Hal ini menandakan Israel berhasil memulihkan efek gentarnya (restore the deterrence) terhadap lawan-lawannya. Negara-negara seperti Suriah dan Irak pun kini lebih berhati-hati. Contoh, ada laporan Ketua Parlemen Irak mengaku Israel berniat menggempur milisi di Irak namun dicegah AS, dengan syarat milisi menghentikan serangan[105]. Artinya, hanya jaminan AS yang dapat menahan Israel – Israel sendiri siap bertindak jauh melampaui perbatasannya jika merasa perlu.
- Koalisi Keamanan de facto: Israel, AS, dan sekutu Sunni moderat kini makin terkoordinasi. Meskipun belum ada aliansi pertahanan resmi, praktiknya kerja sama militer dan intelijen intens terjadi. Israel mungkin akan terlibat lebih aktif melindungi kepentingan mitra Arab dari milisi pro-Iran. Sebagai contoh, setelah rezim baru Sunni radikal berkuasa di Suriah utara, Israel bekerjasama dengan komunitas Druze lokal dan mungkin dengan Yordania untuk mencegah meluasnya pengaruh ekstremis[117][118]. Sementara di Teluk, penempatan baterai THAAD AS selama konflik, dan potensi kehadiran permanen sistem pertahanan AS di Israel serta negara Teluk, menciptakan payung pertahanan kolektif anti-Iran. War on the Rocks menekankan pentingnya “jangan bertempur sendirian” – aliansi AS-Israel terbukti krusial dalam keberhasilan strategis perang 2025[119]. Amerika menunjukkan komitmen cepat dengan global strike capability-nya, dan integrasi kemampuan (misal, interoperabilitas sistem pertahanan udara) sangat membantu Israel[120]. Ini mengirim sinyal kuat ke lawan maupun kawan: AS dan Israel bersatu padu, sehingga menyerang Israel berarti berhadapan dengan AS. Bagi negara Arab seperti Saudi, hal ini bisa meyakinkan mereka untuk lebih terbuka berkoalisi dengan Israel menghadapi ancaman Iran, karena payung AS menaungi. Indikasi ke arah itu misalnya wacana normalisasi Israel-Saudi kembali muncul pasca konflik, dengan syarat-syarat tertentu (yang sebelum perang sempat mandek karena isu Palestina).
- Perubahan Sikap Negara Arab: Konflik 2025 juga menjadi ujian sikap negara Muslim terhadap Israel. Hasilnya kompleks: di tingkat retorika publik, banyak negara mengutuk Israel atas korban sipil di Gaza dan serangan ke Iran, namun di balik layar mereka senang Iran dilemahkan. Al Jazeera – yang mencerminkan pandangan dunia Arab – terus menyoroti tingginya korban di Gaza (disebut hampir 60 ribu tewas)[121] dan menyebut serangan Israel-AS “tidak sah”. Tetapi reaksi pemerintah Arab relatif terbatas pada pernyataan. Misalnya, Mesir dan Yordania (yang berbatasan dengan Israel/Gaza) fokus mencegah limpahan krisis pengungsi dan menjaga stabilitas, tanpa memutus hubungan damai dengan Israel. Arab Saudi, yang biasanya vokal dalam isu Palestina, kali ini lebih berperan sebagai mediator (misal membantu nego gencatan senjata Gaza) ketimbang provokator. Bahkan Iran menyesalkan serangannya ke pangkalan AS di Qatar – karena Qatar negara sahabat – yang menandakan Iran tak ingin memantik blok Sunni Teluk secara langsung[80]. Selepas perang, blok Saudi-UAE-dkk mungkin merasa posisi tawar Iran turun, sehingga mereka punya ruang lebih untuk menekan Iran (contoh: Saudi bisa bersikap lebih keras di Yaman dengan restu AS).
- Keterlibatan Kekuatan Besar Global: Perang ini juga memaksa kekuatan besar lain mengambil posisi. Tiongkok secara resmi mengecam serangan AS ke Iran dan menyuarakan dukungan agar Iran mendapatkan gencatan senjata “yang tulus”[122]. China mengkritik pelanggaran kedaulatan Iran oleh AS, konsisten dengan prinsip non-intervensi, dan tentu demi melindungi mitra dagang dan sumber energinya (Iran). Rusia kemungkinan juga mengecam, meski perhatian Rusia masih di perang Ukraina. Kedua negara tersebut, bersama mitra BRICS, bahkan menginisiasi kecaman kolektif di KTT BRICS+ di Rio, menyebut serangan 13 Juni 2025 sebagai pelanggaran hukum internasional[8]. BRICS menyatakan keprihatinan serius atas serangan terhadap infrastruktur sipil dan fasilitas nuklir damai Iran[123]. Ini kemenangan diplomatik bagi Iran – akhirnya ada forum multilateral yang berpihak padanya[124]. Meski tidak menyebut nama AS/Israel, deklarasi BRICS adalah sinyal pergeseran: muncul potensi blok non-Barat (China/Rusia + negara Selatan) yang siap mengecam aksi militer Barat di kawasan mereka. Eropa, seperti diuraikan, mengambil sikap hati-hati: mendukung diplomasi dan sedikit menegur Israel saat ada pelanggaran (contoh: banyak politisi Barat mengecam Israel “mengintervensi urusan internal Suriah” ketika Israel membela Druze, karena mereka enggan mengakui rezim baru Suriah berbasis ekstremis[125]). Namun Eropa tidak menjatuhkan sanksi apa pun ke Israel atau AS, menunjukkan keterbatasan pengaruh. Persatuan Eropa juga tampak tidak solid – beberapa negara Eropa Timur mendukung penuh langkah Israel/AS, sedang Eropa Barat lebih kritis. Amerika melalui Trump tampaknya tak terlalu peduli kecaman Eropa, selama dukungan domestik dan sekutu inti didapat.
Pada akhirnya, pasca konflik ini, tatanan keamanan baru terbentuk dengan ciri: Israel menjadi kekuatan militer paling dominan di kawasan secara terbuka, didukung aliansi efektif dengan AS dan (secara diam-diam) dengan Arab Sunni; Poros perlawanan Iran terpukul mundur jauh, membutuhkan waktu lama untuk pulih (Hizbullah berpotensi tak akan pernah kembali sekuat dulu karena terisolasi[126]); dan ruang bagi solusi diplomatik atas isu nuklir Iran mungkin terbuka kembali tetapi dengan parameter baru (Iran mungkin bersedia bicara karena terdesak, namun dengan kecurigaan lebih tinggi). Keberanian Israel melakukan serangan pre-emptive jarak jauh juga menjadi preseden strategis. Negara-negara lain di kawasan maupun dunia mencatat bahwa pencegahan proliferasi nuklir dengan kekuatan militer bukan lagi monopoli AS semata – sekutu AS pun (dalam hal ini Israel) bisa melakukannya dengan dukungan. Ini dapat mempengaruhi perilaku negara aspirant nuklir lain, misalnya Korea Utara atau kelompok extremist, meskipun konteks berbeda.
Tatanan baru ini masih rapuh dan akan terus diuji. Apakah Iran akan memilih jalan pintas membalas dendam melalui terorisme global? Apakah transisi kekuasaan di Suriah dan guncangan di Iran akan melahirkan instabilitas lebih besar (misal, perang saudara Iran)? Bagaimana sikap Turki – pemain besar regional lain – terhadap konstelasi baru ini? (Catatan: Turki mengkritik Israel keras di forum internasional, namun juga punya konflik dengan Iran di Suriah). Semua pertanyaan ini menggambarkan bahwa meski perang berhenti, diplomasi dan manuver keamanan baru dimulai di Timur Tengah. Yang jelas, tahun 2025 mencatat titik balik dimana keseimbangan kekuatan bergeser menahan laju Iran dan mengukuhkan aliansi Israel-AS-Arab sebagai penentu utama keamanan regional.
Pembelajaran Strategis bagi Indonesia
Bagi Indonesia, konflik Gaza–Iran 2025 menawarkan berbagai pelajaran strategis yang berharga di bidang keamanan nasional dan politik luar negeri. Meskipun konteks geografis dan karakter ancaman Indonesia berbeda, dinamika perang modern yang ditunjukkan konflik ini relevan untuk pengembangan strategi pertahanan Indonesia. Berikut adalah beberapa pembelajaran kunci di aspek intelijen, diplomasi, kontra-propaganda, dan pertahanan siber:
- Pentingnya Keunggulan Intelijen dan Operasi Khusus: Konflik 2025 menegaskan kembali bahwa intelijen yang unggul bisa menjadi game changer. Israel melalui Mossad dan satuan intelijen militernya mampu mengungkap rencana musuh, menghancurkan kemampuan lawan dari dalam, dan mencegah serangan balasan efektif[9][16]. Bagi Indonesia, ini menekankan perlunya memperkuat kapasitas intelijen strategis baik di dalam negeri maupun regional. Intelijen Indonesia (BIN, BAIS TNI, dan lain-lain) harus ditingkatkan kemampuannya dalam hal pengintaian, deteksi dini ancaman asimetris, infiltrasi jaringan teroris/separatis, dan kontra-intelijen. Selain itu, kemampuan operasi khusus yang terpadu dengan intelijen sangat diperlukan. Israel berhasil karena operasi Mossad dan pasukan khususnya berjalan sinergis – dari penyusupan, penentuan target, hingga eksekusi. TNI melalui satuan elite (Kopassus, Denjaka, Kopaska, Sat Bravo, dll.) dapat mengambil contoh integrasi ini. Misalnya, bila Indonesia menghadapi ancaman teroris berskala besar atau potensi konflik terbatas, pengumpulan intelijen jauh hari dan pre-emptive strike terukur dapat mencegah eskalasi. Dalam skala lebih luas, intelijen strategis juga membantu diplomasi: mengetahui niat dan kemampuan pihak lain memungkinkan Indonesia menyusun langkah diplomatik preventif atau aliansi yang tepat sebelum krisis terjadi.
- Diplomasi Proaktif dan Koalisi: Konflik ini memperlihatkan nilai diplomasi yang lincah dan pembentukan koalisi dalam mencapai tujuan strategis. Donald Trump berhasil menggalang koalisi informal untuk mendukung aksi Israel, sekaligus memediasi penghentian perang sebelum meluas[63][119]. Bagi Indonesia, yang menganut politik luar negeri bebas-aktif, pelajarannya adalah selalu penting membangun jaringan pertemanan internasional seluas mungkin untuk mendukung kepentingan nasional. Ini tidak berarti Indonesia harus bersekutu secara formal (Indonesia bukan anggota aliansi militer mana pun), tetapi memiliki kemitraan strategis dengan berbagai negara akan sangat berguna di masa krisis. Misalnya, dalam menghadapi isu Laut Cina Selatan atau ancaman kedaulatan, diplomasi kooperatif dengan negara-negara ASEAN, QUAD, dan kekuatan besar perlu terus diasah agar Indonesia tidak sendirian. Selain itu, diplomasi juga merupakan alat utama de-eskalasi konflik. Trump mampu menekan Israel dan Iran untuk gencatan senjata karena wibawa diplomatik AS terhadap kedua pihak[62]. Indonesia, yang kerap dipercaya sebagai mediator (contoh: konflik Afghanistan, sengketa Moro di Filipina), harus mempertahankan reputasi ini. Dengan memainkan peran penengah yang jujur (honest broker), Indonesia bisa ikut mencegah konflik regional meluas yang dapat berdampak padanya (misal, ketegangan Iran-AS di Selat Hormuz bisa mengganggu jalur minyak Indonesia). Menghidupkan forum multilateral (PBB, OKI, Gerakan Non-Blok) secara konstruktif juga bagian dari diplomasi proaktif. Dalam konflik 2025, OKI dan PBB kurang efektif karena polarisasi, tetapi BRICS muncul mengecam agresi Israel-AS[8]. Indonesia perlu jeli memanfaatkan forum-forum tersebut sesuai kepentingan – misalnya, mendorong resolusi damai atas konflik agar tidak berlarut dan memicu radikalisasi di dunia Islam yang bisa merembet ke Indonesia.
- Pengelolaan Narasi dan Kontra-Propaganda: Era peperangan modern tak lepas dari perang informasi. Konflik 2025 penuh dengan propaganda, misinformasi, dan perebutan opini publik. Hamas dan Iran menggunakan media internasional untuk menonjolkan narasi korban sipil dan agresi ilegal[6], sementara Israel berupaya membantah dan menunjukkan bahwa musuh memalsukan berita (contohnya klaim “genosida” atau “kelaparan massal” di Gaza yang ternyata banyak dibesar-besarkan[127]). Pelajaran bagi Indonesia: mengendalikan narasi di ruang publik sama pentingnya dengan operasi militer di lapangan. Indonesia harus meningkatkan kemampuan strategic communication dan information operations. Hal ini mencakup kesiapan menghadapi propaganda pihak lawan (misal dalam kasus konflik perbatasan atau gangguan kedaulatan, lawan mungkin menyebar disinformasi untuk membenarkan tindakannya). Pemerintah dan TNI harus sigap memberikan informasi akurat, fakta yang terverifikasi, dan klarifikasi cepat untuk mencegah hoaks menyebar. Pengalaman Israel menunjukkan keterlambatan atau kelalaian informasi dapat mencoreng legitimasi operasi: misalnya, ketika sebuah gereja di Tepi Barat dikabarkan dibakar oleh pemukim Israel, media dunia langsung menyebarkan sebelum fakta terungkap bahwa berita itu palsu[128]. Israel merasa dirugikan secara citra akibat berita bohong yang telanjur viral. Indonesia harus belajar dari sini agar selalu satu langkah di depan propaganda lawan. Selain itu, Indonesia perlu menyiapkan juru bicara dan diplomat yang mampu membawa narasi Indonesia di forum global secara persuasif. Seandainya Indonesia terlibat situasi konflik (katakan di forum PBB terkait Papua atau lainnya), diplomasi publik yang efektif diperlukan untuk meraih dukungan internasional dan menangkis tuduhan tidak berdasar dari lawan. Penggunaan media sosial juga tak bisa diabaikan – militer Israel aktif di Twitter/Telegram untuk mempublikasikan pencapaiannya dan membantah klaim musuh secara real-time. Institusi Indonesia pun sebaiknya memiliki kehadiran digital yang kuat dan kredibel.
Dalam konteks kontra-propaganda domestik, konflik Gaza–Iran juga memperingatkan Indonesia akan dampak narasi ekstremis. Propaganda Hamas tentang “jihad melawan Zionis” dan propaganda Iran tentang “perlawanan terhadap imperialis” bisa mempengaruhi kelompok radikal di Indonesia. Memang Indonesia jauh dari medan perang itu, tapi simpati ideologis bisa menyalakan teror lone-wolf atau ketegangan sektarian. Maka, aparat keamanan dan tokoh masyarakat di Indonesia perlu sigap menangkal ideologi kekerasan yang mungkin mendapat angin dari konflik luar. Narasi damai, penegasan bahwa konflik luar tidak membenarkan aksi ekstrem di dalam negeri, perlu disebarluaskan.
- Ketangguhan dan Kapabilitas Pertahanan Siber: Perang 2025 menegaskan perang siber sebagai dimensi krusial dalam konflik. Israel membuka serangan dengan melumpuhkan sistem siber Iran, dan selama perang kedua belah pihak melancarkan serangan siber bolak-balik[19][129]. Israel relatif aman dari gangguan serius karena proteksi sibernya kuat, sementara Iran menderita kerugian (bank diretas, infrastruktur lumpuh) karena diserang aktor siber canggih[22]. Bagi Indonesia, yang transformasi digitalnya pesat, pertahanan siber sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari pertahanan negara. Indonesia harus berinvestasi besar dalam sistem keamanan siber untuk melindungi infrastruktur vital: jaringan listrik, telekomunikasi, finansial, transportasi, dan instalasi militer. Times of Israel mencatat bahwa meski Israel tergolong negara cyber-power, masih ada celah terutama di sektor sipil yang kurang terlindungi[130]. Ini pelajaran bahwa public-private partnership di bidang cybersecurity mutlak perlu. Indonesia harus mendorong kerjasama pemerintah, BUMN, dan swasta untuk menetapkan standar keamanan siber tinggi. Simulasi serangan siber perlu rutin dilakukan (cyber drill) agar kesiapan meningkat.
Selain pertahanan, Indonesia juga sebaiknya mengembangkan kemampuan serangan siber (offensive cyber) yang terukur. Bukan untuk agresi, tapi sebagai deterrent dan jika perlu melumpuhkan ancaman. Israel berhasil menghambat Iran antara lain dengan membajak sistem radar dan komunikasi militernya di saat genting[131]. Unit siber Indonesia (seperti di BSSN atau satuan siber TNI) bisa mempelajari taktik ini. Dalam konflik berskala terbatas, misal operasi penegakan kedaulatan, cyber attack terhadap sistem komando lawan bisa mengurangi korban dan mempercepat penyelesaian. Namun, harus diingat bahwa serangan siber juga bisa memicu collateral damage dan eskalasi, sehingga penggunaannya harus melalui pertimbangan strategis dan aturan ketat (cyber rules of engagement).
Konflik 2025 juga memperlihatkan bahwa ancaman siber sering datang dalam bentuk campuran: hacktivism, disinformasi, dan spionase. Di Indonesia pun, ancaman ini nyata – kita pernah melihat situs pemerintah diretas, penyebaran hoaks terkoordinasi jelang pemilu, dsb. Oleh karena itu, pertahanan siber perlu mencakup: cybersecurity teknis, threat intelligence (mendeteksi dini rencana serangan), dan digital literacy untuk masyarakat agar tidak mudah tertipu informasi palsu.
- Kesiapsiagaan Pertahanan dan Perlindungan Sipil: Satu lagi pembelajaran yang dapat diambil adalah pentingnya kesiapsiagaan komprehensif menghadapi skenario terburuk. Israel memiliki sistem peringatan serangan dan bunker sipil yang mumpuni; saat ribuan rudal Iran datang, warga Israel sigap ke shelter sehingga korban sipil relatif kecil dibanding intensitas serangan[132]. Sementara di Gaza atau Libanon, populasi sipil sangat rentan karena tiadanya perlindungan memadai dan karena digunakan sebagai tameng oleh kelompok bersenjata. Indonesia mesti memastikan bahwa pertahanan sipil (civil defense) mendapat perhatian serius. Mitigasi bencana perang, evakuasi penduduk, stok logistik darurat, hingga sistem bunker atau shelter di kota strategis, sebaiknya direncanakan meski Indonesia damai. Pandemi COVID-19 sudah menguji ketahanan nasional non-militer; ancaman perang modern pun bisa datang tiba-tiba (misal konflik maritim di Natuna). Belajar dari Israel, latihan evakuasi dan simulasi serangan perlu dilakukan untuk membangun budaya tanggap darurat.
- Kebijakan Teknologi Pertahanan: Perang 2025 menampilkan penggunaan persenjataan canggih: drone, rudal balistik, sistem anti-udara berlapis, bom bunker-buster, dsb. Bagi Indonesia, ini sinyal agar terus mengembangkan dan memperoleh teknologi pertahanan modern. Program kemandirian alutsista perlu diarahkan ke teknologi force multiplier seperti drone tempur, rudal anti-udara jarak menengah/jauh, radar canggih, hingga early warning system. Keunggulan teknologi bukan jaminan menang (bukti: Iran dengan rudal sederhana pun masih bisa melukai Israel), tetapi tanpa teknologi unggul, pertahanan akan jebol dihadapan musuh yang lebih maju. Konflik tersebut juga menunjukkan kolaborasi teknologi dengan sekutu (Israel dapat feed satelit AS, dukungan AI targeting, intelijen sinyal bersama[133]). Indonesia bisa meningkatkan kerjasama pertahanan dengan negara maju untuk transfer teknologi dan peningkatan kapasitas, sembari tetap menjaga prinsip non-blok.
- Komitmen Kemanusiaan dan Hukum Perang: Terakhir, Indonesia dapat mengambil hikmah akan pentingnya memegang teguh nilai kemanusiaan dan hukum humaniter internasional. Konflik Gaza–Iran mengakibatkan korban sipil sangat besar di Gaza dan kerusakan infrastruktur luas. Dalam perang, menjaga moral high ground dengan meminimalkan dampak ke warga sipil adalah tantangan. Indonesia, jika terlibat konflik bersenjata, harus memastikan pasukannya disiplin dalam aturan ROE (Rules of Engagement) dan hukum perang. Ini bukan sekadar moral namun juga strategis: pelanggaran HAM bisa mengisolasi kita secara internasional. Pengalaman Israel, meski menang militer, menghadapi gugatan global atas aksi mereka di Gaza yang dianggap berlebihan. Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung hak asasi tentu harus lebih baik. Menyusun prosedur operasional yang sesuai hukum perang, melatih prajurit tentang law of armed conflict, dan transparan dalam investigasi insiden, adalah hal-hal yang perlu ditegakkan.
Pada akhirnya, konflik Gaza–Iran 2025 mengingatkan kita bahwa karakter peperangan abad ke-21 semakin kompleks: asimetris, multi-domain, dan berkelindan dengan politik global. Indonesia harus belajar dari konflik ini untuk memperkuat ketahanan nasional secara holistik – mulai dari kecerdasan intelijen, kemahiran diplomasi, keunggulan militer, hingga resiliensi masyarakat dan infrastruktur. Dengan demikian, Indonesia dapat menghadapi berbagai skenario ancaman di masa depan secara tenang, terukur, dan efektif, sembari tetap menjunjung prinsip perdamaian dan keadilan internasional sesuai amanat konstitusi.
Penutup
Konflik Timur Tengah tahun 2025 merupakan peristiwa luar biasa yang memadukan perang konvensional antar-negara dengan perang asimetris melawan aktor non-negara, dalam lanskap geopolitik yang kompleks. Dari pembahasan di atas, terlihat jelas bahwa Hegemoni Israel dan Amerika Serikat atas Hamas dan Iran bukan semata hasil keunggulan militer, tetapi buah dari strategi terpadu lintas sektor: dominasi intelijen (Mossad dan lainnya)[30][13], penyerangan presisi melalui aliansi (Israel–AS)[45][119], pengendalian narasi di panggung internasional, serta inovasi di domain siber dan informasi[19][22]. Donald Trump, dengan gaya diplomasinya, memainkan peran sentral dalam membentuk koalisi dan mengarahkan akhir konflik sesuai kepentingan sekutunya[63][71].
Bagi kawasan Timur Tengah, konflik ini mengantarkan pada tatanan keamanan baru: Iran dan proxy-proxynya mundur tertekan, sementara blok Israel–AS dan mitra Arabnya mengisi kekosongan dengan kekuatan yang lebih dominan. Namun, perdamaian yang tercipta masih rapuh dan bersifat negatif (ketiadaan perang terbuka) ketimbang perdamaian positif yang berkelanjutan. Tugas diplomasi global selanjutnya adalah mencegah siklus kekerasan berulang, misalnya melalui perjanjian pembatasan senjata atau integrasi politik bagi Gaza pasca-Hamas.
Bagi Indonesia, refleksi strategis dari konflik ini sangat penting. Intelijen yang unggul, diplomasi aktif dan luwes, kontrol informasi, serta pertahanan siber dan militer yang tangguh adalah pilar-pilar yang perlu terus diperkuat. Indonesia dapat memetik pelajaran tentang pentingnya kewaspadaan dini terhadap ancaman (baik konvensional maupun non-konvensional), betapa berharganya dukungan internasional dan jejaring aliansi dalam situasi krisis, serta perlunya persatuan nasional dalam menghadapi perang informasi dan propaganda. Konflik tersebut juga menegaskan nilai dasar yang dipegang Indonesia: penyelesaian damai sengketa internasional. Meski realitas kadang memaksa penggunaan kekuatan, jalur diplomasi harus selalu diupayakan hingga batas maksimal.
Sebagai penutup, esai ini menegaskan bahwa di era geostrategis kontemporer, strategi yang komprehensif dan adaptif menjadi kunci mempertahankan kedaulatan dan perdamaian. Konflik Gaza–Iran 2025 menunjukkan contoh konkret bagaimana perpaduan strategi militer-intelijen-diplomasi menentukan hasil perang. Indonesia, dengan prinsip bebas-aktif dan visi Pertahanan Rakyat Semesta, diharapkan mampu mengaktualisasikan pembelajaran ini ke dalam kebijakan nyata, sehingga siap menghadapi tantangan keamanan regional maupun global di masa mendatang. Dengan demikian, Indonesia dapat berperan konstruktif dalam menjaga perdamaian dunia seperti diamanatkan UUD 1945, sekaligus memastikan kepentingan nasional dan keselamatan rakyatnya selalu terjaga.
Daftar Pustaka
Al Jazeera. (2025, June 24). US-Israel-Iran conflict: List of key events, June 24, 2025. Al Jazeera News. [134][135]
Al Jazeera. (2025, July 6). Iran demands accountability for Israel and US after ‘war of aggression’. Al Jazeera News. [36][7]
Hecht, E. (2025, July 30). The Gaza Terror Offensive (21 June – 28 July 2025). BESA Center Perspectives Paper No. 2,215. [30][15]
Jerusalem Post. (2025, July 13). Live Updates: Missile impact at Gaza aid site causes civilian casualties. The Jerusalem Post. [1][3]
Keinon, H. (2025, June 22). Trump’s Iran strike: The day America thought like Israel – analysis. The Jerusalem Post. [71][69]
Times of Israel (Vicens, A.J. & Satter, R.). (2025, June 27). Iran’s cyber threat largely fizzled much like its military during Israeli and US strikes. The Times of Israel. [23][22]
War on the Rocks. (2025, July). Lessons Observed from the War Between Israel and Iran. War on the Rocks. [55][47]
WOTR (War on the Rocks) – excerpts via Defense-ua, Radware, etc. – [Referensi tambahan analisis strategi dan teknologi perang 2025][19][119]
(Catatan: Semua sumber di atas merupakan laporan, analisis, dan pemberitaan kredibel yang mencakup sudut pandang beragam terkait konflik Gaza–Iran 2025. Sumber dikutip sesuai konteks pemaparan dan mengikuti gaya APA/Chicago.)
[1] [3] [107] [108] Live Updates: Missile impact at Gaza aid site causes civilian casualties | The Jerusalem Post
https://www.jpost.com/israel-news/defense-news/2025-07-13/live-updates-860797
[2] [5] [10] [11] [13] [14] [15] [16] [18] [20] [21] [30] [32] [33] [34] [35] [42] [45] [53] [54] [56] [57] [58] [59] [61] [67] [69] [70] [71] [72] [74] [75] [78] [79] [81] [82] [83] [84] [85] [86] [87] [88] [89] [90] [91] [92] [93] [94] [95] [96] [97] [98] [99] [100] [101] [102] [103] [104] [105] [109] [111] [112] [113] [114] [115] [116] [117] [118] [125] [126] [127] [128] The Gaza Terror Offensive.docx
file://file-YHcdwTnLNiWtPpqAiW5DEi
[4] [28] [29] [39] [40] [46] [52] [60] [62] [63] [64] [65] [66] [68] [73] [80] [106] [122] [134] [135] US-Israel-Iran conflict: List of key events, June 24, 2025 | News | Al Jazeera
https://www.aljazeera.com/news/2025/6/24/us-israel-iran-conflict-list-of-key-events-june-24-2025
[6] [7] [8] [31] [36] [37] [38] [41] [110] [123] [124] Iran demands accountability for Israel and US after ‘war of aggression’ | News | Al Jazeera
[9] [12] [17] [19] [25] [27] [43] [44] [47] [48] [49] [50] [51] [55] [119] [120] [129] [130] [131] [132] [133] Lessons Observed from the War Between Israel and Iran – War on the Rocks
https://warontherocks.com/2025/07/lessons-observed-from-the-war-between-israel-and-iran/
[22] [23] [24] Iran’s cyber threat largely fizzled much like its military during Israeli and US strikes | The Times of Israel
[26] Trump’s strikes on Iran follow the Begin Doctrine | The Jerusalem Post
https://www.jpost.com/israel-news/article-858553
[76] Trump’s Iran strike shatters axis of evil, proving US will defend Israel
https://www.jpost.com/israel-news/defense-news/article-858499
[77] Trump threatens to sue NY Times and CNN over Iran nuclear strikes …
[121] Israel-Iran conflict: List of key events, June 21, 2025 – Al Jazeera
https://www.aljazeera.com/news/2025/6/21/israel-iran-conflict-list-of-key-events-june-21-2025