Catatan: Wawancara ini saya lakukan ketika melakukan riset tentang penerapan Hukum Islam di Aceh dan Kelantan pada tahun 2004, pada saat ini, di Aceh sedang diterapkan Operasi Militer. Isi wawancara ini memang agak sedikit berbeda dengan apa yang terjadi di Aceh saat ini, terutama setelah Tsunami. Bapak Yusuf Hasan adalah seorang arsitek perumus Syari’at Islam. Saya sendiri tidak tahu, apakah beliau masih hidup. Wawancara ini saya lakukan di kantor beliau di Banda Aceh. Semoga ini ada manfaatnya bagi peminat Syari’ah Islam di Aceh. Terima kasih kepada Bunda Shatilla yang telah mentranskrip isi wawancara ini.
Wawacara dengan Yusuf Hasan
Mid-2004
Pertanyaan:
Apakah tuntutan Syariat Islam dari masyarakat Aceh muncul pada masa Orde Baru atau Orde Lama?
Jawaban:
Tuntutan sebenarnya sebelum kemerdekan sudah ada, pada saat belanda datang sebelumnya hingga sampai tahun 1882 masih diakui ajaran Islam berlaku dan Belanda pada saat itu memberi kemungkinan bagi umat Islam untuk berlaku hukum Islam dan di akuinya ada peradilan agama yang mengatur undang-undang berdasarkan hukum islam termasu pulau jawa dan di aceh sudah diterapkan.
Pada saat itu di Aceh dikenal adanya Mahkamah Syariah, kemudian dengan adanya politik kolonial Belanda dan ulahnya Sukarno sehimgga di persempit perannya Syariat Islam juga Belanda mengangkat Sukarno sebagai penasehat pemerintah Gubenur Jenderal Indonesia,
Kejadiam itu sangat sangat berpengaruh di aceh dan mengakibatkan masyarakat aceh sangat bersemangat semakin tinggi untuk di berlakunya Syariat Islam dan musuh utama adalah Belanda sehingga secara de facto Aceh tidak pernah di jajah oleh Belanda karena selalu melakukan perlawanan . Secara nasional mayoritas yang merumuskan UUD 45 adalah orang islam yang kualifikasinya ulama sehingga lahir pasal “29 negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa” jadi hukum agama berlaku di Indonesia. Disebakan kalahnya politik orang Islam lalu di draoup salah satu permintaan dari seorang agamis Indonesia bagian timur. Setelas Indonesia merdeka tuntutan dari masyarakat aceh untuk adanya syariat islam terus ada termasuk gerakan Daud Beureueh. Daud Beureueh melakukan gerakan akiat dari pertama peranan masyarakat aceh sebelum Indonesia merdeka sangat penting dimana medan masih dalam kekuasaan aceh dan yang kedua sesudah merdeka sangat berjasa di dalam hal pengumpulan dana berupa emas-emasan harta benda yang bernilai mulai dari masyarakat lapisan bawah menengah dan atas juga seluruh masyarakat aceh untuk pembelian pesawat pertama untuk indonesia, setelah itu masyarakat Aceh dikecewakan dengan di satukan Aceh ke propinsi sumatra utara dan juga harus tunduk ke jakarta ini membuat masyarakat Aceh tidak bisa menerima hal tersebut apalagi pemerintahan aceh harus tunduk ke pemerintahan sumatra utara sehingga pemikiran-pemikiran islam dan ajaran-ajaran islam yang ada di aceh tidak nyambung lagi atau pudar, karena faktor-faktor itulah masyarakat aceh di pimpin oleh ulama dan pasukan Daut Bereueh sepakat melakukan perlawanan lagi kemudian pemerintahan pusat menyadari bawasanya keliru dalam melakukan kebijakan terhadap aceh, sehingga dengan kerelaan hati tahun 1956 di kembalikan ke dalam propinsi dan pada tahun 1959 aceh di berikan tiga keistimewaan dengan isian di ataranya dalam bidang hukum syariat islam, dalam bidang agama, dalam bidang pendidika dan adat istiadat. Pekembangan gejolakan-gejolakan politik setelah di berlakukannya tiga keistimewaan itu termasuk di pemerintahan aceh sendiri tidak terpikir untuk secara serius dan melaksanakan pelasanaan syariat islam di aceh disebakan karena pemerintahan aceh masih menyelesaikan persoalan-persoalan dengan pemerintahaan pusat di ataranya seperti masahalah kewenangan, politik tidak stabil, gerakan PKI yang masih hidup dan sampai kepada pemerintahan orde baru. Pada masa orde baru di keluarkan UUD no 5 tahun 78 tentang pemerintahan daerah dan UUD no 5 tahun 79 tentang desa di samakan seluruh indonesia, ini adalah puncak dari melenyapkan secara total sejarah dan misi-misi pemerintahan daerah aceh yang sebelunya telah di berikan keistimewaan terhadap aceh. Dengan diberlakunya UUD tersebut maka sebelumnya aceh mempunyai tiga keistimewaan di bidang hukum syariat, agama, pendididkan dan adat istiadat untuk mengatur diri sendiri maka setelah diberlakukanya UUD tersebut dan di dukung adanya upaya-upaya mengarah untuk tidak di berlakukannyalagi juga pemerintahan aceh harus memintak izin segala sesuatu harus ada pengesahan dari pemerintahan pusat Departemen dalam negeri sehingga total masyarakat aceh tidak bisa bergerak lagi. Masyarakat aceh pada saat itu tidak melakukan protes karena pemerintahant daerah aceh sendiri sebelumnya tidak memperjuangkan dan sesudahnya tidak begitu memperdulikannya hanya yang menjalakannya syariat para ulama serta masyarakat dan bagi pemerintahan tidak serius dalam hal ini maka keistimewaan sebenarnya tidak ada di aceh dan kewenangan ada pada pemeritahan pusat hanya namanya saja di berikan daerah istimewa aceh.
Pertanyaan:
Bagaimana respon masyarakat aceh terhap UUD itu sebagai yang mempunyai hak di berikan kewenangan untuk melaksanakan Syariat Islam?
Secara terbatas, masyaarakat Aceh memprotes UUD itu tetapi kondisi pada masa pemerintahaan Orde Baru yang secera otoriter dan orang-orang yang di angkat di pemerintahan biokrat harus tunduk ke pemerintahan jakarta sehingga menurunkan semagat masyarakat aceh pada masa orde baru untuk menjalankan syariat islam di tambah lagi dengan adanya pengirimanan pejabat-pejabat dari luar yang kondisi seperti itu sangat berpengaru terhadap pengamalan syariat islam.
Pertanyaan:
Apakah produk UUDnya memang sudah ada pada saat itu atau polanya dan kira-kira mengadobsi model mana syariat Islam pada waktu itu?
Pada waktu itu dasarnya ada misi surat keputusan perdana menteri dan ada peraturan daerah tahun 62 tentang syariat islam di aceh dan pengadilan juga terbatas dalam menyeselesaikan perkara hanya yang banyak di selesaikan seperti masahalah perkawinan
perceraian, rujuk, warisan, hibah wasiat. Adapun daerah lain yang pengadilanya di berlakukan syariat Islam di dalam hal perkawina dan warisan yaitu kalimantan, sulawesi itupun sudah di rombak oleh belanda pada masa dahulu dan belanda membei kewenangan terhadap pengadilan untuk menyeselesaikan perkara tersebut. Setelah pada saat reformasi peluang daerah dan semagat untuk melaksanakan syariat islam dengan adanya UUD 62 pada tahun 1999 masyaraka melihat ini merupakan peluang untuk melaksanakan syariat islam kembali. Adapun yang mengagas dan tokoh-tokoh yang sangat berperang dalam hal menegakakan syariat islam di aceh yaitu kelembagaan, majelis ulama, kampus IAIN unsyiah banda aceh dan beberapa tokoh yang mempunyai ilmu di bidanng agama. Tokoh-tokoh partaipun di aceh yang mempunyai ke pedulian menyambut baik hal syariat islam ini kemudian lahirlah UUD No 44 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan peluang ini di pergunakan oleh seluruh daerah indonesia dalam hal kewenangan pemerintah di kembalikan ke daerah masing-masing kecuali dalam lima hal bidang luar negeri, pertahanan, pisikal, militer, agama dan pengadilan. Dengan adanya desakan-desakan dan DPR sangat bersemangat maka di sahkan UUD no 44 tahun 1999. Di aceh dulunya sangat memprihatin apalagi semasa DOM dan hal ini di anggap oleh DPR harus ada solisi bagaimana aceh ke depan maka dalam UUD no 44 ada empat keistimewaan untuk aceh yaitu dalam bidang agama secara kaffah, pindidikan yang sesuai dengan syariat islam, adat istiadat yang melestarikan sesuai dengan syariat islam, peranan ulama daerah di beri kewenanga untuk membetuk komisasi ulama, maka terbentuklah MPU yang sebelunya adalah MUI dan sejarah asal mulanya MUI yaitu dari aceh, adapun juga beberapa karya besar di aceh yang di pakai untuk nasional seperti pengadilan agama (PA) kemudian BAPEDA yang dulunya namanya ADB (aceh debor) yang sekaran di pakai untuk nasional walaupun di satu sisi aceh di agap tertinggal tetapih pikiran-pikiran di aceh justru cemerlang dan menasional. Peran ulama dalam UUD tersebut disebutkan bahwa ulama mempuyai kedudukan yang sejajar dengan eksekutif dan legislatif, kemudian ulama yang di maksut di atas adalah ulama dalam bingkai organisasi MPU juga ulama memppunyai peran dalam menentukan kebijakan daerah dan ulama bukan perangkat eksekuti dan legislatif tetapi peranannya sama atau sejajar dengan eksekutif dan leggislatif. Pada masa orde baru peranan ulama hanya sebatas penonton dan sekarang ulama terlibat langsung tampil ke depang menjadi pemain yang aktif dilapangan untuk memberi petunjuk kepada mayasrakat. Pada masa dulunya pimikiran eksekutif atau pemikiran MUI dalam hal berbagai kegiatan misalnya acara pembacaan do’a dan lain sebagainya perlu di undang untuk sebagai pelengkap dan di lihat pada masa sekarang prilaku eksekutif dan lesgilatif masih ada seperti itu padahal secera yudiritif ketentuan hukum sudah sama dan hal ini masih dalam persoalan pembahasan bagaimana caranya untuk perobahah di lakukan dan hal ini sudah tersoliisasi supaya merobah pola pemikiran para bupati wali kota termasuk aparat peratur juga protokoler.
Pertanyaan:
Bagaimana caranya menerapkan syariat Islam dalam keadaan kondisi konflik dimana kita lihat disatupihak GAM mempunyai niat sendiri sedangkan kita mendengarkan bahwa taliban mempunyai konseb sendiri dan bagai mana cara mengakomodir segala kepentinga di tengah-tengah konflik sepeti ini?
Jawaban:
Melakukan syariat di aceh bukan berarti mengakomodir aspirasi presi itu melaikan syariat islam yang secara kaffah dilaksanakan di aceh berasal dari sumbernya yaitu al q’an dan sunnah juga mashab syafii berpengaru tetapih mengarah kesana juga mengikuti alsunnah. Kanu-kanun yang di sahkan dalam proses setelah UUD 48 dan UUD 18 tahun 2001 itu semuanya di mengawali Al-Qu’an dan hadis atau alsunnah. Jadi ini tidak mengakomodir aspirasi GAM atau taliban, jurtru hal itu tidak di petimbangkan melaikan jalan sendiri berdasarkan sejarah syarit islam yang ada dan siapapun harus mengikuti syariat islam yang sudah ada.
Petanyaan:
Syariat islam yang ada di terapkan di aceh apakah secarah fikih?
Dalam undang-undang di sebutkan adalah islam secara kaffah, pemahaman islam secara kaffah di lihat dari kriteria yang di kemukakan oleh para ulama pada umumnya hanya meliputi akidah, ibadah, muamalah, dan ahkhlak. Keempat aspek ini yang akan diterpkan di aceh tentunya hal-hal yang memerlukan pada bantuan atau campur tanggan merupakan kewajiban pemerintah, juga hal-hal yang tidak diserahkan kepada masing-masing umat islam seperti perihal yang salah dan bagai mana kesadaran seseoarang juga harus belajar melihat yang salah atau benar. Syariat islam yang diatur di dalamnya bukan substansi syariat tersebut misalyan kesalah yang lima puluh harus berobah menjadi enam ini merupakan hal yang sering orang memplesetka, jadi yang di atur adalah hal pada pelaksanaan syraiat islam yang menyangkut kepentingan masyarakat maka muncul peraturan syariat islam yang di terapkan oleh pemerintah salah satu contonya pada bulan puasa seseorang tidak berpuasa dan orang tersebut memakan makanan berada di dalam rumahnya tidak akan menimbulkan masahalah itu urusan pribadinya dan apabila seseorang tidak puasa memakan makanan diluar atau menghisap rokok di tempat umum maka ini tidak diperbolehkan atau sudah melanggar.
Bagaimana kelompok minoritas non-Islam merespon hal ini karena kemarin kita mendengar adanya protes dari mereka?
Menurut saya tidak ada yang protes sudah sesuai juga semua orang suda tahu karena Islam sangat toleran dan Islam itu juga lahir dalam kondisi masyarakat vultural seperti di madinah, makkah dan di situ ada bermacam-macam agama jadi nuasa seperti itu tetap berlaku di Aceh. Dalam undang-undang No 44 di sebutkan “pelaksanaan syariat islam di aceh tetap menjaga kerukunan umat beragama”, justru malah mereka non mulsimpun mendukung dan bukti mereka mendukung, Pada saat pembahasan rancangan kanun tentang drafnya sudah di siapkan sebelum di ajukan oleh pemerintah daerah ke DPRD dan hal ini di seminarkan didiskusikan mulai dari berbagai kelompok masyarakat juga adalalagi di adakan oleh satu LSM kemudian draf ini di seminarkan di review. Pada saat itu di undang adalah tokoh-tokoh non-Islam yaitu tokoh-tokoh agama yang ada di aceh, mereka hadir di Kuala Tripa dan semua mereka mendukung hal itu. Salah satu hukuman diterapkan di Aceh misalnya apabila seseorang umat Islam melakukan meminum minuman keras maka orang tersebut di kenakan hukuman cambuk empat puluh kali, dan mereka para tokoh agama non muslimpun memintak agar hukuman tersebut di berlakukan pada mereka umat non-Islam juga. Karena undang-undang Syariat islam di aceh membatasi hukuman hanya kepada umat islam saja maka apabila mereka meminum minuman keras itu bukan suatu pelanggaran dan tidak akan dikenakan hukuman berdasarkan Syariat Islam tetapi bila sudah meresahkan masyarakat maka akan di kenakan hukuman berdasarkan undang-undang hukuman nasional dan ini adalah kewenangan pengadilan negeri, jadi di sini jelas tidak akan menimbulkan konflik sesama masyaraka yang bebedak agama.
Pertanyan:
Bagaimana dalam hal hudud apakah akan diterapkan seperti dalam al-Qur’an?
Tentunya tidak karena konsep dalam al-Qur’an sangat umum juga general dan saya kira tidak ada negara di dunia ini yang bisa, seperti halnya bagaimana betuk rajam dan ini perlu di terjemahkan oleh sebab itu harus ada prinsib dan kesepakatan maka Syariat Islam yang ada di Aceh dilakukan secara bertahap-tahap dan ini sudah berjalan pada tingkat-tikat soliasasi.
Pelaksanaan Syariat Islam ini ada tahap sebelum tahap proses hukum kemudian ke proses hukumnya seperti seseorang melakukan pelanggaran hukum khalwat maka dia tersebut tidak langsung kena hukuman melainkan dia diberikan dulu penyuluhan pembinaan nasehat yang dilakukan oleh suatu lembaga wilayatulhisbah. Pada masa Nabi Wilayatul Hisbab dipakai untuk melihat apabila ada kecurangan di pasar kemudia pada masa sekarang di pakai di aceh untuk seluruhnya jadi bukan hanya di bidang pidana melaikan hal-hal lain termasuk amal mahruf nahi mukar dan secara umum, juga adapun cara wilayatulhisba meberi penyuluhan atau nasehat secara di panggil satu kali udah di tegur dua kali masih melakukan pelaggaran dan yang ke tiga masih juga melakukan pelanggaran maka dia tersebut akan di sidangkan dalam pengadilan desa, yang terlibat dalam pengadilan atara lain kesyik dan sekrestarisnya (kepala desa) tengku imum menasah (petiggi ustat balai) tuha peut dan tuha lapan (tokoh-tokoh penting dalam desa yang terlibat dalam pemerintahan kepala desa) oleh disebabkan karena jabatan mereka sangat penti dalam desa maka merekapun menjadi anggota wilayatulhisbah jadi secara exopsiu atau bukan hanya mereka saja beberapa orang yang di pusat menjadi anggota melainkan menyeluruh.
Pertanyan:
Menyangkut dengan polisi, itu dari mana? Apakah di polda ada divisi Syariat?
Jawaban:
Polisi tetap polisi daerah dari negara, mengenai devisi POLDA yang khusus di Aceh berperan memegang Syariat Islam hal ini. Saya bersama teman-teman mengusulkan supaya di Polda itu ada orang-orang yang di tugaskan untuk penegakan Syariat Islam. Selama ini konsepnya mereka masi melakukan penegakan syariat islam di bawah misalnya polda kadit reserse bidang kriminal jadi secara umum. kemudian saya mengusulkan supaya yang melakukan pembinaan dan yang melakukan penegakan syriat islam itu untuk di bentukan satu kadit sendiri jadi ada kadit penegakan syriat islam begitu juga di kapolres. Sehingga dari segi wibawa marwah pembinaan, jadi terlihat jelas di aceh ada berjalannya syariat islam yang di dukung juga oleh polisi setempat. Di lihat macamnya polisi sekarang beragam di antaranya ada yang menanggani lalulintas, ekonomi, nakoba, dan nanti akan ada polisi penegakan syariat islam dari mereka sendiri yang di abil mempunyai latar belakang pendidikan agama islam misalnya lulusan sarjana IAIN lulusan MAN dan ini akan di tapung kearah polisi penegakan syariat kemudian akan di bekali dengan pengatahuan syariat islam dan ini sudah di lakukan semenjak tahun yang lalu 2003. Pelatihan dilakukan oleh pelatih dari syariat juga bekerja sama dengan KAPOLDA dan setiap KAPOLRES di situ ada dua macam polisi yaitu polisi umum yang di berikan pengetahuan Syariat yang diharapkan nantinya mereka inilah melakukan penegakan syriat islam.
Pertanyan:
Bagaimana dengan makamah Syariah apakah sudah jalan atau belum?
Makamah syariah belum, tetapih makamah dalam hal kulus sudah jalan seperti ”ahwalulsyamsiah” muamalah dalam hal tertentu sudah jalan karena itu kewenangan pengadilan agama yang dulu. Prinsib makamah syariah di aceh yaitu makamah ini lahir berdasarkan undang-undang no 18 tahun 2001 dan di situ disebutkan “peradilan syariat islam itu di lasanakan oleh makamah syriah berdasarkan syariat islam”. Pada waktu itu ada diskusi apakah makamah syariah ini lembaga baru yang di rujuk atau pengadilan agama yang ada ini di kembangka diperluas kewenangannya menjadi makamah syariah dan hal ini di musyawarahkan dulu di aceh juga dengan berbagai pertimbangan seandainya di bentu lembaga yang baru akan banyak mengalami kesulitannya contonya kita di aceh harus mendapatkan pengakuan dulu dari jakarta kemudian harus membangun gedung, setiap kabupaten kota propinsi harus ada di angkat menjadi hakimnya dan dana sebanya itu dari mana kita ambilnya juga dari pemda untuk hal demikian tidak siap. Setelah itu di simpumkan untuk aceh makamah syariah itu berdasarkan agama yang telah ada ini yang akan di kembangkan menjadi makamah syariah dan dengan cara ini banyak di untungkan yang tadi banyak sekali membutuhkan dana. Berdarkan cara yang di kembangkan maka hakim yang berada di aceh akan menjadi hakim makamah syariah dan akibat dampak ini secara serentak lembaga pendidikan juga gedung-gedung yang ada di aceh mengikuti syariah dan apabila para hakim berpindah ke luar aceh maka ala syariah bisa mereka pakai juga ke daerah masing-masing dan pusatpu merestui atau tidak ada hambatan dari jakarta.
Pertanyaan:
Apakah ada ketakutan orang jika aceh di laksanakan Syariat Islam, nanti menjadi Negara Islam?
Jawaban:
Ketakutan pada Syariat Islam tidak ada. Cuma ketakutan orang dianggap selama ini pelaksanaan Syariat Islam terbayang seperti di Arab Saudi, Pakistan yang hukumannya sadis misal pemotongan tangan. Tetapi di Aceh belum ada hukuman demikian nanti. 57 tahun yang akan datang baru akan di pikirkan hukuman tersebut. Jadi sekarang masih dalam tahap-tahapan dan sekarang masih dalam tahap pemberian kesadaran pembinaan dari hal-hal yang kecil sampai besar, dan upaya hukuman adalah upaya yang terakhir. Dalam hal proses hukuman pertamanya di serah kan kepada Yayasan Wilayatul Hisbah apabila dengan cara ini gagal masih melakukan pelanggaran maka baru akan di serahkan ke polisi dan sekarang ini polisi sudah mempunyai kanunnya tetapih jaksa belum. Saya melihat ada misi kepentingan lain secara nasional juga di Aceh sebab lembaga kejaksaan tidak ada orang di Jakarta termasuk di Aceh Kejaksaan Agung dan lainya yang konsen dengan perihal islam, ini merupakan hambatan karena kanun kejaksaan itu belum ada.
Pertanyaan:
Mungkinkah penerapan syariat Islam di Aceh seperti di Kelantan? Banyak teori muncul ke Aceh mengatakan bahwa ini merupakan obat untuk konflik, ini sebagai sejarah aceh, tuntutan memang sekarang saatnya.
Di Kelantan bagian dari politik sebagian ada yang menentangnya karena hak untuk melaksakan penerapan Syariat Islam di situ hasil dari kemenangan pemilu juga di pengaruhi oleh si penguasa meberi tanda positif atau negatif untuk hal tersebut, walaupun banyak masyarakat di sana sangat berkeingina. Di Aceh ini tidak demikian dan politik itu perlu untuk mengumgulkan hal ini karena proses politik masalah hukum di arena politik juga di aceh memang ada tuntutan historis, tuntutan masyarakat supaya memang harus berlaku Syariat Islam. Jika di hubungkan dengan peredaan konflik ini salah karena para dikma berpikir apabila apabila syariat islam ada di aceh paling tidak konflik bisa di minimalkan sedikit demisedikit.
Pertanyan:
Proses Syariat Islam di Aceh saat ini, kira-kira sudah masuk dalam tahap yang mana?
Sekarang masih dalam tahap penyiapan perangkap peraturan perundangan dan tahap sosialisasi
Pertanyan:
Bagaimana bentuk metode sosialisasinya di Aceh yang akan di terapkan?
Jawaban:
Metode sosialisasi ada yang di lakukan oleh pemerintah melalui Dinas Syariah Islam yaitu MPU dan ada diserahkan kepada masyarakat yaitu seperti organisasi muhammadiah, ikatan siswa kader dakwah, HMI, Insafuddin. Jadi mereka melakukan kegiatan sosialisasi dan mereka sampaikan apa saja yang berguna. Kesempatan untuk berbicara mereka pergunakan sehingga masyarakat tau dan perlu ada akses masyarakat supaya nanti pada saat sudah berlaku tidak asing lagi untuk masyarakat sehingga tidak ada yang menentang melakukan macam-macam dan hasilnya sudah di sepakati bersama juga nantinya tidak akan menimbulkan masalah.
Pertanyaan:
Srategi apa yang di lakukan dinas Syariah untuk menerapkan Syariat islam dalam konteks konflik semacam ini? Karena sekaran kita lihat banyak orang yang meninggal dengan tidak wajar, di mana posisi Syariat Islam dalam melihat ini?
Pertama penerapan syariat islam ini bahwa di harapkan konflik itu bisa bereda dan dalam kaitan menyetuh langsung dengan itu maka ini belum masuk karena menyangkut hal menyelesaikan konflik langsung seperti sekarang ini masih riskan, dimana kita tau GAM itu dulunya punya misi agama dan ketika terakhir mereka tidak memakai lagi lebel agama karena alasan mereka jika memakai lebel agama nantinya luar negeri tidak akan membantu mereka, akibatnya kemudian masyarakat menganggap GAM semakin jauh dengan syariat. Apabila mahkamah sudah jalan dan kemudian kanun-kanun di bidang masing-masing, seadainya ada masahalah misal peberontak, hirabah, bu ghrak juga macam-macam lainya dan hal demikian akan menjadi kewenangan makamah syariah juga penerapan hukum dengan ala yang demikian bisa meredakan konflik.
Pertanyaan:
Apakah dengan penerapan Syariat Islam itu orang Aceh sudah merasa dirinya sebagai orang aceh?
Jawaban:
Penerapan Syariah Islam bisa diterapkan ini adalah hasil dari tuntuntan masyarakat Aceh. Cuma sekarang hambatannya dalam pelaksanaan Syariat islam banyak sekali diantaranya suasana birokrat yang sudah hidup dengan nilai-nilai non syariah. Ini sangat merajalela dan untuk aceh Syariat Islam bisa berjalan yang perlu di lakukan adalah tingkat biokrat pemerintah harus lebih banyak mengamalkan syariat islam. Masyarakat aceh dan bukan masyarakat aceh cenderung melihat ke atas bagaimana contohnya atau figurnya. Beberapa tempat saya melihat komitmen pemerintah yang sekaranng menjabat sebagai gubenur, bupati, wali kota, camat, untuk pelaksanaan Syariat Islam masih sangat rendah dan di sinilah Dinas Syariah dalam masalah ini harus berkerja ekstra keras. Dalam penerapan Syariat Islam, di Aceh tidak kompak dalam hal aksi, tetapi secara ide, semangat iya dan begitu iplementasi itu sudah sulit apalagi di linkungan birokrat. Pratek mereka tidak menyatu dengan Syariat, cuma baru teringat Syariat ketika mau melaksanakan peringatan maulid, peringatan israk mikrak, panitia mengadakan kenduri setelah adanya kepala baru dan mengundang ulama untuk membaca do’a bersama. Selain dari pada itu kebanyakan lupa untuk berpegang pada Syariat Islam. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa MPU itu bukan untuk di undang membaca do’a melaikan harus proaktif melaksanakan tugasnya. Di Aceh sendiri untuk pelaksanaan syariat islam tergantung pembinaan dan penyadaran supaya syariat harus berjalan oleh sebab itu untuk berjalannya harus ada kekuasaan yang mengatur. Pada saat sekarang tahun 2004, PDMD sangat bagus untuk memperdulikanya dalam hal Syariat Islam, maka kebijakan PDMD yang sumbernya yang di inspiraasi oleh MPU di tampung dengan bagus, contoh peraturan yang di tampung adalah “setiap hari jum’at pada saat jam 12 masyarakat tidak di perbolehkan lagi berkeliaran di jalan atau tempat umum semuanya harus ke mesjid.”