Remaja zaman sekarang hidup di era digital: kreatif, penuh drama, tapi juga selalu menemukan cara baru untuk eksis.

Remaja Zaman Sekarang: Kreatif, Ribut, dan Hidup Serba Online di Era Digital

Hidup Serba Digital

Ngomongin remaja zaman sekarang itu nggak ada habisnya. Dunia mereka udah beda banget sama generasi sebelumnya. Kalau dulu orang tua kita cerita masa remaja identik dengan main layangan, mancing, atau nongkrong di warung kopi sederhana, sekarang semua serba digital. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, tangan hampir nggak pernah lepas dari HP.

Media sosial jadi ruang utama buat nunjukin diri. Story di-upload tiap hari, feed Instagram diatur biar estetik, bahkan chat grup bisa lebih rame daripada obrolan langsung di kelas. Game online juga jadi “lapangan bermain” baru, tempat remaja ketemu, kerja sama, sekaligus ribut kecil-kecilan. Intinya, dunia mereka berpindah ke layar.

Tapi jangan salah, meski serba online, mereka tetap bisa hidup bareng. Nongkrong di café misalnya, bukan sekadar ngobrol, tapi sambil buka laptop, bikin konten, atau live streaming. Dunia offline dan online akhirnya nyatu jadi satu gaya hidup baru.

Buat sebagian orang tua, ini kelihatan aneh: “Ngapain sih main HP terus?” Tapi buat remaja sekarang, HP bukan sekadar alat komunikasi, tapi bagian dari identitas. Tanpa HP, rasanya kayak nggak lengkap, bahkan kayak ketinggalan zaman.

Jadi, kalau dibilang remaja sekarang sibuk sama gadget, memang iya. Tapi apakah itu selalu buruk? Belum tentu.

Kreatif di Era Digital

Meski sering dianggap “main HP doang”, nyatanya remaja sekarang justru kreatif banget. Banyak yang jadi content creator dengan followers ribuan. Ada juga yang jualan online, mulai dari produk kecil sampai brand pribadi. Bahkan dari kamar sendiri, mereka bisa bikin musik, desain grafis, atau karya seni yang dilihat orang seluruh dunia.

See also  Tradisi Flexing di Sekolah SMA: Antara Gaya, Gengsi, dan Identitas Anak Muda

Nggak sedikit remaja yang udah bisa dapet uang jajan tambahan dari hasil kreativitas mereka di internet. Bahkan ada yang lebih jauh: bisa bantu keluarga dengan penghasilan dari bisnis online atau YouTube. Jadi kalau masih ada yang bilang remaja zaman sekarang malas, jelas itu salah besar.

Kreativitas ini lahir karena mereka tumbuh di lingkungan serba cepat. Tren datang dan pergi dalam hitungan minggu, kadang malah hari. Remaja dipaksa untuk adaptif, belajar cepat, dan berani coba hal baru. Dari sinilah muncul ide-ide gokil yang kadang nggak kepikiran sama orang dewasa.

Tapi tentu nggak semuanya mulus. Kadang kreatif ini juga bikin capek, karena mereka harus selalu update biar nggak ketinggalan. Dunia digital memang kasih banyak peluang, tapi juga bikin tekanan baru.

Namun satu hal jelas: remaja zaman sekarang udah membuktikan bahwa mereka nggak bisa lagi diremehkan cuma karena sibuk dengan layar. Dari layar itulah lahir karya nyata.

Ribut, Drama, dan Tekanan Sosial

Kalau ada yang bilang hidup remaja itu damai, mungkin dia belum lihat realita medsos sekarang. Tekanan sosial makin besar karena semua orang berlomba-lomba keliatan keren. Flexing barang branded, nongkrong di tempat hits, sampai drama percintaan digital jadi bumbu wajib kehidupan remaja.

See also  Snouck Hurgronje: Ilmuwan, Penyamar, dan Otak Strategi Belanda di Aceh

FOMO alias takut ketinggalan juga nyata banget. Lihat temen upload liburan, langsung insecure. Ada yang pamer gadget baru, langsung ngerasa ketinggalan. Semua jadi serba perbandingan, dan itu bikin banyak remaja gampang down.

Drama juga nggak kalah seru. Dari ribut di grup chat, sindir-sindiran di story, sampai “unfollow” jadi tanda permusuhan. Lucu memang kalau dilihat dari luar, tapi buat yang ngalamin, rasanya bisa kayak perang kecil.

Tapi justru di situlah warna remaja sekarang. Ribut, drama, flexing—semua itu bagian dari proses mereka belajar mengenal diri sendiri. Lewat lika-liku itu, mereka nemuin siapa teman yang asli, siapa yang palsu, dan apa yang sebenarnya mereka butuhin.

Dengan kata lain, ribut di medsos bukan cuma masalah, tapi juga latihan menghadapi kerasnya dunia nyata.

Menemukan Jati Diri di Tengah Tren

Di balik semua keributan itu, remaja juga sibuk mencari jati diri. Ada yang nemuin passion di bidang seni: musik, lukis, atau fotografi. Ada juga yang sibuk gaming, bukan sekadar main tapi juga ikut turnamen e-sport. Ada yang aktif di organisasi, jadi pemimpin kecil-kecilan di sekolah atau komunitas.

Semua punya jalannya masing-masing. Bedanya, sekarang jalannya selalu ditemani layar. Jati diri mereka nggak lagi terbentuk di lapangan bola atau halaman sekolah aja, tapi juga di profil medsos dan ruang digital.

Menemukan jati diri ini jelas nggak gampang. Tekanan sosial bisa bikin mereka goyah, tren yang silih berganti bikin bingung. Tapi justru di situ letak tantangannya. Siapa yang bisa bertahan dan tetap jadi dirinya sendiri, biasanya jadi lebih kuat.

See also  Tari Saman Aceh: Warisan Budaya yang Mendunia dan Identitas Generasi Muda

Kadang, proses ini juga bikin remaja lebih berani. Mereka belajar ngomong di depan publik lewat live streaming, belajar berbisnis dari jualan online, bahkan belajar politik kecil-kecilan lewat organisasi digital. Semua ini bikin mereka punya skill yang generasi sebelumnya mungkin nggak kebayang.

Jadi meski kelihatan ribut, sebenarnya mereka lagi serius nyari tempat di dunia yang terus berubah.

Penutup: Remaja Digital, Dunia Baru

Remaja zaman sekarang memang beda banget sama generasi sebelumnya. Mereka tumbuh di era digital yang serba cepat, penuh tantangan, tapi juga kaya peluang. Ada drama, ada tekanan, tapi juga ada ruang buat berkembang.

Uniknya, remaja ini selalu punya cara buat bikin dunia mereka lebih ribut tapi juga lebih hidup. Dari medsos, dari game, dari karya digital, mereka terus bereksperimen dengan identitas mereka sendiri.

Kreatif, kadang ribut, sering bikin pusing orang tua, tapi justru itulah yang bikin mereka menarik. Dunia remaja sekarang bukan lagi sekadar fase, tapi laboratorium sosial tempat banyak hal baru lahir.

Intinya, remaja zaman sekarang itu unik. Mereka bukan cuma generasi serba online, tapi juga generasi yang bisa ngasih warna baru buat dunia.

Dan mungkin, kalau kita mau belajar, justru dari mereka lah kita bisa lihat masa depan seperti apa.

👉 Artikel ini ditulis oleh Qaishar, siswa kelas XII SMA Labschool Banda Aceh, yang sering mengamati kehidupan remaja digital dari warkop kota hingga timeline media sosial.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *