Pendahuluan
Singapura dikenal memiliki jajaran sarjana dan intelektual terkemuka yang berperan besar dalam pembangunan ilmu pengetahuan dan kebijakan publiknya. Dalam 20 tahun terakhir, banyak ilmuwan, akademisi, dan pakar di bidang politik, ekonomi, teknologi, hukum, dan sains yang tampil menonjol. Para sarjana ini memiliki latar belakang pendidikan unggul (baik di universitas lokal maupun mancanegara), jaringan luas di dalam dan luar negeri, dan sering menjabat posisi strategis di pemerintahan atau lembaga think-tank. Berikut ini profil beberapa tokoh sarjana terkemuka di Singapura, termasuk etnis dan asal-usul mereka, karier akademik dan hubungan dengan pemerintah, serta pengaruhnya terhadap kebijakan publik.
Diplomasi, Politik, dan Hubungan Internasional
Kishore Mahbubani – Seorang diplomat veteran dan akademisi Singapura keturunan Sindhi-India[1]. Mahbubani meraih gelar Filsafat dari University of Singapore (NUS) dan gelar Master dari Dalhousie University, Kanada[2]. Ia berkarier di Kementerian Luar Negeri, menjadi Wakil Tetap Singapura untuk PBB (Permanent Representative to the United Nations) periode 1984–1989 dan 1998–2004[3].
Bahkan, ia pernah menjabat Presiden Dewan Keamanan PBB tahun 2001–2002[4]. Mahbubani juga dikenal sebagai Dekan pendiri Lee Kuan Yew School of Public Policy (LKYSPP) di NUS (2004–2017)[5]. Selama masa jabatannya sebagai dekan, ia menghadapi kontroversi ketika salah satu profesor di sekolah itu, Dr. Huang Jing, dituduh pemerintah Singapura sebagai “agen pengaruh negara asing” dan akhirnya diusir dari Singapura[6][7].
Mahbubani sendiri pernah menuai kritik dari Menteri Hukum K. Shanmugam dan diplomat senior Bilahari Kausikan atas tulisannya di media[8]. Meski demikian, reputasi intelektualnya di kancah global sangat disegani. Ia kerap menulis buku dan artikel tentang geopolitik (misalnya Can Asians Think? dan Has China Won?) dan termasuk dalam daftar 100 Intelektual Umum Teratas di dunia versi Foreign Policy dan Prospect (2005)[9].
Mahbubani, berasal dari keluarga Hindu Sindhi yang mengungsi dari India saat Partisi, mencerminkan keragaman etnis Singapura[10]. Kini di usianya yang senja, ia masih aktif sebagai peneliti dan penasihat kebijakan, serta menjalin jaringan luas dengan institusi global (misalnya anggota American Academy of Arts and Sciences)[11].
Professor Tommy Koh – Dikenal sebagai “diplomat maestro” Singapura, Tommy Koh adalah diplomat, pengacara, dan akademisi berdarah Tionghoa (ayahnya dari Fujian, ibu dari Shanghai)[12]. Ia lulusan hukum dari University of Malaya (Singapura) dan meraih gelar Master of Laws dari Harvard serta diploma dari Cambridge[13]. Sejak akhir 1960-an, Tommy Koh sudah dipercaya mewakili Singapura di dunia internasional. Ia menjabat Wakil Tetap Singapura untuk PBB 1968–1971[14], dan kemudian Duta Besar di Amerika Serikat.
Reputasinya mengkilap di bidang hukum internasional – ia memimpin Konferensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1980–1982 dan berhasil mencapai konsensus pada Konvensi Hukum Laut[15][16]. Tommy Koh juga menjadi Ketua Konferensi PBB untuk Lingkungan & Pembangunan (KTT Bumi di Rio 1992)[15]. Peran penting lainnya termasuk Sekjen pertama Forum Asia-Eropa (ASEF) di 1997[17], Ketua tim negosiasi Singapura untuk perjanjian FTA dengan AS, dan berbagai misi diplomatik penting.
Selain tugas kenegaraan, Prof. Koh aktif di dunia akademik sebagai profesor hukum dan Rektor College Tembusu NUS, serta menjadi Duta Besar Keliling (Ambassador-at-Large) pasca pensiun[18]. Ia menjabat penasihat khusus di Institute of Policy Studies (IPS) dan memimpin Dewan National Heritage Board[18].
Tommy Koh dikenal dekat dengan pemerintah sebagai penasihat, namun juga berani menyuarakan pandangan progresif – misalnya, ia pernah secara publik mendorong komunitas LGBT Singapura menantang hukum pidana anti-gay (Pasal 377A)[19].
Dalam kesehariannya, Tommy Koh terus menulis dan berbicara tentang diplomasi, lingkungan, dan hukum internasional. Jejak kariernya yang panjang menunjukkan perpaduan peran akademisi dan pejabat publik. Penghargaan tertinggi negara seperti Order of Nila Utama kelas satu telah dianugerahkan kepadanya (2008) atas jasa-jasanya[20].
Chan Heng Chee – Salah satu ilmuwan politik paling dihormati di Singapura. Dr. Chan adalah akademisi politik dan diplomat yang juga menjabat Duta Besar Keliling sejak 2012[21]. Ia mencatat sejarah sebagai wanita pertama peraih gelar First Class Honours di bidang ilmu politik dari University of Singapore (1964)[22]. Chan kemudian memperoleh gelar Master dari Cornell University dan Ph.D. dari NUS[22].
Pada era 1980-an, ia turut mendirikan lembaga think-tank kunci: Chan Heng Chee adalah Direktur pendiri Institute of Policy Studies (IPS) serta pernah memimpin Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS)[23]. Kiprah diplomatiknya pun gemilang – Chan menjadi Dubes Singapura untuk Amerika Serikat selama 16 tahun (1996–2012)[24], dikenal sebagai Dubes Singapura pertama yang wanita dan terlama di Washington.
Menariknya, Chan pernah menyebut dirinya “cukup anti-establishment” sebelum direkrut menjadi dubes, mengingat di masa mudanya ia kerap mengkritik pemerintah secara terbuka[25]. Penunjukannya menjadi dubes mencerminkan pendekatan inklusif pemerintah Singapura terhadap para kritikus konstruktif. Kini, Chan Heng Chee memimpin NAC (National Arts Council) dan kursi Presidential Council for Minority Rights.
Ia juga menjabat Ketua Yusof Ishak Institute (ISEAS), menandai peran sentralnya dalam mengarahkan riset strategis kebijakan[26]. Koneksinya global: Chan duduk di dewan penasihat internasional Council on Foreign Relations (AS), IISS (London), dan Asia Society. Dalam kehidupan sehari-hari, ia dikenal berjejaring luas dengan akademisi dan pemimpin dunia, sembari terus mengajar sebagai profesor ilmu politik NUS.
Etnisnya Tionghoa, ia lahir dan besar di Singapura, menikah dengan arsitek terkemuka Tay Kheng Soon. Jaringan keluarga Chan juga berpengaruh – saudara lelakinya Chan Heng Wing adalah diplomat dan mantan konsul di Shanghai, menambah panjang daftar diplomat dalam keluarganya.
Bilahari Kausikan – Dijuluki sebagai “diplomat blak-blakan” Singapura, Bilahari terkenal karena gaya bicaranya yang lugas dan analisis geopolitik yang tajam. Ia keturunan campuran India-Tamil dan Tionghoa Peranakan; ayahnya P.S. Raman adalah diplomat generasi awal Singapura (pernah Duta Besar di Indonesia dan Uni Soviet) dan ibunya berdarah Peranakan[27].
Latar belakang keluarga ini memberi Bilahari perspektif unik lintas budaya. Bilahari mengenyam pendidikan ilmu politik di NUS, sempat kuliah doktoral di Columbia University (AS) dengan beasiswa pemerintah, meski akhirnya tidak menyelesaikan PhD-nya[28]. Kariernya seluruhnya di Kementerian Luar Negeri: ia mulai sebagai pejabat muda pada 1981, mendaki hingga puncak birokrasi sebagai Sekretaris Tetap Kementerian Luar Negeri (2010–2013)[29].
Ia pernah ditugasi sebagai Dubes di Rusia dan Wakil Tetap di PBB (1995–1998)[30][31]. Setelah pensiun, Bilahari diangkat menjadi Duta Besar Keliling dan menjabat Ketua Middle East Institute di NUS[32]. Sebagai intelektual publik, tulisannya kerap muncul di media lokal maupun internasional. Pemerintah Singapura sering memanfaatkan pandangannya, meski tak jarang ia mengkritik kebijakan besar dengan gaya satirenya.
Misalnya, Bilahari pernah mengingatkan agar Singapura waspada terhadap pengaruh asing yang mencoba memecah harmoni rasial dan memanfaatkan orang dalam – suatu peringatan yang relevan dengan situasi geo-politik saat ini. Kehidupan pribadi Bilahari cukup tertutup; ia dikenal sebagai pembaca rakus novel misteri[33] dan aktif di media sosial Facebook untuk berbagi analisis politik.
Jaringan pertemanannya melintasi batas – ia dihormati di ASEAN, sering berdialog dengan diplomat kawakan negara lain. Sosok Bilahari menggambarkan sarjana-praktisi: cendekia berpendidikan tinggi yang langsung terjun membela kepentingan nasional.
Ekonomi dan Kebijakan Publik
Tharman Shanmugaratnam – Seorang teknokrat ulung di bidang ekonomi yang kemudian menjelma menjadi negarawan. Tharman berasal dari komunitas Tamil-India; ayahnya, K. Shanmugaratnam, adalah ilmuwan medis terkenal pendiri Registri Kanker Singapura. Tharman sendiri meraih pendidikan ekonomi level dunia: Sarjana Ekonomi dari London School of Economics (LSE), lantas Magister dari Universitas Cambridge, dan gelar MPA dari Harvard Kennedy School[34].
Semasa kuliah di Inggris, ia aktif sebagai aktivis mahasiswa yang kritis. Karier profesionalnya diawali di Otoritas Moneter Singapura (MAS) sebagai ekonom sejak 1982[35]. Menariknya, di usia muda Tharman pernah tersandung kasus Official Secrets Act (membocorkan data ekonomi), namun ia hanya didenda ringan dan integritasnya dinyatakan tidak tercela[36][37]. Tharman kemudian beralih ke birokrasi pendidikan sebelum terjun ke politik pada 2001.
Berkat kompetensi dan karismanya, ia dipercaya menjabat Menteri Pendidikan (2003–2008), Menteri Keuangan (2007–2015), hingga Wakil Perdana Menteri (2011–2019). Ia dikenal luas sebagai arsitek kebijakan ekonomi progresif dan advokat “meritokrasi yang lebih luas dan inklusif”. Salah satu ide populernya adalah konsep “trampoline society” – sistem jaring pengaman sosial yang tidak pasif, melainkan mendorong mobilitas sosial dengan intervensi pemerintah yang terukur[38].
Popularitas Tharman di mata publik sangat tinggi; survei tahun 2016 menempatkannya sebagai tokoh paling diinginkan publik untuk menjadi PM[39]. Pada 2023, ia mencetak sejarah baru dengan terpilih sebagai Presiden Singapura, presiden pertama berlatar belakang ekonom. Sebagai seorang sarjana, Tharman sering berpidato di forum global. Ia pernah menjadi Ketua IMFC (Komite Kebijakan IMF) – orang Asia pertama di posisi tersebut[40].
Dalam kehidupan pribadi, Tharman adalah sosok sederhana: hobi olahraga (hoki), menulis puisi (pernah menerbitkan puisi pada 1978)[41], dan dekat dengan rakyat kecil (dikenal ramah berfoto selfie dengan warga)[42]. Jejaring internasional Tharman sangat kuat, mulai dari lingkaran G20 hingga Dewan Penasehat di berbagai lembaga ekonomi dunia. Ia mewakili generasi sarjana ekonomi yang berhasil menghubungkan pengetahuan akademis dengan kebijakan publik konkret.
Dr. Linda Lim – Contoh sarjana diaspora Singapura di bidang ekonomi yang tetap berpengaruh meski berkarier di luar negeri. Linda Lim adalah ekonom kelahiran Singapura (generasi ke-4 di sana) yang sudah lebih dari empat dekade bermukim di Amerika Serikat[43]. Ia menempuh S1 di Universitas Cambridge, lalu S2 di Yale, dan Ph.D. ekonomi di University of Michigan. Karier akademiknya cemerlang: Linda menjadi profesor di University of Michigan’s Ross School of Business, spesialis ekonomi internasional dan Asia.
Meskipun jauh, Linda “tetap peduli pada negaranya” dan sengaja mempertahankan kewarganegaraan Singapura[43]. Pada akhir 1970-an, situasi politik Singapura sempat mendorongnya untuk tidak pulang – misalnya penangkapan tanpa pengadilan terhadap kenalan-kenalannya dalam Insiden Internal Security Act 1977 membuat Linda memilih mengajar di AS daripada kembali[44][45]. Linda Lim kerap menulis analisis kritis mengenai model pembangunan Singapura, ketimpangan sosial, hingga kebijakan ketenagakerjaan.
Sebagai ekonom diaspora, ia menjadi suara independen yang memperkaya diskursus publik. Pemerintah Singapura pernah mengundangnya kembali – bahkan Menteri Pendidikan Tharman Shanmugaratnam saat itu mengunjungi Linda di Michigan tahun 2004 untuk menjajaki kontribusinya[46]. Namun, faktor keluarga dan karier membuat Linda menetap di AS. Dalam narasi pribadinya, Linda menyebut dirinya bukan émigré yang meninggalkan negeri, melainkan “ekspatriat” yang terpaksa bekerja di luar karena iklim saat itu kurang kondusif untuk kontribusi kritis[43].
Ia menegaskan bahwa jika dulu ada ruang bagi akademisi sepertinya, ia tak akan meninggalkan Singapura[43]. Kini Prof. Linda Lim aktif menulis di portal AcademiaSG dan media internasional, memberikan perspektif jujur tentang tantangan ekonomi Singapura. Jaringan Linda meluas dari komunitas akademik global hingga para pembuat kebijakan yang pernah menjadi muridnya.
Yeoh Lam Keong – Seorang ekonom dan intelektual publik lokal yang patut disebut. Mantan Kepala Ekonom di GIC (Government of Singapore Investment Corp), Yeoh meski bukan figur pemerintahan, berpengaruh lewat kritik konstruktifnya terhadap kebijakan pemerintah. Ia sering menulis tentang jaminan sosial, kemiskinan, dan kesejahteraan. Misalnya, Yeoh pernah mempersoalkan mengapa Singapura enggan menerapkan universal basic income bagi warga miskin absolut[47].
Kritik seperti ini menunjukkan tradisi sarjana publik di Singapura – kalangan profesional yang bersuara untuk perbaikan kebijakan. Meskipun kadang pandangannya tak sejalan dengan pemerintah, gagasan Yeoh mendorong dialog yang akhirnya memperkaya perumusan kebijakan. Pemerintah pun merespons secara formal, bahkan menggunakan UU POFMA (Proteksi dari Hoaks) ketika menganggap pernyataan Yeoh meleset[48].
Ini mencerminkan dinamika antara pemerintah dan pakar independen: ada ruang diskusi, namun tetap dalam kontrol regulasi. Kehadiran tokoh seperti Yeoh Lam Keong memastikan debat kebijakan berbasis ilmu tetap hidup di Singapura.
Sains, Teknologi, dan Riset Inovatif
Prof. Jackie Yi-Ru Ying – Seorang ilmuwan berbintang internasional yang berbasis di Singapura. Jackie Ying lahir di Taiwan tahun 1966, tumbuh besar di Singapura dan New York, dan beralih kewarganegaraan menjadi Amerika. Ia pakar di bidang nanoteknologi dan rekayasa kimia. Pendidikan sarjananya dari Cooper Union, kemudian meraih gelar Ph.D. di Princeton pada usia sangat muda (25 tahun)[49]. Karier akademik Jackie melesat di MIT, menjadi profesor penuh di usia 35 – salah satu yang termuda di MIT[50].
Tahun 2003, Singapura berhasil “memulangkan” Jackie Ying dengan menunjuknya sebagai Direktur Eksekutif pendiri Institute of Bioengineering and Nanotechnology (IBN) di bawah lembaga riset ASTAR[51]. Langkah ini adalah bagian dari strategi Singapura mendatangkan talenta ilmiah kelas dunia untuk memimpin riset nasional. Di IBN, Jackie memimpin tim dalam inovasi biomaterial, nanoteknologi untuk medis, dan sistem biosensor miniatur[51]. Prestasinya mendunia: ia menerima Mustafa Prize 2015 untuk pencapaian sains, terpilih sebagai anggota National Academy of Engineering (AS)[52], dan menjadi orang Singapura pertama yang masuk National Academy of Inventors (2017)[53].
Jackie juga dianugerahi King Faisal Prize 2023. Etnis Tionghoa dan beragama Kristen, Jackie berkeluarga di Singapura (memiliki satu putri). Jaringan risetnya* luas – ia memiliki kolaborasi dengan universitas top dunia dan bahkan memimpin lab di Arab Saudi pasca keluar dari IBN. Pemerintah Singapura kerap menjadikannya model ilmuwan sukses untuk menginspirasi generasi muda perempuan di STEM. Kehidupan sehari-hari Prof. Ying tak banyak tersorot media, namun dedikasinya terlihat dari kiprahnya mendirikan NanoBio Lab baru selepas mundur dari jabatan administrasi[54]. Sosok Jackie Ying menunjukkan tekad Singapura menjadi hub riset global dengan menggandeng diaspora ilmuwan terkemuka.
Prof. Tan Chorh Chuan – Seorang ilmuwan medis dan pemimpin akademik lokal yang berpengaruh. Berprofesi awal sebagai dokter spesialis ginjal, Dr. Tan meraih Ph.D. riset di Universitas Oxford. Ia kemudian menjadi Dekan Fakultas Kedokteran NUS, sebelum ditunjuk sebagai Wakil Rektor, lalu Rektor (Presiden) NUS 2008–2017[55]. Di bawah kepemimpinannya, NUS memperluas kemitraan global (termasuk pendirian Yale-NUS College)[56].
Tan Chorh Chuan juga berperan di pemerintahan – ia pernah menjadi Direktur Pelayanan Medis Kementerian Kesehatan (2000–2004), dan setelah dari NUS diangkat sebagai Chief Health Scientist pertama Singapura[57]. Dalam kapasitas tersebut, Prof. Tan memimpin Office for Healthcare Transformation, semacam laboratorium kebijakan untuk inovasi layanan kesehatan. Ia sosok sarjana birokrat yang mampu menjembatani ilmu kedokteran dengan reformasi kebijakan (contohnya, ia terlibat dalam perumusan strategi penanganan pandemi dan penuaan populasi).
Etnisnya Tionghoa; Tan tumbuh di Singapura dan dikenal rendah hati serta teliti. Keluarganya juga mengabdi di bidang kesehatan. Jejaringnya meliputi kalangan akademis (anggota US National Academy of Medicine[58]) hingga pejabat kesehatan dunia (pernah di dewan WHO). Pengaruh Prof. Tan terlihat dalam arah baru pendidikan tinggi Singapura yang lebih interdisipliner dan mendorong riset translasi.
Prof. Shih Choon Fong – Sarjana teknolog yang menjadikan NUS di peta dunia riset. Ia pakar teknik (Ph.D. Harvard) yang meniti karier di AS sebelum pulang menjadi Presiden NUS (2000–2008). Di era Prof. Shih, NUS melejit di ranking global dan menekankan kolaborasi industri. Selepas itu, Shih direkrut menjadi Presiden pendiri KAUST (King Abdullah University of Science and Technology) di Arab Saudi, menunjukkan reputasi internasional ilmuwan Singapura[59].
Shih Choon Fong juga etnis Tionghoa kelahiran Malaysia, mencerminkan daya tarik Singapura bagi talent serumpun. Ia kini menjabat penasihat dan profesor emeritus, turut mendukung inisiatif penelitian energi bersih. Jaringan Shih melintasi benua – dihormati di Tiongkok, Timur Tengah, dan Barat. Kehidupan sehari-harinya diisi dengan membimbing mahasiswa doktoral dan terlibat dalam dewan penasehat ilmiah berbagai negara.
Sarjana Diaspora dan Akademisi Asing dalam Jaringan Singapura
Singapura sebagai negara kosmopolitan tak hanya mengandalkan putra daerah, tetapi juga melibatkan cendekiawan diaspora dan pakar asing dalam ekosistem intelektualnya. Beberapa contoh menonjol:
- Cherian George – Seorang akademisi komunikasi kelahiran Singapura yang kini mengajar di Hong Kong Baptist University. Cherian dikenal kritis terhadap kontrol media oleh pemerintah PAP. Ia pernah menjadi dosen di NTU Singapura, namun tahun 2013 ditolak pemberian tenur (jabatan tetap) meskipun departemennya merekomendasikan, diduga karena sikap kritisnya terhadap sistem media dan pemerintah Singapura[60].
- Kasus Cherian memicu perdebatan soal kebebasan akademik di Singapura, karena keputusan penolakannya melibatkan komite universitas berisi wakil pemerintah[61]. Setelah hengkang ke Hong Kong, Cherian terus menulis buku dan artikel tentang kebencian dan propaganda serta keadaan kebebasan berekspresi di Asia Tenggara. Ia juga mendirikan situs Academia.SG untuk memajukan diskursus akademis Singapura.
- Jejaring Cherian kuat di kalangan jurnalis dan aktivis kebebasan berekspresi regional. Meski tak lagi di Singapura, pemikiran dan kritiknya masih berpengaruh di tanah air, misalnya mendorong reformasi media. Cherian George menunjukkan bahwa diaspora intelektual Singapura bisa tetap berperan melalui pengaruh ide lintas batas.
- Sarjana Hukum dan Sosial: Nama-nama seperti Simon Tay (mantan NMP – anggota parlemen non-politik – dan Ketua Singapore Institute of International Affairs) serta Thio Li-ann (Guru Besar Hukum NUS yang kontroversial) merupakan figur akademik yang suaranya didengar dalam diskursus kebijakan. Simon Tay misalnya, sebagai Nominated MP 1997–2003, membawa perspektif akademis ke parlemen[62].
- Ia giat di isu lingkungan dan hubungan regional, juga penulis esai sastra. Sementara Thio Li-ann dikenal vokal soal isu hukum tata negara dan nilai konservatif, sempat memicu debat soal hak LGBT di forum akademik dan publik. Jaringan keluarga kadang memainkan peran: Thio Li-ann adalah putri dari Prof. Thio Su Mien, tokoh hukum generasi sebelumnya, yang menunjukkan adanya dinasti intelektual. Keterlibatan mereka dalam pembuatan kebijakan kadang tak langsung, namun lewat pendapat ahli di media dan komite parlemen.
- Akademisi asing dalam sistem Singapura: Pemerintah Singapura tidak segan mengundang pakar mancanegara sebagai pejabat tinggi di lembaga pendidikan atau penasihat kebijakan. Misalnya, Prof. Bertil Andersson (ilmuwan Swedia) pernah menjadi Rektor NTU (2011–2017) dan membantu meningkatkan reputasi riset kampus tersebut.
- Lalu Prof. Subra Suresh (ilmuwan AS kelahiran India, mantan Direktur NSF) memimpin NTU (2018–2022)[63], membawa pengalaman internasional yang memperkuat jejaring global universitas. Di sektor kebijakan ekonomi, Singapura kerap melibatkan ekonom asing dalam panel penasihat. Era 2000-an ada Dr. Michael Spence (Nobel Ekonomi) dan Dr. David Skilling (ekonom New Zealand) yang diundang dalam Economic Strategies Committee.
- Selain itu, investor/pengamat asing seperti Dr. Parag Khanna (ilmuwan politik kelahiran India, warga AS) menetap di Singapura dan melalui buku serta konsultasinya mempromosikan ide-ide tentang masa depan teknologi dan urban di Singapura.
- Meskipun Parag bukan pejabat pemerintah, ia menjadi semacam influencer kebijakan dengan jaringan hingga tingkat PM. Hal ini menunjukkan terbuka dan inclusifnya Singapura dalam menyerap pemikiran terbaik dunia.
- Huang Jing – Kasus khusus pakar asing yang justru mendapat sanksi. Huang Jing adalah akademisi kelahiran Tiongkok berkewarganegaraan AS yang menjadi profesor di LKYSPP NUS. Pada 2017, ia dan istrinya ditetapkan persona non grata oleh pemerintah Singapura.
- Kementerian Dalam Negeri mencabut izin tinggal permanennya dan menyebut Huang sebagai “agen pengaruh negara asing” yang mencoba memengaruhi kebijakan luar negeri Singapura[64]. Insiden ini mengejutkan komunitas akademis: Huang dituduh bekerja untuk intelijen negara asing (diduga RRT) dan menyusup opini di lingkaran elit Singapura[65]. Huang menyangkal tuduhan itu, namun ia dideportasi dan belakangan bekerja di Beijing. Kasus Huang Jing menjadi peringatan bahwa Singapura waspada terhadap intervensi asing melalui akademisi.
- Hal ini juga mendorong pemerintah memperkuat undang-undang keamanan (seperti Foreign Interference Countermeasures Act di kemudian hari). Di sisi lain, peristiwa ini memengaruhi cara kampus memperlakukan kolaborasi riset internasional – transparansi dan kesetiaan pada kepentingan nasional menjadi perhatian utama. Jaringan Huang di Singapura terputus, namun ia tetap contoh bahwa sarjana asing pun bisa memainkan peran politik, baik positif maupun negatif.
Kesimpulan: Jejak dan Jaringan Sarjana Singapura
Dari paparan di atas, tampak jelas bahwa sarjana-sarjana terkenal di Singapura memiliki peran multi-dimensional: sebagai pengajar dan peneliti, pejabat publik, negosiator internasional, hingga public intellectuals yang memengaruhi opini. Latar belakang etnik mereka beragam – Tionghoa, India, Eurasia – mencerminkan mosaik demografi negeri itu. Banyak dari mereka adalah penerima President’s Scholarship atau beasiswa bergengsi, menempuh pendidikan di universitas terbaik dunia, lalu kembali mengabdi.
Hubungan mereka dengan pemerintah bervariasi: sebagian menjadi pilar kebijakan pemerintah (seperti Tharman di ekonomi atau Tommy Koh di diplomasi), sebagian menjadi mitra kritis dari luar struktur (seperti Linda Lim atau Yeoh Lam Keong), dan tak sedikit yang bergantian peran di akademia dan pemerintahan (misalnya Chan Heng Chee, Bilahari Kausikan).
Pengaruh terhadap kebijakan pemerintah sangat nyata. Para cendekiawan ini menyumbang ide dalam perumusan strategi nasional – mulai dari diplomasi “tangan kecil” Singapura di forum dunia, model meritokrasi sosial, perencanaan ekonomi jangka panjang, hingga inovasi teknologi dan sains. Think-tank lokal seperti IPS, SIIA, RSIS di NTU, dan LKY School menjadi ajang bagi para sarjana untuk berkontribusi.
Pemerintah Singapura sendiri sengaja menempatkan akademisi di komite penasihat atau menugaskan studi kepada mereka, memastikan kebijakan berbasis bukti dan wawasan global. Misalnya, Professor Chan Heng Chee dan kawan-kawan di Council of Presidential Advisers ikut menelaah isu harmoni rasial; ekonom seperti Prof. Huang Chen Kang (NUS) dilibatkan dalam merancang skema pensiun CPF; dan ilmuwan kesehatan dipandu Prof. Tan Chorh Chuan dalam transformasi digital kesehatan.
Tak kalah penting, kehidupan pribadi para sarjana ini menunjukkan bahwa mereka juga manusia biasa: ada yang menulis puisi, gemar seni, atau aktif di organisasi sosial. Jaringan keluarga kadang membantu menempatkan mereka di posisi strategis – misalnya keluarga Rajaratnam,dan keluarga Lee Kuan Yew – namun meritokrasi tetap jadi faktor utama naiknya para tokoh ini. Beberapa sarjana diaspora yang dulu pergi, kini makin dilibatkan kembali (melalui kerjasama riset atau forum dialog), menandakan sikap pemerintah yang lebih terbuka pada kritik dan ide luar.
Singkatnya, peta intelektual Singapura diisi oleh figur-figur brilian yang jembatan ilmunya melintasi dunia akademis dan pemerintahan. Etnis apa pun asalnya, mereka bersatu dalam visi memajukan negara kota ini. Baik besar maupun kecil perannya, setiap tokoh – entah itu profesor, peneliti, ataupun pakar independen – adalah bagian dari jaringan pengetahuan yang menjadi tulang punggung kesuksesan Singapura. Ke depan, sinergi antara sarjana dengan pemerintah dan masyarakat akan terus krusial untuk menjawab tantangan baru, dan contoh-contoh profil di atas menjadi teladan bagi generasi penerus intelektual di Singapura dan Asia Tenggara.
Referensi:
- Kishore Mahbubani – latar belakang dan karier[1][3], peran di PBB[4], Dekan LKYSPP dan kontroversi[6][7], penghargaan internasional[9].
- Tommy Koh – pendidikan dan etnis[12][13], karier diplomasi & perundingan internasional[15][17], jabatan kini[18], pandangan progresif[19].
- Chan Heng Chee – prestasi akademik[22], pendirian IPS[23], Dubes ke AS[24], sikap anti-establishment[25], jabatan sekarang[26].
- Bilahari Kausikan – etnis keluarga[27], jabatan PBB[30], karier MFA[31], posisi pasca-pensiun[32].
- Tharman Shanmugaratnam – pendidikan tinggi luar negeri[34], awal karier & insiden OSA[36], konsep kebijakan sosial[38], popularitas publik[39].
- Linda Lim – pandangan sebagai diaspora[43], pengalaman 1977[44], hubungan dg Tharman[46].
- Jackie Yi-Ru Ying – latar belakang dan peran di IBN[51], status ilmuwan kelas dunia[52], penghargaan[53].
- Huang Jing – kasus agen asing[64][65].
- Cherian George – penolakan tenure karena kritik[60].
- Yeoh Lam Keong – contoh kritik kebijakan (basic income)[47].
- Lainnya diuraikan sesuai konteks di atas.
[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] Kishore Mahbubani – Wikipedia
https://en.wikipedia.org/wiki/Kishore_Mahbubani
[12] [13] [14] [15] [16] [17] [18] [19] [20] Tommy Koh – Wikipedia
https://en.wikipedia.org/wiki/Tommy_Koh
[21] [22] [23] [24] [25] [26] Chan Heng Chee – Wikipedia
https://en.wikipedia.org/wiki/Chan_Heng_Chee
[27] [28] [29] [30] [31] [32] [33] Bilahari Kausikan – Wikipedia
https://en.wikipedia.org/wiki/Bilahari_Kausikan
[34] [35] [36] [37] [38] [39] [40] [41] [42] Things to know about presidential hopeful Tharman Shanmugaratnam – TODAY
[43] [44] [45] [46] A scholar’s journey, in and out of Singapore – Knowledge Praxis
https://knowledgepraxis.academia.sg/blog/2024/04/12/linda-lim/
[47] Yeoh Lam Keong questions Singapore govt’s reluctance to provide …
[48] Ex-GIC economist issued second POFMA correction direction … – CNA
[49] [50] [51] [52] [53] [54] Jackie Yi-Ru Ying – Wikipedia
https://en.wikipedia.org/wiki/Jackie_Yi-Ru_Ying
[55] Tan Chorh Chuan Biography – All American Speakers
https://www.allamericanspeakers.com/celebritytalentbios/Tan+Chorh+Chuan/464512
[56] Tan Chorh Chuan | Tatler Asia
https://www.tatlerasia.com/people/tan-chorh-chuan
[57] Professor Tan Chorh Chuan
https://www.a-star.edu.sg/about/corporate-profile/people/tan-chorh-chuan
[58] Tan Chorh Chuan – Asian Scientist Magazine
https://www.asianscientist.com/scientist/as100-tan-chorh-chuan/?current_page=3
[59] Shih Choon Fong – Wikipedia
https://en.wikipedia.org/wiki/Shih_Choon_Fong
[60] [61] Cherian George – Wikipedia
https://en.wikipedia.org/wiki/Cherian_George
[62] Simon Tay – Wikipedia
https://en.wikipedia.org/wiki/Simon_Tay
[63] Subra Suresh – Wikipedia
https://en.wikipedia.org/wiki/Subra_Suresh
Leave a Reply