
Pendahuluan
Dalam esai ini, saya tertarik untuk mengamati arah Pilkada Aceh tahun 2024. Kali ini, hanya ada dua pasangan yang akan berlaga dalam Pilkada di provinsi ini. Dua Pasangan ini merupakan putera terbaik Aceh saat ini, yang dipandang dapat membawa nahkoda pemerintahan Aceh 5 tahun berikutnya.
Dalam konteks ini, saya tidak akan mengulas siapa yang menang dalam Pilkada di Aceh, namun menjelaskan bagaimana jika ada satu pasangan yang akan berhasil dalam pemilihan kepala daerah di Aceh pada bulan November mendatang.
Harus diakui bahwa saat ini, bandul politik ada di Pemerintahan Prabowo, mana kala dia dilantik pada 20 Oktober 2024 sebagai Presiden Republik Indonesia. Saat ini, Partai Gerindra memberikan ‘karcis politik’ pada kadernya untuk berlaga dalam Pilkada. Sementara itu, Partai Aceh juga memberikan ‘karcis politik’ pada pimpinan partai ini, untuk tampil sebagai calon. Adapun nama calon gubernur dan wakil gubernur dari pasangan ini adalah Muzakir Manaf dan Fadhlullah.
Pada aspek lain, kompetitor mereka adalah tokoh teknokrat Aceh bersama dengan mantan Politisi DPD Aceh yang dipandang mampu untuk menjadi rival bagi pasangan di atas. Awalnya, tokoh ini memilih pilihannya pada sosok seorang ulama Aceh, yang dipandang sanggup menambat hati masyarakat Aceh, yaitu Tu Sop. Adapun nama calon gubernur dan wakil gubernur dari kelompok ini adalah: Bustami Hamzah dan Fadhil Rahmi.
Dalam konteks ini, saya ingin melihat apa yang terjadi setelah salah satu pasangan di atas menang dalam kontes politik di Aceh. Saya ingin membagi beberapa keadaan yang akan terjadi saat nanti ada satu pasangan yang akan menjadi pemenang Pilkada. Beberapa tesis ini mungkin tidak akan terjadi semua, tetapi mengingat dinamika politik lokal di Aceh yang selalu berebut kekuasaan demi menguatkan pengaruh di provinsi ini.
Ribut Paska-Kemenangan
Sebagaimana biasanya, kemenangan dalam Pilkada selalu ada dua tahap: “Menang yang dimenangkan” dan “menang yang dianggap menang.” Biasanya pada malam pertama Pilkada, pemenang pun sudah dapat diketahui, melalui berbagai cara, mulai dari laporan di lapangan secara on the spot atau pola quick count. Karena itu, terkadang calon yang sudah “menang yang dimenangkan” akan mengalami first panic dalam politik.
Maksudnya, kepanikan terjadi bukan karena musibah, melainkan menata kembali dengan sangat cepat kekuatan yang sudah solid selama ini. Masing-masing kelompok akan mulai bercerita kehebatan mereka dalam memenangkan proses demi proses Pilkada. Demikian pula, semakin hebat cerita yang dikembangkan, akan semakin menunjukkan siapa nantinya akan berada di “ring satu” kekuasaan mendatang.
Disinilah penyakit first panic muncul, dimana ketika setiap orang berlomba-lomba menceritakan jasa dalam proses perjuangan menuju kemenangan. Sifat kemanusiaannya yang serakah semakin tampak. Cara menatap orang lain. Pola berkomunikasi semakin dijaga, karena dianggap akan masuk pada “ring satu” kekuasaan. Perubahan gaya hidup secara drastis, karena menganggap nantinya akan banyak uang didapatkan. Mereka yang sudah menghabiskan materi, juga sudah menghitung modal dan untung yang hendak digapai selama 5 tahun mendatang.
Semua ekspektasi di atas, kemudian mulai menimbulkan konflik di antara mereka. Adapun yang tadinya “kita” berubah menjadi “mereka.” Tiba-tiba banyak timbul “mereka” di antara “kita-kita.” Calon yang menang pun semakin diasing dari wilayah keramaian. Keluarga mereka pun sudah bermimpi dengan segala fasilitas yang akan didapatkan oleh famili mereka. Tim Inti pun sudah sibuk menyaring, siapa yang pantas dan patut berjumpa dengan sang Pemenang.
Kondisi first panic ini sangat lazim terjadi di Aceh. Ketika first panic ini dikelola, maka dua minggu setelah pelantikan yang tadinya “mereka-mereka” di antara “kita-kita” berubah pecah kongsi antara Gubernur dan Wakil Gubernur. Akhirnya, muncullah hirarki untuk melancarkan kepentingan di lingkaran Gubernur dan Wakil Gubernur. Tidak mengejutkan ada “ring satu,” “ring dua,” “ring tiga,” dan seterusnya.
Karena semua kepentingan akibat dari first panic tersebut, masing-masing “mereka” dalam “kita” mulai berlomba-lomba untuk mendekati sosok yang paling dipercayai oleh Sang Pimpinan. Dialah kemudian yang menjadi “Penguasa Bayangan” dalam ketidakmenentuan “mereka” dan “kita.”
Kemunculan hirarki dan peran “Penguasa Bayangan” untuk mengamankan “Sang Pimpinan” lantas memperburuk keadaan. Dari awal saat kampanye saling memuji, akan berubah ke saling mengumpat atau memaki. Dari awalnya saling setia, maka akan muncul sikap saling fitnah.
Dalam masa setahun, maka mereka yang tidak berhasil akan “terkeluarkan” dari susunan hirarki kekuasaan di lingkaran Sang Pimpinan. Dia akan keluar masuk warung kopi. Membeberkan kecerdasannya saat kampanye. Jasanya pada Sang Pemimpin terpilih. Lalu, kemudian mengatakan bahwa semua orang yang ada di lingkaran Sang Pimpinan adalah orang yang salah, jika bukan tidak tahu berterima kasih.
Sang “Penguasa Bayangan” pun akan semakin sulit dihubungi. Ditelpon, tidak mau merespon. Dikirim pesan, ibarat membuat ingus. Semua menjadi begitu sunyi, karena “Penguasa Bayangan” sibuk memilah dan memilih siapa saja yang boleh dekat dengan Sang Pimpinan.
Peran “Penguasa Bayangan” ini menjadi perantara antara “orang luar” dan “orang dalam.” Dia hidup dari jasa yang dia pertahankan. Setiap ketemu orang yang pernah dia berhubungan saat kampanye, selalu dihindari untuk ditemui.
Beginilah dampak daripada first panic ketika selesa eforia kemenangan. Di Aceh, fakta ini menjadi cerita etnografi politik Aceh di warung kopi. Karena itu, jangan pernah berharap ada perubahan dari dampak first panic saat Sang Pemimpin menang di malam pertama Pilkada.
Kisruh Saat Menentukan Kabinet
Adapun hal yang paling menarik adalah saat menentukan siapa yang akan mengisi di Kabinet untuk Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh mendatang. Biasanya seorang orang yang memiliki akses pada “Sang Pimpinan” dan “Penguasa Bayangan” akan sibuk menerima berbagai tawaran nama untuk masuk ke kabinet. Hal ini persis seperti yang terjadi di Pemerintah Pusat.
Namun, di Aceh beberapa dinas yang dianggap “basah” dan “kering” sudah lama dipetakan. Mana dinas yang mampu menjadi “ateem” dan dinas yang hanya untuk “peh tem.” Karena itu, semua kabinet untuk Pemimpin Baru Aceh akan diincar dengan berbagai untuk mendapatkan pundi-pundi kekayaan dari proyek-proyek pembangunan, mulai di tingkat provinsi hingga ke daerah tingkat kabupaten/kota.
Karena itu, bongkar pasang pada pimpinan di dinas-dinas terkait, sebagai bagian dari roda pembangunan Aceh, menjadi begitu susah, untuk dikatakan bahwa akan membawa Aceh pada situasi yang membaik di tahun-tahun berikutnya.
Biasanya, untuk tahapan ini para calon pengisi kabinet di pemerintah Aceh pun sudah memiliki modal yang cukup, supaya dapat menggantung harapan pada kursi yang akan didapatkan.
Disini terkadang kisrus dimulai dari “pesanan” partai politik pengusung, baik di dalam parlemen maupun diluar parlemen. Masing-masing kepentingan mulai begerilya untuk memasukan siapa saja calon-calon terbaik untuk menjadi wakil dari kepentingan. Pola “setor sana sini” pun kerap terjadi. Harga satu kursi kepadal dinas, terkadang pun tidak murah.
Semua menampilkan wajah baik di muka publik. Kesalehan pun ditunjukkan. Wibawa dinampakkan. Gaya bicara pun ditata sedemikian baik. Karena untuk menjadi pejabat, harus memiliki kualitas personal development yang baik.
Tetapi, ketika malam hari, sang calon pengisi kabinet, sibuk rapat dan “minum kopi” agar dirinya dipilih oleh Sang Penguasa.
Adapun tes untuk jabatan dilakukan hanya formalitas semata. Media dipanggil untuk memberitakan. Tokoh-tokoh intelektual diajak menguji untuk menampakkan kualitas. Para ulama diajak untuk memberikan “stempel” agama pada dirinya. Semua dilakukan untuk mengatakan bahwa proses secara aturan telah diselesaikan. Mengenai hasil, kami yang menentukan.
Di gedung parlemen sibuk menyusun strategi fraksi dan partai politik untuk meloloskan tokoh-tokoh yang menjadi jagoan. “Penguasa Bayangan” bertindak seperti “bartender politik.” Dia mengayun ke sana kemari. Intinya, semakin banyak janji yang bisa digantung, semakin manis “air minuman politik” yang disajika pada Sang Pimpinan.
Narasi di atas bukanlah hanya di Aceh, melainkan hampir di seluruh Indonesia. Karena itu, ketika para kepala kantor ditetapkan, dia sama sekali bukan berpikir untuk kesejahteraan rakyat. Dia harus memuaskan semua “nafsu kekuasaan” yang telah berjasa pada dirinya.
Toke yang mendanainya, harus dikembalikan modal mereka. Tokoh politik, harus ditunaikan balasan, jika ada program-program. Mereka yang berjasa dibalik layar, harus diberikan “kue” dari program-program di tahun mendatang.
Sejak saat itulah, “kita” dan “mereka” yang berkonflik di atas, akan meneror pada kepada dinas dengan berbagai cara dan pola. Ada yang ingin dapat balas jasa. Ada pula yang ingin menawarkan “jasa” yang disubkan ke relasinya. Semua “kita” dan “mereka” akan mengejar kemanapun para kepala dinas, sebab mereka menganggap telah punya jasa kepada Sang Pimpinan.
Akhirnya, sang kepala dinas pun mulai mendapatkan teror. Proposal yang masuk bertubi-tubi. Orang yang bertamu tidak pernah henti. Kemanapun pergi, selalu ada yang “menanti.”
Bagi mereka yang sudah berpengalaman, maka dia pun akan membuat pola “Orang Bapak” sebagai bagian dari hirarki kekuasaan untuk mencari sesuap nasi di dinas dari “kita” dan “mereka.”
Mereka akan menabur janji. Lantas orang “kita” dan “mereka” menanti. Setiap tahun, rupanya hanya “Orang Bapak” yang dapat menikmati. Disinilah, sekali lagi, jangan pernah berharap program-program pembangunan Pemerintah Aceh dapat mengeluarkan rakyat Aceh dari segala kesulitan.
Karena “kita”, “mereka,” “Penguasa Bayangan,” dan “Orang Bapak” telah berlomba-lomba terlebih dahulu untuk memperkaya diri mereka.
Berkelahi Demi Meu‘en Proyek
Bagian ini hampir mirip dengan bagian di atas. Namun, disini pola perkelahian demi proyek tidak terlihat ke wilayah publik. Semua berlaku bagaimana keseimbangan yang dilakukan oleh Sang Pimpinan dan “Penguasa Bayangan.” Di Aceh, ada istilah meu‘en proyek (bermain proyek). Dari pucuk pimpinan sampai bawahan akan akrab dengan istilah meu‘en proyek.
Karena istilah meu‘en, maka proyek pembangunan itu seperti mainan belaka. Tidak serius. Tidak tuntas. Kalau pun selesai, kualitas tidak sangat pantas. Bagi yang menang, dia boleh jadi menyelesaikan ataupun membagikannya kepada orang lain.
Ketika first panic menciptakan the varieties of multi interest groups (berbagai kelompok yang memiliki berbagai kepentingan). Tidak mengejutkan akibatnya adalah roda pemerintahan akan banyak muncul berbagai intrik, karena multi interest groups ini akan terus berusaha untuk mendapatkan keuntungan dari semua sisi yang dapat menguntungkan pribadinya.
Karena itu, pola “perkelahian” tidak akan muncul begitu kentara ke wilayah publik. Karena “ricuh” ini biasanya muncul secara senyap. Saling menyandera kepentingan adalah hal yang biasa. Di sini agama sama sekali bukan ukuran atau standar yang diutamakan.
Kesinambungan kegagalan total pembangunan dari akibat kemunculan “Orang Bapak” dan pesanan dari “Penguasa Bayangan” atau restu Sang Pimpinan membuat konteks kepentingan dari distribusi anggaran pembangun harus dialiri ke berbagai “saku baju.”
Jika hal di atas tidak dijalankan secara senyap, maka ketika diketahui oleh publik, maka konsumsi berita bagi wartawan dan “aparat” yang sibuk membidik proyek-proyek bermasalah, menjadi hal yang tidak terelakkan. Karena itu, kondisi saling sikat dan sikut tidak dapat dihindari sama sekali.
Bagi mereka yang sudah pernah berjanji dan diberi “tanda jadi,” maka ketika tidak sesuai dengan akad persekongkolan mereka, maka salih tagih dan mencari “back up” hal yang lumrah.
Dampak meu‘en proyek di Aceh memang kadang tidak memberikan dampak terhadap kualitas pembangunan di Aceh. Akhirnya, pembangunan di Aceh ibarat seperti cara berpikir yang cukup ampuh yaitu dari memperbaiki gorong-gorong ke memperbaiki gorong-gorong dan seterusnya memperbaiki kembali gorong-gorong.
Tim Sukses yang Patah Hati dan Benturan di Lapangan
Ketika ada Tim Sukses patah hati dan mengulang-ulang jasa mereka di warung kopi. Maka secara perlahan-lahan musuh di dalam hirarki kekuasaan Sang Pimpinan pun menyeruak. Mereka kemudian berulah dan melakukan konsolidasi oposisi dalam dalam lingkaran kekuasaan. Kekuatan oposisi di dalam inilah kemudian yang digunakan untuk mengembosi kekuatan pemerintah Sang Pimpinan.
Saat itulah, berbagai operasi dijalankan untuk memisahkan antara tim sukses calon gubernur dan wakil gubernur. Kemudian masing-masing tim tersebut diurai kembali, hingga kemudian kontrol Sang Pimpinan tidak dapat dilakukan, seperti awal masa kampanye.
Dia, sebagaimana dijelaskan di atas, akan menyerahkan kebijakan “kasih sayang” kepada “Penguasa Bayangan” untuk menyelesaikannya. Di sinilah kemudian “Penguasa Bayangan” menjadi sumber baru konflik di Aceh. Dia akan melakukan manipulasi janji dan drama politik, untuk mengamankan Sang Pimpinan.
Jika antara Gubernur dan Wakil Gubernur berhasil dipisahkan, maka “Penguasa Bayangan” akan melakukan loyalitas penuh kepada Gubernur semata. Sementara Wakil Gubernur hanya menjadi simbol belaka dan tidak memiliki tawaran kekuasaan material di dalam lingkaran kekuasaan pemerintah Aceh.
Ketika Tim Sukses sudah bergaduh dan mereka terkadang bentrok di lapangan, mau tidak mau, kondisi ini akan menganggu jalannya pembangunan. Terlebih lagi, jika konflik tersebut berkaitan erat dengan pendukung setia pada partai tertentu.
Di Aceh pola gangguan pembangunan seperti ini sudah kerap terjadi. Efek konflik kecil, karena tidak memuaskan nafsu material kelompok tertentu, baik di dalam maupun di luar parlemen, maka mereka akan saling menyandera antara satu sama lain, mengenai kepentingan untuk pembangunan Aceh.
Berebut Seolah-Olah Didukung “Orang Kuat” di Jakarta
Salah satu hal yang unik dalam memetakan kekuatan di Aceh, pengakuan beberapa kalangan yang memiliki “orang kuat” di Jakarta. Biasanya, mereka seolah-olah mendapatkan informasi yang akurat, seperti dari lingkaran istana presiden, orang dekat ketua umum Partai Nasional, kalangan yang memiliki akses ke lingkaran dinas-dinas yang melakukan operasi intelijen, atau tokoh-tokoh lainnya yang memiliki pengaruh di Jakarta.
Biasanya, nama-nama mereka akan sering dikutip sebagai “pemanis”, jika bukan untuk “menakuti” lawan politik. Bahkan pola catut mencatut nama-nama besar dari Jakarta, sering dilakukan pada saat menekan lawan politik dalam keadaan tertentu. Orang Aceh yang di Jakarta pun kerap dianggap sebagai “orang kuat”, dimana mereka memiliki akses ke lingkaran tertentu.
Bahkan ada beberapa kalangan yang pekerjaannya adalah ibarat “makelar” kepentingan, untuk seolah-olah menjadi “dewa penolong” bagi kalangan tertentu di Aceh. Pola saling menakutkan dengan “berita A1” sering menjadi bagian dari pembicaraan politik di warung kopi.
Saya pernah mendengar cerita, yang kerap dimulai dengan kalimat: “Ini rahasia ya?” Atau, ini “info A1” yang sangat mahal untuk diketahui oleh publik. “Orang kuat” di Jakarta pun kemudian mempergunakan “orang kuat” di Aceh demi kepentingan politik, mulai dari saling menekan, pesan memesan jabatan dan proyek, hingga untuk menakuti kelompok musuhnya.
Bahkan “orang kuat” di Banda Aceh, seolah-olah sangat kuat, mana kala dia memperlihatkan bisa menelpon kalangan-kalangan tertentu di tampuk kekuasaan di provinsi Aceh. Semakin ke tingkat dua, maka “orang kuat” baik yang dari Jakarta ataupun di Ibu Kota Provinsi, akan bergerilya mencari kesempatan untuk mendapatkan akses pada “proyek-proyek” di daerah.
Sejak tahun 2009, saya pertama kali bertapak di Aceh, setelah selesai merantau, pola-pola “orang kuat” selalu menganggu pembangunan di Aceh hingga hari ini. Mereka bisa melakukan akses ke seluruh lini untuk mendapatkan informasi proyek-proyek dimana saja yang dapat dikeruk persennya untuk dibawa ke kantong pribadi.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka kita sebagai rakyat Aceh tidak perlu berharap banyak pada keadaan pembangunan setelah Pilkada 2024. Sebab, selama hampir 20 tahun pembangunan di Aceh tampaknya juga tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan rakyat.
Kegalutan ini dimulai sejak kemunculan “mereka,” “kita” “Penguasa Bayangan,” “pecah kongsi antara Gubernur dan Wakil Gubernur,” hingga berbagai manipulasi terstruktur di dalam lingkaran kekuasaan, mana kala hendak memanfaatkan anggaran untuk kesejahteraan rakyat Aceh.