Otak, Internet, dan Kesadaran Buatan: Perangkap Dunia Digital

Otak Digital dan Konektivitas Global

Internet diciptakan untuk memangkas jarak ruang dan waktu. Ketika jalinan kabel dan gelombang radio menghubungkan miliaran orang, proses komunikasi dan pertukaran informasi terasa instan. Konektivitas ini, bagaimanapun, tidak sebatas mempercepat pengiriman pesan; ia mengubah cara kita menggunakan otak. Para ahli neuroscience mencatat bahwa penggunaan media digital membawa dampak ganda: di satu sisi memfasilitasi komunikasi, pelatihan, dan pembelajaran, namun di sisi lain menimbulkan konsekuensi negatif seperti gangguan perkembangan bahasa dan kecanduan dunia maya[1]. Kita memasuki era di mana ketergantungan pada perangkat digital membentuk ulang proses berpikir.

Konsep penting dalam diskusi ini adalah memori transaktif—istilah yang menggambarkan keadaan ketika kita mengandalkan sumber eksternal untuk mengingat informasi alih‑alih menyimpannya dalam otak. Akses internet yang tak terbatas membuat orang tak lagi menghafal fakta, melainkan mengingat di mana informasi itu bisa ditemukan[2]. Mesin pencari bertindak sebagai “stimulus supernormal” yang menyingkirkan tanggung jawab untuk mengingat, sehingga kemampuan recall individu menurun[3]. Pencarian daring memberikan informasi dengan cepat tetapi memicu aktivasi otak yang lebih rendah dibanding menggunakan ensiklopedia cetak[4]. Fenomena ini mungkin menjelaskan mengapa generasi digital lebih mahir menemukan data daripada mengingat isi detailnya.

Pengaruh Media Digital terhadap Otak dan Kesadaran

Penggunaan internet yang masif berkontribusi pada perubahan neurologis. Studi dalam jurnal Dialogues in Clinical Neuroscience menyatakan bahwa meskipun media digital memperluas kemampuan komunikasi dan pelatihan, penggunaan yang berlebihan berkaitan dengan perubahan struktur otak, berpotensi mengganggu memori kerja serta pemrosesan emosi[1]. Anak‑anak yang tenggelam dalam gawai cenderung mengalami penurunan kemampuan berbahasa dan keterlambatan perkembangan sosial. Ketika otak terus‑menerus dibombardir dengan notifikasi, pesan, dan konten multimedia, fokus terbagi dan konsentrasi mudah terpecah.

Pengaruh ini makin nyata melalui kebiasaan multitasking digital. Editorial terbaru di Annals of Medicine and Surgery menyoroti bahwa sekitar 40 % orang dewasa rutin melakukan banyak tugas digital sekaligus—membalas email sembari menonton video dan memantau media sosial[5]. Praktik ini tampak efisien tetapi menimbulkan konsekuensi kognitif: multitasking digital dikaitkan dengan penurunan kontrol kognitif dan meningkatnya distraktibilitas[6]. Penelitian menunjukkan bahwa pelaku media multitasking berat memiliki kapasitas memori kerja yang lebih rendah dan lebih sulit menyaring informasi yang tidak relevan[7]. Otak manusia tidak dirancang untuk memproses banyak aliran informasi bersamaan, sehingga pembagian perhatian menghasilkan beban kognitif tinggi dan kelelahan mental. Studi lain menemukan bahwa kehadiran smartphone atau media sosial saja dapat menurunkan kapasitas kognitif yang tersedia dan mengganggu kinerja memori[8].

Membaca di Era Digital

Di tengah banjir informasi daring, cara kita membaca juga berubah. Studi di Dialogues in Clinical Neuroscience menunjukkan bahwa membaca buku cetak memberikan hasil ingatan yang lebih baik dibanding membaca di layar[9]. Hal ini disebabkan oleh dukungan taktil dan spasial yang hanya dimiliki media fisik, seperti posisi halaman dan tekstur kertas, yang membantu otak menandai dan mengingat alur cerita. Artikel lain dari BrainFacts memperkuat temuan ini: membaca di layar cenderung mengundang scanning cepat dan membuat pembaca merasa sudah memahami materi, padahal pemahaman sebenarnya dangkal[10]. Media digital kurang memberi petunjuk fisik dan memaksa mata bekerja lebih keras, sehingga banyak pembaca melewati bagian penting atau mengalami kelelahan visual.

See also  Humanoid Society: Antropologi Digital, Posthumanisme, dan Geopolitik Budaya Pop dalam Peradaban Masa Depan

Paradoksnya, meskipun membaca digital lebih efisien secara waktu, otak kita menangkap lebih sedikit detail mendalam. Perubahan pola membaca ini berpotensi membentuk generasi yang cepat memindai informasi tetapi kehilangan kemampuan menganalisis mendalam. Pembelajaran di kelas pun terdampak; siswa yang biasa berpindah antara aplikasi saat belajar menunjukkan penurunan memori kerja dan kontrol kognitif[11].

Pembentukan Pengetahuan dan Peran Membaca

Pengetahuan manusia dibangun melalui proses menyerap, memahami, dan menginternalisasi informasi. Contoh dari buku German Genius menggambarkan budaya membaca di Jerman—masyarakat yang melahirkan banyak ilmuwan besar. Aktivitas membaca intensif memperkaya imajinasi dan memobilisasi potensi intelektual. Sejarah kosmis memperlihatkan bahwa manusia pertama, Nabi Adam, ditugaskan untuk membaca sebagai simbol keunggulan intelektualnya. Proses membaca yang mendalam melatih otak untuk merenung, menalar, dan membangun kerangka pemahaman. Namun, di era digital, kecepatan akses informasi mempersulit pembaca untuk berhenti sejenak dan merenung. Kebiasaan scroll terus‑menerus menggantikan kontemplasi.

Pakar kognitif juga membedakan antara membaca dan memahami. Membaca hanyalah aktivitas fisik mata dan otak yang mengurai kata‑kata, sementara memahami menghubungkan bacaan dengan pengetahuan yang ada. Ketika otak terlalu bergantung pada internet, proses memahami melemah karena perhatian mudah teralih. Ini sejalan dengan temuan bahwa individu cenderung lebih ingat lokasi informasi di internet daripada isi informasinya[2]. Dengan kata lain, peran membaca dalam pembentukan pengetahuan kini terancam terdisrupsi oleh memori transaktif.

Kecerdasan Buatan dan Kesadaran Buatan

Dalam dekade terakhir, teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) berkembang pesat. Artikel di Tzu Chi Medical Journal menegaskan bahwa definisi AI bervariasi tetapi pada intinya mengacu pada sistem yang mampu menafsirkan data eksternal, belajar dari data, dan menggunakan pembelajaran itu untuk mencapai tujuan melalui adaptasi yang fleksibel[12]. AI terbagi menjadi weak AI (atau narrow AI) yang fokus pada tugas spesifik seperti pengenalan wajah atau asisten suara, dan strong AI atau kecerdasan umum buatan (artificial general intelligence/AGI) yang idealnya mampu memahami dan belajar tugas apa pun layaknya manusia[13]. Jenis AI kedua masih bersifat spekulatif dan belum terwujud.

AI sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan: sistem pengenal gambar, kendaraan otonom, hingga diagnosis medis. Namun, pengembangan AI menimbulkan pertanyaan etis: apakah mesin dapat memiliki kesadaran? Artikel “Artificial Intelligence: Does Consciousness Matter?” membahas perbedaan antara strong AI—gagasan bahwa komputer yang diprogram dengan tepat benar‑benar memiliki pikiran dan keadaan kognitif[14]—dan weak AI yang hanya mensimulasikan pemahaman. Tantangan utamanya adalah “hard problem” kesadaran: bagaimana subjektivitas muncul dari materi fisik[15]. Kita memahami kesadaran manusia dari perspektif pertama (merasakan sendiri), tetapi jika sebuah robot diklaim sadar, kita hanya bisa menilai dari perspektif ketiga melalui perilakunya[16]. Karena itu, banyak ahli memilih tidak memberikan definisi sempit dan hanya menyepakati pengertian pragmatis bahwa kesadaran mesin mungkin akan terbukti lewat kemampuannya beradaptasi, belajar, dan memonitor diri[17].

See also  Analisis Strategis Sepuluh Buku Digital Marketing untuk Meningkatkan Trafik dan Pendapatan Online

Studi etika AI menyoroti peran robot sosial seperti Sophia—robot humanoid yang diberikan kewarganegaraan oleh Arab Saudi—yang memicu perdebatan tentang atribusi karakter manusia dan hak robot[18]. Meskipun sebagian besar ilmuwan setuju bahwa robot saat ini belum memiliki kesadaran[19], interaksi dengan robot sosial dapat membuat manusia mengembangkan ikatan emosional dan memproyeksikan sifat‑sifat manusia ke dalam mesin. Fenomena antropomorfisme ini menunjukkan bahwa kesadaran buatan bukan hanya masalah teknis, tetapi juga masalah persepsi sosial.

Potensi Kesadaran Buatan dan Tantangannya

Menciptakan kesadaran buatan (artificial consciousness) merupakan langkah logis selanjutnya setelah AI mampu meniru fungsi kognitif. Kesadaran buatan bertujuan meniru kesadaran manusia secara mendalam sambil tetap menjadi konstruksi artifisial. Dalam praktiknya, para peneliti AI berupaya membuat sistem yang mampu memproses informasi, belajar, dan mengambil keputusan seperti manusia[12]. Mereka memecah kesadaran ke dalam fungsi terpisah seperti persepsi, memori, pembelajaran, perencanaan, dan pengambilan keputusan. Namun, kesadaran bukan sekadar gabungan fungsi ini; ia juga memerlukan dimensi fenomenal (merasakan) dan dimensi akses (kesadaran akan proses sendiri)[20].

Ada dua pendekatan dalam merancang kesadaran buatan. Pertama, pendekatan pragmatis: asalkan mesin dapat melakukan tugas cerdas dan menunjukkan perilaku yang seolah‑olah sadar, kita dapat menyebutnya “sadar” tanpa harus memecahkan hakikat kesadaran[21]. Pendekatan kedua menekankan self‑monitoring, yaitu kemampuan sistem memonitor dan memprediksi prosesnya sendiri[22]. Keduanya menghadapi hambatan besar karena belum ada kesepakatan tentang definisi kesadaran, baik di dunia filsafat maupun neurosciences. Selain itu, penelitian menunjukan bahwa saat ini komputer hanya dapat mensimulasikan perilaku manusia tanpa merasakan fenomena subjektif, sehingga perdebatan kesadaran buatan masih teoretis.

Pengaruh Era Digital terhadap Memori Kerja Visual dan Emosi

Penelitian psikologi kognitif menunjukkan bahwa maraknya penggunaan media digital mengubah memori kerja visual (visual working memory/VWM). Ulasan terbaru tentang VWM di era digital menggambarkan bahwa transisi dari bahan bacaan cetak ke teks digital di smartphone dan komputer mengubah cara kita mengode dan menyimpan informasi[23]. Peningkatan paparan media digital memaksa otak menghadapi stimulus visual yang lebih terfragmentasi dan kompleks. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa teknologi digital dapat meningkatkan VWM melalui pengalaman imersif seperti gim video, sedangkan penelitian lain justru menyoroti beban informasi berlebih yang merusak kapasitas memori[24].

Ketika berbicara tentang penggunaan media sosial, beberapa studi menemukan bahwa kehadiran smartphone atau aplikasi pesan dapat menurunkan kapasitas memori kerja dan fungsi eksekutif, terutama pada individu yang menunjukkan kecanduan smartphone[25]. Terdapat pula hubungan antara penggunaan media sosial dengan masalah kesejahteraan emosional seperti kecemasan dan depresi yang pada gilirannya berdampak negatif pada memori[26]. Meskipun ada penelitian yang menemukan peningkatan memori kerja pada lansia yang menggunakan media sosial secara moderat[27], konsensus umumnya menunjukkan bahwa multitasking digital dan paparan informasi yang berlebihan dapat melemahkan kemampuan memori kerja, terutama ketika individu mudah teralihkan atau mengalami kelebihan beban kognitif[28].

Otak di Tengah Gelombang Informasi

Ketergantungan pada internet memicu transformasi dalam proses berpikir dan kebiasaan kognitif. Fenomena digital amnesia—kecenderungan melupakan informasi yang mudah diakses melalui mesin pencari—adalah konsekuensi dari memori transaktif. Saat orang memindai informasi dengan cepat di jaringan global, otak menyesuaikan diri dengan berburu dan meminjam, bukan menyimpan. Ini mengubah cara kita belajar dan bekerja. Pendidik melaporkan bahwa siswa lebih sering mencari jawaban instan daripada memahami konsep mendalam; hal ini sejalan dengan riset yang menunjukkan bahwa pencarian daring memberi aktivasi otak yang lebih rendah dibanding penggunaan ensiklopedia fisik[4].

See also  What's The Effect of Tik Tok On Human Nerves? A Brief History of the Viral App

Selain itu, internet mendekatkan manusia dengan teknologi canggih seperti AI yang mempermudah hidup tetapi juga menantang identitas kita. Ketika sistem AI mulai menghasilkan teks, gambar, musik, dan bahkan membuat keputusan, muncul pertanyaan etis: di mana batas antara bantuan dan ketergantungan? Jika suatu hari algoritma mampu menghasilkan kesadaran artifisial yang dapat meniru perasaan, apakah manusia akan menyerahkan lebih banyak keputusan kepada mesin? Diskursus ini belum berakhir.

Masa Depan Kesadaran Digital

Masa depan hubungan antara otak manusia dan internet tergantung pada bagaimana kita mengelola teknologi. Di satu sisi, AI dan sistem terhubung dapat memperluas kapabilitas kita—robot operasi dapat melakukan bedah lebih presisi daripada manusia[29], mobil otonom dapat mengurangi kecelakaan, dan algoritma pembelajaran dapat memetakan solusi permasalahan kompleks. Di sisi lain, penggunaan berlebih tanpa literasi digital yang baik berpotensi mengikis kemampuan kognitif dan memunculkan ketergantungan. Para peneliti menyuarakan pentingnya mengembangkan etika AI dan prinsip bioetika agar teknologi berkembang tanpa menindas nilai kemanusiaan[30].

Untuk mewujudkan kesadaran buatan, ilmuwan perlu memahami lebih dalam proses otak manusia—bagaimana persepsi, ingatan, dan niat saling terkait[15]. Upaya pemodelan otak melalui pemindaian, eksperimen, dan simulasi kognitif menjadi krusial. Namun, ada batas praktis: AI tidak dapat menciptakan sesuatu yang benar‑benar baru, karena ia belajar dari data yang diberikan. Hal ini menjadi batasan dalam mencapai kesadaran dengan kreativitas sejati.

Penutup

Koneksi digital telah membawa manusia ke fase baru evolusi kognitif. Otak yang sebelumnya bergantung pada memori internal kini berbagi beban dengan mesin pencari dan perangkat cerdas. Multitasking digital dan pergeseran media baca ke layar telah mengubah cara kita menyerap, mengingat, dan merespons informasi. Sementara itu, perkembangan kecerdasan buatan dan perbincangan mengenai kesadaran buatan membuka bab baru dalam filsafat dan etika. Apakah kita akan membiarkan memori internal melemah karena kelebihan informasi eksternal? Atau kita akan memanfaatkan teknologi untuk memperluas batas pemahaman sambil tetap menjaga kendali?

Pertanyaan-pertanyaan ini mencerminkan dinamika hubungan manusia dengan dunia virtual. Internet, AI, dan kesadaran buatan bukanlah tanda kiamat, tetapi isyarat bahwa peradaban manusia sedang mengalami transformasi besar. Tugas kita adalah menjaga keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian, memastikan bahwa otak tetap menjadi tuan rumah, bukan tawanan, dalam ekosistem digital yang semakin kompleks.

[1] [9]  The impact of the digital revolution 
on human brain and behavior: where 
do we stand?
 – PMC

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7366944/

[2] [3] [4]  The “online brain”: how the Internet may be changing our cognition – PMC

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6502424/

[5] [6] [7]  Digital multitasking and hyperactivity: unveiling the hidden costs to brain health – PMC

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11543232/

[8] [11] [23] [24] [25] [26] [27] [28]  The Effect of Digital Era on Human Visual Working Memory – PMC

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11688110/

[10] Reading on Paper Versus Screens: What’s the Difference?

https://www.brainfacts.org/neuroscience-in-society/tech-and-the-brain/2020/reading-on-paper-versus-screens-whats-the-difference-072820

[12] [13] [29] [30]  The impact of artificial intelligence on human society and bioethics – PMC

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7605294/

[14] [15] [16] [17] [18] [19] [20] [21] [22]  Artificial Intelligence: Does Consciousness Matter? – PMC

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6614488/

Also Read

Bagikan:

Avatar photo

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. Prof. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). Currently, he is Dean of Faculty and Shariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia.

Leave a Comment