MENAKAR ULANG ARAH STRATEGIS ACEH: POLITIK ANGGARAN, KEPEMIMPINAN FISKAL, DAN TRANSFORMASI POST-OTSUS

Daftar Isi

PENDAHULUAN

Anggaran bukan sekadar neraca fiskal; ia adalah ekspresi politik yang paling nyata dalam kehidupan publik. Di Aceh, makna anggaran jauh melampaui hitungan angka dan laporan keuangan. Setiap angka dalam APBA membawa warisan sejarah panjang otonomi, jejak konflik dan rekonsiliasi, serta harapan sosial-ekonomi rakyat yang belum sepenuhnya terpenuhi. Dalam konteks Aceh, anggaran adalah palimpsest yang menampung tumpukan makna: dari luka lama konflik bersenjata, janji perdamaian Helsinki, hingga dinamika kekuasaan pasca-Otsus.

Tahun Anggaran 2024 dan penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2025–2029 hadir di tengah pergulatan besar antara kenyataan dan klaim, antara statistik makro dan keluhan mikro rakyat, antara keberhasilan formal dan kegagalan substantif. Realitas kemiskinan ekstrem yang tetap tinggi di perdesaan, ketimpangan pembangunan antarwilayah, stagnasi belanja modal yang tidak mampu mengungkit sektor produktif, serta semakin menyempitnya ruang fiskal pasca menurunnya Dana Otonomi Khusus, semua menyatu dalam pertarungan interpretasi di forum legislatif Aceh.

Dalam iklim politik dan ekonomi yang demikian kompleks, proses penyusunan dan evaluasi APBA menjadi ladang kontestasi antara eksekutif dan legislatif, antarfraksi, dan antara Aceh dengan pusat. Setiap fraksi mencoba menegaskan posisinya—baik melalui kritik teknokratik, seruan moral, maupun tekanan identitas historis—dalam upaya membentuk narasi tentang masa depan Aceh.

Makalah ini bertujuan memberikan peta jalan strategi dan evaluasi tajam terhadap realisasi APBA 2024, respons Gubernur, serta pertarungan gagasan dalam forum DPRA. Lebih dari itu, makalah ini menyajikan pembacaan ulang atas RPJMA 2025–2029 dengan menempatkannya dalam kerangka kepemimpinan fiskal, transformasi struktural pasca-Otsus, dan rekonsiliasi antara politik identitas dan efisiensi teknokratik. Pendekatan analisis dalam makalah ini menggunakan triangulasi dokumen resmi, argumen fraksi, analisis data fiskal, serta sintesis antara narasi politik dan prinsip good governance. Dengan begitu, diharapkan makalah ini menjadi sumbangan serius bagi penyusunan strategi pembangunan Aceh yang tidak hanya responsif, tetapi juga adil, berkelanjutan, dan bermartabat.

 

STRUKTUR FISKAL 2024: DI BALIK ANGKA

Pencapaian Makro APBA 2024

Capaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun 2024 secara nominal menunjukkan kinerja fiskal yang pada permukaannya tampak positif. Total pendapatan mencapai Rp11,396 triliun atau 101,18% dari target, sementara belanja terealisasi sebesar Rp11,287 triliun (96,70%). Pendapatan Asli Aceh (PAA) juga menunjukkan capaian tinggi, yakni Rp3,226 triliun atau 106,85% dari target. Surplus anggaran menyebabkan Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) mencapai angka signifikan sebesar Rp530 miliar.

Namun, di balik angka-angka makro yang menggembirakan tersebut, tersembunyi sejumlah persoalan struktural yang memerlukan penggalian lebih dalam. Dalam perspektif fiskal berkelanjutan, tingginya SiLPA bukan indikator keberhasilan efisiensi, melainkan sinyal kegagalan serapan dan lemahnya eksekusi program strategis. Dengan kata lain, uang tersedia, tetapi kebijakan dan birokrasi gagal mengkonversinya menjadi manfaat nyata bagi publik.

 Ketimpangan Struktural dalam Realisasi Anggaran

Beberapa indikator kunci menunjukkan ketimpangan akut:

  • Belanja modal turun signifikan: terjadi penurunan sebesar Rp431 miliar dibanding tahun sebelumnya. Ini mencerminkan kebijakan fiskal yang lebih mengutamakan belanja rutin ketimbang belanja produktif. Padahal, belanja modal adalah fondasi pembangunan jangka panjang—mencakup infrastruktur, irigasi pertanian, sarana kesehatan, dan pendidikan. Ketika porsi ini menyusut, maka prospek pertumbuhan ekonomi daerah juga tereduksi secara signifikan. Penurunan ini bisa disebabkan lemahnya perencanaan proyek strategis, buruknya proses pengadaan, atau bahkan resistensi birokrasi terhadap proyek dengan dampak jangka panjang yang tak memberi hasil politik instan.
  • Realisasi Belanja Tidak Terduga sangat rendah, hanya 0,23% dari alokasi. Dalam konteks manajemen risiko dan stabilitas fiskal, angka ini menunjukkan kelemahan akut dalam adaptabilitas APBA terhadap kondisi darurat atau mendesak—baik bencana alam, krisis kesehatan, atau kebutuhan sosial mendadak. Ini juga menandakan lemahnya sistem respons cepat dan prosedur birokrasi yang terlalu rigid.
  • Anjloknya “Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah” hingga 47% menandakan lemahnya kreativitas fiskal daerah. Kategori ini mencakup penerimaan dari pengelolaan kekayaan daerah, kerja sama pihak ketiga, hingga retribusi non-konvensional. Penurunan drastis mengindikasikan stagnasi dalam inovasi pendapatan. Hal ini memperkuat ketergantungan struktural pada transfer pusat, dan bertentangan dengan semangat otonomi fiskal Aceh. Seharusnya, pos ini dikembangkan menjadi sumber pendanaan alternatif, terutama dalam era pasca-Otsus.
  • Disconnect antara data makro dan realitas sosial-ekonomi riil. Meski angka-angka pendapatan dan belanja tampak membanggakan, realitas di lapangan menunjukkan keterpurukan UMKM, lemahnya daya beli, dan stagnasi aktivitas ekonomi lokal. Ini menggambarkan bahwa alokasi anggaran tidak menyentuh lapisan masyarakat yang paling terdampak, dan sering kali tidak disalurkan melalui saluran yang mampu mengungkit produksi, distribusi, dan konsumsi rakyat.
See also  Dubai sebagai Destinasi Global untuk Tinggal dan Berbisnis

Dengan demikian, keberhasilan makro fiskal Aceh tahun 2024 patut diapresiasi secara administratif, namun perlu dikritisi secara substantif. Yang dibutuhkan ke depan bukan hanya rasio realisasi anggaran yang tinggi, tetapi kualitas dampaknya terhadap transformasi ekonomi rakyat Aceh.

Secara analitis, hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan formal tidak selalu berbanding lurus dengan dampak substantif. Anggaran telah kehilangan fungsi redistributifnya, dan cenderung bersifat administratif, bukan transformatif.

Catatan Kritis: Perlu dibedakan antara “realisasi anggaran” dan “realisasi kesejahteraan”. Evaluasi fiskal Aceh harus beralih dari sekadar mengejar prosentase serapan ke arah pengukuran dampak struktural terhadap kemiskinan, pengangguran, dan kapasitas produksi masyarakat.

Dalam konteks ini, kelemahan APBA 2024 bukan pada kekurangan dana, melainkan pada desain kelembagaan dan pola kepemimpinan fiskal yang belum mampu mengarahkan anggaran ke sektor pengungkit ekonomi dan sosial. Ini menjadi pekerjaan rumah utama dalam penyusunan RPJMA dan strategi fiskal Aceh lima tahun ke depan.

PETA POSISI FRAKSI-FRAKSI: NARASI DAN STRATEGI

Pembahasan APBA 2024 di ruang paripurna DPRA menunjukkan fragmentasi sekaligus peluang untuk membangun aliansi kebijakan. Setiap fraksi memosisikan diri bukan hanya sebagai representasi partai, tetapi juga sebagai pengusung nilai-nilai tertentu: historis, ideologis, teknokratis, hingga pragmatis. Di bawah ini dianalisis empat fraksi utama yang mendominasi wacana publik terkait realisasi dan arah kebijakan anggaran.

 Fraksi Partai Aceh (PA): Politik Identitas, Legitimasi Historis, dan Mobilisasi Simbolik

Fraksi Partai Aceh tampil konsisten sebagai pelindung narasi keistimewaan Aceh. Dua isu utama mereka adalah:

  • Penegasan tuntutan Otsus permanen sebagai bentuk proteksi terhadap kewenangan fiskal Aceh pasca-2027.
  • Reklaimasi Blang Padang sebagai tanah wakaf Mesjid Raya, yang mereka jadikan simbol perlawanan terhadap “pengabaian sejarah dan syariat.”

Lebih jauh, PA mendorong kebijakan pertanian terpadu (integrated farming) sebagai strategi penguatan ekonomi desa berbasis sumber daya lokal. Dalam narasi mereka, kemandirian fiskal Aceh harus berbasis pada ekonomi akar rumput, bukan sekadar penyerapan anggaran pusat. Strategi ini sekaligus merupakan respon politik terhadap penurunan Dana Otsus yang mereka anggap sebagai bentuk de-legitimasi Aceh oleh pemerintah pusat.

Kritik terhadap PA: meskipun kuat secara simbolik dan historis, strategi fiskalnya masih lemah dalam tata kelola teknokratis. PA harus membuktikan bahwa klaim keistimewaan dapat terkonversi ke dalam sistem anggaran yang inklusif, produktif, dan transparan.

Fraksi FKB: Etika Fiskal dan Ekonomi Berbasis Syariah

Fraksi FKB memosisikan diri sebagai penjaga moralitas fiskal dan pelindung kepentingan ekonomi berbasis keumatan. Mereka:

  • Mengkritik kurangnya integritas ASN, terutama dalam pelaksanaan anggaran berbasis syariah.
  • Menekankan urgensi pengelolaan zakat, infak, dan wakaf yang efektif.
  • Menyerukan penguatan pesantren dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah.

FKB mengusulkan agar sistem fiskal Aceh tidak hanya efisien, tetapi juga harus taat norma syariat, termasuk dalam pola distribusi belanja sosial. Gagasan ini penting dalam konteks Aceh yang mengusung syariat Islam sebagai dasar tata pemerintahan.

Tantangan bagi FKB: memperkuat artikulasi kebijakan dari tataran normatif menjadi strategi fiskal konkret, misalnya: integrasi dana zakat dengan APBA, atau skema pembiayaan UMKM melalui wakaf produktif.

Fraksi NasDem: Efisiensi Fiskal dan Prinsip Outcome-Based Budgeting

NasDem menempatkan diri sebagai oposisi teknokratis. Mereka:

  • Mengkritik inefisiensi anggaran belanja tidak terduga dan belanja modal non-produktif.
  • Menuntut pergeseran paradigma dari input-based ke outcome-based budgeting.
  • Mendorong audit kinerja atas realisasi proyek infrastruktur dan belanja publik.

Fraksi ini melihat APBA 2024 terlalu banyak dialokasikan pada program yang tidak terukur dampaknya. Dengan pendekatan rasionalistik, mereka menyerukan perbaikan sistem perencanaan dan pengawasan anggaran berbasis data kinerja (performance budgeting).

Kekuatan NasDem: mengisi kekosongan teknokratik dalam perdebatan politik anggaran. Tantangannya: memperluas dukungan lintas fraksi agar pendekatan teknokratis tidak hanya menjadi suara minoritas.

Fraksi Golkar: Moderasi Politik dan Koalisi Pembangunan Lintas Fraksi

Golkar berperan sebagai jembatan antara fraksi kritis dan eksekutif. Mereka:

  • Mendukung pembangunan rumah sakit regional dan infrastruktur pendidikan.
  • Menekankan pentingnya kesinambungan kebijakan lintas tahun anggaran.
  • Mengusulkan skema kemitraan daerah-pusat-investor untuk mempercepat pembangunan.

Posisi Golkar cenderung moderat: tidak frontal terhadap eksekutif, namun tetap mengajukan koreksi kebijakan. Fraksi ini dapat menjadi aktor strategis untuk membangun koalisi lintas fraksi dalam menyusun reformasi fiskal bertahap di Aceh.

Strategi Golkar merepresentasikan realisme politik: menjaga stabilitas politik sembari menekan perbaikan kinerja fiskal.


Secara keseluruhan, perbedaan posisi antar fraksi mencerminkan lanskap politik-fiskal yang kaya namun terfragmentasi. Untuk menjamin keberhasilan RPJMA dan optimalisasi APBA ke depan, diperlukan pendekatan multi-koalisi berbasis isu, bukan hanya berbasis partai. Artinya, fraksi-fraksi yang berbeda ideologi harus mulai membangun kesamaan sikap terhadap sektor prioritas seperti kemiskinan, ketimpangan wilayah, dan kemandirian fiskal Aceh pasca-Otsus.

 SOROTAN BADAN ANGGARAN: KEKUATAN ARGUMEN TEKNOKRATIK

Dalam dinamika politik-fiskal Aceh, Badan Anggaran (Banggar) DPR Aceh memegang peran sentral sebagai pengawal logika teknokratik dan akuntabilitas kebijakan anggaran. Dibandingkan fraksi-fraksi yang lebih bernuansa ideologis atau politis, Banggar tampil dengan argumentasi berbasis data, audit, dan kinerja. Dalam telaah atas APBA 2024, Banggar menyampaikan beberapa sorotan mendalam dan mendasar yang mencerminkan posisi mereka sebagai penjaga integritas fiskal daerah.

 Penurunan Belanja Modal dan Koreksi Prioritas Fiskal

Banggar mempertanyakan penurunan tajam belanja modal, yang secara nominal berkurang Rp431 miliar dibanding tahun sebelumnya. Mereka menilai bahwa penurunan ini bukan sekadar soal efisiensi, tetapi mengindikasikan disorientasi fiskal dalam mendefinisikan sektor prioritas. Belanja modal seharusnya menjadi instrumen utama pembangunan ekonomi jangka menengah—menyangkut infrastruktur publik, irigasi, dan fasilitas sosial. Banggar mempertanyakan apakah penurunan ini disebabkan oleh lemahnya perencanaan, ketakutan terhadap audit, atau kegagalan sistem pengadaan barang dan jasa.

Kebutuhan Diversifikasi Sumber PAD: Strategi atau Slogan?

Banggar mengangkat isu stagnasi sumber-sumber Pendapatan Asli Aceh. Mereka mengapresiasi capaian PAA yang mencapai 106,85% dari target, tetapi menilai bahwa capaian tersebut tidak mencerminkan adanya inovasi kebijakan fiskal. Dalam pandangan Banggar, struktur PAA terlalu bertumpu pada pajak kendaraan bermotor dan retribusi statis, tanpa terobosan baru dari sektor-sektor produktif seperti pengelolaan aset daerah, kerja sama investasi, atau hasil-hasil bumi. Mereka mendesak Pemerintah Aceh untuk tidak hanya mengulang retorika “diversifikasi PAD”, tetapi benar-benar menyusun roadmap dan indikator terukur menuju otonomi fiskal yang lebih kuat.

See also  What To Do When Your Boss Is The Internet

Volatilitas “Lain-Lain Pendapatan yang Sah”: Sumber Ketidakpastian Anggaran

Kategori ini menjadi sorotan tajam Banggar karena nilai penerimaannya anjlok hingga 47% dibanding tahun sebelumnya. Meskipun realisasi terhadap target melampaui 130%, fluktuasi tajam ini menyebabkan ketidakpastian dalam struktur pendapatan. Banggar memperingatkan bahwa ketergantungan terhadap sumber pendapatan tak stabil akan mengganggu prediksi fiskal menengah dan jangka panjang. Mereka menuntut reformasi sistem klasifikasi pendapatan agar tidak menyembunyikan ketidaktertiban administrasi fiskal dalam label “lain-lain yang sah.”

Audit 22 Paket Infrastruktur: Koreksi terhadap “Anggaran Politis”

Salah satu intervensi paling kritis Banggar adalah rekomendasi untuk mengaudit ulang 22 paket proyek infrastruktur yang diduga bermasalah dalam perencanaan maupun pelaksanaannya. Tindakan ini bukan sekadar langkah korektif, tetapi sinyal bahwa Banggar hendak menata ulang relasi antara proyek anggaran dan kepentingan politik sektoral. Mereka ingin mendorong proyek-proyek publik berbasis kebutuhan nyata rakyat, bukan berbasis titipan elite atau lembaga tertentu. Hal ini sekaligus membuka jalan menuju penguatan sistem pengawasan internal pemerintah dan BPKP.

 Seruan Reformasi Sistemik Pengelolaan Fiskal Daerah

Banggar menyimpulkan bahwa banyak persoalan fiskal Aceh tidak dapat diselesaikan hanya dengan evaluasi tahunan atau koreksi teknis. Mereka menyerukan reformasi sistemik dalam lima dimensi:

  • Integrasi perencanaan dan penganggaran lintas SKPA
  • Digitalisasi penuh sistem perencanaan dan pelaporan keuangan
  • Transparansi belanja berbasis dashboard publik
  • Penataan ulang peran BPKA sebagai institusi strategis, bukan sekadar operator administratif
  • Penguatan kapasitas legislatif dalam fungsi pengawasan berbasis kinerja

Catatan Strategis: Banggar telah menempatkan dirinya sebagai pusat gravitasi teknokratik dalam arena politik anggaran Aceh. Peran mereka sangat penting untuk menjaga agar APBA tidak lagi menjadi arena akomodasi sektoral semata, tetapi berubah menjadi instrumen rasional yang evidence-based, berdampak langsung pada masyarakat, dan mendorong produktivitas jangka panjang.

Dengan posisi dan argumennya, Banggar berpotensi menjadi motor penggerak bagi penyusunan RPJMA yang benar-benar mencerminkan prioritas pembangunan yang inklusif, bukan sekadar dokumen kompromi politik.

RESPONS GUBERNUR: POLA KONSENSUS DAN TANTANGAN IMPLEMENTASI

Respons Gubernur Aceh terhadap kritik dan masukan legislatif menunjukkan pola yang defensif namun kooperatif. Gubernur berupaya menjaga keseimbangan antara menerima koreksi fraksi dan mempertahankan legitimasi eksekutif. Beberapa langkah yang ditekankan dalam sambutan dan jawaban resmi menampilkan agenda stabilisasi, namun belum menunjukkan loncatan strategis ke arah transformasi struktural pasca-Otsus.

 Diplomasi Dana Otsus: Komitmen atau Ketergantungan?

Gubernur secara eksplisit menyampaikan bahwa Pemerintah Aceh akan terus memperjuangkan perpanjangan Dana Otsus hingga “selamanya” melalui jalur diplomasi ke pusat. Ini menunjukkan kesadaran akan peran Dana Otsus sebagai penyangga utama fiskal Aceh. Namun, tidak disertai dengan rencana konkret bagaimana Aceh akan mengurangi ketergantungan terhadapnya. Tanpa rencana transisi dan mitigasi, strategi ini berisiko memperpanjang ketergantungan struktural Aceh terhadap kebijakan pusat yang bersifat fluktuatif dan politis.

Reformasi PAD dan Digitalisasi Pelayanan: Klaim tanpa Matriks Kinerja

Gubernur mengklaim adanya keberhasilan dalam peningkatan PAD dan digitalisasi pelayanan publik, khususnya melalui penguatan retribusi daerah dan sistem elektronik pelayanan birokrasi. Namun, Banggar maupun beberapa fraksi mencatat bahwa kontribusi PAD terhadap total pendapatan masih terbatas pada sektor konvensional, dan digitalisasi belum mencakup sistem perencanaan fiskal yang menyeluruh. Klaim reformasi belum disertai matriks kinerja, baseline, serta capaian yang terukur dari tahun ke tahun.

 Infrastruktur Sosial: RS Regional dan Integrated Farming

Program pembangunan Rumah Sakit Regional dan pertanian terpadu menjadi andalan narasi pembangunan sosial. Pemerintah mengklaim program ini sebagai strategi jangka panjang yang bersifat lintas sektoral. Namun, hingga kini belum ada evaluasi menyeluruh tentang efektivitas pembangunan rumah sakit dalam mengurangi beban kesehatan daerah, atau bagaimana sistem pertanian terpadu terintegrasi dengan pasar, distribusi, dan pembiayaan. Kritik publik juga muncul atas lambannya realisasi fisik proyek dan lemahnya koordinasi antar-SKPA.

Absenya Arah Baru: Birokrasi, Korupsi, dan Inovasi Fiskal

Yang paling mencolok dari respons Gubernur adalah tidak adanya narasi besar untuk menjawab persoalan fundamental: stagnasi birokrasi, praktik koruptif dalam proyek fisik, dan minimnya inovasi fiskal. Tidak ada usulan konkret mengenai pembenahan sistem pengadaan, penguatan APIP, ataupun reformasi insentif bagi SKPA berbasis kinerja. Ini membuat agenda pembangunan seolah berjalan dengan “mesin lama”, padahal tantangan ke depan membutuhkan pendekatan yang lebih inovatif, adaptif, dan lintas sektor.

Catatan Strategis: Gubernur tampil sebagai figur konsensual yang cakap dalam membangun komunikasi politik, tetapi belum menghadirkan “narrative breakthrough” yang dibutuhkan untuk mengarahkan Aceh ke masa transisi pasca-Otsus. Tanpa reposisi kepemimpinan fiskal dan inovasi birokrasi, janji pembangunan akan sulit menyentuh lapisan rakyat terbawah dan menjawab krisis struktural yang ada.

Ke depan, diperlukan keberanian dari eksekutif untuk memimpin bukan hanya pada tataran koordinasi, tetapi pada level reformasi kebijakan, dengan roadmap jelas dan partisipasi publik yang aktif.

 ANALISIS STRATEGIS RPJMA 2025–2029

Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2025–2029 mengusung visi besar: “Aceh Islami, Maju, Bermartabat, dan Berkelanjutan.” Secara konseptual, RPJMA ini berupaya mengintegrasikan nilai-nilai lokal-religius, ambisi pembangunan ekonomi, dan komitmen terhadap keadilan spasial dan sosial. Namun, efektivitasnya akan sangat tergantung pada implementasi nyata dan kapasitas sistem fiskal-politik yang menopangnya.

Prioritas Strategis dan Tantangan Implementasinya

  1. Syariat Islam yang Menyejukkan
    • Visi ini hendak memosisikan syariat bukan sebagai instrumen penegakan normatif semata, melainkan sebagai perangkat sosial yang adil, merangkul, dan memberdayakan.
    • Untuk mencapainya, diperlukan sinkronisasi antara kebijakan anggaran dan kelembagaan syariah—misalnya reformasi Badan Baitul Mal, pelibatan dayah dalam pembangunan desa, serta insentif fiskal bagi pelaku usaha halal.
  2. Transformasi Ekonomi Mandiri
    • Strategi ini menuntut desentralisasi ekonomi melalui penguatan klaster produksi lokal (kopi Gayo, tambak Aceh Utara, pariwisata halal Sabang).
    • Intervensi perlu dilakukan dari hulu ke hilir, dengan skema kemitraan antara BUMG, koperasi syariah, dan pelaku usaha muda—disertai dengan dukungan fiskal dan pembiayaan mikro berbasis syariah.
  3. Peningkatan Kualitas SDM dan Layanan Publik
    • RPJMA perlu mengintegrasikan reformasi pendidikan vokasional, penguatan kurikulum berbasis kearifan lokal, serta insentif bagi diaspora Aceh untuk kembali dan berkontribusi.
    • Sistem layanan publik harus ditransformasikan dari model administratif ke model layanan digital-responsif, dengan indikator utama kepuasan masyarakat.
  4. Reformasi Birokrasi dan Digitalisasi
    • Perlu penguatan kelembagaan melalui pembentukan Delivery Unit atau Policy Lab di bawah Bappeda untuk memastikan eksekusi kebijakan berjalan sesuai output.
    • Digitalisasi bukan hanya untuk transparansi, tetapi juga sebagai instrumen intervensi cepat dan berbasis data dalam mitigasi kemiskinan dan ketimpangan wilayah.
  5. Keadilan Wilayah dan Perbatasan
    • RPJMA harus memiliki pendekatan spasial—bukan sektoral—dalam merancang belanja pembangunan.
    • Keadilan wilayah diwujudkan melalui Dana Percepatan Kawasan Tertinggal, Dana Khusus Perbatasan, dan penyesuaian formula alokasi APBA berdasarkan indeks kesenjangan wilayah.
  6. Ketahanan Sosial dan Lingkungan
    • Harus ada sistem mitigasi bencana yang terintegrasi dengan sistem layanan sosial berbasis komunitas (early warning, shelter, logistik lokal).
    • Penguatan hukum adat (hukom adat laot, hutan adat) dan pengakuan terhadap wilayah kelola masyarakat menjadi kunci keberlanjutan lingkungan.
See also  Situasi Geopolitik di Asia Tenggara Setelah Tarif Trump Berlaku

Indikator Kunci dan Realisme Target

  • Penurunan kemiskinan ke 8,3%: Dibutuhkan reformasi distribusi anggaran, peningkatan belanja produktif desa, dan jaminan sosial berbasis data terpadu.
  • UHH menjadi 74,89 tahun: Tak bisa hanya disasar lewat belanja kesehatan, tetapi juga perbaikan lingkungan, gizi, dan kesadaran hidup sehat.
  • IPM 0,60: Diperlukan integrasi antara pendidikan, pendapatan, dan kesehatan dalam satu sistem monitoring terpadu.
  • Pertumbuhan ekonomi 4,66%: Butuh mobilisasi investasi daerah dan luar daerah melalui paket insentif fiskal dan kelembagaan promosi investasi (Aceh Investment Board).

Catatan Strategis: RPJMA 2025–2029 menjanjikan arah pembangunan yang integratif dan progresif. Tetapi arah ini akan tetap normatif tanpa:

  • Perubahan pola penganggaran dari sektoral menjadi lintas isu dan wilayah
  • Sinergi eksekutif-legislatif untuk mengamankan legislasi pendukung (qanun fiskal, qanun investasi, qanun energi lokal)
  • Mekanisme partisipatif yang menjamin pengawasan publik dan keterlibatan komunitas.

Dengan kata lain, RPJMA membutuhkan kepemimpinan strategis, bukan sekadar administrasi pembangunan. Visi besar tidak cukup tanpa desain kelembagaan, keberanian fiskal, dan konsolidasi sosial-politik yang matang.

 REKOMENDASI STRATEGIS UNTUK DPRA & PEMERINTAH ACEH

Agar arah pembangunan yang dituangkan dalam RPJMA 2025–2029 dapat terwujud, diperlukan seperangkat kebijakan intervensi yang strategis, terukur, dan berani. Rekomendasi berikut disusun berdasarkan pembacaan atas dinamika fiskal-politik, kebutuhan struktural, dan potensi lokal Aceh dalam lima tahun ke depan.

Reformasi Manajemen Fiskal: Transparansi, Akuntabilitas, dan Efektivitas

  • Bentuk Dewan Fiskal Aceh lintas fraksi dan akademisi sebagai lembaga independen yang memberikan panduan teknokratik terhadap kebijakan anggaran tahunan, RPJMA, dan pengawasan kinerja belanja. Dewan ini menjadi jembatan antara politik dan rasionalitas fiskal.
  • Implementasikan digitalisasi real-time pengelolaan anggaran berbasis outcome (result-based budgeting), tidak hanya pada aspek pelaporan, tetapi hingga tahap perencanaan dan evaluasi proyek. Teknologi harus menjadi alat demokratisasi pengawasan publik.
  • Lakukan koreksi menyeluruh terhadap proyek-proyek berbasis kekerabatan atau politik transaksional, terutama di sektor infrastruktur dan pengadaan barang. Audit sosial dan pelibatan masyarakat sipil harus menjadi mekanisme permanen dalam mencegah korupsi struktural.

Strategi Post-Otsus Aceh 2025–2030: Membangun Pilar Kemandirian

  • Susun Grand Design Penerimaan Daerah Baru, meliputi pajak daerah berbasis sumber daya alam (bahan tambang, perikanan laut, sawit), optimalisasi zakat dan wakaf produktif, serta insentif bagi investasi syariah.
  • Dirikan Bank Pembangunan Daerah Khusus Aceh yang fokus pada pembiayaan sektor riil, UMKM, dan pertanian terpadu, serta mendukung industrialisasi lokal berbasis keunggulan komparatif Aceh.
  • Bangun Dana Abadi Pendidikan dan Riset Aceh sebagai warisan Dana Otsus, yang dikelola secara profesional untuk menjamin keberlanjutan SDM unggul dan inovasi lokal.

 Koalisi Legislasi Otsus Abadi: Menjaga Hak Historis dalam Kerangka Konstitusi

  • Bentuk Fraksi Gabungan Otsus Lintas Partai di DPRA untuk memperjuangkan perpanjangan dan perluasan ruang legislasi Aceh dalam struktur kenegaraan.
  • Rancang “Paket Legislasi Perubahan UUPA” bersama dengan DPR RI dan Kementerian Dalam Negeri, yang mencakup perbaikan desain fiskal Aceh, penguatan kelembagaan syariah, dan pengakuan terhadap kewenangan lokal.

Infrastruktur Sosial-Ekonomi Prioritas: Menyentuh Basis Rakyat

  • Tuntaskan pembangunan RS Regional di seluruh zona layanan, dan bangun sistem rujukan kesehatan yang terintegrasi antar-kabupaten dengan dukungan digital dan subsidi layanan untuk keluarga miskin.
  • Dorong hilirisasi sektor pertanian dan tambak melalui koperasi syariah, cold storage desa, dan program pelatihan generasi muda tani berbasis teknologi.
  • Gunakan zakat dan wakaf sebagai sumber pembiayaan wirausaha desa, dengan model inkubasi bisnis, dana bergulir syariah, dan ekosistem pasar digital lokal.

Catatan Strategis: Rekomendasi ini bertujuan menjembatani antara politik anggaran jangka pendek dan transformasi kelembagaan jangka panjang. Kuncinya terletak pada tiga hal:

  • Keberanian legislatif untuk menginisiasi paket regulasi dan pengawasan berbasis data
  • Komitmen eksekutif untuk mengakhiri status quo birokrasi dan patronase anggaran
  • Partisipasi masyarakat dan kampus untuk mengawal pembangunan dengan etika, logika, dan keberpihakan kepada rakyat kecil.

Dengan langkah-langkah ini, Aceh berpeluang melampaui keterbatasan warisan Otsus dan menata ulang masa depannya sebagai wilayah yang mandiri secara fiskal, kuat secara sosial, dan bermartabat dalam konstitusi nasional.

 PENUTUP: ACEH DI PERSIMPANGAN SEJARAH

Aceh kini berdiri di titik kritis antara harapan dan stagnasi, antara simbolisme politik dan keberanian struktural. Di tengah transisi Dana Otsus, tekanan fiskal global, dan dinamika sosial yang kompleks, APBA bukan lagi sekadar dokumen akuntansi tahunan—ia adalah medan kontestasi nilai, arah pembangunan, dan legitimasi masa depan.

Jika APBA hanya dipertahankan sebagai instrumen legal-formal tanpa transformasi struktural, maka Aceh berisiko kembali mengulangi krisis fiskal di bawah limpahan simbol otonomi yang kehilangan makna. Ketimpangan wilayah, kemiskinan ekstrem, lemahnya birokrasi, serta kemandekan belanja produktif adalah gejala dari sistem yang sudah terlalu lama berjalan tanpa keberanian koreksi.

Di sinilah letak tantangan historis sekaligus peluang strategis bagi DPRA dan Pemerintah Aceh. Mereka tidak lagi cukup menjadi manajer anggaran, tetapi harus tampil sebagai arsitek transformasi fiskal dan sosial. Dibutuhkan kemauan kolektif lintas fraksi untuk melampaui rivalitas sektoral dan membentuk kontrak fiskal-sosial baru—yang berpihak pada rakyat, berbasis data, dan terbebas dari patronase politik.

Transformasi fiskal Aceh bukanlah sekadar keniscayaan, tetapi satu-satunya jalan menuju keadilan sosial yang berkelanjutan. Ia menuntut penyatuan antara idealisme politik, kecermatan teknokrasi, dan partisipasi publik.

Aceh baru tidak dilahirkan oleh laporan keuangan, tetapi oleh keberanian memilih jalan baru.

Langkah-langkah strategis yang telah diurai dalam makalah ini hanya akan bermakna jika dijalankan dengan integritas, keberlanjutan, dan visi jangka panjang. Di titik inilah sejarah akan mencatat: apakah para pemimpin Aceh memilih mengulang masa lalu, atau menulis ulang masa depan.


 

 

 


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *